UNDUH FILE LAPORAN PENDAHULUAN STROKE
I.
DEFINISI KASUS :
Stroke merupakan kegawat daruratan neurologi yang mendadak (akut)
karena oklusi atau hipoperfusi pada pembuluh darah otak, sehingga
jika tidak segera
diatasi maka akan terjadi kematian sel dalam beberapa
menit, kemudian akan menimbulkan defisit neurologis dan menyebabkan kecacatan atau kematian (Misbach, 2011).
Sedangkan menurut
Irfan (2010) stroke adalah gangguan
fungsi saraf yang disebabkan
oleh gangguan aliran darah dalam otak yang dapat timbul secara mendadak dalam beberapa detik atau secara cepat
dalam beberapa jam dengan gejala atau tanda-
tanda sesuai dengan daerah yang terganggu.
Seiring dengan perkembangan
zaman, perubahan pola hidup masyarakat stroke dapat menyerang di usia dibawah 55 tahun. Dapat diambil kesimpulan
bahwa stroke adalah penyakit sistem persyarafan yang mana pada pembuluh darah otak mengalami
penyumbatan atau pecahnya pembuluh darah otak yang dapat mengakibatkan
kematian jika tidak segera ditangani.
Klasifikasi stroke menurut Corwin (2009) adalah :
1) Trombosis cerebri, terjadi penyempitan lumen pembuluh
darah otak perlahan karena proses arterosklerosis cerebral dan perlambatan
sirkulasi serebral.
2) Embolisme cerebral, penyempitan pembuluh darah terjadi
mendadak akibat abnormalitas patologik pada jantung. Embolus biasanya menyumbat
arteri cerebral tengah atau cabang-cabangnya yang merusak sirkulasi cerebral.
Stroke hemoragik merupakan pendarahan serebral dan
mungkin perdarahan subarachnoid. Disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah otak
pada daerah otak tertentu. Kejadiannya biasanya saat melakukan aktivitas atau
saat aktif, namun bisa juga terjadi saat istirahat. Kesadaran psien umunya
dapat menurun.
III.
ETIOLOGI
Faktor
Penyebab (Luar)
1.
Obesitas
Obesitas adalah kondisi kelebihan berat badan
atau penumpukan lemak tubuh yang berlebihan. Orang dengan obesitas cenderung
memiliki risiko lebih tinggi untuk mengembangkan kondisi lain seperti
hipertensi, diabetes, dan dislipidemia (gangguan kadar lemak darah), yang
semuanya merupakan faktor risiko utama stroke. Penumpukan lemak, terutama lemak
perut, juga dapat meningkatkan peradangan dalam tubuh yang merusak pembuluh
darah.
2.
Gaya
hidup kurang bergerak
Gaya hidup kurang bergerak
berarti kurangnya aktivitas fisik yang teratur. Kurangnya gerakan menyebabkan
berbagai masalah kesehatan, termasuk peningkatan berat badan, resistensi
insulin (yang dapat menyebabkan diabetes), tekanan darah tinggi, dan kadar
kolesterol jahat yang tinggi. Semua kondisi ini berkontribusi pada kerusakan
pembuluh darah dan meningkatkan risiko stroke.
3.
Pola
makan buruk
Pola
makan buruk seringkali mengacu pada konsumsi makanan tinggi lemak jenuh dan trans,
kolesterol, garam, dan gula, serta rendah serat, buah, dan sayuran. Pola makan
seperti ini dapat menyebabkan hipertensi, obesitas, diabetes.
4.
Hipertensi
Hipertensi adalah
kondisi di mana tekanan darah di dalam arteri terus-menerus tinggi. Ini adalah
faktor risiko paling penting untuk stroke. Tekanan yang terus-menerus
tinggi dapat merusak dinding pembuluh darah, membuatnya lebih rentan terhadap
pecah (menyebabkan stroke hemoragik) atau membuat plak aterosklerotik lebih
mungkin terbentuk dan pecah (menyebabkan stroke iskemik).
5.
