DOWNLOAD LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH ( MUSKULOSKLETAL) DENGAN DIAGNOSA CLOSE PRAKTUR CRURIS PADA KAKI KIRI
LAPORAN
PENDAHULUAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
( MUSKULOSKLETAL) DENGAN DIAGNOSA CLOSE
PRAKTUR CRURIS PADA KAKI KIRI
KATA
PENGANTAR
Puji dan syukur senantiasa saya panjatkan
atas ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, sebab sudah melimpahkan segala rahmat-Nya,
yaitu berupa kesempatan dan pengetahuan yang diberikan kepada saya sehingga
tugas asuhan keperawatan tentang “LAPORAN PENDAHULUAN ( MUSKULOSKLETAL) PADA Tn.A DENGAN
DIAGNOSA CLOSE PRAKTUR CRURIS PADA KAKI KIRI”ini dapat selesai pada waktunya.
Tugas ini dibuat untuk memenuhi
kewajiban dan juga sebagai syarat untuk menyelesaikan tugas Mata kuliah “KEPERAWATAN
DASAR PROFESI” Dengan ini, saya menyampaikan rasa terima kasih kepada semua
pihak terutama kepada dosen mata kuliah. sehingga tugas ini dapat diselesaikan.
saya menyadari bahwa tugas ini masih memiliki banyak kekurangan baik didalam
segi bahasa maupun teknik penulisannya. Oleh sebab itu, kami sangat terbuka
untuk menerima kritik dan juga saran yang diberikan oleh pembaca agar tugas ini
dapat menjadi lebih baik. Terimakasih
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………………………………….
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………………
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………………………..
1.1 Definisi……………………………………………………………………………….
1.2 Etiologi……………………………………………………………………………….
1.3 Patofisiologi ………………………………………………………………………….
1.4 Manifestasi Klinik…...……………………………………………………………….
1.5 Pemeriksaan
Diagnostik……………………………………………………………
1.6 Penatalaksanaan ……….……………………………………………………………..
17.Kompikasi …..……………………………………………………………………….
BAB II ASUHAN KEPERAWATAN
2.1
Pengkajian………………………………………………………………………….
a.
Pemeriksaan fisik………………………………………………………………
b.
Diagnosa keperawatan ………………………………………………………...
c.
Rencana Keperawatan …………………………………………………………
d.
Implementasi……………………………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA
BAB
I
TINJAUAN
PUSTAKA
1.1 Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas
tulang dan ditetukan sesuai jenis dan luasnya, fraktur terjadi jika tulang
dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorpsinya. Fraktur dapat
disebabkan pukulan langsung, gerakan puntir mendadak, gaya remuk dan bahkan
kontraksi otot eksterm (Brunner &Suddarth, 2002dalam Wijaya & Putri,
2013).Fraktur adalah terputusnya tulang dan ditentukan sesuai dengan jenis dan
luasnya (Brunner &Suddarth, 2002dalam Wijaya & Putri, 2013). Fraktur
adalah terputusnya kontinuitas tulang dan atau tulang rawan yang disebabkan
oleh rudapaksa (trauma atau tenaga fisik).Fraktur adalah patah atau retak pada
tulang yang utuh.Biasanya fraktur disebabkan oleh trauma di mana terdapat
tekanan yang berlebihan pada tulang,baik berupa langsung dan trauma tidak
langsung (Sjamsuhidajat, 2012).Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya
kontinuitas tulang dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa
(Sjamsuhidajat, 2012).
Menurut (Sjamsuhidajat,
2012).fraktur dibagi menjadi 2 berdasarkan ada tidaknya hubungan antara patahan
tulang dengan dunia luar yaitu:
a.
Fraktur tertutup (closed)
Dikatakan tertutup bila tidak terdapat
hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar,disebut dengan fraktur bersih
(karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi.Pada fraktur tertutup ada
klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma,
yaitu:
1) Tingkat
0 : fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan lunak sekitarnya.
2) Tingkat
1 : fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan subkutan.
3) Tingkat
2 : fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam dan
pembengkakan.
4) Tingkat
3 : Cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata dan ancaman
sindroma kompartement.
b. Fraktur
terbuka (open/compound fraktur).
Dikatakan terbuka bila
tulang yang patah menembus otot dan kulit yang memungkinkan / potensial untuk
terjadi infeksi dimana kuman dari luar dapat masuk ke dalam luka sampai ke
tulang yang patah.
Derajat fraktur terbuka:
v Derajat
1 :
Fraktur terbuka dengan
luk kulit kurang dari 1 cm dan bersih, kerusakan jaringan minimal, biasanya
dikarenakan tulang menembus kulit dari dalam. Konfigurasi fraktur simple,
transvers atau simple oblik.
v Derajat
2 :
Fraktur terbuka dengan
luka lebih dari 1 cm, tanpa ada kerusakan jaringan lunak kontusio ataupun
avulsi yang luas.
v Derajat
3 :
Fraktur terbuka dengan
kerusakan jaringan lunak yang luas, kontaminasi berat biasanya disebabkan oleh
trauma yang hebat, dengan konfigurasi fraktur kominutif.
