UNDUH LAPORAN PENDAHULUAN GANGUAN MOBILITAS FISIK PADA PASIEN DENGAN CVA (CEREBRO VASCULAR ACCIDENT) FORMAT DOC WORD
LAPORAN PENDAHULUAN GANGUAN
MOBILITAS FISIK PADA PASIEN DENGAN CVA (CEREBRO
VASCULAR ACCIDENT)
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
CVA
(Cerebro Vascular Accident) biasa
dikenal oleh masyarakat dengan istilah stroke yang menjadi penyebab utama
kematian di Indonesia. Penyakit CVA atau
stroke di mana terjadinya gangguan fungsi otak yang berhubungan dengan penyakit
pembuluh darah yang mensuplai darah ke otak yang di karenakan pecahnya pembuluh
darah atau karena tersumbatnya pembuluh darah yang menyebabkan terpotongnya
suplai oksigen dan nutrisi yang mengakibatkan terjadinya kerusakan pada jaringan
otak.
Di Indonesia sendiri
CVA merupakan salah satu penyebab kematian utama dan penyebab utama kecacatan
neurologis (Mutiarasari, 2019). Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
Tidak Menular Kementrian Kesehatan Republik Indonesia menyebutkan jumlah
penderita CVA mengalami peningkatan rata-rata 1,9 pertahun dengan 66% penduduk
beresiko sedang dan tinggi (Kemenkes RI, 2018). Hasil riset kesehatan dasar (Riskesdes) indonesia tahun
2018 menunjukan bahwa angka kejadian CVA di Indonesia sebesar 10,9 per 1000
peduduk yang telah didiagnosa oleh tenaga kesehatan. Jumlah penderita CVA di
Indonesia terus mengalami peningkatan. CVA menyerang 50,2 per 1000 penduduk
usia lanjut. Jumlah total penderita CVA di Indonesia diperkirakan 500.000
setiap tahun. Dari jumlah tersebut, sekitar 2,5 % atau 250.000 orang meninggal
dunia, dan sisanya cacat ringan ataupun berat (Kemenkes RI, 2018).
Terdapat
dua tipe dari CVA yaitu CVA iskemik atau non hemoragik akibat berkurangnya
aliran darah sehubungan dengan penyumbatan, dan CVA hemoragik akibat
perdarahan. CVA terjadi akibat pembuluh darah yang membawa darah dan oksigen ke
otak mengalami penyumbatan dan ruptur, kekurangan oksigen menyebabkan fungsi
kontrol gerakan tubuh yang dikendalikan oleh otak tidak berfungsi (AHA/ASA,
2017). Gangguan tersebut secara mendadak menimbulkan gejala antara lain
kelumpuhan sesisi wajah atau anggota badan, bicara tidak lancar, bicara tidak
jelas (pelo), perubahan kesadaran, gangguan penglihatan, dan lain-lain
(Kemenkes RI, 2018). Prevalensi CVA non hemoragik berdasarkan hasil Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) di Indonesia mengalami peningkatan pada tahun 2013
kejadian CVA dari 7 % dan meningkat menjadi 10,9 % di tahun 2018. Dampak dari
penyakit CVA non hemoragik yaitu, pasien akan mengalami kelemahan serta
kelumpuhan dengan persentasi sebanyak 90%, serta kondisi ini akan dirasakan
oleh pasien ketika sudah tidak di rawat di rumah sakit atau pada saat pasien
pulang kerumah (Hutagalung, 2021). Penanganan CVA harus dilaksanakan secara
cepat dan tepat guna menghindari kecacatan atau komplikasi lanjut.
CVA dapat disebabkan oleh beberapa faktor,
faktor risiko yang tidak dapat dikontrol terdiri atas usia, ras jenis kelamin,
kebiasaan merokok, dan faktor resiko yang dapat dikontrol terdiri atas riwayat
banyaknya cara untuk mengatasi kelebihan berat badan yang dilakukan masyarakat
saat ini misalnya dengan diet rendah lemak serta olahraga maupun meningkatkan
aktivitas fisiklainnya, ditambah lagi semakin maraknya suplemen atau obat yang
bisa membantu menurunkan berat badan dan makanan yang mengandung lemak tinggi, terlebih
lagi lemak jenuh, serta kurangi asupan garam. Diet yang mengandung banyak
serat, seperti buah-buahan dan sayuran serta rendah garam terbukti dapat
mengurangi stroke (Dewi, 2016).
Akibat yang ditimbulkan oleh CVA
diantaranya kelemahan (lumpuh sebagian atau menyeluruh) secara mendadak,
hilangnya sensasi berbicara, melihat, atau berjalan, hingga menyebabkan
kematian. Penanganan terhadap klien stroke terutama klien baru seharusnya
dilakukan dengan cepat dan tepat. Kepastian penentuan tipe patologi stroke
secara dini sangat penting untuk pemberian obat yang tepat guna mencegah dampak
yang lebih fatal (Arifianto, Aji Seto, Moechammad Sarosa, 2017). Penyebab
terjadinya Gangguan Mobilitas Fisik biasanya terjadi Kerusakan integritas
struktur tulang, penurunan kendali otot, penurunan massa otot, penurunan
kekuatan otot, kekakuan sendi dan nyeri sehingga jika pada klien yang mengalami
gangguan mobilitas fisik tidak segera ditangani maka klien akan mengalami
kesulitan untuk menggerakkan tubuhnya sehingga sendi akan mengalami kekakuan
dan fisiknya akan melemah. (PPNI, 2016).
