UNDUH LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN DIAGNOSA MEDIS BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA (BPH)
LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN
DIAGNOSA MEDIS BENIGN PROSTATIC
HYPERPLASIA (BPH)
KATA
PENGANTAR
Puji dan syukur senantiasa saya panjatkan atas ke
hadirat Tuhan Yang Maha Esa, sebab sudah melimpahkan segala rahmat-Nya, yaitu
berupa kesempatan dan pengetahuan yang diberikan kepada saya sehingga tugas ini
dapat selesai pada waktunya.
Tugas ini dibuat untuk memenuhi kewajiban dan juga
sebagai syarat untuk menyelesaikan depertemen Keperawatan Medikal Bedah. Dengan
ini, saya menyampaikan rasa terima kasih kepada semua pihak, sehingga tugas ini
dapat diselesaikan. saya menyadari bahwa tugas ini masih memiliki banyak
kekurangan baik didalam segi bahasa maupun teknik penulisannya. Oleh sebab itu,
saya sangat terbuka untuk menerima kritik dan juga saran yang diberikan oleh
pembaca agar tugas ini dapat menjadi lebih baik. Terimakasih.
TINJAUAN
TEORITIS & ASUHAN KEPERAWATAN
BENIGN
PROSTATIC HYPERPLASIA (BPH)
A. KONSEP DASAR BPH
1. Definisi Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) merupakan kondisi yang seringkali
menyerang pria berusia diatas 50 tahun. Benign prostatic hyperplasia (BPH)
merupakan kelainan yang terjadi pada kelenjar prostat berupa kelainan
histologis mengacu pada proliferasi sel prostat. Hasil proliferasi tersebut
mengakibatkan sel menumpuk dan menyebabkan pembesaran pada volume prostat
(Nirfandi et al., 2023). Hiperplasia
prostat jinak (BPH) dapat tumbuh semakin besar seiring bertambahnya usia dan
paling sering menyerang laki-laki pada kelompok usia tua (Ramadhan et al.,
2023)
BPH adalah pembesaran jinak kelenjar prostat
disebabkan oleh beberapa atau seluruh komponen prostat yang mengalami
hiperplasi, mencakup jaringan kelenjar atau jaringan fibromuskuler sehingga
menyebabkan penyumbatan pada uretra pars prostatika (Purwanto, 2016). Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) adalah
gambaran histologis proliferasi sel stroma dan epitel prostat yang
mengakibatkan pertambahan pada kelenjar prostat. Pembesaran tersebut menekan
uretra pars prostat dan menghambat aliran urine dari kandung kemih (Harun, 2019).
Berdasarkan dari beberapa sumber, maka dapat disimpulkan bahwa Benign Prostatic
Hyperplasia (BPH) adalah pembesaran jinak kelenjar prostat akibat hiperplasi
jaringan fibromuskuler yang menyebabkan penyumbatan pada uretra sehingga
menghambat aliran urine dari kandung kemih.
Benign
Prostatic Hyperplasia (BPH) atau hiperplasia prostat jinak merupakan pembesaran
non-kanker pada kelenjar prostat yang umum terjadi pada pria usia lanjut.
Penyebab pasti BPH belum diketahui secara pasti, namun faktor utama yang
berperan adalah perubahan hormonal yang berkaitan dengan proses penuaan.
Peningkatan aktivitas enzim 5α-reduktase yang mengubah testosteron menjadi
dihidrotestosteron (DHT) menyebabkan peningkatan proliferasi sel prostat di
zona transisional, sehingga menimbulkan pembesaran kelenjar (Huether &
McCance, 2020). Selain faktor hormonal, penuaan juga menyebabkan
ketidakseimbangan antara hormon androgen dan estrogen. Seiring bertambahnya
usia, kadar testosteron menurun sementara kadar estrogen relatif meningkat,
sehingga merangsang pertumbuhan jaringan prostat. Faktor genetik juga berperan,
di mana pria yang memiliki riwayat keluarga dengan BPH memiliki risiko dua kali
lebih tinggi untuk mengembangkan kondisi yang sama. Faktor genetik ini
berkaitan dengan ekspresi abnormal gen yang mengatur pertumbuhan sel dan
aktivitas reseptor hormon di jaringan prostat (Kumar, Abbas, & Aster,
2021).