Fraktur tipe 3 dibagi
menjadi tiga yaitu :
a) Tipe
I : Fraktur segmental atau sangat kominutif penutupan tulang dengan jaringan
lunak cukup adekuat.
b) Tipe
II : Trauma sangat berat atau kehilangan jaringan lunak yang cukup luas,
terkelupasnya daerah periosteum dan tulang tampak terbuka, serta adanya
kontaminasi yang cukup berat.
c) Tipe
III : Fraktur terbuka yang disertai dengan kerusakan pembuluh darah tanpa
memperhatikan derajat kerusakan jaringan lunak.
1.2
Etiologi
Fraktur menurut (Sjamsuhidajat, 2012)yaitu
:
a. Cidera
atau benturan (jatuh pada kecelakaan)
b. Fraktur
patologik terjadi pada daerah-daerah tulang yang telah menjadi lemah oleh
karena tumor, kanker dan osteoporosis
c. Fraktur
karena letih
d.
Fraktur beban atau fraktur kelelahan terjadi
pada orang-orang yang baru saja menambah tingkat aktivitas mereka, seperti baru
diterima dalam angkatan bersenjata atau orang-orang yang baru mulai latihan
lari.
1.2 Patofisiologi
Patofisiologi tingkat keseriusan
fraktur bergantung pada penyebab fraktur. Jika hanya sedikit melewati ambang
fraktur maka kemungkinan hanya menyebabkan keretakan tulang. Jika penyebab
fraktur sangat ekstrem seperti kecelakaan motor yang parah sehingga dapat
menyebabkan tulang pecah. Otot yang menempel pada tulang dapat terganggu saat
terjadi fraktur. Otot bisa mengalami spasme dan menarik fragmen fraktur keluar.
Otot yang besar bisa membuat 8 spasme yang kuat terlebih menggeser tulang yang
besar seperti femur meskipun bagian proksimal tulang yang patah tetap pada
posisinya. Fragmen fraktur dapat berotasi dan berpindah atau dapat menimpa
segmen tulang lainnya. Fraktur terbuka atau tertutup dapat menyebabkan rasa
nyeri pada penderita. Fraktur terbuka bisa mengenai jaringan lunak di
sekitarnya kemudian dapat menyebabkan infeksi karena terkontaminasi dengan
udara luar. Infeksi dengan udara luar dapat mengakibatkan kerusakan kulit. Pada
saluran medula, hematoma berlangsung di antara fragmen-fragmen tulang dan di
bawah periostetum. Peradangan akan terjadi di sekitar jaringan tulang yang terjadi
fraktur hingga menyebabkan vasodilatasi, nyeri, edema, kehilangan fungsi,
eksudasi leukosit dan plasma. Salah satu tahap penyembuhan tulang adalah respon
patofisiologis (Cookson & Stirk, 2019).
1.4
Manifestasi klinis
Manisfestasi klinis
fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas,pemendekan ekstrimitas,
krepitus, pembengkakan lokal dan perubahan warna (Brunner &Suddarth,
2002dalam Wijaya & Putri, 2013). Nyeri terus-menerus dan bertambah beratnya
sampai fragmen tulang di imobilisasi, spasme otot yang menyertai fraktur
merupkan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar
fragmen tulang.
a) Setelah
terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung bergerak tidak
alamiah
bukan seperti normalnya, pergeseran fraktur menyebabkan deformitas, ekstrimitas
yang bisa diketahui dengan membandingkan dengan ekstrimitas yang normal.
Ekstrimitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot
bergantung pada integritas tulang tempat melekatnya otot.
b) Pada
fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi
otot yang melekat di atas dan di bawah tempat fraktur.
c) Saat
ekstrimitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang yang dinamakan
krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu denganyang lainnya (uji
krepitus dapat merusakkan jaringan lunak yang lainnnya lebih berat).
d) Pembengkakan
akan mengalami perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai trauma dan
pendarahan akibat fraktur.
1.5
Pemeriksaan Diagnostik
Menurut (Muttaqin, 2008),
pemeriksaan pemeriksaan penunjang pada fraktur yaitu:
a. Anamnesa/
pemeriksaan umum
b. Pemeriksaan radiologi. Pemeriksaan yang
penting adalah pemeriksaan menggunakan sinar Rontgen (sinar-x) untuk melihat
gambaran tiga dimensi dari keadaan dan kedudukan tulang yang sulit.
c. CT
scan : pemeriksaan bidang tertentu tulang yang terkena dan dapat memperlihatkan
jaringan lunak atau cedera ligament atau tendon.
d. X
- Ray : menentukan lokasi, luas, batas dan tingkat fraktur.
e. Pemeriksaan
laboratorium. Pemeriksaan laboratorium yang lazim digunakan untuk mengetahui
lebih jauh kelainan yang terjadi meliputi :
Ø Kalsium
serum dan fosfor serum meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
Ø Fosfatase alkali meningkat pada saat kerusakan
tulang
Ø
Enzim otot seperti kreatinin kinase, laktat
dehydrogenase (LDH-5), aspratat aminotransferase (AST) dan aldolase meningkat
pada tahap penyembuhan tulang.
f.
