LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN DIAGNOSA EPILEPSI
LAPORAN
PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN ANAK
DENGAN DIAGNOSA EPILEPSI
BAB
I
TINJAUAN
PUSTAKA
1.1 Definisi
Epilepsi merupakan kelainan neurologis
kronis yang ditandai dengan berulangnya kejang. Berbagai manifestasi klinis
terjadinya epilepsi dapat menjadi faktor risiko pada setiap perubahan otak.
Palsi serebral merupakan sindrom klinis akibat kerusakan jaringan otak dan
bersifat menetap. Palsi serebral mengakibatkan kelainan neurologis, salah
satunya epilepsi (Suhaimi et al., 2020). Epilepsi merupakan suatu keadaan yang
ditandai adanya kejang yang terjadi secara berulang akibat terganggunya fungsi
otak yang disebabkan oleh muatan listrik yang abnormal pada neuron – neuron
otak menurut (Nasution et al., 2020).
Epilepsi adalah penyakit
kronis yang tidak menular pada otak yang mempengaruhi sekitar 50 juta orang di
seluruh dunia. Ini ditandai dengan kejang berulang, yang merupakan peristiwa
singkat gerakan tak sadar yang mungkin melibatkan sebagian tubuh atau seluruh
tubuh dan terkadang disertai dengan hilangnya kesadaran dan kontrol fungsi usus
atau kandung kemih (WHO, 2023). Epilepsi merupakan salah satu penyakit kronik
dengan angka kejadian tinggi khususnya di negara berkembang, penyakit epilepsi
bersifat kronik, sehingga dapat mengganggu kualitas hidup dan membutuhkan biaya
cukup banyak. Epilepsi juga dikenal dengan sebutan ayan yang memiliki ciri khas
berupa kejang kambuhan yang seringnya muncul tanpa pencetus, penyakit ini
terjadi karena adanya gangguan sistem saraf pusat (Neuologis) yang menyebabkan
kejang atau terkadang kehilangan kesadaran (Kemenkes, 2022).
1.2 Etiologi
Menurut WHO (2023), meskipun banyak
mekanisme penyakit yang mendasari dapat menyebabkan epilepsi, penyebab penyakit
ini masih belum diketahui pada sekitar 50% kasus secara global. Penyebab
epilepsi dibagi ke dalam kategori berikut: struktural, genetik, menular,
metabolik, kekebalan dan tidak diketahui. Contohnya termasuk:
a) Otak
akibat penyebab prenatal atau perinatal (misalnya kehilangan oksigen atau
trauma saat lahir, berat badan lahir rendah)
b) Kelainan
bawaan atau kondisi genetik dengan malformasi otak terkait
c) Cedera
kepala parah
d) Stroke
yang membatasi jumlah oksigen ke otak
e) Infeksi
otak seperti meningitis, ensefalitis atau neurocysticercosis,
f) Sindrom
genetik tertentu
g) Tumor
otak
1.3 Klasifikasi
Pneumonia
Menurut Kemenkes RI (2022), klasifikasi
epilepsi berdasarkan penyebabnya dibagi 2 (dua) yaitu
1. Epilepsi
idiopatik (epilepsi primer), jenis epilepsi yang penyebabnya tidak diketahui
(disebabkan faktor genetik).
2. Epilepsi
simptomatik (epilepsi sekunder), jenis epilepsi yang penyebabnya bisa
diketahui. Sejumlah faktor seperti luka berat dikepala, tumor otak dan stroke.
Kejang berulang merupakan gejala utama
epilepsi, karakteristik kejang bervariasi dan bergantung pada bagian otak yang
terganggu pertama kali. Jenis kejang epilepsi dibagi menjadi 2 berdasarkan pada
otak yaitu :
a.
Kejang Parsial atau Focal
Otak yang mengalami gangguan hanya
sebagian saja. Kejang parsial simple pengidapnya tidak kehilangan kesadaran
gejalanya dapat berupa anggota tubuh yang menyentak, sedang kejang parsial
kompleks mempengaruhi kesadaran pengidapnya sehingga membuatnya terlihat
seperti bingung atau setengah sadar.
b.
Kejang Umum
Gejala ini terjadi pada sekujur tubuh dan
disebabkan oleh gangguan yang berdampak kepada seluruh bagian otak. Berikut ini
adalah gejala yang bisa terjadi saat seseorang terserang kejang umum :
1.
Mata yang terbuka saat kejang.
2.
Kejang tonik, tubuh yang menjadi kaku selama
beberapa detik.
3.
Kejang atonik yaitu otot tubuh tiba-tiba
menjadi rileks, sehingga pengidap bisa jatuh tanpa kendali.
4.
Terkadang pengidap epilepsi mengeluarkan
suara-suara atau berteriak saat mengalami kejang.
5.
Demam tinggi, kelelahan akibat panas.
6.
Mengompol
7.
Kesulitan bernafas untuk beberapa saat,
sehingga badan terlihat pucat atau bahkan membiru.
8.