Disfungsi
motorik yang terjadi mengakibatkan klien mengalami keterbatasan dalam
menggerakkan bagian tubuhnya sehingga meningkatkan risiko terjadinya
komplikasi. Komplikasi akibat imobilisasi menyebabkan 51%kematian pada 30 hari
pertama setelah terjadinya serangan stroke iskemik. Imobilitas juga dapat
menyebabkan kekakuan sendi (kontraktur), komplikasi ortopedik, atropi otot, dan
kelumpuhan saraf akibat penekanan yang lama (nerve pressure palsies) . Masalah
yang berhubungan dengan kondisi imobilisasi pada klien stroke dinyatakan
sebagai diagnosa keperawatan. Diagnosa keperawatan utama yang sesuai dengan
masalah imobilisasi pada klien stroke adalah Gangguan mobilitas fisik.
1.2 Tujuan
Mengaplikasikan Asuhan Keperawatan sesuai
Standar Diagnosa Keperawatan (SDKI), Standar Luaran Keperawatan Indonesia
(SLKI), serta Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI) pada Klien CVA di
Ruang Bougenville RSUD Mardi Waluyo Kota Blitar.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Konsep Penyakit Cerebro vascular accident (CVA)
2.1.1
Definisi
Cerebro vascular accident
(CVA) atau biasa dikenal sebagai stroke merupakan suatu penyakit neurologis
yang disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak secara mendadak yang
mengakibatkan kelumpuhan anggota gerak, gangguan bicara, proses berpikir, dan
bentuk kecacatan yang lain akibat gangguan fungsi otak (Okdiyantino, Sri S,
& Setyaningsih, 2019). Stroke adalah penyakit akibat gangguan peredaran
darah ke otak, stroke dapat menyerang siapa saja tanpa memandang usia muda
ataupun tua, suku, lakilaki atau perempuan, riwayat penyakit bahkan sosial
ekonomi masyarakat. Stroke dapat menyerang kapanpun dan dimanapun secara
mendadak, namun masih banyak masyarakat yang kurang memperhatikan mengenai
risiko terjadinya stroke (Japp, Alan G. 2019).
2.1.2 Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya, CVA dapat
diklasifikasikan menjadi 2 tipe:
1. Stroke
Hemoragik
Stroke hemoragik adalah disfungsi neurologi fokal yang
akut dan disebabkan oleh perdarahan primer substansi otak yang terjadi secara
spontan bukan oleh karena trauma kapitis, disebabkan oleh karena pecahnya
pembuluh arteri, venadan kapiler. Stroke hemoragik terjadi karena salah satu
pembuluh darah di otak (aneurisma, mikroaneurisma, kelainan pembuluh darah
kongenital) pecah ataurobek (Setyanto, 2019).
2. Stroke
Iskemik
Stroke iskemik merupakan terjadinya stroke karena adanya
penyumbatan pada pembuluh darah di otak, sumbatan diakibatkan oleh trombus
(gumpalan darah) atau embolus (lemak,udara atau plak), hal ini menyebabkan otak
mengalami kekurangan oksigen, jika otak mengalami kekurangan oksigen maka
terjadi infark pada otak, durasi waktu terjadinya stroke iskemik ini 10 menit
dan dapat pulih tanpa gejala apapun (Alan G japp, 2019).
2.1.3 Etiologi
Menurut (Angganita, & Devi,
2022) ada penyebab terjadinya stroke berdasarkan mekanisme diantaranya:
a. Trombosis serebra
Thrombosis
ini terjadi pada pembuluh darah yang mengalami oklusi sehingga hal ini menyebabkan iskemia jaringan otak yang
dapat menimbulkan edema
dankongesti di sekitarnya. Trombosis
ini juga dapat terjadi akibat aterosklerosis,hiperkoagulasi
pada polisitemia, arteritis (radang pada arteri) dan emboli.
b. Hemoragik (perdarahan)
Perdarahan
intrakranial atau intraserebral termasuk perdarahan dalam ruangsubaraknoid atau kedalaman jaringan
otak itu sendiri akibat dari pecahnya
pembuluh darah. Pecahnya pembuluh darah ini diakibatkan karena adanyaa terosklerosis dan hipertensi.
Pecahnya pembuluh darah di otak dapat mengakibatkan
penekanan, pergeseran, dan pemisahan jaringan otak yang berdekatan, sehingga otak akan mengalami pembengkakan, jaringan otak
tertekan,sehingga terjadi infark
otak, edema dan kemungkinan terjadi herniasi otak
c.