Pemeriksaan lain-lain :
v Biopsi
tulang dan otot : pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan di atas, tetapi lebih
diindikasikan bila terjadi infeksi.
v Elekromiografi
: terdapat kerusakan konduksi saraf akibat fraktur.
v Artroskopi : didapatkan jaringan ikat yang
rusak atau sobek karena trauma yang berlebihan.
v MRI
: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.
v Indigium
Imaging : pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada tulang
1.6
Penatalaksanaan
Menurut (Muttaqin, 2008), konsep dasar
yang harus dipertimbangkan pada waktu penanganan fraktur yaitu: rekognisi,
reduksi, retensi dan rehabilitasi.
a)
Rekognisi (pengenalan). Riwayat kecelakaan
derajat keparahan harus jelas untuk menentukan diagnosa keperawatan dan
tindakan selanjutnya. Frktur tungkai akan terasa nyeri dan bengkak. Kelainan
bentuk nyata dapat menentukan diskontinuitas integritas rangka.
b)
Reduksi (manipulasi). Reduksi adalah usaha
dan tindakan untuk memanipulasi fragmen-fragmen tulang yang patah sedapat
mungkin kembali lagi seperti letak asalnya. Upaya untuk memanipulasi fragmen
tulang sehingga kembali seperti semula. Reduksi fraktur dapat dilakukan dengan
reduksi tertutup, traksi atau reduksi terbuka. Reduksi fraktur dilakukan
sesegera mungkin untuk mencegah jaringan lunak kehilangan elastisitasnya akibat
infiltrasi karena edema dan pendarahan. Pada kebanyakan kasus, reduksi frktur
menjadi semakin sulit bila cedera sudah mulai mengalami penyembuhan.
c)
Retensi (immobilisasi). Upaya yang
dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara
optiomal. Setelah fraktur reduksi,fragmen tulang harus diimobilisasi atau
dipertahankan dalam posisi kesejajarantulang sampai penyatuan. Imobilisasi
dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna
meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin dan teknik gips atau
fiksator eksterna. Implan logam dapat digunakan untuk fiksasi interna yang
berperan sebagai bidai untuk mengimobilisasi fraktur.
Fiksasi eksterna adalah alat yang
diletakkan di luar kulit untuk menstabilkan fragmen tulang dengan memasukkan
dua atau tiga pin metal perkutaneus menembus tulang pada bagian proksimal dan
distal dari tempat fraktur dan pin tersebut dihubungkan satu sama lain dengan
mengggunakan eksternal bars. Teknik ini terutama atau kebanyakan digunakan
untuk fraktur pada tulang tibia, terapi juga dapat dilakukan pada tulang femur,
humerus dan pelvis (Muttaqin, 2008).Fraktur biasanya menyertai trauma. Untuk
itu sangat penting untuk melakukan pemeriksaan terhadap jalan nafas (airway),
proses pernapasan (breathing) dan sirkulasi (circulation), untuk mengetahui apakah
terjadi syok atau tidak. Bila dinyatakan tidak ada masalah, lakukan pemeriksaan
fisik secara terperinci. Waktu terjadi kecelakaan penting dinyatakan untuk
mengetahui berapa lama sampai di rumah sakit untuk mengetahui berapa lama
perjalanan ke rumah sakit, jika lebh dari 6 jam, komplikasi infeksi semakin
besar.
Lakukan ammnesis dan pemeriksaan fisik
secara cepat, singkat dan lengkap. Kemudian lakukan foto radiologis. Pemasangan
bidai dilakukan untuk mengurangi rasa sakit dan mencegah terjadinya kerusakan
yang lebih berat pada jaringan lunak. Tindakan pada fraktur terbuka harus
dilakukan secepat mungkin. Penundaan waktu dapat menngakibatkan komplikasi.
Waktu yang optimal untuk bertindak sebelum 6-7 jam (golden period). Berikan 22
toksoid, Antitetanus Serum (ATS) atau tetanus human globulin. Berikan
antibiotic untuk kuman gram positif dengan dosis tinggi. Lakukan pemeriksaan
kultur dan resistensi kuman dari dasar luka fraktur terbuka (Smeltzer, 2001).
1.7
Komplikasi.
Menurut (Cookson &
Stirk, 2019) secara umum komplikasi fraktur terdiri atas komplikasi awal dan
lama yaitu sebagai berikut:
a) .Komplikasi
Awal
1. Syok
Meningkatnya
permeabilitas kapiler dan kehilangan banyak darah dapat menyebabkan turunnya
kadar oktigen dalam tubuh sehingga mengakibatkan terjadinya syok. Pada kejadian
tertentu syok neurogenik berlangsung pada fraktur femur yang disebabkan oleh
rasa sakit yang hebat.
2. Kerusakan arteri
Arteri dapat pecah atau
rusak ditandai oleh: CRT (Cappilary Refil Time) menurun, nadi tidak ada, bagian
distal mengalami sianosis, hematoma lebar serta dingin di ekstremitas
disebabkan oleh tindakan pembidaian, tindakan reduksi, perubahan posisi orang
dakit dan pembedahan.
