LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN DIAGNOSA BRONCHOPNEUMONIA

 

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN DIAGNOSA BRONCHOPNEUMONIA

 

 

BAB I

KONSEP PENYAKIT BRONCHOPNEUMONIA

1.1  Definisi

    Bronchopneumonia merupakan peradangan pada paru-paru yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, benda asing. Bronkopneumonia merupakan radang yang menyerang paru-paru dimana daerah konsolidasi atau area putih pada paru-paru terdapat cairan atau seluler yang tersebar luas disekitar bronkus dan bukan bercorak lobaris (Wijaya & Putri, 2013).     Bronkopneumonia merupakan peradangan pada paru-paru yang mengenai satu atau beberapa lobus paru - paru yang ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrate yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, dan benda asing (Menurut Wijayaningsih, 2013). Bronkopenumonia merupakan radang saluran pernapasan yang terjadi pada bagian bronkus sampai dengan alveolus paru. Bronkopneumonia merupakan salah satu bagian dari penyakit Pneumonia. Bronkopneumonia (penumonia lobaris) adalah suatu infeksi saluran pernafasan akut bagian bawah dari parenkim paru yang melibatkan bronkus/ bronkiolus yang berupa distribusi berbentuk bercak-bercak (patchy distribution) yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, dan benda asing (Samuel, 2015).

1.2  Etiologi

Secara umum bronchopneumonia diakibatkan penurunan mekanisme pertahanan tubuh terhadap virulensi organisme patogen. Orang normal dan sehat mempunyai mekanisme pertahanan tubuh terhadap organ pernapasan yang terdiri dari: reflek glottis dan batuk, adanya lapisan mukus, gerakan silia yang menggerakkan kuman keluar dari organ, dan sekresi humoral setempat. (Nurarif, Amin Huda, 2016).

Penyebab bronkopneumonia pada anak disebabkan antara lain oleh bakteri seperti Streptococcus pneumonia, Stapilococcus aureus, Streptococcus pyogenesis, virus yaitu virus influenza dan virus cytomegalovirus, jamur yaitu seperti histoplasmosis, dan protozoa. (Wijayaningsih, 2013).

Faktor predisposisi yang dapat menyebabkan terjadinya pneumonia pada anak yaitu malnutrisi atau gangguan gizi pada anak, berat badan lahir rendah dan prematuritas, yang tidak pernah mendapat ASI, dan tingkat pendidikan orang tua mempengaruhi status kesehatan keluarganya. (Anggrek, Karel, dkk, 2010). Faktor risiko lain penyebab terjadinya pneumonia adalah usia balita, jenis kelamin, berat badan lahir balita, riwayat imunisasi campak balita, riwayat imunisasi DPT, dan riwayat asma. (Hartati, Susi, dkk, 2012).

1.3  Klasifikasi Pneumonia

Menurut Hariadi (2010) membuat klasifikasi pneumonia berdasarkan klinis dan epidemilogi serta letak anatomi.

a)      Klasifikasi pneumonia berdasarkan klinis dan epidemiologi.

v  Pneumonia Komunitas (PK) adalah pneumonia infeksius pada seseorang yang tidak menjalani rawat inap di rumah sakit.

v  Pneumonia Nosokomial (PN) adalah pneumonia yang diperoleh selama perawatan di rumah sakit atau sesudahnya karena penyakit lain atau prosedur.

v  Pneumonia aspirasi disebabkan oleh aspirasi oral atau bahan dari lambung, baik ketika makan atau setelah muntah. Hasil inflamasi pada paru bukan merupakan infeksi tetapi dapat menjadi infeksi karena bahan teraspirasi mungkin mengandung bakteri aerobic atau penyebab lain dari pneumonia.

v  Pneumonia pada penderita immunocompromised adalah pneumonia yang terjadi pada penderita yang mempunyai daya tahan tubuh lemah.

