unduh file word LAPORAN PENDAHULUAN GANGGUAN MOBILITAS FISIK FRAKTUR FEMUR DEXTRA
LAPORAN PENDAHULUAN GANGGUAN MOBILITAS FISIK FRAKTUR
FEMUR DEXTRA
1.1
KONSEP DASAR MOBILITAS FISIK
1.1.1
Definisi
Mobilitas atau mobilisasi merupakan
kemampuan individu untuk bergerak dan melakukan kegiatan secara mudah, bebas dan teratur guna memenuhi kebutuhan
hidupnya sehari-hari, baik secara mandiri, dengan bantuan orang lain, maupun hanya dengan bantuan
alat (Wulandari, 2018).
Gangguan mobilitas atau imobilitas merupakan keadaan di mana seseorang
tidak dapat bergerak secara
bebas karena kondisi yang mengganggu pergerakan (aktivitas), misalnya trauma tulang
belakang, cedera otak berat disertai
fraktur pada ekstremitas, dan sebagainya
(Wulandari, 2018). Menurut Nurarif dan Kusuma (2015), gangguan mobilitas adalah
keterbatasan fisik tubuh atau satu atau lebih ekstremitas secara mandiri dan
terarah.
1.1.2
Etiologi
Menurut Tim Pokja DPP PPNI (2017), faktor-faktor yang dapat
menyebabkan terjadinya gangguan mobilitas fisik, adalah sebagai berikut :
1.2 Penurunan kendali otot
1.3 Penurunan kekuatan otot
1.4 Kekakuan sendi
1.5 Kontraktur
1.6 Gangguan muskoloskeletal
1.7 Gangguan neuromuskular
1.8 Keengganan melakukan pergerakan
1.1.3 Patofisiologi
Mobilisasi
sangat dipengaruhi oleh sistem neuromuskular, meliputi system otot, skeletal,
sendi, ligament, tendon, kartilago, dan saraf. Otot Skeletal mengatur gerakan
tulang karena adanya kemampuan otot berkontraksi dan relaksasi yang bekerja
sebagai sistem pengungkit. Ada dua tipe kontraksi otot: isotonik dan isometrik.
Pada kontraksi isotonik, peningkatan tekanan otot menyebabkan otot memendek.
Kontraksi isometrik menyebabkan peningkatan tekanan otot atau kerja otot tetapi
tidak ada pemendekan atau gerakan aktif dari otot, misalnya, menganjurkan klien
untuk latihan kuadrisep. Gerakan volunter adalah kombinasi dari kontraksi
isotonik dan isometrik. Meskipun kontraksi isometrik tidak menyebabkan otot
memendek, namun pemakaian energi meningkat. Perawat harus mengenal adanya
peningkatan energi (peningkatan kecepatan pernafasan, fluktuasi irama jantung,
tekanan darah) karena latihan isometrik. Hal ini menjadi kontraindikasi pada
klien yang sakit (infark miokard atau penyakit obstruksi parukronik). Postur
dan Gerakan Otot merefleksikan kepribadian dan suasana hati seseorang dan
tergantung pada ukuran skeletal dan perkembangan otot skeletal. Koordinasi dan
pengaturan dari kelompok otot tergantung dari tonus otot dan aktifitas dari
otot yang berlawanan, sinergis, dan otot yang melawan gravitasi. Tonus otot
adalah suatu keadaan tegangan otot yang seimbang.
Ketegangan dapat
dipertahankan dengan adanya kontraksi dan relaksasi yang bergantian melalui
kerja otot. Tonus otot mempertahankan posisi fungsional tubuh dan mendukung
kembalinya aliran darah ke jantung. Immobilisasi menyebabkan aktifitas dan
tonus otot menjadi berkurang. Skeletal adalah rangka pendukung tubuh dan
terdiri dari empat tipe tulang: panjang, pendek, pipih, dan ireguler (tidak
beraturan). Sistem skeletal berfungsi dalam pergerakan, melindungi organ vital,
membantu mengatur keseimbangan kalsium, berperan dalam pembentukan sel darah
merah.
1.1.4 Manifestasi
klinis
Adapun tanda dan
gejala pada gangguan mobilitas fisik menurut tim pokja DPP PPNI ( 2017 ) yaitu:
1. Gejala
tanda mayor
a.
Subjektif
1.)
Mengeluh menggeraakan ekstremitas
b.
Objektif
1). Kekuatan otot menurun
2). Rentang gerak ( ROM ) menurun
2.