Faktor
lain yang turut berkontribusi terhadap perkembangan BPH meliputi obesitas,
sindrom metabolik, dan gaya hidup tidak sehat seperti kurang aktivitas fisik
dan konsumsi tinggi lemak hewani. Kondisi tersebut dapat meningkatkan kadar
insulin dan faktor pertumbuhan seperti insulin-like growth factor (IGF-1) yang
berperan dalam proliferasi sel prostat. Interaksi kompleks antara faktor
hormonal, genetik, metabolik, dan gaya hidup menyebabkan pertumbuhan berlebih
jaringan prostat yang akhirnya menimbulkan gejala obstruksi saluran kemih bawah
(Kementerian Kesehatan RI, 2022).
3. Klasifikasi
Benign Prostatic Hyperplasia
(BPH) dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa aspek, yaitu berdasarkan
gejala klinis, ukuran kelenjar prostat, dan derajat obstruksi saluran kemih
bawah. Klasifikasi ini membantu menentukan tingkat keparahan penyakit
serta pendekatan penatalaksanaan yang sesuai bagi setiap pasien.
1)
Berdasarkan Derajat Gejala Klinis (International Prostate
Symptom Score/IPSS)
Klasifikasi ini digunakan untuk menilai tingkat keparahan gejala saluran kemih
bawah (Lower Urinary Tract Symptoms/LUTS) pada pasien BPH. Ringan:
skor IPSS 0–7 Sedang: skor IPSS 8–19 Berat:
skor IPSS 20–35
Penilaian IPSS meliputi tujuh komponen gejala seperti frekuensi berkemih,
urgensi, aliran urin yang lemah, nokturia, dan rasa tidak tuntas saat berkemih
(European Association of Urology, 2023).
2)
Berdasarkan Ukuran atau Volume Prostat
Ukuran prostat biasanya ditentukan melalui pemeriksaan ultrasonografi transrektal
(TRUS). Klasifikasi ukuran prostat meliputi: Prostat kecil:
< 30 mL Prostat sedang: 30–80 mL Prostat besar:
> 80 mL. Ukuran prostat berpengaruh terhadap pilihan terapi, di mana pasien
dengan ukuran prostat besar lebih berisiko mengalami obstruksi berat dan sering
memerlukan terapi kombinasi atau tindakan pembedahan seperti Transurethral
Resection of the Prostate (TURP) (Kumar, Abbas, & Aster, 2021).
3)
Berdasarkan Derajat Obstruksi Saluran Kemih Bawah
Penilaian derajat obstruksi dilakukan melalui pemeriksaan uroflowmetri dan
pengukuran residu urin pascavoiding. Klasifikasinya meliputi: Ringan:
kecepatan aliran urin > 15 mL/detik Sedang: kecepatan
aliran urin 10–15 mL/detik Berat: kecepatan aliran urin <
10 mL/detik
Kombinasi antara hasil pemeriksaan IPSS, volume prostat, dan derajat obstruksi
digunakan untuk menentukan strategi penatalaksanaan yang optimal (Huether &
McCance, 2020; Kementerian Kesehatan RI, 2022).
4. Tanda & Gejala
Menurut Purwanto (2016) hingga sekarang belum
diketahui secara pasti penyebab terjadinya BPH, tetapi faktor
usia dan hormon
merupakan faktor pendukung terjadinya BPH. Terdapat faktor
lain yang mungkin menjadi penyebab terjadinya
BPH adalah :
a. Dehydrotestosteron
(DHT) Meningkatnya 5 alfa dan reseptor androgen yang dapat mengakibatkan sel stroma dan sel epitel
pada kelenjar prostat
mengalami hiperplasi.