Hipoksia umum
Hipoksia umum disebabkan oleh
hipertensi yang parah, henti jantung paru,
dan curah jantung turun akibat aritmia yang dapat menyebabkan aliran darah ke otak terganggu.
d.
Hipoksia Setempat
Hipoksia setempat diakibatkan oleh
spasme arteri serebral yang disertai
perdarahan subaraknoid dan vasokonstriksi arteri otak disertai dengan sakit kepala migren.
2.1.4
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang dapat
ditemukan pada pasien dengan CVA meliputi : aktivitas motorik, eliminasi bowel
dan urin, fungsi intelektual, kerusakan persepsi sensori,
kepribadian, efek, sensasi, menelan, dan komunikasi. Manifestasi klinis
tersebut terkait dengan arteri yang tersumbat dan area otak yang tidak
mendapatkan perfusi adekuat dari arteri tersebut (Lewis, 2017).
1.
Kehilangan Fungsi Motorik Efek
Efek yang paling jelas terlihat pada
pasien CVA adalah adanya defisit fungsi motorik antara lain :
1)
Kesusakan mobilitas
2)
Kerusakan fungsi respirasi
3)
Kerusakan fungsi menelan dan berbicara
4)
Kerusakan kemampuan melakukan aktivitas sehari-hari.
Gejala-gejala yang muncul
diakibatkan oleh adanya kerusakan motor neuron pada jalur piramidal (berkas
saraf dari otak yang melewati spinal cord menuju sel-sel motorik) karakteristik
defisit motoric meliputi aknesia, gangguan integrasi gerakan, kerusakan tonus
otot, dan kerusakan refleks. Karena jalur piramidal menyebrang pada saat di
medulla, kerusakan kontrol motorik volunter pada satu sisi tubuh merefleksikan
adanya kerusakan motor neuron atas di sisi yang berlawanan pada otak
(kontralateral). Disfungsi motorik yang paling sering terjadi hemiplegia
(paralisis pada satu sisi tubuh) dan hemiparesis (kelemahan pada satu sisi
tubuh).
2. Kehilangan
Fungsi Komunikasi
Fungsi otak lain yang dipengaruhi
adalah bahasa dan komunikasi. CVA adalah penyebab utama terjadinya afasia.
Disfungsi bahasa dan komunikasi akibat CVA antara lain:
1) Disartria (kesulitan bicara),
diakibatkan oleh paralisis otot yang bertanggung
jawab untuk menghasilkan bicara.
2) Disfasia (kesulitan terkait
penggunaan bahasa) atau afasia (kehilangan total kemampuan menggunakan bahasa), dapat berupa afasia ekspresif,
afasia reseptif, atau afasia
global (campuran antara keduanya).
3) Apraksia (ketidakmampuan
melakukan tindakan yang telah dipelajari sebelumnya).
3. Kerusakan Afek
Pasien yang pernah mengalami CVA akan kesulitan mengontrol emosinya. Respon
emosinya tidak dapat ditebak. Perasaan depresi akibat perubahan gambaran tubuh
dan hilangnya berbagai fungsi tubuh dapat membuat maik parah. Pasien dapat pula
mengalami frustasi karena masalah mobilitas dan komunikasi.
4. Kerusakan Fungsi Intelektualitas Pada pasien CVA
fungsi intelektualitas dapat terganggu dinilai dari kualitas memori dan
kemampuan pasien dalam menilai sesuatu. Pasien dengan CVA otak kiri sangat berhati-hati
membuat penilaian. Pasien dengan CVA otak kanan cenderung impulsif dan bereaksi
lebih cepat.
5. Gangguan persepsi dan sensori Persepsi adalah
kemampuan untuk menginterpretasikan sensai. CVA dapat mengakibatkan disfungsi
persepsi visual, gangguan dalam hubungan visuospasial, dan kehilangan sensori.
Salah satu contoh yakni disfungsi persepsi visual diakibatkan oleh adanya
gangguan jalur sensori primer antara mata dan korteks visual. Hilangnya sensori
akibat CVA dapat berupa kerusakan yang ringan (contoh: sentuhan) atau kerusakan
yang lebih berat, yaitu hilangnya propriosepsi (kemampuan untuk menilai posisi
dan gerakan bagian-bagian tubuh) dan kesulitan menginterpretasi stimulus
visual, taktil dan auditori. Kondisi ini juga berkontribusi untuk terjadinya
luka dekubitus akibat menurunnya sensori terhadap tekanan terhadap tubuh.
Eliminasi Pasien dapat mengalami urgensi dan inkontinensia. Walaupun control
motor bowel biasanya tidak terganggu, pasien sering mengalami konstipasi yang
diakibatkan oleh imobilitas, otot abdomen yang melemah, dehidrasi dan respon
yang menurun terhadap refleks defekasi. Masalah eliminasi urin dan bowel dapat
juga disebabkan oleh ketidakmampuan pasien mengekspresikan kebutuhan eliminasi.
