DOWNLOAD LAPORAN PENDAHULUAN PADA PASIEN DENGAN EFUSI PLEURA

 

LAPORAN PENDAHULUAN

PADA PASIEN DENGAN EFUSI PLEURA

 

A.    KONSEP DASAR EFUSI PLEURA

 

1.      DEFINISI

           

            Efusi pleura adalah penumpukan cairan di dalam ruang pleura yang terjadi karena proses penyakit primer dan dapat juga terjadi karena penyakit sekunder akibat penyakit lain. Efusi dapat berupa cairan jernih yang merupakan transudat, dan berupa pus atau darah (Baughman, 2000). Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapat penumpukan cairan dalam rongga pleura berupa transudat dan eksudat yang diakibatkan terjadinya ketidakseimbangan antara produksi dan absorbsi di kapiler dan pleura viseralis (A. Muttaqin, 2012). Cairan pleura diproduksi utama oleh pleura parietal dan direabsorbsi melalui limfatik pleura melalui stomata yang ada di pleura parietal. Pada manusia sehat, kavitas pleural umumnya berisi kira-kira 0.3 mL/kg cairan atau 10-20 mL dengan konsentrasi protein yang rendah (D’Agostino, H. and Edens, 2020)

            Efusi pleura bukan merupakan suatu penyakit akan tetapi merupakan tanda adanya penyakit. Penyakit yang dapat menimbulkan efusi pleura adalah tuberculosis, infeksi nontuberculosis, sirosis hepatis, gagal kongestif. Secara geografis penyakit ini terdapat di seluruh dunia, dan menjadi masalah utama di negara yang sedang berkembang. Efusi pleura merupakan penimbunan cairan dalam rongga pleura (rongga yang terletak diantara selaput yang melapisi paru-paru dan rongga dada) timbunan cairan dalam rongga pleura akan menyebabkan desakan (penakanan) paru-paru, atelektasis, penekanan pembuluh vena besar, dan menurunnya aliran darah balik jantung, dan dapat terjadi akibat beberapa penyakit atau suatu trauma. (Taqiyyah & Mohammad 2013).

            Di indonesia tuberkulosis paru merupakan penyebab utama pada efusi

pleura, di susul oleh keganasan. Prevalensi efusi pleura di Indonesia mencapai 2,7 % dari penyakit infeksi saluran napas lainnya, tingginya angka kejadian efusi pleura disebabkan keterlambatan penderita untuk memeriksa kesehatan sejak dini dan angka kematian akibat efusi pleura masih sering di temukan faktor resiko terjadinya efusi pleura karena lingkungan yang tidak bersih (Departemen Kesehatan Republik Indonesia., 2006). Beberapa hasil penelitian menyebutkan 42-77% efusi pleura eksudativa disebabkan proses keganasan (Sato, 2006). Gagal jantung kongestif merupakan penyebab dari hampir 50 persen dari semua pleura efusi. Keganasan, pneumonia, dan emboli paru adalah tiga penyebab utama dari efusi pleura (Light, 2002).

            Pasien dengan efusi pleura yang awalnya normal pun dapat mengalami efusi pleura ketika terjadi payah/gagal jantung kongesif. Ketika jantung tidak dapat memompakan darahnya secara maksimal ke seluruh tubuh terjadilan peningkatan tekanan hidrostatik pada kapiler yang selanjutnya menyebabkan hipertensi kapiler sistemik. Cairan yang berada pada pembuluh darah pada area tersebut selanjutnya menjadi bocor dan masuk ke dalam pleura. Peningkatan pembentukan cairan dari pleura parientalis karena hipertensi kapiler sistematik dan penurunan reabsorbi menyebabkan pengumpulan abnormal cairan pleura.

Cairan pleura dalam keadaan normal masuk ke dalam rongga pleura dari kapiler-kapiler di pleura parietal dan diserap melalui pembuluh limfe yang berada di pleura viseral. Cairan juga bisa masuk ke rongga pleura melalui rongga intersisial paru melalui pleura viseral melalui celah sempit yang ada di diafragma (Loscalzo, 2015). Dari segi anatomis, permukaan rongga pleura berbatasan dengan paru sehingga cairan pleura mudah bergerak dari satu rongga ke rongga yang lainnya. Dalam keadaan normal seharusnya tidak ada rongga kosong diantara kedua pleura, karena biasanya hanya terdapat sekitar 10-20cc cairan yang merupakan lapisan tipis erosa yang selalu bergerak secara teratur. Setiap saat, jumlah cairan dalam rongga pleura bisa menjadi lebih dari cukup untuk memisahkan kedua pleura. Jika terjadi, maka kelebihan tersebut akan dipompa keluar oleh pembuluh limfatik (yang membuka secara langsung) dari rongga pleura ke mediastinum. Oleh karena itu, rongga pleura disebut sebagai ruang potensial, karena ruang ini normalnya begitu sempit, sehingga bukan merupakan ruang fisik yang jelas (Arif. Muttaqin, 2008). Tingkat kegawatan pada efusi pleura ditentukan oleh jumlah cairan, kecepatan pembentukan cairan dan tingkat penekanan paru.