b. Perubahan
keseimbangan hormon esterogen-testosteron pada proses penuaan terjadi perubahan
keseimbangan hormon yaitu peningkatan hormon estrogen serta penurunan
testosteron, hal tersebut dapat menyebabkan hiperplasi stroma pada prostat.
c. Interaksi
antara stroma dan epitel Meningkatnya kadar epidermal atau fibroblast gorwth
factor serta penurunan transforming growth factor beta mengakibatkan hiperplasi
stroma dan epitel pada prostat.
d. Penurunan
kematian sel Meningkatnya esterogen dapat mengakibatkan peningkatan lama
hidupnya stroma dan epitel pada prostat.
e. Teori
stel stem Terjadinya proliferasi sel transit disebabkan oleh peningkatan sel
stem sehingga memicu terjadinya BPH.
Benign
Prostatic Hyperplasia (BPH) merupakan pembesaran non-kanker pada kelenjar
prostat yang terjadi akibat hiperplasia sel epitel dan stroma di zona
transisional prostat. Proses ini berkaitan erat dengan penuaan dan perubahan
hormonal, terutama penurunan kadar testosteron dan peningkatan relatif hormon
estrogen pada pria usia lanjut. Ketidakseimbangan hormonal ini menyebabkan
peningkatan aktivitas enzim 5α-reduktase, yang mengubah testosteron menjadi dihidrotestosteron
(DHT). DHT memiliki afinitas tinggi terhadap reseptor androgen, yang kemudian
merangsang ekspresi gen yang mendukung pertumbuhan dan diferensiasi sel prostat
sehingga menyebabkan pembesaran kelenjar (Huether & McCance, 2020).
Selain
itu, peningkatan kadar DHT di dalam jaringan prostat juga memicu pelepasan
berbagai faktor pertumbuhan seperti Fibroblast Growth Factor (FGF) dan
Epidermal Growth Factor (EGF) yang mempercepat proliferasi sel stroma dan
epitel. Pada saat yang sama, terjadi penurunan apoptosis (kematian sel
terprogram), yang menyebabkan akumulasi sel-sel baru di jaringan prostat.
Perubahan ini mengakibatkan terbentuknya nodul hiperplastik pada zona
transisional yang mengelilingi uretra prostatika. Proses tersebut menimbulkan
tekanan mekanik terhadap uretra dan menghambat aliran urin yang normal (Kumar,
Abbas, & Aster, 2021; McVary et al., 2021).
Pembesaran prostat selanjutnya menyebabkan obstruksi saluran
kemih bawah (Lower Urinary Tract Symptoms/LUTS) melalui dua mekanisme: komponen
statis, akibat massa prostat yang membesar, dan komponen dinamis, akibat
peningkatan tonus otot polos di leher kandung kemih dan prostat yang dimediasi
oleh reseptor α-adrenergik. Obstruksi yang berlangsung lama akan menyebabkan
perubahan adaptif pada kandung kemih, seperti hipertrofi otot detrusor dan
peningkatan tekanan intravesikal. Dalam jangka panjang, hal ini dapat
menyebabkan peningkatan residu urin, retensi urin kronik, dan infeksi saluran
kemih berulang (European Association of Urology, 2023; Kementerian Kesehatan
RI, 2022).
6. Pathway BPH
(Pada Lembaran berikutnya)
7. Penatalaksaan Medis
Penatalaksanaan pada pasien
BPH terdiri dari terapi konservatif (watchful waiting), medikamentosa, dan pembedahan.
1. Terapi konservatif (watchful waiting)
Pada terapi konservatif ini, pasien tidak akan diberikan pengobatan oleh
dokter. Namun, dokter akan tetap
memantau perkembangan penyakit
BPH yang dialami pasien. Pemantauan ini biasanya dilakukan melalui
kunjungan kontrol berkala
setiap tiga sampai enam bulan untuk memantau keluhan, skor IPSS,
uroflowmetri, dan volume residu urine. Terapi ini disarankan untuk pasien dengan keluhan ringan, tidak
mengganggu aktivitas sehai-hari dan memiliki skor IPSS <7. Apabila keluhan
BPH semakin parah, terapi lain yang lebih efektif haus dilakukan untuk
menggantikan terapi ini, Disamping itu pasien juga diberikan edukasi tentang
faktor- faktor risiko dan cara – cara pencegahan perkembangan BPH. Edukasi ini mencakup saran untuk mengurangi
konsumsi minum, kopi, atau minuman beralkohol.