 

b)     Klasifikasi pneumonia berdasarkan letak anatomi

v  Pneumonia lobaris Pneumonia lobaris melibatkan seluruh atau satu bagian besar dari satu atau lebih lobus paru. Bila kedua paru terkena, maka dikenal sebagai pneumonia bilateral atau “ganda”.

v  Pneumonia lobularis (bronkopneumonia) Bronkopneumonia terjadi pada ujung akhir bronkiolus, yang tersumbat oleh eksudat mukopurulen untuk membentuk bercak konsolidasi dalam lobus yang berada didekatnya.

v  Pneumonia interstisial Proses implamasi yang terjadi di dalam dinding alveolar (interstisium) dan jaringan peribronkial serta interlobular.

 

1.4  Patofisiologi

     Kuman masuk kedalam jaringan paru-paru melalui saluran pernapasan dari atas untuk mencapai bronkiolus dan kemudian alveolus sekitarnya. Kelainan yang timbul dapat berupa bercak konsolidasi yang tersebar pada kedua paru-paru, lebih banyak pada bagian basal. Pneumonia dapat terjadi sebagai akibat inhalasi mikroba yang ada di udara, aspirasi organisme dari nasofaring atau penyebaran hematogen dari fokus infeksi yang jauh. Bakteri yang masuk ke paru melalui saluran napas masuk ke bronkioli dan alveoli, menimbulkan reaksi peradangan hebat dan menghasilkan cairan edema yang kaya protein dalam alveoli dan jaringan interstitial. Kuman pneumokokus dapat meluas melalui porus khon dari alveoli ke seluruh segmen atau lobus. Eritrosit mengalami pembesaran dan beberapa leukosit dari kapiler paru-paru. Alveoli dan septa menjadi penuh dengan cairan edema yang berisi eritrosit dan fibrin serta relatif sedikit leukosit sehingga kapiler alveoli melebar. Paru menjadi tidak berisi udara lagi, kenyal dan berwarna merah. Pada tingkat lebih lanjut, aliran darah menurun, alveoli penuh dengan leukosit dan relatif sedikit eritrsoit. Kuman pneumokokus difagositosis oleh leukosit dan sewaktu resolusi berlangsung, makrofag masuk kedalam alveoli dan menelan leukosit bersama kuman pneumokokus di dalamnya. Paru masuk pada tahap hepatisasi abu-abu dan tampak berwarna abu-abu kekuningan. Secara perlahan-lahan sel darah merah yang mati dan eksudat fibrin dibuang dari alveoli. Terjadi resolusi sempurna, paru menjadi normal kembali tanpa kehilangan kemampuan dalam pertukaran gas.

      Akan tetapi apabila proses konsolidasi tidak dapat berlangsung dengan baik maka setelah edema dan terdapatnya eksudat pada alveolus maka membran dari alveolus akan mengalami kerusakan yang dapat mengakibatkan gangguan proses difusi osmosis oksigen pada alveolus. Perubahan tersebut akan berdampak pada penurunan jumlah oksigen yang dibawa oleh darah. Penurunan itu yang secara klinis penderita mengalami pucat sampai sianosis. Terdapatnya cairan purulent pada alveolus juga dapat mengakibatkan peningkatan tekanan pada paru, selain dapat berakibat penurunan kemampuan mengambil oksigen dari luar juga mengakibatkan berkurangnya kapasitas paru. Penderita akan berusaha melawan tingginya tekanan tersebut menggunakan otot-otot bantu pernapasan (otot interkosta) yang dapat menimbulkan peningkatan retraksi dada.

     Secara hematogen maupun langsung (lewat penyebaran sel) mikroorganisme yang terdapat didalam paru dapat menyebar ke bronkus. Setelah terjadi fase peradangan lumen bronkus bersebukan sel radang akut, terisi eksudat (nanah) dan sel epitel rusak. Bronkus dan sekitarnya penuh dengan netrofil (bagian leukosit yang banyak pada saat awal peradangan dan bersifat fagositosis) dan sedikit eksudat fibrinosa. Bronkus rusak akan mengalami fibrosis dan pelebaran akibat tumpukan nanah sehingga dapat timbul bronkiektasis. Selain itu organisasi eksudat dapat terjadi karena absorpsi yang lambat. Eksudat pada infeksi ini mulamula encer dan keruh, mengandung banyak kuman penyebab (streptococcus, virus dan lain-lain). Selanjutnya eksudat berubah menjadi purulent, dan menyebabkan sumbatan pada lumen bronkus. Sumbatan tersebut dapat mengurangi asupan oksigen dari luar sehingga penderita mengalami sesak napas.