3. Sindrom
kompartemen
Sindrom kompartemen merupakan suatu keadaan
terjebaknya otot, syaraf, tulang dan pembuluh darah pada jaringan parut akibat
edema atau pendarahan yang menekan otot, syaraf dan pembuluh darah. Keadaan
sindorm kompartemen yang diakibatkan oleh komplikasi fraktur terjadi pada
fraktur yang terletak dekat dengan persendian. Tanda yang menjadi ciri khas
sindrom kompartemen adalah 5P, yaitu pain (nyeri lokal), pallor (pucat pada
bagian distal), paralysis (kelumpuhan tungkai), parestesia (tidak ada sensasi)
dan pulsessness (tidak ada perubahan nadi, denyut nadi, perfusi tidak baik, dan
CRT>3detik).
4. Infeksi
Trauma pada jaringan menyebabkan sistem jaringan tubuh rusak.
Infeksi berawal pada kulit kemudian masuk ke
dalam pada trauma ortopedik. Kasus ini terjadi pada kejadian fraktur terbuka,
namun juga bisa disebabkan oleh penggunaan ORIF dan OREF atau plat.
5. Avaskular
nerkosis Rusaknya aliran darah ke tulang dapat menyebabkan nerkosis tulang yang
diawali oleh adanya Volkman’s Ischemia.
6. Sindrom
emboli Lemak
Sidrom emboli lemak FES
merupakan komplikasi yang biasa terjadi pada tulang panjang, FES terjadi karena
sel-sel lemak yang dihasilkan sumsum tulang kuning masuk ke aliran darah dan
menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai dengan gangguan
pernafasan, hipertensi, takikardi, takipnea, dan demam.
b) .Komplikasi
Lama.
Menurut
(Cookson & Stirk, 2019) secara umum komplikasi lama sebagai berikut :
1) Delayed
Union
Delayed union adalah
kegagalan fraktur dalam berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang diperlukan
tulang agar sembuh atau tersambung. Hal ini disebabkan oleh penurunan pasokan
darah ke tulang. Delayed Union merupakan fraktur yang tidak sembuh selama 3- 5
bulan.
2) Non-union
Non-union adalah fraktur yang sembuh dalam 6-8
bulan serta tidak terjadi konsolidasi hingga terdapat preudoartrotis (sendi
palsu). Pseudoartrotis dapat berlangsung dengan infeksi maupun tanpa infeksi.
3) Mal-union
Mal-union merupakan kejadian dimana fraktur
sembuh pada saatnya, tetapi terjadi deformitas yang berbentuk varus, angulasi,
pemendekan, dan penyilangan
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN
2.1 Konsep Asuhan
Keperawatan
1. Pengkajian
Pengkajian adalah langkah pertama yang
paling penting dalam proses keperawatan. Jika langkah ini tidak di tangani
dengan baik, perawat akan kehilangan kontrol atas langkah-langkah selanjutnya
dari proses keperawatan. Tanpa pengkajian keperawatan yang tepat, tidak ada
diagnose keperawatan, dan tanpa diagnose keperawatan, tidak ada tindakan
keperawatan mandir (Herman, 2015) Pengkajian meliputi.
a) Identitas
Pasien
Meliputi nama, inisial,
jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai, status perkawinan,
pendidikan, pekerjaan, golongan, no. register, tanggal MRS, alasan MRS,
diagnosa medis
b)
Initial survey/pengkajian primer.
Untuk menentukan apakah
pasien responsif atau tidak menggunakan metode AVPU.A (Alert): Pasien terjaga,
responsif, berorientasi, dan berbicara dengan petugas.V (Verbal): Petugas
memberikan rangsangan berupa suara (memanggil pasien). Pasien akan memberikan
respon berupa mengerang, mendengus, berbicara atau hanya melihat petugas.P
(Painful): Jika pasien tidak memberikan respon dengan suara, maka anda perlu
melakukan pemberian rangsangan nyeri dengan cara menggosok sternum atau sedikit
cubitan pada bahu. U (Unresponsive): Tidak ada respon apapun dengan suara atau
dengan nyeri.Menurut Parahita, Putu Sukma. Dkk. 2011, setelah pasien sampai di
Instalasi Gawat Darurat (IGD) yang pertama kali harus dilakukan adalah
mengamankan dan mengaplikasikan prinsip Airway, Breathing,Circulation,
Disability Limitation, Exposure (ABCDE), Parahita, Putu Sukma. dkk. (2011).
Ø Airway
: Penilaian kelanaran airway pada pasien yang mengalamifraktur meliputi,
pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan benda asing,
fraktur wajah, fraktur mandibula atau maksila, fraktur laring atau trachea.
Usaha untuk membebaskan jalan nafas harus melindungi vertebral servikal karena
kemungkinan patahnya tulang servikal harus selalu diperhitungkan. Dalam hal ini
dapat dilakukan chin lift, tetapi tidak boleh melibatkan hiperektensi leher.
Ø Breathing
: Setelah melakukan airway kita harus menjaminventilasi yang baik. Ventilasi
yang baik meliputi fungsi yang baik dari paru, dinding dada dan diafragma. Dada
pasien harus dibuka uantuk melihat pernapasan yang baik.