2. Medikamentosa
a.
α1-blocker α1-blocker bekerja
dengan menghambat kontraksi lapisan
otot polos dinding prostat, sehingga mengurai tahanan pada kandung kemih dan
uretra. Terdapat beberapa jenis obat seperti terazosin, doxazosin, alfuzosin,
dan tamsulosin yang diminum 1 x sehari dengan
dosis yang perlu
dititrasi. Penurunan skor IPSS terjadi pada sekitar 30% sampai 45% pada
pasien.
b.
5 α-reductase inhibitor 5
α-reduktase bekerja dengan menginduksi apoptosis pada sel epitel prostat
melalui inhibisi isoenzim 5 α- reductase, sehingga dapat mengurangi volume
prostat. Terdapat dua jenis obat golongan ini, yaitu finasteride dan
dutasteride. Keduanya bekerja menghasilkan efek setelah 6 bulan. Finasteride
direkomendasikan untuk pasien dengan ukuran prostat >40 ml, sedangkan
dutasteride direkomendasikan untuk pasien dengan ukuran prostat >30 ml.
c.
Terapi kombinasi Pada terapi
kombinasi ini penggabungan manfaat dari dua golongan obat yaitu α1-blocker dan
5 α-reductase inhibitor yang dapat menciptakan efek sinergis, selain itu
keuntungannya yaitu dapat mempercepat efek klinis
obat, karena butuh waktu berbulan- bulan
untuk obat golongan 5 α-reduktase inhibitor menunjukkan perubahan klinis, serta
lebih efektif dalam mengurangi terjadinya retensi urin dan progesi kearah
kanker. Namun, kombinasi obat ini dapat meningkatkan risiko efek samping,
sehingga pengobatan ini diperuntukkan bagi pasien dengan gejala sedang hingga
berat dan risiko perkembangan yang tinggi. (Sutanto, 2021)
3. Pembedahan
a.
Transurethral Resection of the
Prostate (TURP) TURP adalah pembedahan invasif minimal pasien BPH dengan volume
prostat 30 sampai 80 cc. Pembedahan ini diakukan menggunakan resektoskop yang
dimasukkan lewat saluran uretra untuk mencapai kelenjar prostat. Resektoskop
tersebut mampu memotong jaringan yang menonjol kedalam saluran uretra
prostatika dalam wujud fragmen- fragmen kecil. Fragmen-fragmen tersebut
selanjutnya dievakusi dari kandung buli-buli menggunakan cairan irigasi (Indah
& Prasetiyo, 2022)
b.
Laser Prostatektomi Tindakan ini
digunakan untuk menghancurkan jaringan hiperplastik prostat dengan sinar
berenergi. Saat pasien sedang menjalani terapi antikoagulan yang tidak dapat
dihentikan karena risiko tinggi mengalami emboli, penggunaan laser dalam penanganan
yang invasif sangat disarankan.
c.
Transurethral Insicion
of the Prostate (TUIP)
Tindakan ini bertujuan untuk
menimbulkan nekrosis dan koagulasi jaringan prostat. Salah satu akibat tindakan
tersebut yaitu penggunaan kateter dalam jangka waktu lama, namun tidak
memerlukan perawatan inap di rumah sakit
(Sutanto, 2021).
1. Pengkajian
1) Data Umum
1. Identitas
pasien Nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, suku/bangsa,
alamat, diagnosa medis, tanggal dan jam masuk. Pasien
dengan BPH sering menyerang pria berusia di atas 50 tahun.