     Terdapatnya peradangan pada bronkus dan paru juga akan mengakibatkan peningkatan produksi mukosa dan peningkatan pergerakkan silia pada lumen bronkus sehingga timbul peningkatan reflek batuk. Perjalanan diatas dapat berlangsung sebaliknya yaitu didahului dengan infeksi pada bronkus kemudian berkembang menjadi infeksi paru. (Sukarmin, 2013).

 

1.5  Manifestasi klinis

Menurut Sukarmin (2013) pada tahap awal, penderita bronkopneumonia mengalami tanda dan gejala yang khas seperti menggigil, demam, nyeri dada pleuritis, batuk produktif, hidung kemerahan, saat bernapas menggunakan otot aksesorius dan bisa timbul sianosis. Terdengar adanya krekels diatas paru yang sakit dan terdengar ketika terajdi konsolidasi (pengisian rongga udara oleh eksudat). Sedangkan menurut Menurut Wijayaningsih (2013) manifestasi klinis dari bronkopneumonia, yaitu:

1.      Napas dangkal dan takipnea.

2.      Suara napas dapat terdengar ronchi

3.      Gerakkan dada tidak simetris

4.      Demam 38,8 °C sampai 41,4 °C

5.      Anoreksia

6.      Batuk kental dan prduktif, serta sputum berwarna kuning kehijauan kemudian berubah menjadi kemerahan atau berkarat

7.      Gelisah

8.      Sianosis

 

1.6 Pemeriksaan Penunjang

1)      Pemeriksaan darah menunjukkan leukositosis dengan predominan PMN atau dapat ditemukan leukopenia yang menandakan prognosis buruk. Dapat ditemukan anemia ringan atau sedang.

2)      X-ray dada

Temuan pada x-ray dada pneuomia antara lain:

a.       Infiltrat Intersisial, ditemukan gambaran bronkovaskular, hiperaerasi (menunjukkan adanya kumpulan udara yang lebih banyak di bagian paru yang digambarkan dengan air bronchogram+), dan peribronchial.

b.      Infiltrat Alveolar, ditemukan gambaran konsolidasi paru dengan air bronkogram. Jika terdapat kelainan pada satu lobus dinamakan pneumonia lobaris. Jika tampak sebagai lesi tunggal, berbentuk oval, berbatas tidak jelas, dan seperti gambaran keganasan paru maka dinamakan round pneumonia.

c.       Bronkopneumonia, pada radiografi akan terlihat gambaran corakan infiltrat, disertai dengan peningkatan corakan peribronkial.

3)      Pemeriksaan mikrobiologik, dapat dibiak dari spesimen usap tenggorok, sekresi nasofaring, bilasan bronkus atau sputus, darah, aspirasi trakea, fungsi pleura atau apirasi paru. (Sukarmin, 2013).

 

1.6  Penatalaksanaan

Menurut Asmadi (2008) penatalaksanaan untuk masalah pneumonia pada anak antara lain:

1.      Terapi

Ø  Beri ampisilin/amoksisilin (25-50 mg/kgBB/kali IV atau IM setiap 6 jam), yang harus dipantau dalam 24 jam selama 72 jam pertama. Bila anak memberi respon yang baik maka diberikan selama 5 hari.

Ø  Beri oksigen pada semua anak dengan pneumonia berat.

Ø  Bila tersedia pulse oximetry, gunakan sebagai panduan untuk terapi oksigen (berikan pada anak dengan saturasi oksigen < 90%, bila tersedia oksigen yang cukup). Lakukan periode uji coba tanpa oksigen setiap harinya pada anak yang stabil. Hentikan pemberian oksigen bila saturasi tetap stabil > 90%. Pemberian oksigen setelah saat ini tidak berguna.