Merokok
Merokok adalah kebiasaan yang
sangat merusak pembuluh darah. Zat kimia dalam rokok dapat:
-
Merusak dinding pembuluh darah
-
Membuatnya lebih mudah terbentuk plak
-
Mempercepat aterosklerosis
-
Meningkatkan tekanan darah, karena nikoti
-
Meningkatkan risiko pembekuan darah
-
Mengurangi kadar kolesterol baik (HDL)
Faktor
penyebab (Dalam)
1.
Thrombosis
Trombosis adalah
pembentukan bekuan darah (trombus) di dalam pembuluh darah otak itu sendiri
atau di pembuluh darah besar yang mengarah ke otak (misalnya, arteri karotis di
leher). Trombus ini kemudian menghalangi aliran darah ke bagian otak yang
seharusnya disuplai oleh pembuluh darah tersebut. Ini adalah penyebab paling
umum dari stroke iskemik. Trombosis seringkali terjadi pada
pembuluh darah yang sudah mengalami aterosklerosis (penyempitan akibat plak).
2.
Emboli
Emboli adalah
kondisi di mana bekuan darah atau material lain (misalnya, fragmen plak dari
arteri yang pecah, gumpalan lemak, atau bahkan gelembung udara) terbentuk di
satu lokasi dan kemudian berjalan melalui aliran darah hingga akhirnya tersangkut
dan menyumbat pembuluh darah yang lebih kecil di otak. Sumber emboli yang
paling umum adalah jantung (misalnya, pada kasus fibrilasi atrium di mana darah
menggumpal di serambi jantung) atau plak aterosklerotik di arteri karotis yang
pecah. Ketika bekuan ini menyumbat arteri di otak, terjadilah stroke iskemik emboli.
3.
Penyempitan
lumen arteri
Penyempitan
lumen arteri mengacu pada berkurangnya diameter bagian dalam (lumen) pembuluh
darah. Penyebab paling umum dari penyempitan ini adalah aterosklerosis, di mana
plak (terdiri dari kolesterol, lemak, sel darah, dan zat lainnya) menumpuk di
dinding bagian dalam arteri. Plak ini tumbuh secara bertahap, mengurangi ruang
bagi darah untuk mengalir. Ketika penyempitan ini mencapai tingkat kritis, atau
ketika plak pecah dan memicu pembentukan trombus, aliran darah ke otak dapat
sangat terganggu, menyebabkan stroke iskemik. Selain aterosklerosis, kondisi
lain seperti diseksi arteri (robekan pada dinding arteri) atau vaskulitis
(peradangan pembuluh darah) juga dapat menyebabkan penyempitan lumen arteri.
IV.
MANIFESTASI KLINIS
Stroke
menyebabkan defisit neurologik, bergantung pada lokasi lesi (pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran area yang
perfusinya tidak adekuat dan jumlah aliran darah
kolateral. Stroke akan meninggalkan gejala sisa karena fungsi otak tidak akan membaik
sepenuhnya (Muttaqin, 2008).
1)
Kelumpuhan pada salah satu sisi tubuh (hemiparese atau hemiplegia).
2)
Lumpuh pada salah satu sisi
wajah "Bell's Palsy".
3)
Tonus otot lemah
atau kaku.
4)
Menurun atau hilangnya
rasa.
5)
Gangguan lapang
pandang "Homonimus
Hemianopsia".
6) Gangguan bahasa (Disatria: kesulitan dalam
membentuk kata; afhasia atau disfasia : bicara defeksif kehilangan bicara).
V.
MASALAH KEPERAWATAN :
1. Bersihan jalan napas
2. Resiko perfusi serebral tidak efektif
VI.
TINDAKAN KOLABORATIF :
1.
Terapi
trombolitik intravena: Pemberian agen pelarut bekuan darah seperti alteplase
(rt-PA) secara intravena dalam jendela waktu tertentu (biasanya 3-4,5 jam)
sejak onset gejala stroke iskemik untuk melarutkan bekuan dan mengembalikan
aliran darah.
2.