            Salah satu tanda mayor pada pasien Efusi Pleura dengan masalah keperawatan gangguan pertukaran gas adalah dyspneu atau sesak napas. apabila suplai darah tidak lancar di paru-paru (darah tidak masuk kejantung), menyebabkan penimbunan cairan di paru-paru yang dapat menurunkan pertukaran O2 dan CO2 antara udara dan darah di paru-paru. Sehingga oksigenasi arteri berkurang dan terjadi peningkatan CO2 , yang akan membentuk asam di dalam tubuh. Situasi ini kan memberikan suatu gejala sesak nafas (dyspnea), ortopnea (dyspnea saat berbaring) apabilah aliran darah dari ekstremitas aliran balik vena kejantung dan paru-paru sehingga timbullah masalah keperawatan gangguan pertukaran gas (Kasron, 2016).

 

2.      ETIOLOGI

            Efusi pleura adalah akumulasi cairan pleura akibat peningkatan kecepatan produksi cairan, penurunan kecepatan pengeluaran cairan atau keduanya, ini disebabkan oleh satu dari lima mekanisme berikut

(Morton 2012) :

a.       Peningkatan tekanan pada kapiler sub pleura atau limfatik

b.      Peningkatan permeabilitas kapiler

c.       Penurunan tekanan osmotic koloid darah

d.      Peningkatan tekakanan negative intrapleura

e.       Kerusakan drainase limfatik ruang pleura

Penyebab efusi pleura:

a)      Infeksi

1)      Tuberkulosis

2)       Pneumonitis

3)      Abses paru

4)      Perforasi esophagus

5)      Abses sufrenik

b)  Non infeksi

1)       Karsinoma paru

2)       Karsinoma pleura: primer, sekunder \

3)       Karsinoma mediastinum

4)      Tumor ovarium

5)      Bendungan jantung: gagal jantung, perikarditiskonstriktiva

6)      (6) Gagal hati

7)      Gagal ginjal

8)      Hipotiroidisme

9)      Kilotoraks

10)   Emboli paru.

 

Berdasarkan jenis cairan yang terbentuk, cairan pleura dibagi lagi menjadi ransudat, eksudat dan hemoragi.

a.       Transudat dapat disebabkan oleh kegagalan jantung kongesif (gagal jantung kiri), sindrom nefrotik, asites (karena sirosishati), sindrom vena kava superior, tumor dan sindrom meigs.

b.       Eksudat disebabkan oleh infeksi, TB, pneumonia, tumor, infark paru, radiasi dan penyakit kolagen.

c.       Efusi hemoragi dapat disebabkan oleh adanya tumor, trauma, infark paru dan tuberculosis.

 

3.      KLASIFIKASI

Efusi pleura di bagi menjadi 2 yaitu:

a.       Efusi pleura transudat Merupakan ultra filtrat plasma, yang menandakan bahwa membran pleura tidak terkena penyakit. Akumulasi cairan di sebabkan oleh faktor sistemik yang mempengaruhi produksi dan absorbsi cairan pleura. Transudat biasanya disebabkan oleh suatu kelainan pada tekanan normal di dalam paru-paru (Abata, 2014). Kondisi akibat proses bukan radang oleh gangguan keseimbangan cairan sistemik akan mengubah gaya hidrostatik atau gaya osmotik yang masuk ke membran pleura. Ukuran transudat di batasi oleh tekanan struktural dan pelebaran kandungan protein cairan, jika terjadi luka, cairan akan cepat diserap dan penyembuhan selesai tanpa meninggalkan jaringan parut (Gandasoebrata, 2007; Millard dan Pepper, 2013). Efusi transudat terjadi ketika faktor sistemik yang mempengaruhi pembentukan dan penyerapan cairan pleura berubah, penyebab di Amerika terbanyak adalah gagal ventrikel kiri dan sirosis ( Ward et al, 2008). Penyakit penyebab transudat dapat terjadi pada kegagalan jantung kongestif, Sindroma Nefrotik, asites oleh sirosis hepatis, Sindroma Vena Cava Superior, glomerulonephritis akut, tumor dan Sindroma Meig’s yang dapat menyebabkan hipoproteinemia (Alsagaff dan Mukty, 2008; Millard dan Pepper, 2013).

Keadaan transudat terjadi dalam kasus, sebagai berikut :

1)      Gagal jantung Penyebab tersering efusi pleura adalah gagal ventrikel kiri, efusi pleura meningkatnya jumlah cairan ruang interstisium paru dan sebagian menembus pleura viseralis, menyebabkan kelebihan enyerapan jumlah kapasitas di pembuluh limfe pleura parietalis. Pasien gagal jantung, torakosentesis dilakukan diagnosis jika tidak terjadi efusi bilateral dan setara ukurannya. Pasien mengalami demam atau nyeri dada pleuritic dengan tujuan untuk memastikan ada atau tidaknya efusi transudat (Loscalzo, 2015).