Ø   Lanjutkan pemberian oksigen sampai tanda hipoksia (seperti tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam yang berat atau napas > 70/menit) tidak ditemukan lagi.

 

 

 

2.      Tindakan Medis

     Suctioning (penghisapan lendir): metode untuk melepaskan sekresi yang berlebihan pada jalan napas, suctioning juga dapat diterapkan pada oral, nasofaringeal, trakeal, serta endotrakeal atau trakeostomi tube.

 

1.7   Komplikasi.

Menurut Suriadi (2010) komplikasi yang dapat terjadi pada penderita pneumonia yaitu:

a.       Infeksi aliran darah. Infeksi aliran darah atau bakteremia terjadi akibat adanya bakteri yang masuk ke dalam aliran darah dan menyebarkan infeksi ke organ-organ lain. Bakteremia berpotensi menyebabkan gagal berfungsinya banyak organ.

b.       Abses paru atau paru bernanah. Abses paru dapat ditangani dengan antibiotik, namun terkadang juga membutuhkan tindakan medis untuk membuang nanahnya.

c.       Efusi pleura. Kondisi di mana cairan memenuhi ruang yang menyelimuti paru-paru.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

 

 

2.1 Konsep Asuhan Keperawatan

A.    Pengkajian

Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan pasien. (Setiadi, 2012) Pengkajian yang ditemukan pada penderita bronkopneumonia menurut Sukarmin (2013) yaitu sebagai berikut:

a) Identitas Pasien

Nama lengkap, tempat tinggal, jenis kelamin, tempat tanggal lahir, agama, pendidikan, nama orang tua, pekerjaan orang tua, pendidikan orang tua, tempat tinggal.

b) Riwayat Kesehatan.

Ibu dan ayah pasien mengatakan An. O hanya pernah sakit biasa seperti batuk pilek dan demam saja,

 

c)      Pemeriksaan fisik

1.      Status penampilan kesehatan: lemah

2.      Tingkat kesadaran kesehatan: normal, letargi, stupor, koma, apatis, tergantung tingkat menyebaran penyakit.

3.      Tanda-tanda vital

v  Frekuensi nadi: takikardi

v  Frekuensi pernafasan: Takipnea, dispnea progresif

v  Suhu tubuh: hipertermi akibat penyebaran toksik mikroorganisme yang direspon oleh hipotalamus.

v  Berat badan dan tinggi badan: kecenderungan anak mengalami penurunan berat badan.

d)     Integumen:

Warna: pucat sampai sianosis

Suhu: pada hipertermi kulit akan terbakar panas akan tetapi setelah hipertermi teratasi kulit anak akan teraba dingin.

Turgor: menurun pada saat dehidrasi.

e)       Kepala dan Mata

Perhatikan bentuk kesimetriannya.

Palpasi tengkorak akan adanya nodus atau pembengkakan yang nyata.

Periksa hygiene kulit kepala, ada atau tidak adanya lesi, kehilangan rambut, dan perubahan warna.

 

f)       Pemeriksaan thorax dan paru-paru

a.       Inspeksi: frekuensi irama, kedalaman nafas dan upaya bernafas antara lain: takipnea, dispnea progresif, pernafasan dalam, pektus eksavatum (dada corong), paktus karinatum (dada burung), barrel chest.

b.      Palpasi: suara pernafasan yang meningkat intensitasnya: suara bronkovesikuler atau bronkhial pada daerah yang terkena dan udara pernafasan tambahan ronkhi pada sepertiga akhir inspirasi.

c.       Perkusi: pekak terjadi bila terisi cairan pada paru, normalnya tompani (terisi udara) resonasi.

d.      Auskultasi: suara pernapasan yang meningkat intensitasnya:

·        Suara bronkovesikuler atau bronkhial pada daerah yang terkena

·        Suara pernapasan tambahan-ronki inspiratoir pada sepertiga akhir inspirasi.