Trombektomi
mekanik endovaskular: Prosedur invasif di mana kateter dimasukkan melalui
pembuluh darah (biasanya dari pangkal paha) untuk mencapai bekuan darah di otak
dan mengeluarkannya secara mekanis, sering dilakukan untuk sumbatan arteri
besar dalam jendela waktu yang lebih luas (hingga 24 jam pada kasus tertentu).
3.
Manajemen
tekanan darah, engendalian tekanan darah yang cermat sangat penting. Pada
stroke iskemik akut, tekanan darah mungkin dipertahankan sedikit lebih tinggi
untuk menjaga perfusi otak, namun pada stroke hemoragik, penurunan tekanan
darah agresif mungkin diperlukan untuk mencegah perdarahan lebih lanjut.
4.
Pembedahan
kraniotomi atau tindakan bedah lainnya mungkin diperlukan untuk mengalirkan
hematoma (bekuan darah) intrakranial yang besar dan mengurangi tekanan pada
otak, atau untuk menjepit aneurisma yang pecah atau memperbaiki malformasi
arteriovenosa (AVM).
5.
Terapi
antiplatelet, seperti aspirin atau klopidogrel (Plavix) diberikan untuk
mencegah pembentukan bekuan darah baru, terutama setelah stroke iskemik atau
TIA (serangan iskemik transien).
6.
Antikoagulan,
obat-obatan seperti warfarin, dabigatran, rivaroxaban, apixaban, atau edoksaban
digunakan pada pasien dengan stroke yang disebabkan oleh fibrilasi atrium atau
kondisi lain yang meningkatkan risiko pembekuan darah, untuk mencegah stroke
berulang.
7.
Rehabilitasi
stroke seperti terapi fisik, okupasi, dan wicara adalah komponen penting dalam
pemulihan setelah stroke untuk membantu pasien mendapatkan kembali fungsi yang
hilang dan meningkatkan kualitas hidup.
8.
Manajemen
faktor risiko sekunder, seperti engendalian diabetes, dislipidemia (kolesterol
tinggi), berhenti merokok, dan modifikasi gaya hidup (diet sehat, olahraga
teratur) adalah kunci untuk mencegah stroke berulang.
VII.
TINDAKAN KOLABORATIF :
Faktor
Penyebab (Luar): Obesitas, gaya hidup kurang bergerak, pola makan buruk,
hipertensi , merokok
Faktor
penyebab (Dalam): Thrombosis, emboli, penyempitan lumen arteri
CVA
Konklusi
(penyumbatan pada pembuluh darah) otak) Penurunan
suplai darah & o2 ke otak Gangguan
aliran darah Hipoksia Iskemik
Penurunan
kesadaran Resiko perfusi serebral
tidak efektif Disartria,
kelemahan otot wajah, kelemahan otot lidah Gangguan
neuromuskuler, kelemahan, parestesia, paralisis Menurunnya
kekuatan otot dan daya tahan, kehilangan kontrol Gangguan
komunikasi verbal/non verbal Reflek
batuk menurun Resiko
lidah jatuh ke belakang Bersihan
jalan nafas tidak efektif Defisit
neumuskular Kekuatan
otot berkurang, atrofi, hemiplegia Risiko
Jatuh
Risiko
Aspirasi
Ketidakmampuan
ADL
(Menurut,
Tarwoto 2013 Hambatan
mobilitas fisik Defisit
perawatan diri
URAIAN
Faktor eksternal meliputi obesitas,
gaya hidup kurang bergerak, pola makan buruk, hipertensi, dan merokok, yang
semuanya secara kumulatif atau individual dapat meningkatkan risiko terjadinya
stroke. Sementara itu, faktor internal mencakup trombosis, emboli, dan
penyempitan lumen arteri, yang merupakan mekanisme langsung dari gangguan
aliran darah di dalam pembuluh darah.
Kedua kelompok faktor penyebab ini
pada akhirnya akan bermuara pada kondisi sentral, yaitu terjadinya komplikasi (penyumbatan) pada pembuluh darah.
Sumbatan ini merupakan titik krusial yang kemudian memicu serangkaian peristiwa
berikutnya. Ketika terjadi penyumbatan pada pembuluh darah, akan terjadi penurunan suplai darah dan oksigen ke
otak. Otak sangat sensitif terhadap kekurangan oksigen dan nutrisi,
sehingga kondisi ini akan segera menyebabkan gangguan aliran darah yang signifikan.