2)      Hidrotoraks hati Efusi terjdi pada sekitar 5% pasien dengan sirosis dan asites. Mekanisme utama dengan perpindahan lagsung cairan peritoneum melalui lubang – lubang kecil di diafragma ke dalam rongga pleura. Efusi ini terjadi di sisi kanan dan sering cukup banyak menimbulkan dispneu berat (Loscalzo, 2015).

3)      Empiema Empyema merupakan transisi dari efusi para pneumoni ke empiema melibatkan timbulnya organisme dalam cairan, peningkatan polimorf dan penurunan pH dan glukosa (Millard dan Pepper, 2013)

b.      Efusi pleura eksudat

          Efusi pleura ini terjadi akibat kebocoran cairan melewati pembuluh kapiler yang rusak dan masuk kedalam paru terdekat (Morton, 2012)                            Eksudat terjadi akibat peradangan pada pleura yang sering kali disebabkan oleh penyakit paru-paru ( Alsagaff dan Mukty 2008 ), atau penyakit lokal paru-paru yang menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler atau obstruksi limfatik dan kadar protein cairan pleura yang meningkat. Efusi pleura eksudat terjadi ketika faktor lokal yang mempengaruhi pembentukan dan penyerapan cairan pleura perubahan, penyebab yang sering terjadi adalah infeksi bakteri, keganasan dan emboli paru (Ward et al, 2008).

         Mekanisme peningkatan permeabilitas kapiler tidak semua bisa diketahui, kemungkinan terbesar berasal dari racun bakteri dan endapan kompleks imun yang mengarah ke inflamasi. Penyebab paling umum dari eksudat adalah protein yang diserap melalui limfatik, protein pleura parietal, obstruksi limfatik pleura, peningkatan permeabilitas kapiler (Millard dan Pepper, 2013).

        Ukuran eksudat dibatasi oleh refluks protein, peningkatan tekanan intrapleural yang memungkinkan berkurangnya filtrasi pada permukaan pleura yang sakit. Penyembuhan eksudat akan lebih lama, karena pengangkatan tergantung pada reabsorbsi protein oleh limfatik yang lambat dibandingkan dengan transfer cairan melalui pleura yang memungkinkan terjadi penebalan residual pleura dan adesi antara lapisan pleura. Eksudat terjadi unilateral namun ada pengecualian, yaitu: mestastasis dari kanker tertentu, limfoma, emboli paru, dan lupus erythematosus bilateral (Millard dan Pepper, 2013). Eksudat biasa terjadi pada keadaan infeksi : tuberkulosis, pneumonia, tumor, infark paru, radiasi, penyakit kolagen ( Alsagaff dan Mukty 2008 ). Keadaan eksudat terjadi dalam kasus, sebagai berikut :

1)      Gagal jantung Penyebab tersering efusi pleura adalah gagal ventrikel kiri, efusi pleura meningkatnya jumlah cairan ruang interstisium paru dan sebagian menembus pleura viseralis, menyebabkan kelebihan enyerapan jumlah kapasitas di pembuluh limfe pleura parietalis. Pasien gagal jantung, torakosentesis dilakukan diagnosis jika tidak terjadi efusi bilateral dan setara ukurannya. Pasien mengalami demam atau nyeri dada pleuritic dengan tujuan untuk memastikan ada atau tidaknya efusi transudat (Loscalzo, 2015).

2)      Hidrotoraks hati Efusi terjdi pada sekitar 5% pasien dengan sirosis dan asites. Mekanisme utama dengan perpindahan lagsung cairan peritoneum melalui lubang – lubang kecil di diafragma ke dalam rongga pleura. Efusi ini terjadi di sisi kanan dan sering cukup banyak menimbulkan dispneu berat (Loscalzo, 2015).

3)      Empiema Empyema merupakan transisi dari efusi para pneumoni ke empiema melibatkan timbulnya organisme dalam cairan, peningkatan polimorf dan penurunan pH dan glukosa (Millard dan Pepper, 2013)

 

4.      TANDA DAN GEJALA

            Menurut (Saferi, 2013) tanda dan gejala yang ditimbulkan dari efusi
      pleura berdasarkan penyebabnya adalah :

a.       Batuk

b.      Sesak napas

c.       Nyeri pleuritis

d.      Rasa berat pada dada

e.       Berat badan menurun

f.        Bunyi nafas krekels, ronki dan mengi

g.      Adanya gejala-gejala penyakit penyebab seperti demam, mengigil, dam nyeri dada pleuritis (pneumonia), panas tinggi (kokus), subfebril (tuberkolosis) banyak keringat, batuk.

h.      Deviasi trachea menjauhi tempat yang sakit dapat terjadi jika terjadi penumpukan cairan pleural yang signifikan.

i.        Pada pemeriksaan fisik :

-          Inflamasi dapat terjadi friction rub

-          Atelektaksis kompresif (kolaps paru parsial ) dapat menyebabkan bunyi napas bronkus.

-          Pemeriksaan fisik dalam keadaan berbaring dan duduk akan berlainan karena cairan akan berpindah tempat. Bagian yang sakit akan kurang bergerak dalam pernapasan.

-          Focal fremitus melemah pada perkusi didapati pekak, dalam keadaan duduk permukaan cairan membentuk garis melengkung (garis ellis damoiseu).