Gejala tanda minor
a.
Subjektif
1). Nyeri saat bergerak
2). Enggan melakukan pergerakan
3). Merasa cemas saat bergerak
b.
Objektif
1). Sendi kaku
2). Gerakan tidak koordinasi
3). Gerak terbatas
4). Fisik lemah
1.1.5
Manifestasi Klinis
Menurut
SDKI (
2019 ) kondisi klinis terkait gangguan mobilitas fisik meliputi:
1. Stroke
2. Cedera medulaspinalis
3. Trauma
4. Fraktur
5. Osteoarthritis
6. Ostemalasia
7. Keganasan
1) Muskuloskeletal seperti kehilangan daya
tahan, penurunan massa otot, atropi dan
abnormalnya sendi (kontraktur)
dan gangguan metabolisme kalsium.
2) Kardiovaskuler
seperti hipotensi ortostatik,
peningkatan beban kerja jantung,
dan pembentukan thrombus.
3) Pernafasan
seperti atelektasis dan
pneumonia hipostatik, dispnea setelah beraktifitas.
4) Metabolisme dan
nutrisi antara lain
laju metabolik, metabolisme karbohidrat, lemak
dan protein, ketidakseimbangan cairan
dan elektrolit,
ketidakseimbangan kalsium, dan
gangguan pencernaan (seperti
konstipasi).
5) Eliminasi
urin seperti stasis
urin meningkatkan risiko
infeksi saluran perkemihan dan batu ginjal.
6) Integument
seperti ulkus dekubitus
adalah akibat iskhemia
dan anoksia jaringan.
7) Neurosensori: sensori deprivation
1.1.6
Penatalaksanaan Keperawatan
Menurut Saputra (2013) dalam Adha (2017), ada beberapa
penatalaksanaan gangguan mobilisasi secara umum diantaranya, yaitu :
1. Pengaturan
Posisi Tubuh sesuai Kebutuhan
Pasien
Pengaturan posisi dalam mengatasi masalah kebutuhan
mobilitas dapat disesuaikan dengan
tingkat gangguan, seperti posisi fowler, sim, trendelenburg, dorsal recumbent,
lithotomi, dan genu pectoral.
a. Posisi Fowler
Posisi fowler adalah posisi setengah duduk atau duduk, di
mana bagian kepala tempat tidur lebih
tinggi atau dinaikkan. Posisi ini dilakukan untuk mempertahankan
kenyamanan dan memfasilitasi fungsi pernapasan pasien.
b. Posisi Sim
Posisi sim adalah posisi miring ke kanan atau ke kiri.
Posisi ini dilakukan untuk memberi kenyamanan dan memberikan obat per anus
(supositoria).
c. Posisi Trendelenburg
Pada posisi ini pasien berbaring di tempat tidur dengan
bagian kepala lebih rendah daripada bagian kaki. Posisi ini dilakukan untuk
melancarkan peredaran darah ke otak.
d. Posisi Dorsal Recumbent
Pada posisi ini pasien berbaring telentang dengan kedua
lutut fleksi (ditarik atau direnggangkan) di atas tempat tidur. Posisi ini
dilakukan untuk merawat dan memeriksa genitalia serta pada proses persalinan.
e. Posisi Lithotomi
Pada posisi ini pasien berbaring telentang dengan
mengangkat kedua kaki dan menariknya ke atas bagian perut. Posisi ini dilakukan
untuk memeriksa genitalia pada proses persalinan, dan memasang alat
kontrasepsi.
f.
Posisi Genu Pectoral
Pada posisi ini pasien menungging dengan kedua kaki ditekuk
dan dada menempel pada bagian alas tempat tidur. Posisi ini dilakukan untuk
memeriksa daerah rektum dan sigmoid.
2. Latihan ROM Pasif dan Aktif
Pasien yang mobilitas sendinya terbatas
karena penyakit, diabilitas, atau trauma memerlukan latihan sendi untuk mengurangi bahaya imobilitas. Menurut Junaidi (2011)
dalam Adha (2017) setelah keadaan pasien membaik dan kondisinya telah
stabil baru diperbolehkan dilakukannya mobilisasi.
Berikut beberapa gerakan latihan ROM
yang dilakukan untuk memelihara dan mempertahankan kekuatan otot serta
memelihara mobilitas persendian :
a. Fleksi dan Ekstensi Pergelangan Tangan
b. Fleksi dan Ekstensi Siku
c. Pronasi dan Supinasi Lengan
d. Pronasi Fleksi
Bahu
e. Abduksi dan adduksi
f.