2. Status
kesehatan saat ini Keluhan utama yang dirasakan oleh pasien dan berapa lama masalah tersebut telah
mengganggu. Umumnya, keluahan yang paling dirasakan pasien yaitu nyeri saat
berkemih yang juga dikenal sebagai disuria, serta kesulitan memulai berkemih
yang sering disertai dengan mengejan. Untuk mendapatkan evaluasi yang
komprehensif mengenai rasa nyeri yang dirasakan pasien, dilakukan pengkajian
(PQRST) untuk mengkaji tingkat nyeri yang dirasakan pasien.
3. Riwayat
kesehatan lalu Gangguan pada sistem kemih (sebelumnya pernah mengalami trauma,
infeksi, hematuria, urolitiasis, atau pembedahan pada saluran kemih). Pernah
mengonsumsi obat yang dapat menimbulkan keluhan berkemih atau tidak.
4. Riwayat
penykit dahulu Penyakit yang pernah diderita anggota keluarga. Penyakit yang
sedang diderita keluarga. Adanya riwayat keluarga yang pernah mengalami BPH,
hipertensi dan penyakit ginjal.
2) Pola Kesehatan
Fungsional
1. Pola
eliminasi Pola BAK (frekuensi, warna, jumlah urine yang dikemihkan, catat
harian waktu berkemih karena sangat berguna dengan
pasien yang mengeluh nokturia sebagai keluhan yang menonjol).
2. Pola nutrisi-metabolik Pada pola nutrisi
dan metabolik difokuskan pada jumlah asupan cairan yang dikonsumsi serta kapan pasien
mengkonsumsi asupan cairan dan berapa banyak cairan yang dikonsumsi pasien.
3. Pola
kognitif-perseptual sensori Persepsi terhadap nyeri dengan menggunakan
pendekatan (P, Q, R, S, T)
P = Paliatif/profokatif yaitu yang meningkatkan atau mengurangi nyeri
Q = Qualitas/Quantitas yaitu frekwensi dan lamanya keluhan
dirasakan, deskripsi sifat nyeri
R = Regio/tempatya lokasi sumber dan penyebarannya
S = Skala
yaitu derajat nyeri dengan menggunakan rentang
nilai
T = Time yaitu kapan keluhan dirasakan
dan lamanya keluhan berlangsung.
4. Pola
seksual-reproduksi Adakah gangguan hubungan seksual disebabkan oleh berbagai
kondisi (fertilitas, libido, ereksi, pemakaian alat kontrasepsi). Adakah
permasalahan selama melakukan aktifitas seksual (ejakulasi dini, impotent, nyeri selama
berhubungan, perdarahan, dll) terutama terkait dengan
penyakit yang diderita.
3) Pemeriksaan Fisik
(Head to toe)
1. Kesadaran
Composmentis, somnolen, apatis, stupor, soporokoma, koma
2. Penampilan lemah,
pucat, dll
3. Vital sign
a.
Suhu tubuh
b.
Tekanan darah
c.
Respirasi (jumlah, irama, kekuatan)
d.
Nadi (jumlah, irama, kekuatan)
4. Kepala
Bentuk, rambut: warna,
kebersihan, rontok, ketombe,
dll
5. Mata
Kemampuan
penglihatan, ukuran pupil, reaksi terhadap cahaya, konjungtiva anemis/tidak, sklera ikterik/tidak, alat bantu, adanya sekret.
6. Hidung
Bagaimana
kebersihannya, adakah secret, epistaksis, adakah polip, adakah nafas cuping
hidung, pemakaian oksigen.
7. Telinga
Bentuk,
hilang pendengaran, alat bantu dengar, serumen, infeksi, tinnitus.
8. Mulut dan
Tenggorokan
Kesulitan/
gangguan bicara, pemeriksaan gigi, warna, bau, nyeri,kesulitan
mengunyah/menelan, posisi trakea, benjolan di leher, pembesaran tonsil,
bagaimana keadaan vena jugularis.