 

5.      KOMPLIKASI

a.       Fibrotoraks

           Efusi pleura yang berupa eksudat yang tidak ditangani dengan drainase yang baik akan terjadi perlekatan fibrosa antara pleura parietalis dan pleura viseralis. Keadaan ini disebut dengan fibrotoraks. Jika fibrotoraks meluas dapat menimbulkan hambatan mekanis yang berat pada jaringan - jaringan yang berada dibawahnya. Pembedahan pengupasan (dekortikasi) perlu dilakukan untuk memisahkan membran - membran pleura tersebut.

b.      Atalektasis

           ektasis adalah pengembangan paru yang tidak sempurna yang disebabkan oleh penekanan akibat efusi pleura.

c.       Fibrosis paru

           Fibrosis paru merupakan keadaan patologis dimana terdapat jaringan ikat paru dalam jumlah yang berlebihan. Fibrosis timbul akibat cara perbaikan jaringan sebagai kelanjutan suatu proses penyakit paru yang menimbulkan peradangan. Pada efusi pleura, atalektasis yang berkepanjangan dapat menyebabkan penggantian jaringan paru yang terserang dengan jaringan fibrosis.

d.      Kolaps Paru

           Pada efusi pleura, atalektasis tekanan yang diakibatkan oleh tekanan ektrinsik pada sebagian/semua bagian paru akan mendorong udara keluar dan mengakibatkan kolaps paru.

e.       Empiema Kumpulan nanah dalam rongga antara paru-paru dan membran yang mengelilinginya (rongga pleura). Empiema disebabkan oleh infeksi yang menyebar dari paru-paru dan menyebabkan akumulasi nanah dalam rongga pleura. Cairan yang terinfeksi dapat mencapai satu gelas bir atau lebih, yang menyebabkan tekanan pada paru-paru, sesak napas dan rasa sakit (Morton, 2012).

 

 

6.      PEMERIKSAAN PENUNJANG

            Menurut (Pranita, 2020), pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada
       pasien efusi pleura adalah:

a.       Radiografi dada Merupakan studi pencitraan pertama yang dilakukan ketika mengevaluasi efusi pleura. Foto posteroanterior umumnya akan menunjukkan adanya efusi pleura ketika ada sekitar 200 ml cairan pleura, dan foto lateral akan terinterpretasi abnormal ketika terdapat sekitar 50 ml cairan pleura.

b.      Ultrasonografi thoraks Juga memiliki peran yang semakin penting dalam evaluasi efusi pleura karena sensitivitasnya yang lebih tinggi dalam mendeteksi cairan pleura daripada pemeriksaan klinis atau radiografi toraks. Karakteristik yang juga dapat dilihat pada USG dapat membantu menentukan apakah terjadi efusi sederhana atau kompleks. Efusi sederhana dapat diidentifikasi sebagai cairan dalam rongga pleura dengan echotexture homogen seperti yang terlihat pada sebagian besar efusi transudatif, sedangkan efusi yang kompleks bersifat echogenic, sering terlihat septasi di dalam cairan, dan selalu eksudat. Bedside Ultrasound dianjurkan saat melakukan thoracentesis untuk meningkatkan akurasi dan keamanan procedural pleura melalui biopsi jalur perkutaneus.

      Komplikasi biopsi adalah pneumothoraks, hemothoraks, penyebaran infeksi dan tumor dinding dada.

c.       Analisa cairan pleura Untuk diagnostik cairan pleura perlu dilakukan pemeriksaan:

1.      Warna cairan - Haemorragic pleural efusion, biasanya pada klien dengan adanya keganasan paru atau akibat infark paru terutama disebabkan oleh tuberkolosis. - Yellow exudates pleural efusion, terutama terjadi pada keadaan gagal jantung kongestif, sindrom nefrotik, hipoalbuminemia, dan perikarditis konstriktif. - Clear transudate pleural efusion, sering terjadi pada klien dengan keganasan ekstrapulmoner.

2.      Biokimia, untuk membedakan transudasi dan eksudasi.

3.      Sitologi, pemeriksaan sitologi bila ditemukan patologis atau dominasi sel tertentu untuk melihat adanya keganasan

4.      akteriologi Biasanya cairan pleura steril, tapi kadang-kadang dapat mengandung mikroorganisme, apalagi bila cairannya purulen. Efusi yang purulen dapat mengandung kuman-kuman yang aerob ataupun anaerob.

        Jenis kuman yang sering ditemukan adalah Pneumococcus, coli,   
        clebsiella, Pseudomonas, Enterobacter,

5.      CT Scan Thoraks.

         Berperan penting dalam mendeteksi ketidaknormalan konfigurasi trakea serta cabang utama bronkus, menentukan lesi pada pleura dan secara umum mengungkapkan sifat serta derajat kelainan bayangan yang terdapat pada paru dan jaringan toraks lainnya (Pranita, 2020).