Kejang menyeluruh membuat pengidap
benar-benar tidak sadarkan diri, dan setelah sadar terlihat bingung selama
beberapa menit atau jam.
1.4 Patofisiologi
Epilepsi adalah pelepasan muatan listrik
yang berlebihan dan tidak teratur di otak. Aktivitas listrik normal jika
terdapat keseimbangan antara faktor yang menyebabkan inhibisi dan eksitasi dari
aktivitas listrik. Epilepsi timbul karena adanya ketidakseimbangan faktor
inhibisi dan eksitasi aktivitas listrik otak.
Terdapat beberapa teori patofisiologi
epilepsi, adalah sebagai berikut:
1)
.Ketidakseimbangan antara eksitasi dan
inhibisi di otak.
Eksitasi berlebihan mengakibatkan letupan
neuronal yang cepat saat kejang. Sinyal yang dikeluarkan dari neuron yang
meletup cepat merekrut sistem neuronal yang berhubungan melalui sinap, sehingga
terjadi pelepasan yang berlebihan. Sistem inhibisi juga diaktifkan saat kejang,
tetapi tidak dapat untu mengontrol eksitasi yang berlebihan, sehingga tejadi kejang.
Excitatory Postsynaptic Potentials
(EPSPs) dihasilkan oleh ikatan molekul pada reseptor yang menyebabkan
terbukanya saluran ion Na atau ion Ca dan tertutupnya saluran ion K yang
mengakibatkan terjadinya depolarisasi. Berlawanan dengan Inhibitory Postsynatic
Potentials (IPSs) disebabkan karena meningkatnya permeabilitas membran terhadap
Cl dan K, yang akhirnya menyebabkan hiperpolarisasi membrane.
Eksitasi terjadi melalui beberapa
neurotransmitter dan neuromedulator, akan tetapi reseptor glutamate yang paling
penting dan paling banyak diteliti untuk eksitasi epilepsi. Sedangkan inhibitor
utama neurotransmitter pada susunan saraf pusat adalah Gamma Amino Butiric Acid
(GABA). Semua struktur otak depan menggunakan aksi inhibitor dan memegang peranan
fisiopatogenesis pada kondisi neurologis tertentu, termasuk epilepsi, kegagalan
fungsi GABA dapat mengakibatkan serangan kejang.
2)
.Mekanisme sinkronisasi
Epilepsi dapat diakibatkan oleh gangguan
sinkronisasi sel-sel saraf berupa hipersinkronisasi. Hipersinkronisasi terjadi
akibat keterlibatan sejumlah besar neuron yang berdekatan dan menghasilkan
cetusan elektrik yang abnormal. Potensial aksi yang terjadi pada satu sel
neuron akan disebarkan ke neuron-neuron lain yang berdekatan dan pada akhirnya
akan terjadi bangkitan elektrik yang berlebihan dan bersifat berulang.
3) .Mekanisme
epileptogenesis
Trauma otak dapat mengakitbatkan epilepsi. Iskemia, trauma, neurotoksin
dan trauma lain secara selektif dapat mengenai subpopulasi sel tertentu. Bila
sel ini mati, akson-akson dari neuron yang hidup mengadakan tunas untuk
berhubungan dengan neuron diferensiasi parsial. Sirkuit yang sembuh cenderung
untuk mudah terangsang.
4)
.Mekanisme peralihan interiktal-ikta
Mekanisme yang memproduksi sinyal,
sinkronisitas dan penyebaran aktivitas sel saraf termasuk kedala teori transisi
interiktal0-iktal. Dari berbagai penelitian, mekanisme transisi ini tidak
berdiri sendiri melainkan hasil dari beberapa interaksi mekanisme yang berbeda.
Terdapat dua teori mengenai transisi interiktal-iktal, yaitu mekanisme
nonsinaptik dan sinaptik. Pada nonsinaptik adanya aktivitas iktal-interikta
yang berulang menyebabkan peningkatan kalium ekstrasel sehingga eksitabilitas
neuron meningkat. Aktivitas pompa Na-K sangat berperan dalam mengatur
eksitabilitas neuronal. Hipoksia atau iskemia dapat menyebabkan kegagalan pompa
Na-K sehingga meningkatkan transisi interiktal-iktal.
Teori sinaptik ini menyebutkan bahwa
penurunan efektivitas mekanisme inhibisi sinaps ataupun peningkatan aktivitas
eksitasi sinaps dapat mencetuskan epilepsi.
5)
.Mekanisme neurokimiawi.