Ø Circulation
: Kontrol perdarahan vena dengan menekanlangsung sisi area perdarahan bersamaan
dengan tekanan jari pada arteri paling dekat dengan perdarahan. Curiga hemoragi
internal (pleural, parasardial, atau abdomen) pada kejadian syok lanjut dan
adanya cidera pada dada dan abdomen. Atasi syok, dimana pasien dengan fraktur
biasanya mengalami kehilangan darah. Kaji tandatanda syok yaitu penurunan
tekanan darah, kulit dingin, lembab dan nadi halus.
Ø Disability
:kaji kedaan neurologis secara cepat yang dinilaiadalah tingkat kesadaran
(GCS), ukuran dan reaksi pupil. Penurunan kesadaran dapat disebabkan penurunan
oksigen dan penurunan perfusi ke otak, atau disebabkan perlukaan pada otak.
Perubahan kesadaran menuntut dilakukannya pemeriksaan terhadap keadaan
ventilasi, perfusi dan oksigenasi.
Ø Exsposure
: jika exsposure dilakukan di Rumah Sakit, tetapi jikaperlu dapat membuka
pakaian, misalnya membuka baju untuk melakukan pemeriksaan fisik thoraks. Di
Rumah Sakit pasien harus di buka seluruh pakaiannya, untuk evaluasi pasien.
Setelah pakain dibuka, penting agar pasien tidak kedinginan pasien harus
diberikan slimut hangan, ruangan cukup hangat dan diberikan cairan intravena.
Parahita, Putu Sukma. Dkk. (2011).
c) Pengkajian
Sekunder
Bagian dari pengkajian sekunder pada
pasien cidera muskuloskeletal adalah anamnesis danpemeriksaan fisik. tujuan
dari survey sekunder adalah mencari cidera - cidera lain yangmungkin terjadi
pada pasien sehingga tidak satupun terlewatkan dan tidak terobati.Apabilapasien
sadar dan dapat berbicara maka kita harus mengambil riwayat SAMPLE dari pasien,
yaitu Subyektif, Allergies, Medication, PastMedical History, Last Ate dan Event
(kejadian atau mekanismekecelakaan) Parahita, Putu Sukma. Dkk. (2011).
Mekanisme kecelakaan penting untuk ditanyakan untuk mengetahui dan
memperkirakan cedera apa yang dimiliki oleh pasien, terutama jika kitamasih
curiga ada cidera yang belum diketahui saat primary survey, Selain riwayat
SAMPLE, penting juga untuk mencari informasi mengenai penanganan sebelum pasien
sampai di rumah sakit.
d)
Pemeriksaan Fisik
1.
Keadaan umum : dikaji GCS pasien
2.
System Integumen : kaji ada tidaknya
eritema, bengkak, oedema, nyeri tekan.
3.
Kepala : kaji bentuk kepala, apakah
terdapat benjolan, apakah ada nyeri kepala
4.
Leher : kaji ada tidaknya penjolankelenjar
tiroid, dan reflek menelan.
5.
Muka : kaji ekspresi wajah pasien wajah,
ada tidak perubahan fungsi maupun
bentuk. Ada atau tidak
lesi, ada tidak oedema.
6.
Mata : kaji konjungtiva anemis atau tidak
(karena tidak terjadi perdarahan)
7.
Telinga : kaji ada tidaknya lesi, nyeri
tekan, dan penggunaan alat bantu pendengaran.
8.
Hidung : kaji ada tidaknya deformitas, dan
pernapasan cuping hidung.
9.
Mulut dan Faring : kaji ada atau tidak
pembesaran tonsil, perdarahan gusi, kaji
mukosa bibir pucat atau
tidak.
10.
Paru :
(a) Inspeksi : kaji ada
tidaknya pernapasan meningkat.
(b) Palpasi : kaji
pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
(c) Perkusi : kaji ada
tidaknya redup atau suara tambahan.
(d) Auskultasi : kaji ada
tidaknya suara nafas tambahan.
11.
Jantung
(a) Inspeksi : kaji ada
tidaknya iktus jantung.
(b) Palpasi : kaji ada
tidaknya nadi meningkat, iktus teraba atau tidak.
(c) Perkusi : kaji suara
perkusi pada jantung
(d) Auskultasi: kaji
adanya suara tambahan.
12.
Abdomen
(a) Inspeksi : kaji
kesimetrisan, ada atau tidak hernia
(b) Auskultasi : kaji
suara Peristaltik usus pasien
(c) Perkusi : kaji adanya
suara
(d) Palpasi : ada atau
tidak nyeri tekan
13.
Ekstremitas
(a) Atas : kaji kekuatan
otot, rom kanandan kiri, capillary refile, perubahan bentuk
(b) Bawah : kaji kekuatan
otot, rom kanan dan kiri, capillaryrefile, dan perubahan bentuk tulang
e) Riwayat
kesehatan Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk
menentukan sebab dari fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana
tindakan terhadap pasien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit
tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian
tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya
kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain (Paul Krisanty. dkk. 2016).
f)
Riwayat Kesehatan Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan
penyebab fraktur dan memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan
menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s
yang menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain
itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sangat beresiko terjadinya
osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses
penyembuhan tulang.