 

7.      PENATALAKSANAAN

          Tujuan penatalaksanaan pada efusi pleura adalah paliasi atau mengurangi gejala. Pilihan terapi harus tergantung pada prognosis, kejadian efusi berulang, dan keparahan gejala pada pasien (Pranita, 2020)

a.       Thorakosintesis

        Thorakosintesis diindikasikan untuk efusi pleura baru yang tidak tahu penyebabnya. Obeservasi dan optimal medical therapy (OMT) tanpa dilakukan thorasentesis merupakan hal yang wajar dalam penanganan efusi pleura karena gagal jantung atau setelah operasi CABG. Namun manifestasi lain (seperti demam, pleuritis; radang selaput dada) atau kegagalan untuk menanggapi terapi pada pasien harus segera dipertimbangkan dilakukan thorasentesis diagnostik.

b.      Pemeriksaan laboratorium

         Analisis cairan pleura, penampilan makroskopis cairan pleura harus diperhatikan saat dilakukan thoracentesis, karena dapat menegakkan diagnosis. Cairan bisa sifatnya serosa, serosanguineous (ternoda darah), hemoragik, atau bernanah. Cairan berdarah (hemoragik) sering terlihat pada keganasan, emboli paru dengan infark paru, trauma, efusi asbes jinak, atau sindrom cedera jantung. Cairan purulen dapat dilihat pada empiema dan efusi lipid. Sebagai tambahan. bau busuk dapat menyebabkan infeksi anaerob dan bau amonia menjadi urinothorax. Karakterisasi cairan pleura sebagai transudat atau eksudat membantu menyingkirkan diagnosis banding dan mengarahkan pemeriksaan selanjutnya.

c.       Kimia darah

          Pada pemeriksaan kimia darah konsentrasi glukosa dalam cairan pleura berbanding lurus dengan kelainan patologi pada cairan pleura. Asidosis cairan pleura (pH rendah berkorelasi dengan prognosis buruk dan memprediksi kegagalan pleurodesis. Pada dugaan infeksi pleura, pH kurang dari 7,20 harus diobati dengan drainase pleura. Amilase cairan pleura meningkat jika rasio cairan amilase terhadap serum pleura lebih besar dari 1,0 dan biasanya menunjukkan penyakit pankreas, ruptur esofagus, dan efusi yang ganas.

d.      Water Seal Drainage (WSD) Drainase cairan (Water Seal Drainage) jika efusi menimbulkan gejala subyektif seperti nyeri, dispnea, dll. Cairan efusi sebanyak 1 – 1,2 liter perlu dikeluarkan segera untuk mencegah meningkatnya edema paru, jika jumlah cairan efusi lebih banyak maka pengeluaran cairan berikutya baru dapat dilakukan 1 jam kemudian. Pada efusi yang terinfeksi perlu segera dikeluarkan dengan memakai pipa intubasi melalui selang iga. Bila cairan pusnya kental sehingga sulit keluar atau bila empiemanya multiokuler, perlu tindakan operatif. Mungkin sebelumnya dapat dibantu dengan irigasi cairan garam fisiologis atau larutan antiseptik. Pengobatan secara sistemik hendaknya segera dilakukan, tetapi terapi ini tidak berarti bila tidak diiringi pengeluaran cairan yang adequate.

        Untuk mencegah terjadinya lagi efusi pleura setelah aspirasi dapat dilakukan pleurodesis yakni melengketkan pleura viseralis dan pleura parietalis. Zat-zat yang dipakai adalah tetrasiklin, Bleomicin, Corynecbaterium parvum dll (Pranita, 2020).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

B.     KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

      Asuhan keperawatan diawali dengan mencari data dasar yang akurat berupa hasil pengkajian. Setelah pengkajian maka ditegakkan diagosa keperawatan lalu menyusun rencana tindakan (intervensi) sebagai panduan dalam melakukan tindakan keperawatan (implementasi). Proses asuhan keperawatan yang terakhir adalah evaluasi keperawatan untuk menilai keberhasilan dari asuhan keperawatan yang telah dilakukan (Elyas, 2013).

1.      Pengkajian

A)    Pengkajian primer

1)       Airway

a.       Peningkatan sekresi pernapasan

b.      Bunyi nafas krekels, ronki dan mengi

c.       Jalan napas adanya sputum, secret, lendir, darah, dan benda asing,

d.      Jalan napas bersih atau tidak

2)      Breathing

a.       Distress pernapasan : pernapasan cuping hidung, bradipneu, retraksi.

b.       Peningkatan frekuensi nafas.

c.       Nafas dangkal dan cepat

d.      Kelemahan otot pernapasan

e.       Reflek batuk ada atau tidak

f.        Penggunaan otot Bantu pernapasan

g.      Penggunaan alat Bantu pernapasan ada atau tidak

h.      Irama pernapasan : teratur atau tidak

i.        Bunyi napas Normal atau tidak

3)      Circulation

a.       Penurunan curah jantung : gelisah, letargi, takikardia

b.      Sakit kepala

c.        Gangguan tingkat kesadaran

4)      Disability

a.       Keadaan umum : GCS, tingkat kesadaran, nyeri atau tidak

b.      Adanya trauma atau tidak pada thoraks

5)      Exposure

a.       viromental control

b.      Buka baju penderita tetapi cegah terjadinya hipotermia.