Gangguan aliran darah ini kemudian
akan mengakibatkan hipoksia
(kekurangan oksigen) pada jaringan otak. Hipoksia inilah yang menjadi pemicu
utama timbulnya berbagai gejala dan defisit neurologis. Salah satu jalur
konsekuensinya adalah munculnya risiko
serebral tidak efektif, yang menunjukkan adanya potensi kerusakan lebih
lanjut atau kegagalan fungsi otak. Selain itu, hipoksia juga dapat
memanifestasikan diri dalam bentuk disartria,
kelemahan otot wajah, kelemahan otot lidah, yang selanjutnya dapat
mengarah pada gangguan komunikasi
verbal dan memunculkan risiko
aspirasi akibat kesulitan menelan atau mengontrol saluran napas.
Di sisi lain, gangguan aliran darah
dan hipoksia juga berdampak pada kelemahan
otot dan saraf perifer, kelemahan otot/saraf perifer, hemiplegia (kelumpuhan
satu sisi tubuh), atau parestesia (mati rasa/kesemutan), serta paralisis
(kelumpuhan). Kondisi-kondisi ini secara langsung menyebabkan defisit neuromuskuler dan berujung
pada defisit perawatan diri
karena pasien kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari (ADL). Akibatnya,
timbullah hambatan mobilitas fisik
yang membatasi pergerakan pasien. Defisit perawatan diri dan hambatan mobilitas
fisik ini pada akhirnya akan berkontribusi pada pola defisit relatif tidak efektif, yang menggambarkan kesulitan
pasien dalam mempertahankan fungsi normal.
Selain jalur defisit neurologis,
juga menunjukkan bahwa hipoksia dapat menyebabkan penurunan kesadaran. Penurunan kesadaran ini menempatkan pasien
pada risiko jatuh karena
ketidakmampuan untuk menjaga keseimbangan dan merespons lingkungan.
VIII. PROSES ASUHAN KEPERAWATAN
A.
PENGKAJIAN
FOKUS KEPERAWATAN
A.
PENGKAJIAN FOKUS KEPERAWATAN
Menurut
Muttaqin, (2008) anamnesa pada stroke meliputi identitas klien,
keluhan utama, riwayat
penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga,
dan pengkajian psikososial.
Meliputi
nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama,
suku bangsa, tanggal
dan jam MRS, nomor register, dan diagnosis medis.
Sering menjadi
alasan klien untuk meminta pertolongan kesehatan adalah kelemahan
anggota gerak sebelah
badan, bicara pelo,
tidak dapat berkomunikasi, dan penurunan tingkat
kesadaran.
Serangan stroke
non hemoragik sering kali berlangsung sangat mendadak, pada saat klien sedang melakukan aktivitas. Biasanya terjadi nyeri kepala, mual,
muntah bahkan kejang sampai tidak sadar, selain gejala kelumpuhan
separuh badan atau gangguan fungsi
otak yang lain. Adanya penurunan
atau perubahan pada tingkat kesadaran
disebabkan perubahan di dalam intrakranial. Keluhari
perubahan perilaku juga umum terjadi. Sesuai
perkembangan penyakit, dapat terjadi letargi,
tidak responsif, dan konia.
Adanya riwayat
hipertensi, riwayat stroke
sebelumnya, diabetes melitus,
penyakit jantung, anemia,
riwayat trauma kepala, kontrasepsi oral yang lama, penggunaan obat-obat anti koagulan, aspirin, vasodilator,
obat-obat adiktif, dan kegemukan. Pengkajian pemakaian
obat-obat yang sering digunakan
klien, seperti pemakaian
obat antihipertensi, antilipidemia, penghambat beta, dan lainnya. Adanya
riwayat merokok,
penggunaan alkohol dan penggunaan obat konstrasepsi oral. Pengkajian riwayat ini dapat mendukung pengkajian
dari riwayat penyakit sekarang dan merupakan data dasar untuk mengkaji lebih jauh dan untuk memberikan tindakan selanjutnya.