2. Diagnosa
Keperawatan
a) Ketidakstabilan
kadar glukosa Darah berhubunan dengan Gangguan glukosa darah puasa (D.0027 )
b) Gangguan
Mobilitas fisik bergubungan dengan nyeri
(D.0054)
c)
Nyeri Akut b.d
Agen cedera fisik di tandai dengan pasien tampak meringgis, gelisah. (D.0077)
3. Intervensi
1. Ketidakstabilan kadar glukosa Darah
(D.0027)
SIKI :Manajemen Hiperglikemia (1.03115)
Definisi :
Observasi
Ø Identifikasi
kemungkinan penyebab hiperglikemia
Ø Identifikasi
situasi yang menyebabkan kebutuhan insulin meningkat (mis: penyakit kambuhan)
Ø Monitor
kadar glukosa darah, jika perlu
Ø Monitor
tanda dan gejala hiperglikemia (mis: polyuria, polydipsia, polifagia,
kelemahan, malaise, pandangan kabur, sakit kepala)
Ø Monitor
intake dan output cairan
Ø Monitor
keton urin, kadar Analisa gas darah, elektrolit, tekanan darah ortostatik dan
frekuensi nadi
Terapeutik
Ø Berikan
asupan cairan oral
Ø Konsultasi
dengan medis jika tanda dan gejala hiperglikemia tetap ada atau memburuk
Ø Fasilitasi
ambulasi jika ada hipotensi ortostatik
Edukasi
Ø Anjurkan
menghindari olahraga saat kadar glukosa darah lebih dari 250 mg/dL
Ø Anjurkan
monitor kadar glukosa darah secara mandiri
Ø Anjurkan
kepatuhan terhadap diet dan olahraga
Ø Ajarkan
indikasi dan pentingnya pengujian keton urin, jika perlu
Ø Ajarkan
pengelolaan diabetes (mis: penggunaan insulin, obat oral, monitor asupan
cairan, penggantian karbohidrat, dan bantuan professional kesehatan
Kolaborasi
Ø Kolaborasi
pemberian insulin, jika perlu
Ø Kolaborasi
pemberian cairan IV, jika perlu
Ø Kolaborasi
pemberian kalium, jika perlu
2.
Gangguan Mobilitas fisik ( D.0054 )
SIKI
:Dukungan Ambulasi (1.06171)
Definisi
:Memfasilitasi pasien untuk meningkatkan aktivitas berpindah
Observasi
Ø Identifikasi
adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya
Ø Identifikasi
toleransi fisik melakukan ambulasi
Ø Monitor
frekuensi jantung dan tekanan darah sebelum memulai ambulasi
Ø Monitor
kondisi umum selama melakukan ambulasi
Terapeutik
Ø Fasilitasi
aktivitas ambulasi dengan alat bantu (mis: tongkat, kruk)
Ø Fasilitasi
melakukan mobilisasi fisik, jika perlu
Ø Libatkan
keluarga untuk membantu pasien dalam meningkatkan ambulasi
Edukasi
Ø Jelaskan
tujuan dan prosedur ambulasi
Ø Anjurkan
melakukan ambulasi dini
Ø Ajarkan
ambulasi sederhana yang harus dilakukan (mis: berjalan dari tempat tidur ke
kursi roda, berjalan dari tempat tidur ke kamar mandi, berjalan sesuai
toleransi)
3.Nyeri
Akut ( D.0077 )
SIKI : Manajemen Nyeri (1.08238)
Definisi : Mengidentifikasi dan
mengelola pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan
dengan kerusakan
jaringan atau fungsional dengan onset mendadak atau lambat
dan berintensitas
ringan hingga berat dan konstan.
Tindakan
Observasi
Ø Identifikasi
lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
Ø Identifikasi
skala nyeri
Ø Idenfitikasi
respon nyeri non verbal
Ø Identifikasi
faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
Ø Identifikasi
pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
Ø Identifikasi
pengaruh budaya terhadap respon nyeri
Ø Identifikasi
pengaruh nyeri pada kualitas hidup
Ø Monitor
keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan
Ø
Monitor efek samping penggunaan analgetik
Terapeutik
Ø Berikan
Teknik nonfarmakologis untuk mengurangi nyeri (mis: TENS, hypnosis, akupresur,
terapi music, biofeedback, terapi pijat, aromaterapi, Teknik imajinasi
terbimbing, kompres hangat/dingin, terapi bermain).