B)    Pengkajian sekunder

1.      Identitas Klien Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan, alamat, no. rekam medis, diagnosis medis.

2.      Keluhan Utama Biasanya pada pasien dengan efusi pleura didapatkan keluhan berupa : sesak nafas, rasa berat pada dada, nyeri sebagian  akibat iritasi pleura yang bersifat tajam dan terlokasilir terutama pada saat batuk dan bernafas serta batuk non produktif.

3.      Riwayat Penyakit Sekarang Pasien dengan 39ebagi pleura biasanya akan diawali dengan adanya tanda -tanda seperti batuk, sesak nafas, nyeri sebagian, rasa berat pada dada, berat badan menurun dan sebagainya.

4.       Riwayat Penyakit Dahulu Perlu ditanyakan apakah pasienpernah menderita penyakit seperti TBC paru, pneumoni, gagal jantung, trauma, asites dan sebagainya.Hal ini diperlukan untuk mengetahui kemungkinan adanya 39ebagi predisposisi.

5.      Riwayat Penyakit Keluarga Perlu ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakit- penyakit yang disinyalir sebagai penyebab 39ebagi pleura seperti Ca paru, asma, TB paru dan lain sebagainya.

6.      Riwayat Psikososial Meliputi perasaan pasien terhadap penyakitnya, bagaimana cara mengatasinya serta bagaimana perilaku pasien terhadap 40ebagian yang dilakukan terhadap dirinya.

7.      Pengkajian Pola Fungsi

-          Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat

-          Adanya 40ebagian medis danperawatan di rumah sakit mempengaruhi perubahan persepsi tentang sebagian, tapi kadang juga memunculkan persepsi yang salah terhadap pemeliharaan 40ebagian40.

-          Kemungkinan adanya sebagian kebiasaan merokok, minum alcohol dan penggunaan obat-obatan bias menjadi sebagian predisposisi timbulnya penyakit.

8.      Pola tidur dan istirahat

-          Adanya nyeri dada, sesak nafas dan peningkatan suhu tubuh akan berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan tidur dan istirahat.

-          Selain itu, akibat perubahan kondisi lingkungan dari lingkungan rumah yang tenang ke lingkungan rumah sakit, dimana banyak orang yang mondar – mandir, berisik dan lain sebagainya.

C)    Pemeriksaan Fisik

1)      Status Kesehatan Umum Tingkat kesadaran pasien perlu dikaji, bagaimana penampilan pasien secara umum, ekspresi wajah pasien selama dilakukan anamnesa, sikap dan perilaku pasien terhadap petugas, bagaimana mood pasien untuk mengetahui tingkat kecemasan dan ketegangan pasien.

2)      Sistem Respirasi

     Inspeksi pada pasien efusi pleura bentuk hemithorax yang sakit mencembung, iga mendatar, ruang antar iga melebar, pergerakan pernafasan menurun. Pendorongan mediastinum 42ebagia hemithorax kontra lateral yang diketahui dari posisi 42ebagia dan ictus kordis. Pernapasan cenderung meningkat dan pasien biasanya dyspneu.

a)      Fremitus tokal menurun terutama untuk 42ebagi pleura yang jumlah cairannya > 250 cc. Disamping itu pada palpasi juga ditemukan pergerakan dinding dada yang tertinggal pada dada yang sakit.

b)      Suara perkusi redup sampai pekak tegantung jumlah cairannya. Bila cairannya tidak mengisi penuh rongga pleura, maka akan terdapat batas atas cairan berupa garis lengkung dengan ujung lateral atas ke medical penderita dalam posisi duduk. Garis ini disebut garis Ellis Damoisseaux. Garis ini paling jelas di bagian depan dada, kurang jelas di punggung.

c)      Auskultasi suara nafas menurun sampai menghilang. Pada posisi duduk cairan makin ke atas makin tipis, dan dibaliknya ada kompresi 42ebagian42ic dari parenkian paru, mungkin saja akan ditemukan tanda tanda auskultasi dari 42ebagian42ic kompresi di sekitar batas atas cairan.

D)    Sistem Cardiovasculer

a)       Pada inspeksi perlu diperhatikan letak ictus cordis, normal berada pada ICS-5 pada linea medio klavikula kiri selebar 1 cm. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya pembesaran jantung.

b)      Palpasi untuk menghitung frekuensi jantung (health rate) harus diperhatikan kedalaman dan teratur tidaknya denyut jantung, perlu juga memeriksa adanya thrill yaitu getaran ictuscordis.

c)      Perkusi untuk menentukan batas jantung dimana daerah jantung terdengar pekak. Hal ini bertujuan untuk menentukan adakah pembesaran jantung atau ventrikel kiri.

d)      Auskultasi untuk menentukan suara jantung I dan II tunggal atau gallop dan adakah bunyi jantung III yang merupakan gejala payah jantung serta adakah murmur yang menunjukkan adanya peningkatan arus turbulensi darah.