9. Dada
Jantung
: inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi Paru- paru : inspeksi, palpasi, perkusi,
auskultasi
10. Abdomen
inspeksi, auskultasi, perkusi, palpasi Pemeriksaan abdomen
dilakukan dengan tehnik bimanual untuk mengetahui adanya hidronefrosis, dan
pyelonefrosis. Saat palpasi terasa adanya ballotemen dan
pasien akan merasa
ingin miksi. Perkusi
dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya residual
urin (Purwanto, 2016).
11. Genetalia :
kebersihan daerah genital,
adanya luka, tanda
infeksi, bila terpasang kateter kaji kebersihan kateter dan adanya tanda infeksi pada area pemasangan
kateter, adanya hemoroid.
12. Ekstremitasatas dan bawah
a.
Inspeksi kuku, kulit (warna,
kebersihan, turgor, adanya
edema, keutuhan, dll).
b.
Capilarry refill
c.
Kemampuan berfungsi (mobilitas dan
keamanan) untuk semua ekstrimitas yaitu kekuatan otot, koordinasi gerak dan
keseimbangan, penggunaan alat bantu.
d.
Bila terpasang infus :kaji daerah
tusukan infus, kaji tandatanda infeksi pada daerah tusukan infus, adanya nyeri
tekan yang berlebihan pada daerah tusukan infus.
13. Kulit
Kaji kebersihan, warna, kelembaban, turgor, adanya edema. Bila terdapat
luka maka kaji keadaan luka (kebersihan luka, adanya jahitan, ukuran luka, adanya tanda
infeksi pada luka, keadaan balutan luka).
14. Pemeriksaan colok
dubur atau digital
rectal examination (DRE)
Aspek yang dinilai
selama pemeriksaan ini adalah bentuk, kesimetrisan, kualitas, ada
tidaknya nodul. Pemeriksaan ini menentukan apakah pasien menderita BPH atau
kanker prostat. Pada penderita BPH
didapatkan konsistensi prostat kenyal, seperti meraba ujung hidung, lobus
kanan dan kiri simetris, dan tidak nodul. (Novendi, 2022)
2. Daftar Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul
pada pasien BPH berdasarkan SDKI menurut (Indonesia, 2017) sebagai berikut
:
1. Retensi urin b.d. peningkatan tekanan uretra d.d. pasien mengatakan sulit kencing dan terasa nyeri ketika berkemih
karena keluar sedikit-sedikit,
tampak massa dan teraba di regio suprapubik dan pasien terpasang kateter
(D.0050)
2. Nyeri akut b.d. agen pencedera fisiologis d.d. pasien mengatakan nyeri dirasakan ketika
berkemih secara terus-menerus, pasien tampak meringis ketika di palpasi. (D.0077)
3. Risiko Infeksi
d.d. pasien mengatakan merasa anyang-anyangan setiap
kali berkemih dan dilakukan prosedur
pembedahan dengan alat
resektoskop. (D.0142)
3. Intervensi Keperawatan
|
No. |
Diagnosa Keperawatan |
Luaran |
Intervensi |
|
1. |
Retensi urin (D.0050) |
SLKI
: Eliminasi Urin (L.04034) Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 xx 24 jam, maka diharapkan eliminasi urin membaik
dengan kriteria hasil: 1. Sensasi berkemih meningkat 2. Desakan berkemih (urgensi) menurun 3. Distensi kandung kemih Menurun 4. Berkemih tidak
tuntas (hesistancy) menurun 5. Volume residu
urin menurun 6. Urin menetes (dribbling) menurun 7. Nokturia menurun 8. Mengompol menurun
Enuresis menurun |
SIKI : Kateterisasi Urin (I.04148) Tindakan Observasi: 1.