Ø Kontrol
lingkungan yang memperberat rasa nyeri (mis: suhu ruangan, pencahayaan,
kebisingan)
Ø Fasilitasi
istirahat dan tidur
Ø
Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam
pemilihan strategi meredakan nyeri
Edukasi
Ø Jelaskan
penyebab, periode, dan pemicu nyeri
Ø Jelaskan
strategi meredakan nyeri
Ø Anjurkan
memonitor nyeri secara mandiri
Ø Anjurkan
menggunakan analgesik secara tepat
Ø Ajarkan
Teknik farmakologis untuk mengurangi nyeri
Kolaborasi
Ø Kolaborasi
pemberian analgetik, jika perlu
4. Implementasi
a) Manajemen
Hiperglikemia (1.03115)
Ø Mengidentifikasi
kemungkinan penyebab hiperglikemia
Ø Mengidentifikasi
situasi yang menyebabkan kebutuhan insulin meningkat (mis: penyakit kambuhan)
Ø Memonitor
kadar glukosa darah, jika perlu
Ø Memonitor
tanda dan gejala hiperglikemia (mis: polyuria, polydipsia, polifagia,
kelemahan, malaise, pandangan kabur, sakit kepala)
Ø Memonitor
intake dan output cairan
Ø Memonitor
keton urin, kadar Analisa gas darah, elektrolit, tekanan darah ortostatik dan
frekuensi nadi
Ø Memberikan
asupan cairan oral
Ø Mengkonsultasi
dengan medis jika tanda dan gejala hiperglikemia tetap ada atau memburuk
Ø Memfasilitasi
ambulasi jika ada hipotensi ortostatik
Ø Menganjurkan
menghindari olahraga saat kadar glukosa darah lebih dari 250 mg/dL
Ø Menganjurkan
monitor kadar glukosa darah secara mandiri
Ø Menganjurkan
kepatuhan terhadap diet dan olahraga
Ø Mengajarkan
indikasi dan pentingnya pengujian keton urin, jika perlu
Ø Mengajarkan
pengelolaan diabetes (mis: penggunaan insulin, obat oral, monitor asupan
cairan, penggantian karbohidrat, dan bantuan professional kesehatan
Ø Mengkolaborasi
pemberian insulin, jika perlu
Ø Mengkolaborasi
pemberian cairan IV, jika perlu
Ø Mengkolaborasi
pemberian kalium, jika perlu
b) Dukungan
Ambulasi (1.06171)
Ø Mengidentifikasi
adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya
Ø Mengidentifikasi
toleransi fisik melakukan ambulasi
Ø Memonitor
frekuensi jantung dan tekanan darah sebelum memulai ambulasi
Ø Memonitor
kondisi umum selama melakukan ambulasi
Ø Memfasilitasi
aktivitas ambulasi dengan alat bantu (mis: tongkat, kruk)
Ø Memfasilitasi
melakukan mobilisasi fisik, jika perlu
Ø Melibatkan
keluarga untuk membantu pasien dalam meningkatkan ambulasi
Ø Menjelaskan
tujuan dan prosedur ambulasi
Ø Menganjurkan
melakukan ambulasi dini
Ø Mengajarkan
ambulasi sederhana yang harus dilakukan (mis: berjalan dari tempat tidur ke
kursi roda, berjalan dari tempat tidur ke kamar mandi, berjalan sesuai
toleransi)
c) Manajemen Nyeri (1.08238 )
Ø Mengidentifikasi
lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
Ø Mengidentifikasi
skala nyeri
Ø Mengidenfitikasi
respon nyeri non verbal
Ø Mengidentifikasi
faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
Ø Mengidentifikasi
pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
Ø Mengidentifikasi
pengaruh budaya terhadap respon nyeri
Ø Mengidentifikasi
pengaruh nyeri pada kualitas hidup
Ø Memonitor
keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan
Ø Memonitor
efek samping penggunaan analgetik
Ø Memberikan
Teknik nonfarmakologis untuk mengurangi nyeri (mis: TENS, hypnosis, akupresur,
terapi music, biofeedback, terapi pijat, aromaterapi, Teknik imajinasi
terbimbing, kompres hangat/dingin, terapi bermain).
Ø Mengkontrol
lingkungan yang memperberat rasa nyeri (mis: suhu ruangan, pencahayaan,
kebisingan)
Ø Memfasilitasi
istirahat dan tidur
Ø Mempertimbangkan
jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi meredakan nyeri
Ø Menjelaskan
penyebab, periode, dan pemicu nyeri
Ø Menjelaskan
strategi meredakan nyeri
Ø Menganjurkan
memonitor nyeri secara mandiri
Ø Menganjurkan
menggunakan analgesik secara tepat
Ø Mengajarkan
Teknik farmakologis untuk mengurangi nyeri
Ø Mengkolaborasi
pemberian analgetik, jika perlu
5. Evaluasi
Evaluasi adalah fase kelima dari proses
keperawatan. Evaluasi merupakan aktivitas yang direncanakan, berkelanjutan dan
terarah ketika pasien dan professional kesehatan menentukan kemajuan pasien
menuju pencapaian tujuan/ hasil dan keefektifan rencana asuhan keperawatan.
Evaluasi ini akan menentukan apakah intervensi keperawatan harus diakhiri,
dilanjutkan ataupun dirubah.
DAFTAR
PUSTAKA
Andri, J., dkk. (2020). Nyeri pada Pasien Post Op
Fraktur Ekstremitas Bawah dengan
Pelaksanaan Mobilisasi dan Ambulasi Dini. Journal
of Telenursing (JOTING),
2(1), 61–70. https://doi.org/10.31539/joting.v2i1.1129
Anggreni, D., & Wardini, S. (2013). Kebutuhan
Dasar Manusia. How Languages Are
Learned,
Bachtiar, S. M. (2018). Penatalaksanaan Terapi Latihan
Pada Kasus Pemasangan
Plate and Screw Di Bangsal Bougenville. Jurnal
Media Keperawatan:
Politeknik Kesehatan Makassar,
09(02)
Balung,
M. R. S. D. (2020).
Becker,
F. G., (2019). Lampiran SOP Range Of Motion 7(1)
Brunner. Suddarth (2013) Buku Ajar Keperawatan
Medikal Bedah. Jakarta : EGC.