2.1.5 Patofisiologis
Menurut Long (2015), otak sangat
bergantung pada oksigen dan tidak mempunyai cadangan oksigen. Bila terjadi
anoksia seperti halnya yang terjadi pada CVA, metabolism di otak segera
mengalami perubahan, kematian sel dan kerusakan permanen dapat terjadi dalam 3
sampai 10 menit. Tetapi kondisi yang menyebabkan perubahan perfusi otak akan
menimbulkan hipoksia atau anoksia. Hipoksia menyebabkan iskemik otak. Iskemik
otak dalam waktu lama menyebabkan sel mati permanen dan berakibat terjadi
infark otak yang disertai dengan edema otak karena pada daerah yang dialiri
darah terjadi penurunan perfusi dan oksigen, serta peningkatan karbondioksida
dan asam laktat. Menurut (Ariani, 2016), adanya gangguan perdarahan darah ke
otak dapat menimbulkan jejas atau cedera pada otak melalui empat mekanisme,
yaitu :
a. Penebalan
dinding arteri serevral yang menimbulkan penyempitan atau penyumbatan lumen
sehingga aliran darah dan suplainya kesebagian otak tidak adekuat, serta
selanjutnya akan mengakibatkan perubahan-perubahan iskemik otak. Apabila hal
ini terjadi terus menerus, dapat menimbulkan nekrosis (infark).
b. Dinding arteri
serebral pecah sehingga akan menyebabkan bocornya darah ke jaringan (hemoragik)
c. Pembesaran
sebuah atau sekelompok pembuluh darah yang menekan jaringan otak (misalnya:
malformasi angiomatosa, aneurisma)
d. Edema serebri
yang merupakan pengumpulan cairan diruang intersisial jaringan otak.
2.1.6 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan
penunjang yang dapat dilakukan pada penderita CVA adalah sebagai berikut
(Ariani, 2016) :
1. CT Scan bagian
kepala Pada CVA Infark terlihat adanya infark sedangkan pada CVA Bleeding
terlihat perdarahan.
2. Pemeriksaan
lumbal pungsi Pada pemeriksaan lumbal pungsi untuk pemeriksaan diagnostic
diperiksa kimia sitology, mikrobiologi dan virology. Disamping itu, dilihat
pula tetesan serebrospinal saat keluar baik kecepatan, kejernihan, warna dan
tekanan yang menggambarkan proses terjadi di intraspinal. Pada CVA Infark akan ditemukan
tekanan normal dari cairan serebrospinal jernih. Pemeriksaan pungsi sisternal
dilakukan bila tidak mungkin dilakukan pungsi lumbal.
3. Elektrokardiografi (EKG) Untuk mengetahui keadaan
jantung dimana jantung berperan dalam suplai darah ke otak.
4. Elektro
Encephalo Grafi Mengidentifikasi masalah berdasarkan gelombang otak,
menunjukkan area lokasi secara spesifik.
5. Pemeriksaan
darah Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui keadaan darah, kekentalan
darah, jumlah sel darah, penggumpulan trombosit yang abnormal, dan mekanisme
pembekuan darah.
6. Magnetic
Resonasi Imagine (MRI) Menunjukkan darah yang mengalami infark, hemoragik, Malformasi Arterior Vena (MAV). Pemeriksaan ini lebih canggih dibandingkan CT scan.
2.1.7
Penatalaksanaan medis
Penatalaksanaan
medis pada pasien CVA yaitu (Padila, 2015) :
1.
Pengobatan Konservatif
1) Vasodilator meningkatkan aliran
darah serebral (ADS) secara percobaan, tetapi
maknanya: pada tubuh manusia belum dapat
dibuktikan.
2) Dapat diberikan histamin,
aminophilin, asetazolamid, papaverin intra arterial.
3) Anti agregasi thrombosis seperti
aspirin digunakan untuk menghambat reaksi
pelepasan agregasi thrombosis yang
terjadi sesudah ulserasi alteroma.
4) Anti koagulan dapat
diresepkan untuk mencegah terjadinya/ memberatnya trombosis atau emboli di tempat lain di sistem
kardiovaskuler.
2. Pengobatan Pembedahan/Operatif
Tujuan utama adalah memperbaiki aliran darah serebral :
1)
Endosterektomi karotis membentuk kembali arteri karotis, yaitu dengan membuka arteri karotis di leher.
2)
Revaskularisasi terutama merupakan tindakan pembedahan dan manfaatnya paling dirasakan oleh pasien TIA.
3)
Evaluasi bekuan darah dilakukan pada stroke akut
4)
Ugasi arteri karotis komunis
di leher khususnya pada aneurisma.
3.
Pada fase sub akut/pemulihan (> 10 hari) perlu terapi wicara, terapi fisik dan
stoking anti embolisme. Tujuan intervensi adalah berusaha menstabilkan
tanda-tanda vital dengan melakukan tindakan sebagai berikut:
1. Mempertahankan saluran nafas yang
paten yaitu lakukan pengisapan lendir yang
sering, oksigenasi, kalau perlu lakukan trakeostomi, membantu pernafasan.