E)     Sistem Pencernaan

a)      Pada inspeksi perlu diperhatikan, apakah abdomen membuncit atau datar, tepi perut menonjol atau tidak, umbilicus menonjol atau tidak, selain itu juga perlu di inspeksi ada tidaknya benjolan-benjolan atau massa.

b)      Auskultasi untuk mendengarkan suara 43ebagian43ic usus dimana nilai normalnya 5-35 kali per menit.

c)      Pada palpasi perlu juga diperhatikan, adakah nyeri tekan abdomen, adakah massa (tumor, feces), turgor kulit perut untuk mengetahui derajat hidrasi pasien, apakah hepar teraba.

d)      Perkusi abdomen normal tympani, adanya massa padat atau cairan akan menimbulkan suara pekak (hepar, asites, vesikaurinarta, tumor).

e)      Sistem Neurologis Pada inspeksi tingkat kesadaran perlu dikaji Disamping itu juga diperlukan pemeriksaan GCS, apakah composmentis atau somnolen atau comma. Pemeriksaan refleks patologis dan refleks fisiologisnya.Selain itu fungsi-fungsi sensoris juga perlu dikaji seperti pendengaran, penglihatan, penciuman, perabaan dan pengecapan.

f)       Sistem Muskuloskeletal Pada inspeksi perlu diperhatikan adakah edema peritibial.Selain itu, palpasi pada kedua ekstremetas untuk mengetahui tingkat perfusi perifer serta dengan pemerikasaan capillary refiltime. Dengan inspeksi dan palpasi dilakukan pemeriksaan kekuatan otot kemudian dibandingkan antara kiri dan kanan.

g)      Sistem Integumen Inspeksi mengenai keadaan umum kulit sebagian, warna ada tidaknya lesi pada kulit, pada pasien dengan efusi biasanya akan tampak cyanosis akibat adanya kegagalan sebagian transport oksigen. Pada palpasi perlu diperiksa mengenai kehangatan kulit (dingin, hangat, demam). Kemudian tekstur kulit (halus-lunakkasar) serta turgor kulit untuk mengetahui derajat hidrasi seseorang.

F)      Diagnosa Keperawatan

      Menurut Nurarif (2015), diagnosa keperawatan yang mungkin muncul dengan masalah pneumonia:

1.      Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan keletihan otot pernafasan yang ditandai dengan dispena, dispena, penggunaan otot bantu pernafasan, pernafasan cuping hidung (D.0005)

2.       Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran alveolar-kalpier yang ditandai dengan dispnea saat istirahat, dispneu saat aktifitas ringan, sianosis. ( D.0003)

3.       Resiko defisit nutrisi berhubungan dengan faktor psikologis (keengganan untuk makan) (D.0032)

4.       Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis (D.0077)

5.      Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan umum (D.0056)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

G)    Intervensi Keperawatan

No.

Diagnosa keperawatan

Tujuan dan kriteria hasil

Intervensi

1

Pola nafas tidak efektif (SDKI, 2016 D.0005)

Setalah di lakukan asuhan keperawatan 1x4 jam di harapkan ekspirasi ventilasi adekuat membaik dengan kriteria hasil :

1. Ventilasi semenit meningkat

2. Kapasitas vital meningkat

3. Tekanan ekspirasi meningkat

4. Dispnea menurun

5. Penggunaan otot bantu nafas menurun Pernafasan cuping hidung menurun

 

Manajemen jalan nafas Observasi :

1. Monitor pola nafas

2. Monitor bunyi nafas 3.  Monitor adanya sputum Terapeutik :

4. Pertahankan kepatenan jalan nafas

5. Posisikan semi fowler

6. Lakukan fisioterapi dada

7. Berikan oksigen Edukasi :

8. Anjurkan asupan cairan 22000 ml/hari Ajarkan teknik batuk efektif

2

Gangguan pertukaran gas ( SDKI, 2016 D0003)

Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 1 x 24 Jam Pola Napas Membaik Dengan Kriteria Hasil :

1. Dispnea menurun

2. Penggunaan otot bantu napas menurun

3. Frekuensi nafas membaik (12-20x/menit)

4. Gelisah menurun

5. Napas cuoing hidung menurun

Pemantauan Respirasi

  1.   Monitor pola napas

        Monitor 

2.      saturasi oksigen

3.      Monitor nilai AGD

4.      Berikan oksigen

5.      Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan

3

Resiko defisit nutrisi berhubungan dengan faktor psikologis (keengganan untuk makan) (SDKI, 2016 D.0032)

Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 1 x 24 Jam asupan nutrisi membaik Dengan kriteria hasil :

1. Porsi makanan yang di habiskan cukup meningkat

2. Kekuatan otot menelan meningkat

3. Kekuatan otot pengunyah meningkat

4. Verbalisasi untuk meningkatkan nutrisi meningkat

Observasi :

1. identifikasi status nutrisi

2. identifikasi makanan yang di sukai

3. monitor asupan makanan

4. monitor hasil pemeriksaan laboratorium

4

Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis (SDKI, 2016 D.0077)