Cookson, M. D., & Stirk, P. M. R. (2019). Penerapan
Teknik Mobilisasi Pada Pasien
Fraktur Ekstremitas Bawah Di Rumah Sakit Islam Jakarta
Tahun 2018.
Desiartama, A., & Aryana, I. W. 2017. Gambaran
Karakteristik Pasien Fraktur
Akibat Kecelakan Lalu Lintas Pada Orang Dewasa Di
Rumah Sakit Umum
Pusat Sanglah Denpasar Tahun 2013.
E-Jurnal Medika Udayana, 6(5) Dinarti & Yuli
.(2017). Buku Dokumentasi Keperawatan
Ermawan, dkk. (2016). Upaya peningkatan mobilitas
fisik pada pasien orif fraktur
femur di RSUP SOEHARSO SURAKARTA.
Retrieved April 10, 2018, from
http://www.eprints.ums.ac.id
Fajriyanti, dkk. (2020). The Phenomenon of Patient
Health Education by Nurses in
Hospital. Indian Journal of Public Health Research
& Development, 11(3),
Freye, K., dkk. (2019). Fraktur. Radiologisches
Wörterbuch, 126–127.
https://doi.org/10.1515/9783110860481-111
G/Tsadik., (2020). Asuhan Keperawatan Pemenuhan
Kebutuhan Aktivitas Pada
Pasien
Fraktur Femur Di RSUD Bangil Pasuruan 2019
. Groot, K. de. (2018). Lampiran
Pengaruh Latihan Gerak pada Ekstremitas Bawah
Jitowiyono., & S Estu, S. N. A. (2018). Penerapan
Teknik Relaksasi Nafas Dalam
Dengan Ganguan Pemenuhan Kebutuhan Nyaman Nyeri Pasien
Post Operasi
Fraktur Femuure Di RSUD Sleman. Poltekkes Kemenkes Yogyakarta.
Keifer GEffenberger, f. (2019). Hambatan Mobilitas
Fisik. Angewandte Chemie
International Edition.
Kristanto, A. (2016). No Titlebab 2 tinjauan
pustaka. 21–64.
Lucyani, D. fryda. (2017). Bab I Pendahuluan.
Journal Information, 10(3)
Maharani, T. D., & Waluyo, A. (2018). Gambaran
Implementasi Mobilisasi Dini
Oleh Perawat Pada Klien Post Operasi ORIF Fraktur
Ekstremitas Bawah Di
RSUP Fatmawati. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia, 1–8
Nursalam, & Fallis, A. . (2019). Mobilisasi Dini
Melalui Multimedia. Journal of
Chemical Information and Modeling,
Noorisa, R., dkk. (2017). The Characteristic Of
Patients With Femoral Fracture In
Department Of Orthopaedic And Traumatology
Rsud Dr. Soetomo Surabaya
2013-2016. Journal of Orthopedi & Traumatology
Surabaya. 6(1): ISSN
2460-8742
PPNI. 2016. Standart Diagnosa Keperawatan Indonesia
: Definisi dan Indikator
Diagnostik,
Edisi I. Jakarta.: DPP PPNI.
PPNI. 2019. Standart Luaran Keperawatan Indonesia :
Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan, Edisi I. Cetakan II.
Jakarta.: DPP PPNI.
PPNI. 2018. Standart Intervensi Keperawatan
Indonesia : Definisi dan Tindakan
Keperawatan, Edisi I. Cetakan II.
Jakarta.: DPP PPNI
RAHMASARI, I. (2018). Pengaruh Range Of Motion (ROM)
Secara Dini Terhadap
Kemampuan Activities Daily Living (ADL) pasien post
Operasi Fraktur Femur
di RSUI KUSTATI SURAKARTA. Keperawatan,
Sudarmanto, E. (2018). Karya Tulis Ilmiah Asuhan
Keperawatan Tn . S Dengan
Open
Fraktur Manus Iv Distal Di Ruang Cempaka Rumah Asuhan Keperawatan.
Tn . S Dengan Open Fraktur.
Rastu, G., dkk. (2017). Manajemen fraktur pada
trauma management of fracture of
musculosceletal trauma.
Ridwan, U., dkk. (2018). Karakteristik Kasus Fraktur
Ekstremitas Bawah Di Rumah
Sakit Umum Daerah Dr H Chasan Boesoirie Ternate Tahun
2018. Kieraha
Medical Jornal, 1(1)
Riskesda. (2015). Buletin jendela data dan
informasi kesehatan. Retrieved from
http://www.depkes.go.id//pusdatin//buletin-fraktur
Safitri, R. (2019). Implementasi Keperawatan Sebagai
Wujud Dari Perencanaan
Keperawatan Guna Meningkatkan Status Kesehatan Klien. Journal
Keperawatan, 3(42)
https://osf.io/8ucph/download
Permatasari, I. (2015). Journal of Geotechnical and
Geoenvironmental Engineering
ASCE, 120(11), 259.
World Health Organization. (2019). World Health
Statistic. In World Health
Organization.
Comments
Post a Comment