2. Mengendalikan tekanan darah
berdasarkan kondisi pasien, termasuk untuk usaha
memperbaiki hipotensi dan hipertensi.
3. Berusaha menentukan dan
memperbaiki aritmia jantung.
4. Menempatkan pasien dalam posisi
yang tepat, harus dilakukan secepat mungkin
pasien harus dirubah posisi tiap 2 jam dan dilakukan latihanlatihan gerak pasif.
5. Mengendalikan hipertensi dan
menurunkan TIK Dengan meninggikan kepala
15-30 menghindari flexi dan rotasi kepala yang berlebihan.
2.1.8
Pencegahan CVA
Pencegahan CVA bisa dilakukan melalui (Padila, 2015) :
1. Kontrol tekanan darah secara
teratur
2. Menghentikan merokok
3. Menurunkan konsumsi
kolesterol dan control rutin
4.
Mempertahankan kadar gula normal
5.
Mencegah minum alcohol
6.
Latihan fisik teratur
7.
Cegah obesitas
8.
Mencegah penyakit jantung dapat mengurangi resiko stroke
2.1.9
Komplikasi CVA
Ada
enam komplikasi yang ditimbulkan CVA, antara lain (Padila, 2015) :
1.
Aspirasi
2.
Paralitic ileus
3.
Atrial fibrilasi
4.
Dekubitus
5.
Diabetes insipidius
6.
Peningkatan TIK
2.2 Terapi/Tindakan Keperawatan
2.2.1 Definisi Mobilitas Fisik
Mobilitas fisik berfokus
pada kapasitas seseorang untuk bergerak secara mandiri, bebas, sering, dan
tanpa hambatan untuk memenuhi tuntutan aktivitasnya dan menjaga kesehatan untuk
terlibat dalam aktivitas otonom. Gangguan mobilitas fisik merupakan terjadinya
keterbatasan dalam melakukan gerakan fisik pada satu ekstremitas atau lebih
secara mandiri. Pada sebuah penelitian (Rahmadani & Rustandi tahun 2019),
menyatakan bahwa latihan mobilitas fisik dengan cara latihan ROM dilakukan
selama 2 kali dalam sehari sudah efektif untuk meningkatkan kekuatan otot
pasien stroke (Wulandari, 2018; Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017; Rahmadani &
Rustandi, 2019).
2.2.2 Tanda dan Gejala
Menurut PPNI dalam buku Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI)
tahun 2017 terdapat tanda dan gejala gangguan mobilitas fisik antara lain:
a.Gejala dan Tanda Mayor
Subjektif:
1.Mengeluh sulit menggerakan ekstremitas.
Objektif:
1.Terjadi penurunan pada kekuatan otot.
2.Rentang Gerak (ROM) menurun.
b.Gejala dan Tanda Minor
Subjektif:
1.Nyeri saat digerakkan.
2.Enggan melakukan pergerakan.
3.Merasa cemas saat bergerak.
Objektif:
1.Sendi kaku.
2.Gerakan tidak
terkoordinasi.
3.Gerakan terbatas.
4.Fisik lemah.
2.2.3 Penyebab Gangguan Mobilitas Fisik
Menurut PPNI dalam buku Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI)
tahun 2017, menyatakan bahwa terjadinya gangguan mobilitas fisik yaitu karena
terjadi penurunan kekuatan otot, kekakuan sendi, nyeri, keengganan melakukan
pergerakan, dan gangguan neuromuskular. Pada saat pasien mengalami stroke
hemoragik yang disebabkan oleh tekanan darah tinggi maka terjadi peningkatan
tekanan intrakranial yang dapat menyebab dari terjadinya gangguan pada sistem
saraf pusat satu penyebabnya yaitu terjadinya gangguan pada mobilitas fisik. Pada
pasien stroke mengalami peningkatan tekanan intrakranial sehingga menyebabkan
vasospasme pembuluh darah yang dimana akan terjadi disfungsi otak lokal dan
terjadi kelemahan pada anggota geraknya sehingga terjadi hambatan pada
mobilitas fisik (PPNI, 2017; Haryono & Utami, 2019).
2.2.4 Pengelolaan Masalah Keperawatan Untuk
Meningkatkan Kebutuhan Pemenuhan Mobilitas Fisik
1.Dukungan Mobilisasi
Melatih rentang gerak dapat menjadi salah satu penunjang Range Of Motion
(ROM). Imobilitas fisik sendiri memiliki efek mengurangi fleksibilitas sendi,
yang merupakan efek samping. Latihan yang meningkatkan Range Of Motion (ROM)
dilakukan untuk mempertahankan atau meningkatkan kapasitas seseorang untuk
menggerakkan sendi secara normal serta membangun massa dan tonus otot (Rahayu,
2015).
2.3 Konsep Asuhan Keperawatan
2.3.1 Pengkajian
Langkah pertama dalam proses
keperawatan adalah pengkajian. Tujuan pengkajian dalam proses keperawatan
adalah mengumpulkan informasi atau data tentang pasien untuk mengenali masalah
pasien, mengidentifikasi masalah kesehatan, dan menentukan kebutuhan
keperawatan pasien dalam hal kesehatan mental, sosial, dan lingkungannya.