Biasanya ada riwayat
keluarga yang menderita hipertensi, diabetes melitus, atau adanya
riwayat stroke dari generasi terdahulu.
f.
Pengkajian psiko-sosio-spiritual
Pengkajian psikologis klien stroke meliputi
beberapa dimensi yang memungkinkan
perawat untuk rnemperoleh persepsi yang jelas mengenai status emosi, kognitif, dan perilaku klien. Pengkajian mekanisme
koping yang digunakan
klien juga penting
untuk menilai respons
emosi klien terhadap
penyakit yang dideritanya dan perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya, baik dalam keluarga
ataupun dalam masyarakat.
Setelah melakukan
anamnesis yang mengarah
pada keluhan-keluhan klien, pemeriksaan fisik sangat berguna
untuk mendukung data dari pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan secara per
sistem (B1-B6) dengan fokus
pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3 (Brain) yang terarah dan dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari klien.
Pada inspeksi
didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum,
sesak napas, penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi pernapasan.
Auskultasi bunyi napas tambahan seperti ronkhi pada klien dengan peningkatan produksi
sekret dan kemampuan
batuk yang menurun
yang sering didapatkan pada klien stroke dengan penurunan
tingkat kesadaran koma. Pada
klien dengan tingkat kesadaran compos mentis,
pengkajian inspeksi pernapasannya tidak ada kelainan. Palpasi toraks didapatkan taktil premitus seimbang kanan
dan kiri. Auskultasi tidak didapatkan bunyi napas tambahan.
Pengkajian pada
sistem
kardiovaskular didapatkan renjatan (syok
hipovolemik) yang sering terjadi
pada klien stroke.
Tekanan darah biasanya terjadi peningkatan dan dapat
terjadi hipertensi masif (tekanan darah >200
mmHg).
Stroke menyebabkan berbagai
defisit neurologis, bergantung pada lokasi lesi (pembuluh
darah mana yang tersumbat), ukuran area yang perfusinya tidak adekuat, dan aliran darah kolateral
(sekunder atau aksesori). Lesi otak yang rusak tidak dapat membaik
sepenuhnya. Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap
dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya.
Setelah stroke klien mungkin mengalami inkontinensia urine
sementara karena konfusi,
ketidakmampuan mengomunikasikan kebutuhan, dan ketidakmampuan untuk
mengendalikan kandung kemih karena
kerusakan kontrol motorik dan postural. Kadang kontrol sfingter urine eksternal hilang atau berkurang. Selama periode ini, dilakukan kateterisasi intermiten dengan teknik steril.
Inkontinensia urine yang berlanjut menunjukkan kerusakan neurologis luas.
Didapatkan adanya keluhan
kesulitan menelan, nafsu makan menurun, mual muntah pada fase akut. Mual sampai muntah disebabkan oleh peningkatan produksi
asam lambung sehingga
menimbulkan masalah pemenuhan nutrisi. Pola defekasi
biasanya terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltik usus. Adanya inkontinensia alvi yang berlanjut
menunjukkan kerusakan neurologis luas.
Stroke adalah penyakit UMN dan mengakibatkan kehilangan kontrol volunter terhadap gerakan motorik.
Oleh karena neuron motor atas menyilang,
gangguan kontrol motor volunter pada salah satu sisi tubuh dapat menunjukkan kerusakan pada neuron
motor atas pada sisi yang berlawanan dari otak. Disfungsi motorik paling
umum adalah hemiplegia
7) Pengkajian Tingkat Kesadaran
Kualitas kesadaran
klien merupakan parameter
yang paling mendasar
dan parameter yang paling
penting yang membutuhkan pengkajian. Tingkat
keterjagaan klien dan respons
terhadap lingkungan adalah
indikator paling sensitif untuk disfungsi sistem
persarafan. Beberapa sistem digunakan untuk membuat
peringkat perubahan dalam kewaspadaan dan keterjagaan.