Mekanisme epilepsi sangat dipengaruhi oleh
keadaan neurokimia pada sel-sel saraf, misalnya sifat neurotransmitter yang
dilepaskan, ataupun adanya faktor tertentu yang menyebabkan gangguan
keseimbangan neurokimia seperti pemakaian obat-obatan. Selain GABA dan
glutamate yang merupakan neurotransmitter penting dalam epilepsi, terdapat
beberapa produk kimiawi lain yang juga ikut berperan seperti misalnya golongan
opioid yang dapat menyebabkan inhibisi interneuron, ataupun katekolamin yang
dapat menurunkan ambang kejang. Selain itu gangguan elektrolit akibat kegagalan
pengaturan pompa ionik juga ikut mencetuskan serangan epilepsi. Beberapa zat
kimia terbukti dapat memicu terjadinya epilepsi, yaitu alumina hydroxide gel
yang menyebabkan degenerasi neuron, kematian neuron dan penurunan aktivitas
GABAergik, pilokapin yang menyebabkan pembengkakan pada dendrit, soma dan
astrosit, dan pada tahap akhir menyebabkan kematian sel. Asam kainat terbukti
dapat menginduksi kejang dengan cara memacu reseptor excitatory amino acid
(EAA). (Nuh Gusta, 2019).
1.5 Manifestasi klinis
Karakteristik kejang bervariasi dan
bergantung pada bagian otak mana gangguan tersebut pertama kali dimulai, dan
seberapa jauh penyebarannya. Terjadi gejala sementara, seperti kehilangan
kesadaran, dan gangguan gerak, gangguan sensori (termasuk penglihatan,
pendengaran dan pengecapan), emosional, dan fungsi kognitif lainnya (WHO,
2023).
Menurut Deddy Ria (2023), selain kejang
tanpa demam yang terjadi lebih dari 2x epilepsi dalam periode 24 jam atau lebih
secara tiba-tiba, epilepsi juga dapat ditandai dengan beberapa gejala lain,
diantaranya:
Menurut Deddy Ria (2023), selain kejang
tanpa demam yang terjadi lebih dari 2x epilepsi dalam periode 24 jam atau lebih
secara tiba-tiba, epilepsi juga dapat ditandai dengan beberapa gejala lain,
diantaranya:
a. Adanya
hentakan pada bagian tangan atau kaki.
b. Tatapan
kosong yang hanya fokus pada satu titik saja.
c. Kaku
pada bagian anggota badan hingga tidak dapat digerakkan
d. Adanya
sensasi kedutan pada bagian mata atau sebagian wajah.
e. Anak
terlihat melamun atau bengong sebelum kehilangan kesadaran
f.
Anak terjatuh secara tiba-tiba dan
kehilangan tenaga.
g. Terjadinya
gangguan pada bagian pernapasan, bahkan hingga terhenti
1.5
Pemeriksaan Penunjang
Ada beberapa pemeriksaan
epilepsi yang diperlukan dokter pada penyakit epilepsi, seperti pemeriksaan
laboratorium, radiologi, elektrodiagnosis, pemeriksaan neurobihavior (fungsi
luhur):
1. Laboratorium
:
Ø Darah
Hematologi Lengkap.
Ø Ureum,
kreatinin.
Ø SGOT/SGOT.
Ø Profil
lipid.
Ø GDP/GD2PP.
Ø Faal
hemostasis.
Ø Asam
urat.
Ø Albumin.
Ø Elektrolit
(Natrium, Kalium, Kalsium, Magnesium)
Ø Lumbal
Pungsi
Ø EKG
Ø Kadar Obat Anti Epilepsi dalam darah
2.
Pemeriksaan Radiologi
Ø Rontgen
Thoraks.
Ø MRI
kepala/CT scan kepala
3. Elektrodiagnosis
Ø EEG
rutin
Ø EEG
deprivasi tidur
Ø EEG
monitoring
4.
Pemeriksaan Neurobehavior (Fungsi Luhur)
Pemeriksaan
ini berhubungan dengan 5 komponen sebagai berikut
Ø Language
(Berbahasa)
Ø Memory
(Memori)
Ø Visuospatial
(Persepsi visual, koordinasi persepsi dan motorik)
Ø Emotion
or Personality (Emosi, stimulus)
Ø Cognition
(Kongnitif) (Virnayanti, 2021)
1.6 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan
dari epilepsi memiliki 3 tujuan utama yaitu untuk menghilangkan kejang atau
mengurangi frekuensinya semaksimal mungkin, untuk menghindari efek samping yang
terkait dengan pengobatan jangka panjang, dan untuk membantu pasien dalam
mempertahankan atau memulihkan penyesuaian psikososial (Betaria Indrianti,
2019)
Evaluasi
tanda vital serta penilaian airway, breathing, circulation (ABC) harus
dilakukan seiring dengan pemberian obat anti-konvulsan. Terapi epilepsi dimulai
dengan monoterapi menggunakan OAE yang dipilih sesuai jenis bangkitan dan jenis
sindrom epilepsi, kondisi penderita dan ketersediaan obat. Penghentian OAE pada
penderita epilepsi dilakukan jika penderita telah bebas kejang selama minimal
dua tahun dan gambaran EEG tidak didapatkan kelainan. Penghentian OAE dimulai
dari satu OAE yang bukan OAE utama, dengan penurunan dosis yang dilakukan
secara bertahap, yaitu dosis diturunkan 25 % dari dosis semula setiap bulan
dalam jangka waktu 6 bulan (Betaria Indrianti, 2019).