1. Identitas
Klien
Menurut (Rosadi, 2022), identitas pasien meliputi
nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama, pendidikan, pekerjaan,
etnis, tempat tinggal, nomor rekam medis, diagnosis
medis, tanggal masuk,
dan tanggal penilaian.
2. Keluhan Utama
Penderita stroke hemoragik
biasanya merasakan kelemahan pada anggota geraknya, baik pada satu sisi atau seluruh
tubuh, yang mengganggu kemampuan bergerak secara fisik, berbicara dengan jelas
atau tidak dapat berkomunikasi, berdampak pada tingkat kesadaran, kejang, dan
kelainan sensorik (Rosadi, 2022; Ningrum, 2022; Tarwato, 2013).
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Biasanya pada saat terkena
serangan stroke hemoragik terjadi nyeri ada bagian kepala, mual, muntah,
kejang, tidak sadarkan diri, kelumpuhan setengah tubuh, atau perubahan fungsi
otak lainnya terjadi. Adapun gejala pada pasien stroke yaitu imobilitas fisik
yang disebabkan karena kelumpuhan sebagian atau seluruh tubuh yang dimana
pasien tersebut tidak mampu beraktivitas atau bergerak dengan bebas diakibatkan
karena adanya perubahan di dalam intrakranial. Keluhannya adalah pasien
mengatakan sulit menggerakan anggota tubuhnya dengan bebas (Ningrum, 2022;
Tarwoto, 2013; Wijaya & Putri, 2013).
4. Riwayat
Penyakit Dahulu
Penderita stroke hemoragik
biasanya memiliki riwayat trauma kepala, hipertensi, diabetes melitus, dan
penyakit jantung. Adapun di riwayat penyakit dahulu ditemukan pasien mengalami
peningkatan pada kadar kolesterol, dan pasien perokok aktif (Ningrum, 2022;
Wijaya & Putri, 2013; Tarwoto, 2013).
5. Riwayat
Penyakit Keluarga
Pasien stroke hemoragik
biasanya memiliki riwayat keluarga hipertensi, diabetes, atau stroke dari
generasi keluarga sebelumnya, dimana dari penyakit keluarga ini mampu menjadi
pendukung atau pencetus pasien terjadinya stroke hemoragik (Ningrum, 2022;
Tarwoto, 2013; Wijaya & Putri, 2013).
6. Pemeriksaan
Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan
dari ujung kepala sampai ujung kaki. Pada saat pemeriksaan fisik pada pasien
stroke, terlihat ketika menilai kekuatan otot, terjadi penurunan dalam bergerak
(Rosadi, 2022; Khaira, 2018; Tarwato, 2013).
a. Tanda-Tanda Vital
Pada pemeriksaan tanda-tanda
vital ini meliputi:
1.
Keadaan Umum :
Biasanya pada pasien
stroke ini
mengalami penurunan kesadaran.
2.
Kesadaran : Pasien stroke bisa saja mengalami penurunan
kesadaran yaitu berada di
posisi somnolen, apatis, sopor, semikoma, hingga koma. Pada pemeriksaan ini
bisa dinilai menggunakan penilaian GCS. GCS merupakan suatu penilaian skala
koma yang digunakan dalam menilai status neurologis pasien dengan cepat. Pada
pasien stroke biasanya terjadi gangguan penurunan kesadaran atau koma. (Rosadi,
2022; Maharisky, 2021; Geofani,
2017; Ariani, 2012).
Ada beberapa tingkat kesadaran yaitu :
a)
Composmentis (14-15)
Suatu kondisi dimana klien
sepenuhnya sadar, mampu menjawab pertanyaan dengan spontan, dan dapat mengikuti
perintah.
b)
Apatis (12-13)
Kondisi dimana seseorang
tampak acuh tak acuh pada lingkungannya.
c)
Somnolen (10-11)
Kondisi dimana terjadi penurunan
kesadaran pada pasien, dimana harus diberi rangsangan nyeri untuk menyadarkan
pasien namun pasien tersebut akan tertidur kembali jika rangsangan tersebut
berhenti.
d)
Delirium (7-9)
Kondisi dimana pasien
mengalami kesulitan tidur, meronta-ronta, gelisah, dan juga gaduh.
e)
Sopor (5-6)
Kondisi dimana pasien
mengalami mengantuk dalam, namun masih bisa dibangunkan menggunakan rangsangan
nyeri yang kuat tidak sepenuhnya sadar dan tidak dapat memberikan jawaban
akurat atas pertanyaan.
f)
Semi-koma (4)
Kondisi pasien dimana
terjadi penurunan kesadaran dan tidak memberikan respon jika diberikan
pertanyaan, sulit dibangunkan, respon terhadap rangsangan nyeri hanya sedikit
namun reflek kornea dan pupil masih terlihat baik.
g)
Koma (3)
Kondisi dimana terjadi penurunan
kesadaran yang sangat dalam, sudah sulit dibangunkan, respon terhadap nyeri
atau rangsangan nyeri.