Pada keadaan
lanjut tingkat kesadaran
klien stroke biasanya
berkisar pada tingkat letargi, stupor, dan
semikomatosa. Jika klien sudah mengalami koma maka penilaian
GCS sangat penting
untuk menilai tingkat
kesadaran klien dan bahan evaluasi
untuk pemantauan pemberian asuhan.
Pengkajian ini meliputi status mental, fungsi intelektual, kemampuan
bahasa, lobus frontal,
dan hemisfer.
Observasi penampilan, tingkah laku, nilai gaya bicara, ekspresi
wajah, dan aktivitas motorik
klien. Pada klien stroke tahap lanjut biasanya
status mental klien mengalami perubahan.
Didapatkan penurunan dalam
ingatan dan memori, baik jangka pendek maupun
jangka panjang. Penurunan kemampuan berhitung dan kalkulasi. Pada
beberapa kasus klien mengalami brain damage yaitu kesulitan untuk
mengenal persamaan dan perbedaan yang tidak begitu
nyata.
Penurunan kemampuan bahasa tergantung daerah
lesi yang memengaruhi fungsi
dari serebral. Lesi pada daerah
hemisfer yang dominan
pada bagian posterior dari girus temporalis superior (area Wernicke)
didapatkan disfasia reseptif,
yaitu klien tidak dapat memahami bahasa lisan atau bahasa tertulis. Sedangkan lesi pada bagian
posterior dari girus frontalis inferior (area Broca) didapatkan disfagia ekspresif, yaitu klien dapat mengerti,
tetapi tidak dapat menjawab dengan tepat dan bicaranya tidak lancar. Disartria (kesulitan berbicara),
ditunjukkan dengan bicara yang sulit dimengerti
yang disebabkan oleh paralisis otot yang bertanggung jawab untuk menghasilkan bicara. Apraksia (ketidakmampuan untuk melakukan
tindakan yang dipelajari sebelumnya), seperti terlihat ketika klien mengambil sisir dan berusaha
untuk menyisir rambutnya.
Menurut Muttaqin,
(2008) Pemeriksaan ini meliputi pemeriksaan saraf kranial I-XII.
1) Saraf I: Biasanya
pada klien stroke
tidak ada kelainan
pada fungsi penciuman.
2) Saraf
II : Disfungsi persepsi visual karena gangguan jaras sensori primer di antara mata dan korteks
visual. Gangguan hubungan
visual- spasial (mendapatkan hubungan dua atau lebih objek dalam area spasial) sering
terlihat pada Mien dengan hemiplegia kiri. Klien mungkin
tidak dapat memakai
pakaian tanpa bantuan
karena ketidakmampuan untuk
mencocokkan pakaian ke bagian tubuh.
3) Saraf III, IV, dan VI. Jika akibat stroke mengakibatkan paralisis, pada satu sisi otot-otot
okularis didapatkan penurunan kemampuan
gerakan konjugat
unilateral di sisi yang sakit.
4) Saraf
V : Pada beberapa keadaan stroke menyebabkan paralisis saraf trigenimus, penurunan kemampuan koordinasi gerakan mengunyah, penyimpangan rahang bawah ke sisi ipsilateral, serta kelumpuhan satu sisi otot
pterigoideus internus dan eksternus.
5) Saraf
VII : Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah asimetris, dan otot wajah tertarik ke bagian sisi yang sehat.
6) Saraf VIII : Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
7) Saraf IX dan X : Kemampuan
menelan kurang baik dan kesulitan
membuka
mulut.
8) Saraf XI : Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius.
9) Saraf XII : Lidah simetris, terdapat
deviasi pada satu sisi dan fasikulasi, serta
indra pengecapan normal.
Stroke adalah
penyakit saraf motorik
atas (UMN) dan mengakibatkan
kehilangan kontrol volunter
terhadap gerakan motorik.
Oleh karena UMN bersilangan,
gangguan kontrol motor volunter pada salah satu sisi tubuh dapat menunjukkan kerusakan pada UMN di sisi berlawanan dari otak.