A. Terapi
Farmakologi
1.Lini pertama
v Karmabazepin,
untuk kejang tonik klonik dan kejang fokal. Tidak efektif untuk kejang absans,
dapat memperburuk kejang mioklonik. Dengan dosis total 600- 1200 mg dibagi
menjadi 3-4 pemberian sehari.
v Asam
valproat, efektif untuk kejang fokal, kejang tonik klonik, dan kejang absans.
Dosis 400-2000 mg dibagi dengan 1-2 pemberian sehari.
v Fenobarbital
dengan dosis 60mg/hari per oral dan dinaikan 30 mg setiap 2-4 minggu hingga
tercapai target 90-120 mg/hari
v Fenitoin
dengan dosis 300-600 mg/hari per oral dibagi menjadi 1 atau 2 dosis.
2.Lini Kedua
v Topiramate
efektif untuk kejang tonik klonik generalisata, kejang parsial, kejang
generalisata, kejang absans. dosis inisial 1 – 3 mg/KgBB/hari, naikkan perlahan
dengan interval 1-2 minggu.
v Lamotrigin,
efektif untuk kejang fokal dan kejang tonik klonik. Dengan dosis 100-200 mg
sebagai monoterapi atau dengan asam valproat. 200-400 mg bila digunakan dengan
fenitoin, fenobarbital, atau karmabezapin.
v Levetirasetam
efektif untuk kejang tonik klonik generalisata, kejang parsial, kejang
generalisata, kejang absans dosis inisial 10 mg/KgBB/hari dalam 2 dosis.
Pemberian OAE pada anak-anak harus benar –
benar dipertimbangkan secara baik, dengan mengingat efek yang berbeda terhadap
fungsi kognitif dan perilaku.
B. Terapi
Non-Farmakologi
Terapi
diet ketogenik sangat dianjurkan untuk penderita epilepsi, pertamakali
diperkenalkan pada tahun 1920. Diet ketogenik merupakan diet rendah gula dan
protein namun mengandung lemak yang tinggi.Komposisi nutrisi yang terdapat
dalam diet ketogenik menyebabkan pembakaran lemak yang tinggi sehingga dapat
meningkatkan kadar keton dalam darah. Telah diketahui sebelumnya bahwa keton
dapat meminimalkan rangsangan pada sistem saraf pusat. Kelemahan dari terapi
diet ini adalah sering terjadi gangguan pencernaan seperti mual dan diare,
malnutrisi dan pembentukan batu saluran kemih karena diet ini seringkali
mengandung asam urat tinggi. Terapi diet ini dapat menurunkan kejadian kejang
sebesar 25-50 %.
C. Terapi
Bedah
Merupakan
tindakan operasi yang dilakukan dengan memotong bagian yang menjadi fokus
infeksi yaitu jaringan otak yang menjadi sumber serangan. Diindikasikan
terutama untuk penderita epilepsi yang kebal terhadap pengobatan. Berikut ini
merupakan jenis bedah epilepsi berdasarkan letak fokus infeksi :
ü Lobektomi
temporal.
ü Eksisi korteks ekstratemporal.
ü Hemisferektomi.
ü Callostomi
D. Hubungan
penggunaan obat anti epilepsi dengan status gizi anak
Dalam penelitian yang dilakukan di Taiwan
pada tahun 2013 didapatkan pasien epilepsi yang menerima pengobatan dengan obat
anti-epilepsi terutama asam valproat dapat mengganggu pertumbuhan tulang.
Epilepsi cenderung memerlukan terapi obat
anti epilepsi jangka panjang. Diantara obat anti epilepsi, asam valproat adalah
salah satu obat yang paling umum dan aman digunakan. Namun dalam penggunaan
jangka panjang, asam valproat dapat menyebabkan beberapa masalah misalnya
pengaruh terhadap metabolisme dan endokrin yang bisa menyebabkan obesitas
terhadap anak-anak (Betaria Indrianti, 2019).
1.7 Komplikasi
Menurut Reren Ramanda (2021), komplikasi
yang dapat terjadi pada pasien epilepsi adalah pasien jatuh pada status
epileptikus. Status epileptikus dapat terjadi pada semua tipe epilepsi. Sekitar
0.5% hingga 10% dari seluruh kematian pada pasien epilepsi diakibatkan oleh status
epileptikus dengan angka rasio mortalitas.
Menurut Matthew dan Yasir (2021), status
epileptikus didefinisikan sebagai kejang yang berlangsung lebih dari lima menit
atau dua atau lebih kejang yang terjadi dalam waktu singkat (5 menit) tanpa
pemulihan sempurna antara kejang. Itu bisa terjadi pada semua bentuk epilepsi
dan bisa kejang atau non-kejang. Status kejang jarang terjadi pada epilepsi
umum idiopatik (genetik) dan berespon cepat terhadap pengobatan dengan
benzodiazepin IV. Status epileptikus non-kejang lebih sering terjadi pada
epilepsi umum idiopatik (genetik) dan secara khas menunjukkan episode kejang
absen yang sering dengan onset dan offset yang jelas, dengan mioklonus terkait
yang umum. Ini sering berakhir dengan kejang tonik-klonik umum. Status
epileptikus nonkejang juga merespon dengan cepat terhadap pengobatan dengan
benzodiazepin IV.