Setelah di lakukan intervensi keperawatan selama 1x24 jam diharapkan nyeri Menurun dengan kriteria hasil : 1. Keluhan nyeri menurun 2. Meringis menurun 3. Gelisah menurun 4. Kesulitan tidur menurun 5. Mual dan muntah menurun

Observasi :

1. Identifikasi skala nyeri

2. identifikasi skala nyeri non verbal

3. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kuantitas, intensitas nyeri

4. identifikasi budaya terhadap respon nyeri Terapeutik :

5. Ajarkan non farmakologis untuk mengurangi rasa nyeri (mis, tarik nafas dalam, terapi musik dll)

6. Berikan analgetik

5

Intoleransi aktifitas (SDKI, 2016 D.0056)

Setelah di lakukan intervensi keperawatan selama 1x24 jam diharapkan Toleransi Aktivitas Meningkat dengan kriteria hasil :

1. Kemudahan dalam melakukan aktivitas sehari-hari 2. Keluhan lelah menurun

 3. Perasaan lemah menurun

4. Frekuensi napas membaik (12-20x/menit)

Intervensi Keperawatan Manajemen Energi (SIKI 1.05178 ) Observasi :

1. Monitor kelelahan fisik
     dan emosional

2. Berikan aktivitas
    distraksi yang  
    menenangkan

3. Anjurkan tirah baring

 

H)    Implementasi

Implementasi adalah berkesinambungan dan interaktif dengan komponen lain dari proses keperawatan. Selama implementasi, perawat mengkaji kembali pasien, modifikasi rencana asuhan, dan menuliskan kembali hasil yang diharapkan sesuai kebutuhan. Untuk implementasi yang efektif, perawat harus berpengetahuan banyak tentang tipe-tipe intervensi, proses implementasi dan metode implementasi. Ada tiga fase implementasi keperawatan yaitu :

a.       Fase persiapan, meliputi pengetahuan tentang rencana, validasi rencana, pengetahuan dan keterampilan mengimplementasikan rencana, persiapan pasien dan lingkungan.

b.      Fase operasional, merupakan puncak implementasi dengan berorientasi dengn tujuan. Implementasi apat dilakukan dengan intervensi indeoenden, dependen atau interdependen

c.       Fase terminasi, merupakan terminasi perawat dengan pasien setelah implementasi dilakukan (potter and pery, 2005)

 

I)       Evaluasi

        Keperawatan Evaluasi keperawatan adalah kegiatan yang terus – menerus dilakukan untuk menentukan apakah rencana keperawatan efektif dan bagaimana rencana keperawatan dilanjutkan, merevisi rencana atau menghentikan rencana keperawatan (Manurung, 2011).

 

 


 

                                DAFTAR PUSTAKA

 

 

      Ali, U., Latif, H. A., & Kadir, A. (2014). KEPERAWATAN DI RUANG IGD RSUP Dr . WAHIDIN. 4, 228–235. Australian Government Department of Health and Aging. (2009). Emergency Triage Education Kit and Triage Workbook. D’Agostino, H. and Edens, M. (2020).       Physiology, Pleural Fluid. Finlandia: StatPearls Publishing. Dalgleish, T., Williams, J. M. G. ., Golden, A.-M. J., Perkins, N., Barrett, L. F., Barnard, P. J., Au Yeung, C., Murphy, V., Elward, R., Tchanturia, K., & Watkins, E. (2007). Emergency Education Kit. Journal of Experimental Psychology: General, 136(1).

      Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2006). Profil Penderita Efusi Pleura. Depkes RI. (2010). Prinsip Umum Pelayanan Rumah Sakit.

      Depkes RI. (2010). Prinsip Umum Pelayanan Rumah Sakit. Destifiana, N. (2015).

        Hubungan Kejenuhan Kerja dan Beban Kerja Dengan Kinerja Perawat Dalam Pemberian Pelayanan Kpeerawatan DI IGD dan ICU RSUD Dr. R. Goetheng Taroenadibrata Purbalingga. 13–43. Dugdale, D. (2014). Pleural Efussion. US: US internasional Library of Medicine Natinal Institute of Health. Elyas, Y. (2013).

        Asuhan Keperawatan Pada Klien Tn. T Dengan Masalah Kesehatan Masyarakat Di Perkotaan : Demam Berdarah Dengue (DBD) Di Ruang Melati Atas RSUP Persahabatan. Universitas Indonesia. Kebijakan RS Premier Surabaya. (2015a). Standar Operasional Prosedur Tentang Alur Pasien Instalasi Gawat Darurat. Kebijakan RS Premier Surabaya. (2015b). Standar Operasional Prosedur Tentang Triase IGD. Kemenkes RI. (2016). Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu. 1–18. Khairani R, Syahruddin E, P. L. (2012). Karakteristik efusi pleura di Rumah Sakit Persahabatan. 32:155-60(J Respir Indo.).


UNDUH FILE NYA

Comments

Popular posts from this blog

DOWNLOAD CONTOH SURAT LAMARAN DAPUR MBG

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN AN. M.A DENGAN DIAGNOSA MEDIS KEJANG DEMAM (HIPERTERMIA)

LAPORAN PENDAHULUAN DIARE