Periksa kondisi pasien (mis: kesadaran,
tanda-tanda vital, daerah perineal, distensi kandung kemih, inkontinensia
urin, refleks berkemih) Terapeutik 2. Siapkan peralatan,
bahan-bahan, dan ruangan Tindakan 3. Siapkan pasien:
bebaskan pakaian bawah dan posisikan dorsal rekumben (untuk Wanita) dan
supine (untuk laki-laki) 4. Pasang sarung tangan 5. Bersihkan daerah
perineal atau preposium dengan cairan NaCl atau aquades 6. Lakukan insersi kateter urin dengan
menerapkan prinsip aseptic 7. Sambungkan kateter
urin dengan urin bag 8. Isi balon
dengan NaCl 0,9% sesuai anjuran
pabrik 9. Fiksasi selang
kateter diatas simpisis atau di paha 10. Pastikan urin bag ditempatkan lebih rendah dari kandung kemih 11. Berikan label
waktu pemasangan Edukasi 12. Jelaskan tujuan
dan prosedur pemasangan kateter urin 13. Anjurkan menarik napas saat insersi selang kateter |
|
2. |
Nyeri akut
(D.0077) |
SLKI
: Tingkat Nyeri (L.08066) Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama
3 x 24 jam, maka tingkat nausea menurun, dengan
kriteria hasil: 1.
Keluhan nyeri (menurun) 2.
Meringis (menurun) 3.
Sikap protektif (Menurun) 4. Gelisah (menurun) 5. Kesulitan tidur (menurun) 6. Frekuensi nadi
(membaik) |
SIKI: Manajemen Nyeri
(I.08238) Tindakan: Observasi 1. Identifikasi lokasi,
karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas
nyeri 2. Identifikasi skala
nyeri 3. Idenfitikasi respon
nyeri non verbal 4. Identifikasi faktor
yang memperberat dan memperingan nyeri 5. Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang
nyeri 6. Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon
nyeri 7. Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup 8. Monitor keberhasilan terapi komplementer yang
sudah diberikan 9. Monitor efek
samping penggunaan analgetik Terapeutik 10. Berikan Teknik
nonfarmakologis untuk mengurangi nyeri (mis: TENS, hypnosis, akupresur, terapi
music, biofeedback, terapi pijat, aromaterapi, Teknik imajinasi terbimbing,
kompres hangat/dingin, terapi bermain) 11. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri (mis:
suhu ruangan, pencahayaan,
kebisingan) 12. Fasilitasi istirahat dan tidur 13. Pertimbangkan jenis
dan sumber nyeri
dalam pemilihan strategi meredakan nyeri Edukasi 14. Jelaskan penyebab,
periode, dan pemicu nyeri 15. Jelaskan strategi meredakan nyeri 16. Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri 17. Anjurkan menggunakan analgesik secara tepat 18. Ajarkan Teknik
farmakologis untuk mengurangi nyeri Kolaborasi 19. Kolaborasi
pemberian analgetik, jika perlu |
|
3. |
Risiko Infeksi (D.0142) |
SLKI
: Tingkat Infeksi (L.14137) Setelah dilakukan
tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan meingkat dengan kriteria
hasil: 1.
Demam menurun 2.
Kemerahan menurun 3.
Nyeri menurun 4.
Bengkak menurun Kadar sel darah
putih membaik |
SIKI:
Pencegahan Infeksi (I.14539) Tindakan Observasi 1.
Monitor tanda dan gejala
infeksi lokal dan sistemik Terapeutik 2.
Batasi jumlah pengunjung 3.
Berikan perawatan kulit
pada area edema 4.
Cuci tangan sebelum dan
sesudah kontak dengan pasien dan lingkungan pasien 5.
Pertahankan teknik aseptic
pada pasien berisiko tinggi Edukasi 6.
Jelaskan tanda dan
gejala infeksi 7.
Ajarkan cara mencuci
tangan dengan benar 8.
Ajarkan etika batuk 9.
Ajarkan cara memeriksa
kondisi luka atau luka operasi 10. Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi 11. Anjurkan meningkatkan asupan cairan Kolaborasi 12. Kolaborasi pemberian imunisasi, jika perlu |
4. Implementasi Keperawatan
Berdasarkan terminologi SIKI, implementasi terdiri atas melakukan dan
mendokumentasikan yang merupakan tindakan khusus yang digunakan untuk
melaksanakan intervensi (Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018). Pengimplementasian
keperawatan adalah pelaksanaan rencana keperawatan yang telah disusun untuk
mencapai hasil yang efektif. Untuk berhasil mengimplementasikan perawatan,
setiap perawat perlu memiliki penguasaan, keterampilan, dan pengetahuan yang
memadai. Hal ini bertujuan agar pelayanan yang diberikan mencapai mutu yang
baik, sehingga rencana perawatan yang
telah ditetapkan dapat tercapai dengan baik.