Kematian tak terduga mendadak pada epilepsi
(Sudden Unexpected Death In Epilepsi atau SUDEP) adalah kematian yang tidak
disebabkan oleh kondisi medis tertentu, trauma, tenggelam, atau status
epileptikus. Penyebab yang mendasarinya masih belum diketahui, tetapi beberapa
penelitian menunjukkan bahwa risiko kematian tak terduga mendadak pada epilepsi
lebih rendah pada epilepsi idiopatik/kriptogenik bila dibandingkan dengan
epilepsi simtomatik. Selain itu, penelitian telah menentukan bahwa pasien
wanita kurang berisiko terhadap komplikasi
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN
2.1 Konsep Asuhan
Keperawatan
A.
Pengkajian
Pengkajian
keperawatan pada anak dengan Epilepsi berdasarkan Mansjoer (2008) dalam Rani
dan Iga (2018) adalah :
a) Identitas
Pasien
Nama lengkap, tempat tinggal, jenis
kelamin, tempat tanggal lahir, agama, pendidikan, nama orang tua, pekerjaan
orang tua, pendidikan orang tua, tempat tinggal.
b)
Riwayat Kesehatan
Menanyakan tentang keluhan yang dialami
sekarang mulai dari panas,kejang,kapan
terjadi, berapa kali, dan
keadaan sebelum, selama dan setalah kejang.
c)
Riwayat penyakit yang pernah diderita
Penyakit yang diderita
saat kecil seperti batuk, pilek, panas. Pernah di rawat dinama, tindakan apa
yang dilakukan, penderita pernah mengalamikejang sebelumnya, umur berapa saat
kejang.
d)
Riwayat Penyakit Keluarga
Tanyakan pada keluarga
tentang di dalam keluarga ada yang menderita penyakit yang diderita oleh klien
seperti kejang atau epilepsi.
e)
Riwayat Alergi
Bila pasien sebelumnya
sudah minum obat-obatan seperti antiepilepsi, perlu dibedakan apakah ini suatu
efek samping dari gastrointestinal atau efek reaksi hipersensitif. Bila
terdapat semacam “rash” perlu dibedakan apakah ini terbatas karena efek
fotosensitif yang disebabkan eksposur dari sinar matahari atau karena efek
hipersensitif yang sifatnya lebih luas.
f)
Riwayat Pengobatan
Bila pasien sebelumnya sudah minum obat-obatan
antiepilepsi, perlu ditanyakan bagaimana kemanjuran obat tersebut, berapa kali
diminum sehari dan berapa lama sudah diminum selama ini, berapa dosisnya, ada
atau tidak efek sampingnya.
g)
Riwayat Psiko Sosial
Peran terhadap keluarga akan menurun yang
diakibatkan oleh adanya perubahan kesehatan sehingga dapat menimbulkan
psikologis klien dengan timbul gejala-gejala yang di alami dalam proses
penerimaan terhadap penyakitnya.
h)
Riwayat Imunisasi
Apabila anak mempunyai
kekebalan yang baik, maka kemungkinan akan timbulnya komplikasi dapat
dihindari.
i)
Riwayat Gizi Status gizi anak yang
menderita Epilepsi dapat bervariasi.
Semua anak dengan status
gizi baik maupun buruk dapat berisiko, apabila terdapat faktor predisposisinya.
Anak yang menderita Epilepsi sering mengalami keluhan mual, muntah, dan nafsu
makan menurun. Apabila kondisi ini berlanjut dan tidak disertai dengan
pemenuhan nutrisi yang mencukupi, maka anak dapat mengalami penurunan berat
badan sehingga status gizinya menjadi kurang.
j)
Kondisi lingkungan
Bagaimana keadaan
lingkungan yang mengakibatkan gangguan kesehatan.
1)
Pola kebiasaan
Ø Nutrisi
dan metabolisme : Pada umumnya klien kesukaran menelan. Kaji frekuensi, jenis,
pantangan, nafsu makan berkurang dan nafsu makan menurun.
Ø Eliminasi
: Pada klien febris convulsi tidak mengalami gangguan.
Ø Tidur
dan istirahat : Pada umumnya klien mengalami gangguan waktu tidur karena panas
yang meninggi.
Ø Pola
aktifitas dan latihan : Pada umumnya klien mengalami gangguan dalam melakukan
aktifitas.
k)
Pemeriksaan fisik meliputi inspeksi,
palpasi, auskultasi dan perkusi dari ujung rambut sampai kaki.
1)
. Kepala
Pengkajian kepala
meliputi : ukuran , kesimetrisan, distribusi rambut dan lingkar kepala. Pada
klien dengan epileapsi biasanya klien mengeluhkan nyeri oleh karena adanya
pasme atau penekanan pada tulang tengkorak akibat peningkatan TIK sewaktu
kejang.