Rotasi bahu
g. Fleksi dan efersi kaki
h. Infersi dan efersi kaki
i.
Fleksi dan ekstensi
pergelangan kaki
j.
Fleksi dan ekstensi
lutut
k. Rotasi pangkal paha
l.
Abduksi dan adduksi
pangkal paha
3.
Latihan Ambulasi
a.
Duduk di atas tempat tidur
b.
Turun dari tempat tidur, berdiri,
kemudian duduk di kursi roda
c.
Membanru berjalan
2.2 KONSEP DASAR
FRAKTUR
2.2.1 Definisi
Fraktur adalah
patah tulang dimana terjadi integritas tulang dan gangguan penuh atau sebagian
pad Fraktur
merupakan istilah dari hilangnya kontinuitas tulang, baik yang bersifat total
maupun sebagian, biasanya disebabkan oleh trauma. Fraktur paling sering terjadi
pada remaja dan di usia tua ketika tulang dalam kondisi yang berpori atau rapuh
dan terjadi pada titik lemah di bagian physis dan metaphysi. Sekitar sepertiga
dari semua anak menderita setidaknya satu patah sebelum usia 17. Kejadian
fraktur lebih besar pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan baik
disegala usia (Yogiswara & Aryana, 2017
Fraktur femur adalah diskontinuitas atau hilangnya struktur dari tulang
femur (Mansjoer, 2000). Sedangkan menurut Sjamsuhidajat & Jong (2005)
fraktur femur adalah fraktur pada tulang femur yang disebabkan oleh benturan
atau trauma langsung maupun tidak langsung. Fraktur femur juga didefinisikan
sebagai hilangnya kontinuitas tulang paha, kondisi fraktur femur secara klinis
bisa berupa fraktur femur terbuka yang disertai adanya kerusakan jaringan lunak
(otot, kulit, jaringan saraf dan pembuluh darah) dan fraktur femur tertutup
yang dapat disebabkan oleh trauma langsung pada paha.
Dari beberapa penjelasan
tentang fraktur femur di atas, dapat disimpulkan bahwa fraktur f
Femur merupakan suatu keadaan dimana terjadinya kehilangan kontinuitas
tulang femur yang dapat disebabkan oleh trauma langsung maupun trauma tidak
langsung disertai dengan adanya kerusakan jaringan lunak.
2.2.2
Etiologi
1.
Fraktur akibat peristiwa trauma
Sebagian
fraktur disebabkanoleh kekuatan yang tiba-tiba berlebihan yang dapat berupa
pemukulan, penghancuran, perubahan tempat. Bila tekanan kekuatan langsungan,
tulang dapat pada tempat yang terkena dan jaringan lunak juga pasti akan ikut
rusak serta kerusakan pada kulit.
2.
Akibat kelelahan atau tekanan
Retak dapat terjadi pada tulang seperti halnya pada logam dan benda lain
akibat
tekanan berulang. Hal ini sering terjadi pada atlet, penari atau calon tentara
yang berbaris atau berjalan dalam jarak jauh.
3.
Fraktur patologik karena
kelemahan pada tulang
Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang
normal bila tulang tersebut lunak (misalnya oleh tumor) atau tulang-tulang
sangat rapuh.
2.2.3 Patofisiologi
Fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Tertutup
bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. Sedangkan
fraktur terbuka bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar
oleh karena perlukaan di kulit. Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya
terjadi di sekitar tempat patah ke dalam jaringan lunak sekitar tulang
tersebut, jaringan lunak juga biasanya mengalami kerusakan. Reaksi perdarahan
biasanya timbul hebat setelah fraktur. Sel- sel darah putih dan sel anast
berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran darah ketempat tersebut aktivitas
osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru umatur yang disebut callus.
Bekuan fibrin direabsorbsidan sel- sel tulang baru mengalami remodeling untuk
membentuk tulang sejati. Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut
syaraf yang berkaitan dengan pembengkakan yang tidak di tangani dapat
menurunkan asupan darah ke ekstrimitas dan mengakibatkan kerusakan syaraf
perifer. Bila tidak terkontrol pembengkakan akan mengakibatkan peningkatan
tekanan jaringan, oklusi darah total dan berakibat anoreksia mengakibatkan
rusaknya serabut syaraf maupun jaringan otot. Komplikasi ini di namakan sindrom
compartment. (Brunner & Suddarth, 2002)
2.2.4 Manifestasi Klinis
Menurut yesmara, Deni ( 2016 )
1.