3. Tekanan Darah
Tekanan darah sistole ≥140 mmHg dan tekanan diastole
≥90 mmHg sering ditemui pada pasien stroke hemoragik (Manurung, 2018).
4. Nadi
Denyut nadi pada pasien yang mengalami stroke
hemoragik terjadi penurunan sekitar ≤60 kali/menit terutama pada perdarahan
subarachnoid.
5. Suhu
Pada
perdarahan intraserebral yang terjadi di bagian batang otak (Pons) akan terjadi
peningkatan suhu yaitu diatas 37.6°C.
6. Respirasi
Pada pasien
stroke hemoragik umumnya frekuensi napas klien menurun ≤22 kali/menit.
b. Antropometri
Antropometri adalah metode untuk menentukan status gizi yang melibatkan
berbagai pengukuran, termasuk pengukuran tinggi badan, berat badan, dan BMI.
c.
Pemeriksaan Persistem
1) Sistem
Pernafasan
Pada pasien stroke
hemoragik, didapatkan pernafasan tidak teratur disebabkan oleh penurunan reflek
batuk dan juga menelan. Kemudian, terdengar suara ronchi, wheezing, atau terdengar
suara tambahan lainnya.
2) Sistem Kardiovaskular
Ditemukan tekanan
darahnya meningkat dari batas normal, kemudian nadi menurun atau melemah.
3) Sistem
Persarafan
Penilaian sistem
saraf biasanya dilakukan penilaian dengan menilai sistem saraf kranial 1-12.
4) Sistem Penglihatan
Biasanya pada
pasien stroke hemoragik di temukan tanda gejala seperti pandangan tidak
terlihat jelas atau pandangan kabur dapat dilakukan dengan pemeriksaan Snellen
Chart dan pemeriksaan lapang pandang.
5) Sistem Pendengaran
Biasanya pada
pasien stroke hemoragik ini tidak ada kelainan pada sistem pendengarannya
dengan dilakukan pemeriksaan dengan menggunakan tes rinne.
6) Sistem Perkemihan
Pada pasien stroke
hemoragik terkadang ditemukan pasien mengalami inkontinensia atau retensi
urine.
7) Sistem Muskuloskeletal
Pada pasien stroke
hemoragik sering ditemukan pasien mengalami kelemahan otot atau kelumpuhan yang
terjadi pada salah satu bagian tubuh atau secara keseluruhan. Adapun penilaian
kekuatan otot dimulai dari 0-5 antara lain:
8) Sistem Endokrin
Pada
pemeriksaan endokrin perhatikan apakah ada kelainan atau tidak. Pada pasien
stroke biasanya tidak ditemukan masalah pada sistem endokrin.
9) Sistem Integumen
Jika seorang
pasien mengalami stroke hemoragik, kulitnya akan tampak pucat karena kekurangan
oksigen, dan turgor kulitnya tidak elastis atau tidak sehat. Perhatikan juga
pada daerah punggung klien yang dimana pada pasien stroke ini terjadi penurunan
atau kelemahan otot sehingga sulit untuk menggerakan tubuhnya dikhawatirkan
terdapat luka tekan pada area tubuh belakang klien sehingga sebisa mungkin
dilakukan miring kanan dan miring kiri untuk menghindari luka tekan.
7.
Data Psikososial
1.
Status Emosi
Menilai
status emosi klien dengan cara melihat apakah klien mampu
mengontrol
emosinya atau tidak.
2.
Kecemasan Pasien
Penilaian
kecemasan dapat dilihat dari ekspresi wajah klien dari ekspresi
wajah
klien mampu menilai tingkat kecemasan pasien.
3.
Konsep Diri
-
Citra tubuh : Pemeriksaan dilakukan dengan cara menanyakan
kepada
pasien terhadap citra tubuh.
-
Identitas diri : Pemeriksaan dilakukan dengan cara menanyakan
status
dan posisi klien.
-
Peran :-Pemeriksaan bisa dilakukan dengan cara
menanyakan.
Menanyakan peran dan tugas klien kemudian
apakah
pasien mampu dalam menjalankan tugas tersebut.
-
Ideal diri : Pemeriksaan bisa dilakukan dengan cara harapan
terhadap
tubuhnya, posisi dirinya, dan lingkungan
sekitarnya.
Sekitarnya
‑
Harga diri :-Pemeriksaan bisa dilakukan dengan cara
menanyakan
menanyakan tentang penilaian klien terhadap orang
lain.
lain.
4.
Koping Mekanisme Yang Digunakan
Menanyakan
teknik pertahanan diri klien sebelum dan selama sakit dapat
membantu
pemeriksaan.
5.
Data Sosial
-
Pola Komunikasi
Perhatikan
cara bicara klien.
‑
Pola Interaksi
Perhatikan
baik-baik interaksi klien dengan keluarga pasien, perawat,
pasien
lain, dan lingkungan pada umumnya.
6.