 

B.     Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan adalah langkah kedua dari proses keperawatan yang menggambarkan penilaian klinis tentang respon individu, keluarga, kelompok maupun masyarakat terhadap permasalahan kesehatan baik aktual maupun potensial, dimana perawat mempunyai lisensi dan kompetensi untuk mengtasinya. (Sumijatun, 2010). Menurut Yasmara, Deni, Nursiswati (2016) diagnosa keperawatan yang dapat diangkat untuk penyakit bronkopneumonia pada anak adalah:

a.       Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan produk sputum atau sekresi yang tertahan (D.0001)

b.      Pola napas tidak efektif berhubungan dengan inflamasi paru atau parenkim paru (D.0005)

c.       Hipertemi berhubungan dengan proses infeksi (D.0130)

d.      Defisit Nutrisi berhubungan dengan peningkatan kebutuhan metabolisme (SDKI D.0019)

e.       Intoleransi aktifitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen (D.0056)

f.        Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang terpapar informasi (D.0111)

g.      Resiko ketidakseimbangan elektrolit dibuktikan dengan mual muntah (D.0037)

 

C.    Intervensi

Perencanaan keperawatan adalah suatu proses di dalam pemecahan masalah yang merupakan keputusan awal tentang sesuatu apa yang akan dilakukan, bagaimana dilakukan, kapan dilakukan, siapa yang melakukan dari semua tindakan keperawatan. (Dermawan, 2012) Menurut Yasmara, Deni, Nursiswati (2016) rencana keperawatan yang dapat dilakukan untuk penyakit bronkopneumonia pada anak adalah:

 

No

Masalah (SDKI)

Tujuan & Kriteria Hasil (SLKI)

Intervensi (SIKI)

1.

Bersihan jalan      napas tidak     efektif b/d Hipersekresi jalan     napas. (SDKI, 20 17) D.0001.

Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan diharapkan bersihan jalan napas meningkat. Ditandai dengan kriteria hasil: Bersihan Jalan Napas (L.01001)

1.      Batuk efektif meningkat

2.      Produksi sputum menurun

3.      Wheezing menurun

4.      Sianosis

Menurun

5.      Gelisah

menurun

6.      Frekuensi napas membaik

Pola napas membaik (reguler)

Latihan Batuk Efektif (SIKI I.01006)

Observasi

1.      Identifikasi kemampuan batuk

2.      Monitor adanya retensi sputum

3.      Monitor tanda dan gejala infeksi saluran napas

4.      Monitor input dan output cairan (misal: jumlah dan karakteristik)

Terapeutik

1.      Atur posisi semi-fowler dan fowler

2.      Pasang perlak dan bengkok di pangkuan pasien

3.      Buang sekret pada tempat sputum

Edukasi

1.      Jelaskan tujuan dan prosedur batuk efektif

2.      Anjurkan Tarik napas dalam melalui hidung selama 4 detik, ditahan selama 2 detik, kemudian keluarkan dari mulut dengan bibir mencucu (dibulatkan) selama 8 detik

3.      Anjurkan mengulangi Tarik napas dalam hingga 3 kali

4.      Anjutkan batuk dengan kuat langsung setelah Tarik napas dalam yang ke-3

Kolaborasi

1.      Kolaborasi

2.      pemberian mukolitik atau ekspekt oran, jika perlu.

2.

Pola       napas tidak     efektif berhubungan dengan inflamasi paru                     atau parenkim paru (D.0005)

Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 x 24 jam, maka pola napas membaik, dengan kriteria hasil:

1.      Dispnea

menurun

2.      Penggunaan otot bantu napas menurun

3.      Pemanjangan fase ekspirasi menurun

4.      Frekuensi napas membaik

Kedalaman napas membaik

Manajemen Jalan Napas (SIKI I.01011)

Observasi

1.      Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas)

2.      Monitor bunyi napas tambahan (misalnya: gurgling, mengi, wheezing, ronchi kering)

3.      Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)

Terapeutik

1.      Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head-tilt dan chin- lift (jaw thrust jika curiga trauma fraktur servikal)

2.      Posisikan semi-fowler atau fowler

3.      Berikan minum hangat

4.      Lakukan fisioterapi dada, jika perlu

5.      Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik

6.      Lakukan hiperoksigenasi sebelum penghisapan endotrakeal

7.      Keluarkan sumbatan benda padat dengan forsep McGill

8.      Berikan oksigen, jika perlu

Edukasi

1.      Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika tidak ada kontraindikasi

2.      Ajarkan Teknik batuk efektif

Kolaborasi

1. Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitik, jika perlu

3.