Deformitas, yaitu fragmen tulang
berpindah dari tempatnya
2.
Bengkak, yaitu edema muncul
secara cepat dari lokasi dan ekstravasasi darah terjafi dalam jaringan yang
berdekatan dengan fraktur.
3.
Ekimosis
4.
Spasme otot, yaitu
spasmeinvoluter dekat fraktur
5.
Nyeri tekan
6.
Kehilangan sensasi (mati
rasa, mungkin terjadi akibat kerusakan saraf/pendarahan)
7.
Pergerakan abnomal
8.
Krepitasi
2.3
Konsep
Asuhan Keperawatan
2.3.1
Pengkajian
Keperawatan
a.
Pengkajian Keperawatan
1.
Identitas pasien
Meliputi:nama,jeniskelamin,umur,alamat,agama,sukubangsa,
pendidikan,pekerjaan,tanggal
masuk rumah sakit,dan nomkr rekam medic
2.
Identitas penangung jawab Meliputi :
nama,pekerjaan,alamat,dan hubungan dengan pasien
3.
Riwayat Kesehatan
a)
Keluhan utama Pasien fraktur biasanya
mengalami kecelakaan yang parah mengakibatkan trauma atau cedera yang disertai
dengan pendarahan yang banyak.Biasanya pasien frtaktur merasakan nyeri akibat
jejes/cedera sehingga susahnya bergerak,kekakuan,atau ketidakstabilana sendi
dan tidak bisa melakukan aktivitas sheari-hari (Andri Wahid, 2016).
Biasanya keluhan
utama pada pasien gangguan mobilitas fisik yaitu sifat dlam menggerakkan bagian
ektremitas atas maupun bawah,hal ini dikarenakan oleh beberapa faktor yaitu
salah satunya lamanya tirah baring,ataupun hala lainnya.
b)
riwayat kesehatan sekarang
Pengkajian riwayat pasien saat ini meleiputi alasan pasien yang meneyebakan
terjadi keluhan atau gangguan dalam mobilitas dan imobilitas seperti adanya
nyeri, kelemahan otot, perubahan warna local pada kulit yang fraktur.
kelelahan, tingkat
mobilitas dan imobilitas, daerah dan lamanya terjadi gangguan mobilitas (
Hidayat,2014). Kaji kronologi terjadinya trauma yang menyebabkan patah tulang,
pertolongan apa yang didapatkan klien,dan pasien mengeleuh nyeri pada bagian
luka (pre.post op)(Abdul Wahid, 2013)
c)
Riwayatn Kesehatan Dahulu Pengkajian riwayat penyakit
yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhaan mobilitas misalnya adanya riwayat
penyakit sistem neurologis (kecelakaan,trauma kepala,peningkatan TIK,dll),
riwayat penyakot kardiovaskuler (infark miokaard,gagal jantung
kongestif),riwayat penyakit muskuluskeletasl (osteoporosis, fraktur), riwayat
penyakit sistem pernapasan (penyakit paru obstruksi menahaun, pneumonia,dll)
(Andri Wahid, 2016).
d)
Riwayat
Kesehatan Keluarga Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang
yang merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti
diabetes, osteoporosis yang terjadi pada beberapa keturunan dan kanker tulang
cenderung diturunkan secara genetik.
e)
Pola
aktivitas sehari-hari
1.
Pola
nutrisi Pada pasien fraktur biasanya tidak akan mengalami penurunan
2.
Pola
eliminasi Pada pasien fraktur akan mengalami kesulitan dalam melakukan
eliminasi, biasanya pada pasien fraktur akan terpasang kateter.
3.
Pola
istirahat dan tidur Kebiasaan pola tidur dan istirahat mengalami gangguan yang
disebabkan oleh nyeri akibat fraktur.
4.
Pola
Aktivitas Keterbatasan atau kehilangan fungsi pada bagian yang terkena fraktur
(mungkin akibat lansung dari terjadinya fraktur atau akibat sekunder
pembengkakan jaringan dan nyeri).Karena adanya nyeri biasanya aktivitas klien
menjadi berkurang dan kebutuhan klien dibantu oleh perawat atau anggota
keluarga.Hal ini yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama
pekerjaan klien karena ada beberapa bentuk pekerjaan yang beresiko untuk
terjadinya fraktur dibandingkan pekerjaan lain (Abdul & Wahid,2013).