Data Spiritual
‑
Motivasi Religi
Bisa
dinilai dengan cara menanyakan bagaimana keyakinan atau
kepercayaan
klien terhadap penyakit yang sedang dialaminya.
‑
Persepsi pasien terhadap penyakitnya
Bisa
dinilai dengan cara menanyakan persepsi klien terhadap
penyakitnya.
‑
Pelaksanaan ibadah sebelum dan sesudah sakit
Apakah
ada perubahan atau tidak dalam ibadah klien sebelum dan
sesudah
sakit, hal ini dapat ditentukan.
7.
Data Penunjang
-Pemeriksaan
Lab :..Dilakukan untuk melihat apakah ada
kelainan
atau tidak. kelainan atau tidak.
‑
Pemeriksaan EKG : Dilakukan untuk memeriksa apakah ada
kelainan
kelainan pada organ jantung atau tidak.
‑
Pemeriksaan CT-Scan : .Dilakukan untuk memeriksa jenis stroke.
2.3.2 Analisa Data
|
Analisa
Data |
Etiologi |
Masalah
Keperawatan |
|||||||||||||||||||||||||||
|
Ds: Klien
mengatakan sulit menggerakan anggota tubuhnya. Do: -Kekuatan
otot klien menurun. -Rentang
gerak (ROM)menurun |
Faktor
Pencetus (Hipertensi)
Penimbunan Lemak/Kolesterol Yang
Pembuluh Darah Menjadi Kaku Dan Menjadi Pecah
Stroke Hemoragik
Proses Metabolisme Dalam Otak Terganggu
Penurunan Suplai Darah Dan
Gangguan Perfusi Jaringan Serebral
Peningkatan TIK
Arteri Serebri Media
Disfungsi N. XI
Kegagalan Menggerakkan Anggota Tubuh
Gangguan Mobilitas Fisik |
Gangguan
Mobilitas Fisik |
2.3.3 Diagnosa Keperawatan
Penilaian klinis dari pengalaman klien,
keluarga, atau komunitas dengan atau reaksi terhadap masalah kesehatan,
risiko kesehatan, atau proses kehidupan merupakan diagnosis keperawatan.
Untuk menentukan asuhan keperawatan yang terbaik bagi pasien dan
membantu mereka mencapai kesehatan yang optimal, diagnosis keperawatan
juga merupakan komponen penting (SDKI, 2017). Masalah kesehatan yang
muncul pada pasien stroke hemoragik yaitu:
1.
Risiko Perfusi Serebral Tidak Efektif
2.
Gangguan Mobilitas Fisik
3.
Gangguan Komunikasi Verbal
4.
Gangguan Defisit Nutrisi
5.
Defisit Perawatan Diri
Pada
penelitian ini penulis mengambil masalah keperawatan Gangguan
Mobilitas
Fisik.
2.3.4
Intervensi Keperawatan
|
No |
Dx Medis |
Tujuan dan Kriteria
Hasil |
Intervensi |
|
1 |
Gangguan
Mobilitas Fisik |
Setelah
dilakukan Tindakan keperawatan
selama 4x24 jam diharapkan
mobilitas fisik meningkat
dengan kriteria hasil: 1.
Pergerakan ekstremitas meningkat. 2.
Kekuatan otot meningkat. 3.
ROM meningkat |
Dukungan
Mobilisasi (SIKI, I.05173). Observasi: 1.
Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik
lainnya. 2.
Identifikasi toleransi fisik melakukan pergerakan. 3.
Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah sebelum memulai
mobilisasi. Terapeutik: 1.
Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan alat bantu
(Mis. Pagar tempat tidur). 2.
Fasilitasi melakukan pergerakan, jika perlu. 3.
Libatkan keluarga untuk 4.
membantu pasien dalam meningkatkan pergerakan. Edukasi: 1.
Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi. 2.
Anjurkan melakukan mobilisasi fisik. 3.
Ajarkan mobilisasi sederhana yang harus dilakukan
(Mis. Duduk di tempat tidur, duduk disisi tempat tidur, pindah dari tempat
tidur ke kursi) |
2.3.5
Implementasi Keperawatan
Pemrosesan dan realisasi rencana
keperawatan yang dibuat selama tahap perencanaan dikenal sebagai implementasi.
Pada tahap implementasi bisa dilakukan secara tindakan mandiri maupun tindakan
kolaborasi. Perawat harus mengetahui beberapa hal yang terjadi pada pasien
seperti bahaya fisik, teknik komunikasi, dan prosedur tindakan (Setiadi, 2012;
Rosadi, 2022; Purwanto, 2012).
2.3.6
Evaluasi
Untuk menetapkan apakah asuhan keperawatan
berhasil, evaluasi merupakan langkah terakhir dalam proses keperawatan.
Kesehatan klien dibandingkan dengan tujuan yang dinyatakan pada langkah
evaluasi ini. Dalam mengevaluasi suatu masalah asuhan keperawatan dalam
penyusunan penulisannya lebih baik menggunakan SOAP (Muklasin, 2018; Harapah, 2019;
Rosadi, 2022).
Comments
Post a Comment