5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi merupakan penilaian terhadap hasil dan proses suatu tindakan.
Penilaian hasil digunakan untuk menentukan sejauh mana kesuksesan yang telah
dicapai sebagai hasil dari tindakan yang dilakukan. Sementara penilaian proses
bertujuan untuk menentukan apakah terdapat kesalahan pada setiap tahap proses, mulai dari pengkajian, diagnosis,
perencanaan, tindakan, hingga evaluasi itu sendiri. Evaluasi dapat dijalankan
dengan menggunakan pendekatan SOAP sebagai kerangka berpikir:
-S (Subjective): Respon klien
terhadap tindakan keperawatan yang telah diimplementasikan.
- O (Objective) : Respon objektif
klien terhadap tindakan telah dilaksanakan.
-A (Analysis): Analisis ulang
terhadap data subjektif dan objektif menyimpulkan apakah masalah tetap ada,
muncul masalah baru, atau terdapat data yang kontradiktif dengan masalah yang
telah diidentifikasi.
- P (Planning): Perencanaan atau tindak lanjut berdasarkan hasil
analisis
- terhadap
respons klien.
- I (Implementation): Bagaimana
dilakukan tindakan terhadap
pasien sesuai yang dibutuhkan
- E
(Evaluation): Respon
pasen terhadap tindakan Keperawatan
DAFTAR PUSTAKA
Harun, H. (2019).
Aspek Laboratorium Benign
Prostatic Hyperplasia. Jurnal
Ilmiah Kedokteran, 6
Huether, S. E., & McCance, K. L. (2020). Understanding
Pathophysiology (7th ed.). St. Louis: Elsevier. 3), 6.
Indah, T., & Prasetiyo, Y. E. (2022).
Seorang Laki-Laki Usia 69 Tahun
Dengan Retensi Urin Ec BPH Dengan Hernia Inguinalis Lateralis Detra. The
16thuniversity Research Colloqium.
Indonesia, P. P. N. (2017).
Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi Dan Indikator Diagnostik. Jakarta: Dewan
Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
Kumar, V., Abbas, A. K., & Aster, J. C. (2021). Robbins &
Cotran Pathologic Basis of Disease (10th ed.). Philadelphia: Elsevier.
McVary, K. T., Roehrborn, C. G., & Rosen, R. C. (2021). Benign
Prostatic Hyperplasia: Etiology, Pathophysiology, Epidemiology, and Natural
History. In Campbell-Walsh-Wein Urology (12th ed.). Philadelphia:
Elsevier.
Nirfandi, H., Berawi,
K. N., & Hadibrata, E. (2023). Hubungan
Diabetes Melitus Dan Merokok Dengan Kejadian Benign
Prostatic Hyperplasia (BPH): Tinjauan Pustaka. Medical Profession Journal Of
Lampung, 13(2), 171–173.
Novendi, H. S. (2022). Diagnosis Dan Tatalaksana Benign
Prostatic Hyperplasia: Sebuah
Studi Literatur. Jurnal Syntax Fusion, 2(02), 131–141.
Purwanto, H. (2016).
Keperawatan Medikal Bedah II (Cetakan
1). Kementrian Republik
Indonesia.
Ramadhan, M. A., Sutapa,
H., Oktaviyanti, I. K., Rahman,
E. Y., & Yuliana, I. (2023).
HUBUNGAN INFILTRASI LIMFOSIT PADA PROSTAT
DENGAN RETENSI URINE PADA BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA DI RSUD
ULIN BANJARMASIN. Homeostasis, 5(3), 641–647.
Sutanto, R. L. (2021). Hiperplasia Prostat Jinak: Manajemen Tatalaksana Dan Pencegahan.
Comments
Post a Comment