5.
Pemeriksaan
fisik
1)
Gambaran
umum
2)
Keadaan umum
-
Kesadaran : klien apatis,stupor,koma,gelisah,komposmentis yang
bergantung pada kesadaran klien.
-
Kesakitan,keadaan penyakit : akut , kronis,
ringan, sedang, berat dan biasanya pada kasus fraktur (akut).
6.
Tanda-tanda vital tidak normal karena adanya
gangguan baik fungsi maupun entuk
-
Kepala
: tidak ada gangguan,simetris,tidak ada benjolan tidak ada nyeri tekan dikepala
-
leher : tidak ada pembengkakan kelenjer getah
bening, reflek menelan baik
2.3.2
Diagnosa
Keperawatan
Masalah keperawatan yang biasa
muncul pada pasien fraktur dengan 24 Poltekkes Kemenkes Padang gangguan
pemenuhan aktivitas fisik menurut SDKI adalah sebagai berikut :
1.
Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan
kerusakan integritas tulang (D.0064) ( SDKI PPNI,2017, Halaman 124 )
2.
Nyeri
akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (D.0077) (SDKI PPNI, 2017, Halaman
172)
3.
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan imobilitas (D.0056), Halaman
128.
3.3.3
Perencanaan
keperawatan
Perencanaan adalah langkah
berikutnya yang dilakukan oleh perawat setelah diagnose ditegakkan.Pada langkah
ini perawat menetapkan tujuan dan kriteria hasil yang diharapkan bagi klien dan
merencanakan intervensi keperawatan (Sulistiyo,2013).
3.3.4
Implementasi
Keperawatan
Implementasi keperawatan adalah realisasi dari
perencanaan tindakan keperawatan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan
meliputi pengumpulan data berkelanjutan,mengibservasi respon klien selama dan
sesudah pelaksanaan tindakan keperawatan ( Budiono & Sumirah ) dalam
(Selfiana,2018).
3.3.5
Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan adalah
tahapan terakhir dari proses keperawatan untuk menilai respon klien terhadap
tindakan keperawatan yang telah dilakukan dan untuk menilai kemajuan klien
kearah pencapaian tujuan (Potter & Perry, 2006 dalam Sulistyo, 2013).
DAFTAR PUSTAKA
Adha,
S.A. (2017). Asuhan Keperawatan Gangguan
Mobilitas Fisik Pada Pasien Stroke Non
Hemoragik Di IRNA C RSSN Bukittinggi. Karya Tulis Ilmiah. Politeknik Kesehatan Kemenkes Padang.
Basuki, L. penerapan ROM (Range of Motion) Pada Asuhan
Keperawatan Pasien Stroke Dengan Gangguan Mobilitas Fisik Di RSUD Wates Kulon
Progo. Karya Tulis
Ilmiah. Politeknik Kesehatan
Kementrian Kesehatan Yogyakarta.
Nurarif, A.H. dan Kusuma,
H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Medis & NANDA NIC_NOC. Yogyakarta; MediAction.
Purwanto, H. (2016). Modul Bahan Ajar Cetak Keperawatan : Keperawatan
Medikal Bedah
II. Jakarta Selatan; Pusdik SDM Kesehatan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Tim
Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator Diagnostik. Jakarta; Dewan Pengurus
Pusat PPNI.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018).
Standar Intervensi Keperawatan Indonesia : Definisi dan
Tindakan Keperaatan. Jakarta; Dewan Pengurus Pusat PPNI
Tim
Pokja SLKI DPP PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia : Definis
dan Kriteria Hasil Keperawatan. Jakarta; Dewan Pengurus Pusat
PPNI
Widuri, H. (2010). Kebutuhan Dasar Manusia (Aspek Mobilitas dan Istirahat Tidur). (Riyadi, S, Ed.) Yogyakarta; Gosyen
Publishing.
Wulandari, N.K.V. gambaran Asuhan
Keperawatan Pada Pasien Pasca Stroke Non Hemoragik Dengan Gangguan Pemenuhan
Mobilitas Fisik (Di Wilayah Keja UPT Kesmas Sukawati I) Tahun 2018. Karya Tulis Ilmiah. Politeknik
Kesehatan Kementrian Kesehatan Denpasar.
Comments
Post a Comment