2)
. Mata
Pengkajian mata
meliputi ketajaman penglihatan, gerakan ekstra ocular, kesimetrisan,
penglihatan warna, warna konjungtiva, warna sclera, pupil, reflek cahaya
kornea. Pada klien dengan epilepsi saat terjadi serangan klien biasanya mata
klien cenderung seperti melotot bahkan pada sebagian anak lensa mata dapat
terbalik sehingga pupil tidak nampak.
3)
. Hidung
Pengkajian hidung meliputi : Pada penderita
epilepsi jarang di temukan kelainan pada hidung.
4)
. Mulut
Pengkajian pada
mulut meliputi pada penderita epilepsi biasanya ditemukan adanya kekakuan pada
rahang.
5)
.Telinga
Pengkajian pada
telinga meliputi: hygiene, kesimetrisan, ketajaman pendengaran.
6)
. Leher
Pengkajian pada leher meliputi pada sebagian
penderita epilepsi juga ditemukan kaku kuduk pada leher.
7)
. Dada
Pengkajian pada dada meliputi : kesimetrisan,
amati jenis pernafasan, amati
kedalaman dan regularitas, bunyi nafas dan bunyi
jantung.
8)
. Abdomen
Pengkajian pada abdomen meliputi : pemeriksaan
warna dan keadaan kulit abdomen, auskultasi bising usus, perkusi secara
sistemik pada semua area abdomen, palpasi dari kuardan bawah keatas. Pada
penderita epilepsi biasanya terdapat adanya spasme abdomen.
9) .
Ekstermitas Atas : pengkajian meliputi : pada penderita epilepsi biasanya terdapat
aktivitas kejang pada ekstermitas. Bawah : pada penderita,epilepsi
biasanya terdapat aktivitas kejang
pada ekstemitas.
10) .Genetalia
Pengkajian pada genetalia meliputi ; pemeriksaan kulit
sekitar daerah anus terhadap
kemerahan dan ruam, pemeriksaan anus
terhadap tanda tanda fisura, hemoroid, polip,
atresia ani.
B.
Diagnosa Keperawatan
Diagnosa
keperawatan yang ditemukan pada pasien dengan Epilepsi berdasarkan Hidayat
(2008) dalam Rani dan Iga (2018) adalah :
1. Resiko
tinggi trauma/cidera berhubungan dengan kelemahan, perubahan kesadaran,
kehilangan koordinasi otot sekunder akibat aktivitas kejang.
2. Resiko
tinggi terhadap inefektifnya bersihan jalan nafas berhubungan dengan kerusakan
neoromuskular
3. Resiko
kekurangan volume cairan berhubungan dengan muntah, perubahan tingkat
kesadaran, pemberian makan atau asupan buruk dan kehilangan yang tidak disadari
akibat demam.
C. Intervensi
|
Diagnosa Keperawatan |
Tujuan |
Intervensi |
|
D.0136 Risiko
Cedera Faktor Risiko Eksternal 1. Terpapar patogen 2. Terpapar zat kimia
toksik 3. Terpapar agen nosokomial 4. Ketidaknyamanan Transportasi Internal 1. Ketidaknormalan profil darah 2. Perubahan orientasi afektif 3. Perubahan sensasi 4. Disfungsi autoimun 5. Disfungsi biokimia 6. Hipoksia jaringan 7. Kegagalan mekanisme pertahanan tubuh 8. Malnutrisi 9. Perubahan fungsi psikomotor 10. Perubahan fungsi kognitif Kondisi Klinis Terkait 1. Kejang 2. Sinkop 3. Vertigo 4. Gangguan penglihatan 5. Gangguan pendengaran 6. Penyakit parkinson 7.
Hipotensi 8. Kelainan nervus vestibularis 8.