Hipertemi berhubungan dengan proses infeksi (D.0130)

Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 1 x 24 jam, maka termoregulasi membaik, dengan kriteria hasil:

1. Suhu tubuh membaik

Manajemen    Hipertermia     (SIKI I.15506)

Observasi

1.      Identifikasi penyebab hipertermia (mis: dehidrasi, terpapar lingkungan panas, penggunaan inkubator)

2.      Monitor suhu tubuh

3.      Monitor kadar elektrolit

4.      Monitor haluaran urin

5.      Monitor komplikasi akibat hipertermia

Terapeutik

1.      Sediakan lingkungan yang dingin

2.      Longgarkan atau lepaskan pakaian

3.      Basahi dan kipasi permukaan tubuh

4.      Berikan cairan oral

5.      Ganti linen setiap hari atau lebih sering jika mengalami hyperhidrosis (keringat berlebih)

6.      Lakukan pendinginan eksternal (mis: selimut hipotermia atau kompres dingin pada dahi, leher, dada, abdomen, aksila)

7.      Hindari pemberian antipiretik atau aspirin

8.      Berikan oksigen, jika perlu

Edukasi

1.      Anjurkan tirah baring

Kolaborasi

Kolaborasi pemberian cairan dan elektrolit intravena, jika perlu

4.

Defisit Nutrisi berhubungan dengan peningkatan kebutuhan metabolisme (SDKI D.0019)

Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 x 24 jam, maka status nutrisi

membaik, dengan kriteria hasil:

1.      Porsi makan yang dihabiskan meningkat

2.      Berat badan membaik

3.      Indeks massa tubuh (IMT) membaik

Manajemen Nutrisi (SIKI I.03119) Observasi

1.      Identifikasi status nutrisi

2.      Identifikasi alergi dan intoleransi makanan

3.      Identifikasi makanan yang disukai

4.      Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrien

5.      Identifikasi perlunya penggunaan selang nasogastrik

6.      Monitor asupan makanan

7.      Monitor berat badan

8.      Monitor hasil pemeriksaan laboratorium

Terapeutik

1.      Lakukan oral hygiene sebelum makan, jika perlu

2.      Fasilitasi menentukan pedoman diet (mis: piramida makanan)

3.      Sajikan makanan secara menarik dan suhu yang sesuai

4.      Berikan makanan tinggi serat untuk mencegah konstipasi

5.      Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein

6.      Berikan suplemen makanan, jika perlu

7.      Hentikan pemberian makan melalui selang nasogastik jika asupan oral dapat ditoleransi

Edukasi

1.      Ajarkan posisi duduk, jika mampu

2.      Ajarkan diet yang diprogramkan

Kolaborasi

1.      Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan (mis: Pereda nyeri, antiemetik), jika perlu

4.      Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan jenis nutrien yang dibutuhkan, jika perlu

5.

Intoleransi aktifitas berhubungan dengan ketidakseimb angan antara suplai    dan kebutuhan oksigen (D.0056)

Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 x 24 jam, maka toleransi aktivitas meningkat, dengan kriteria hasil:

1.      Keluhan Lelah menurun

2.      Frekuensi nadi membaik

Manajemen Energi (SIKI I. 05178) Observasi

1.      Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang mengakibatkan kelelahan

2.      Monitor kelelahan fisik dan emosional

3.      Monitor pola dan jam tidur

4.      Monitor lokasi dan ketidaknyamanan selama melakukan aktivitas

Terapeutik

1.      Sediakan lingkungan nyaman dan rendah stimulus (mis: cahaya, suara, kunjungan)

2.      Lakukan latihan rentang gerak pasif dan/atau aktif

3.      Berikan aktivitas distraksi yang menenangkan

4.      Fasilitasi duduk di sisi tempat tidur, jika tidak dapat berpindah atau berjalan

Edukasi

1.      Anjurkan tirah baring

2.      Anjurkan melakukan aktivitas secara bertahap

3.      Anjurkan menghubungi perawat jika tanda dan gejala kelelahan tidak berkurang

4.      Ajarkan strategi koping untuk mengurangi kelelahan

Kolaborasi

5.      Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara meningkatkan asupan makanan

6.

Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang terpapar informasi (D.0111)

Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 x 24 jam, maka status tingkat pengetahuanmenin gkat, dengan kriteria hasil:

1.      Perilaku sesuai anjuran meningkat

2.      Verbalisasi minat dalam belajar meningkat

3.      Kemampuan menjelaskan pengetahuan tentang suatu topik meningkat

4.      Kemampuan menggambarka n pengalaman

sebelumnya yang sesuai dengan topik meningkat

5.      Perilaku sesuai dengan pengetahuan meningkat

6.      Pertanyaan tentang masalah yang dihadapi menurun

7.      Persepsi yang keliru terhadap masalah menurun

Edukasi Kesehatan (SIKI I.12383) Observasi

1.    Identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima informasi

2.    Identifikasi faktor-faktor yang dapat meningkatkan dan menurunkan motivasi perilaku hidup bersih dan sehat

Terapeutik

1.    Sediakan materi dan media Pendidikan Kesehatan

2.    Jadwalkan Pendidikan Kesehatan sesuai kesepakatan

3.    Berikan kesempatan untuk bertanya

Edukasi

1.      Jelaskan faktor risiko yang dapat mempengaruhi Kesehatan

2.    Ajarkan perilaku hidup bersih dan sehat

3.    Ajarkan strategi yang dapat digunakan untuk meningkatkan perilaku hidup bersih dan sehat

7.

Resiko ketidakseimb angan elektrolit dibuktikan dengan mual muntah (D.0037)

Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 x 24 jam, maka keseimbangan elektrolit meningkat, dengan kriteria hasil:

1.      Serum natrium membaik

2.      Serum kalium membaik

Serum klorida membaik

Pemantauan      Elektrolit      (SIKI I.03122)

Observasi

1.        Monitor kemungkinan penyebab ketidakseimbangan elektrolit

2.        Monitor kadar elektrolit serum

3.        Monitor mual, muntah, diare

4.        Monitor kehilangan cairan, jika perlu

5.        Monitor tanda dan gejala hipokalemia (mis: kelemahan otot, interval QT memanjang, gelombang T datar atau terbalik, depresi segmen ST, gelombang U, kelelahan, parestesia, penurunan refleks, anoreksia, konstipasi, motilitas usus menurun, pusing, depresi pernapasan)

6.        Monitor tanda dan gejala hiperkalemia (mis: peka rangsang, gelisah, mual, muntah, takikardia mengarah ke bradikardia, fibrilasi/takikardia ventrikel, gelombang T tinggi, gelombang P datar, kompleks QRS tumpul, blok jantung mengarah asistol)

7.        Monitor tanda dan gejala hiponatremia (mis: disorientasi, otot berkedut, sakit kepala,



D.    Implementasi

Implementasi keperawatan adalah pelaksanaan rencana keperawatan oleh perawat dan pasien. Pelaksanaan keperawatan yang telah dilakukan maka akan dicatat dalam catatan keperawatan. Dalam melakukan tindakan keperawatan pun perlu menggunakan 3 tahap pendekatan yaitu, mandiri adalah kegiatan yang dilakukan tanpa petunjuk dan perintah dari dokter atau tenaga kesehatan yang lainnya, kolaborasi adalah tindakan yang berhubungan dengan rencana tindakan medis lainnya. (Sukarmin, 2013)

E.     Evaluasi

Evaluasi keperawatan adalah kegiatan yang terus menerus dilakukan untuk menentukan apakah rencana keperawatan efektif dan bagaimana rencana keperawatan dilanjutkan, merevisi rencana atau menghentikan rencana keperawatan. (Manurung, 2011). Penilaian adalah tahap yang menentukan apakah tujuan tercapai. Evaluasi selalu berkaitan dengan tujuan, apabila dalam penilaian ternyata tujuan tidak tercapai, maka perlu dicari penyebabnya. Hal tersebut dapat terjadi karena beberapa faktor:

1.      Tujuan tidak realistis.

2.      Tindakan keperawatan yang tidak tepat.

3.      Terdapat faktor lingkungan yang tidak dapat diatasi

Tipe pernyataan tahapan evaluasi dapat dilakukan secara formatif dan sumatif. Evaluasi formatif adalah evaluasi yang dilakukan selama proses asuhan keperawatan, sedangkan evaluasi sumatif adalah evaluasi akhir.

1.    Pernyataan evaluasi formatif. Hasil observasi dan analisa perawat terhadap respon pasien segera pada saat atau setelah dilakukan tindakan keperawatan dan ditulis pada catatan perawatan.

2.    Pernyataan evaluasi sumatif. Rekapitulasi dan kesimpulan dari observasi dan analisa status kesehatan sesuai waktu pada tujuan dan ditulis pada catatan perkembangan.

DAFTAR PUSTAKA

Asmadi. (2008). Teknik Prosedural Keperawatan: Konsep dan Aplikasi. EGC.

Carman,T. K. & S. (2015). Buku Ajar Keperawatan Pediatri, Ed 2, Vol.1. EGC.

Dermawan. (2012). Proses Keperawatan Penerapan Konsep & Kerangka Kerja.Gosyen Publishing

Dinas Kesehatan Kabupaten Bekasi. (2017). Profil Kesehatan Kabupaten Bekasi.

Hariadi. (2010). Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Departemen Ilmu penyakit paru FK Unair RSUD Dr. Soetomo Surabaya.

Karel Anggrek, Ari Lukas Runtunuwu, Audrey Wahani, L. M. (2010). Faktor Risiko Kejadian Distres Pernapasan pada Anak dengan Pneumonia. Sari Pediatri, 393–395.

Kementrian Kesehatan RI. (2019). Data dan Informasi Profil Kesehatan Indonesia.

Manurung, S. (2011). Keperawatan Profesional. TIM.

Nurarif,  Amin  Huda,   dan  H.  K.  (2016).  Asuhan  Keperawatan  Praktis. Mediacation Jogja.

PPNI, Tim Pokja SDKI DPP. (2017). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia (Edisi1).Jakarta: DPP PPNI

PPNI, Tim Pokja SIKI DPP. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (Edisi 1). Jakarta: DPP PPNI

PPNI,Tim Pokja SLKI DPP. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan, Edisi 1. Jakarta

Setiadi. (2012). Konsep & Penulisan Dokumentasi Asuhan Keperawatan. Graha Ilmu.

Sukarmin, S. R. dan. (2013). Asuhan Keperawatan pada Anak. Graha Ilmu.

Sumijatun. (2010). Konsep Dasar Menuju Keperawatan Profesional. TIM.

Suriadi, R. Y. (2010). Asuhan Keperawatan Pada Anak. CV Sagung Seto.

Susi Hartati, Nani Nurhaeni,   dan D. G. (2012). Faktor Risiko Terjadinya Pneumonia Pada Anak Balita. Jurnal Keperawatan Indonesia, 13–20.

Utami, Y. (2014). Dampak Hospitalisasi Terhadap Perkembangan Anak. Jurnal Ilmiah WIDYA,

Wijayaningsih, K. S. (2013). Standar Asuhan Keperawatan. CV Trans Info Media.

World Health Organization (WHO). (2019). Pneumonia. https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/pneumonia

 UNDUH LP BRONCHOPNEUMONIA

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DOWNLOAD CONTOH SURAT LAMARAN DAPUR MBG

LAPORAN PENDAHULUAN DIARE

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN AN. M.A DENGAN DIAGNOSA MEDIS KEJANG DEMAM (HIPERTERMIA)