Retardasi mental |
L.14136-Tingkat
Cedera. Definisi : Keparahan dan cedera yang di amati atau dilaporkan. Ekspektasi:Menurun. Kriteria Hasil : · Toleransi aktivitas · Nafsu makan · Toleransi makanan · Kejadian cedera · Luka/lecet · Ketegangan otot · Fraktur · Perdarahan · Ekspresi wajah kesakitan · Agitasi · Iritabilitas · Gangguan mobilitas · Gangguan kognitif · Tekanan darah · Frekuensi nadi · Frekuensi nafas · Denyut jantung apikal · Denyut jantung radialis · Pola istirahat/tidur |
Pencegahan Cedera (I.14537) Observasi ·
Identifikasi area lingkungan yang berpotensi menyebabkan cedera ·
Identifikasi obat yang berpotensi menyebabkan cedera ·
Identifikasi kesesuaian alas kaki atau stoking
elastis pada ekstremitas bawah Terapeutik ·
Sediakan pencahayaan yang memadai ·
Gunakan lampu tidur selama jam tidur ·
Sosialisasikan pasien dan keluarga dengan lingkungan ruang rawat (mis:
penggunaan telepon, tempat tidur, penerangan ruangan, dan lokasi kamar mandi) ·
Gunakan alas kaki jika berisiko mengalami cedera serius ·
Sediakan alas kaki antislip ·
Sediakan pispot dan urinal untuk eliminasi di
tempat tidur, jika perlu ·
Pastikan bel panggilan atau telepon mudah terjangkau ·
Pastikan barang-barang pribadi mudah dijangkau ·
Pertahankan posisi tempat tidur di posisi terendah saat digunakan ·
Pastikan roda tempat tidur atau kursi roda dalam
kondisi terkunci ·
Gunakan pengaman tempat tidur sesuai dengan kebijakan fasilitas pelayanan Kesehatan ·
Pertimbangkan penggunaan alarm elektronik pribadi
atau alarm sensor pada tempat tidur atau kursi ·
Diskusikan mengenai
latihan dan terapi
fisik yang diperlukan ·
Diskusikan mengenai alat bantu mobilitas yang sesuai (mis:
tongkat atau alat bantu jalan) ·
Diskusikan Bersama
anggota keluarga yang dapat mendampingi pasien ·
Tingkatkan frekuensi
observasi dan pengawasan pasien, sesuai kebutuhan Edukasi · Jelaskan alasan
intervensi pencegahan jatuh ke pasien dan keluarga ·
Anjurkan berganti posisi secara perlahan dan duduk
selama beberapa menit sebelum berdiri |
|
D.0001 Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif Penyebab: Fisiologis: 4. Benda asing
dalam jalan napas. 5.
Adanya jalan napas buatan. buatan. 6. Sekresi yang tertahan. 7. Hiperplasia dinding jalan napas. 8. Proses infeksi
. 9. Respon alergi. 10. Efek agen
farmakologis (mis. anastesi). Situasional : 1. Merokok aktif. 2. Merokok pasif. 3. Terpajan polutan. Gejala dan tanda mayor : Subjektif : tidak
tersedia. Objektif : 1. batuk tidak efektif 2. tidak mampu
batuk. 3. sputum berlebih. 4. Mengi, wheezing dan / atau ronkhi kering. 5. Mekonium di jalan
nafas pada Neonatus. Gejala dan
Tanda Minor. Subjektif : 1. Dispnea. 2. Sulit bicara. 3. Ortopnea. Objektif : 1. Gelisah. 2. Sianosis. 3. Bunyi napas menurun. 4. Frekuensi napas berubah. 5. Pola napas
berubah. Kondisi Klinis Terkait 1. Gullian barre syndrome. 2. Sklerosis multipel. 3. Myasthenia gravis. 4. Prosedur diagnostik (mis. bronkoskopi, transesophageal echocardiography [TEE] ). 5. Depresi sistem saraf pusat. 6. Cedera Kepala 7. Stroke 8. Kuadriplegia 9. Sindron aspirasi mekonium 10.
Infeksi saluran
Napas. |
L.01001
Bersihan Jalan Napas Definisi : Kemampuan
membersihkan sekret atau
obstruksi jalan napas untuk mempertahankan
jalan napas tetap paten. Kriteria Hasil : •
Batuk efektif •
Produksi sputum •
Mengi •
Wheezing •
Mekonium (pada
neonatus) •
Dispnea •
Ortopnea •
Sulit bicara •
Sianosis •
Gelisah •
Frekuensi nafas •
Pola nafas |
Manajemen Jalan
Napas (I.01011) Observasi · Monitor pola napas
(frekuensi, kedalaman, usaha
napas) · Monitor bunyi
napas tambahan (misalnya: gurgling, mengi, wheezing, ronchi kering) · Monitor sputum
(jumlah, warna, aroma) Terapeutik · Pertahankan
kepatenan jalan napas dengan head- tilt dan chin-lift (jaw thrust jika curiga trauma fraktur servikal) · Posisikan semi-fowler atau fowler · Berikan minum
hangat · Lakukan fisioterapi dada, jika perlu · Lakukan
penghisapan lendir kurang dari 15 detik · Lakukan hiperoksigenasi sebelum penghisapan endotrakeal · Keluarkan sumbatan benda padat dengan forsep McGill · Berikan oksigen, jika perlu Edukasi · Anjurkan asupan
cairan 2000 ml/hari, jika
tidak ada kontraindikasi · Ajarkan Teknik batuk efektif Kolaborasi Kolaborasi
pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitik, jika perlu. |
|
D.0036
Risiko Ketidakseimbangan Cairan. Faktor Risiko 1. Prosedur pembedahan mayor 2. Trauma/pembedahan 3. Luka bakar 4. Aferesis 5. Obstruksi intestinal 6. Peradangan pankreas 7. Penyakit ginjal
dan kelenjar 8. Disfungsi intestinal Kondisi Klinis Terkait 1. Prosedur pembedahan mayor 2. Penyakit ginjal
dan kelenjar 3. Perdarahan Luka bakar |
L.03020- Keseimbangan Cairan Definisis : Ekuilibrim antara volume
Cairan di ruang intraseluler dan ekstraselular tubuh. Ekspetasi : Meningkatkan Kriteria Hasil
: ·
Asupan cairan ·
Haluaran urin ·
Kelembapan membran mukosa ·
Asupan makan ·
Edema ·
Dehidrasi · Asistes ·
Konfusi ·
Tekanan ·
Denyut nadi radial ·
Tekanan arteri rata- rata ·
Membran mukosa ·
Mata cekung ·
Turgor kulit Berat badan |
Manajemen Cairan (I.03098) Observasi 1. Monitor status
hidrasi (mis: frekuensi nadi, kekuatan nadi, akral, pengisian kapiler,
kelembaban mukosa, turgor kulit, tekanan darah) 2. Monitor berat
badan harian 3. Monitor berat
badan sebelum dan sesudah dialisis 4. Monitor hasil
pemeriksaan laboratorium (mis:
hematokrit, Na, K, Cl, berat jenis
urin, BUN) 5. Monitor status
hemodinamik (mis: MAP, CVP, PAP, PCWP, jika tersedia) Terapeutik 1. Catat intake-output dan hitung balans cairan
24 jam 2. Berikan asupan
cairan, sesuai kebutuhan 3. Berikan cairan
intravena, jika perlu Kolaborasi 1.
Kolaborasi pemberian
diuretik, jika perlu |
D. Implementasi
Implementasi merupakan tindakan yang sudah
direncanakan dalam rencana keperawatan. Tindakan keperawatan mencakup tindakan
mandiri atau independen dan tindakan kolaborasi. Tindakan mandiri atau
independen adalah aktivitas perawatan yang didasarkan pada kesimpulan atau
keputusan sendiri dan bukan merupakan petunjuk atau perintah dari petugas
kesehatan lain. Tindakan kolaborasi adalah tindakan yang didasarkan hasil
keputusan bersama seperti dokter dan petugas kesehatan lain (Doenges, 2012
dalam Rani dan Iga, 2018).
E. Evaluasi
Evaluasi adalah tahapan dari proses keperawatan,
proses yang berkelanjutan untuk menjamin kualitas dan ketepatan perawatan yang diberikan,
yang dilakukan dengan meninjau respons pasien untuk melakukan keefektifan
rencana keperawatan dalam memenuhi kebutuhan pasien (Doenges, 2012 dalam Rani
dan Iga, 2018).Evaluasi dibagi menjadi dua, yaitu evaluasi proses setiap
selesai dilakukan tindakan keperawatan dan evaluasi hasil membandingkan antara
tujuan dengan kriteria hasil.
DAFTAR PUSTAKA
Arif, A. E. (2019). Analisis pengobatan pasien epilepsi di poli syaraf rsud
45’ kuningan. 1
Evelyn C. Pearce. (2016).
Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis.
Jakarta: Gramedia Pustaka
Ut.
Kemenkes Indonesia. (2018). Hasil Utama
Riskesdas 2018. Retrieved
from www.depkes.go.id
Kristanto, A. (2017). Epilepsi
Bangkitan Umum Tonik-Klonik di UGD RSUP Sanglah Denpasar-Bali. Intisari
Sains Medis, 8(1), 69–73.
Kusuma H dan Nurarif
H. (2016). Asuha Keperawatan Praktis. Nanda Nic Noc.
Lukas, A., Harsono,
H., & Astuti,
A. (2016). Gangguan Kognitif
Pada Epilepsi. Berkala Ilmiah Kedokteran
Duta Wacana, 1(2), 144.
Nasution, G. T. D., Sobana,
S. A., & Lubis, L. (2020). Karakteristik anak epilepsy di Sekolah Luar
Biasa Negeri (SLBN) Cileunyi Bandung tahun 2018. Bali Anatomy Journal, 3(1),
1–10.
Pinzon,
R. 2017. Dampak epilepsi
pada aspek kehidupan
penyandangnya.
SMF Saraf RSUD Dr. M. Haulussy, Ambon,
Indonesia.
Rani Murtiani, I. D. P.
(2017). Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan Epilepsi. Journal of Chemical
Information and Modeling, 53(9), 31– 48.
Renstra. (2021). Rencana Strategis
Kementerian Kesehatan Tahun 2020- 2022. In Farmalkes.
Suhaimi, M. L., Syarif,
I., Chundrayetti, E., & Lestari,
R. (2020). Faktor Risiko
Terjadinya Epilepsi pada Anak Palsi Serebral. Jurnal Kesehatan Andalas, 9(2),
225.
Sunaryo, U., Neurologi, B., & Uwk, F. K. (2017). Diagnosis
Epilepsi. Jurnal Ilmiah Kedokteran,
1(1), 1–12.
Suwarba, I. G. N. M. (2018). Insidens
dan Karakteristik Klinis Epilepsi pada Anak. Sari Pediatri, 13(2), 123.
World Health
Organization (WHO)., 2015. Epilepsy: The Disorder. Atlas Epilepsy Care in The World. Geneva:
WHO Library. Pp: 15-21
Komentar
Posting Komentar