1)
Inspeksi Umum. Didapatkan hemiplegia (paralisis pada salah satusisi) karena lesi pada sisi otak yang berlawanan. Hemiparesis atau kelemahan
salah satu sisi tubuh adalah
tanda yang lain.
2)
Fasikulasi. Didapatkan pada otot-otot ekstremitas.
3)
Tonus Otot. Didapatkan meningkat.
B.
DIAGNOSIS
KEPERAWATAN (SDKI) :
1. Bersihan jalan napas b/d
disfungsi neuromuskular
2. Resiko perfusi serebral tidak efektif
b/d hipertensi
3. Gangguan
komunikasi verbal b/d gangguan neuromuskular
4. Defisit
perawatan diri b/d gangguan neuromuskular
5. Gangguan mobilitas fisik b/d gangguan
neuromuskular
6. Resiko aspirasi b/d penurunan tingkat
kesadaran
7. Resiko jatuh b/d penurunan tingkat
kesadaran
C. INTERVENSI
KEPERAWATAN (SLKI dan SIKI):
No. DX |
Diagnosa Keperawatan (SDKI) |
Tujuan Keperawatan dan
Kriteria Hasil (SLKI) |
Rencana Tindakan |
D.0001 |
Bersihan
jalan napas tidak efektif b/d disfungsi neuromuskuler |
Setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama 3 x 24 jam, diharapkan suplai aliran darah keotak lancar dengan
kriteria hasil : 1. Batuk efektif meningkat 2. Produksi sputum
menurun 3. Mengi menurun 4. Wheezing menurun 5. Mekonium (pada neonatus)
menurun 6. Dispnea menurun 7. Ortopnea menurun 8. Sulit bicara menurun 9. Sianosis menurun 10. Gelisah menurun 11. Frekuensi nafasmembaik 12. Pola nafasmembaik |
Observasi 1. Monitor
frekuensi, irama, kedalaman dan upaya napas 2. Monitor
pola napas (seperti bradypnea, takipnea, hiperventilasi, kussmaul,
Cheyne-stokes, biot, ataksik) 3. Monitor
kemampuan batuk efektif 4. Monitor
adanya produksi sputum 5. Monitor
adanya sumbatan jalan napas 6. Palpasi
kesimetrisan ekspansi paru 7. Auskultasi
bunyi napas 8. Monitor
saturasi oksigen 9. Monitor
nilai analisa gas darah 10. Monitor
hasil x-ray thoraks Terapeutik 11. Atur
interval pemantauan respirasi sesuai kondisi pasien 12. Dokumentasikan
hasil pemantauan Edukasi 13. Jelaskan
tujuan dan prosedur pemantauan 14. Informasikan
hasil pemantauan, jika perlu. |
D.0017 |
Resiko perfusi serebral tidak efektif b/d Hipertensi |
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3 x 24 jam, diharapkan suplai aliran darah keotak lancar
dengan kriteria hasil : 1) Tingkat
kesadaran meningkat 2) Kognitif
meningkat 3) Tekanan
intra kranial menurun 4) Sakit
kepala menurun 5) Gelisah
menurun 6) Kecemasan
menurun 7) Agitasi
menurun 8) Demam
menurun 9) Nilai
rata-rata tekanan darah membaik 10) Kesadaran
membaik 11) Tekanan
darah sisto membaik nik 12) Tekanan
darah diastonik membaik 13) Refleks
saraf membaik |
Observasi 1. Identifikasi penyebab
peningkatan TIK (seperti lesi, gangguan metabolisme, edema serebral) 2. Monitor tanda / gejala
peningkatan TIK (seperti tekanan darah meningkat,tekanan nadi melebar,
bradikardia, pola napas irreguler, kesadaran menurun) 3. Monitor MAP (Mean Arterial
Pressure) 4. Monitor CVP (Central venous
pressure), jika perlu 5. Monitor PAWP, jika perlu 6. Monitor PAP, jika perlu 7. Monitor ICP (Intra cranial
pressure), jika tersedia 8. Monitor CPP (cerebral
perfusion pressure) 9. Monitor gelombang ICP 10. Monitor status pernapasan 11. Monitor intake dan output
cairan 12. Monitor cairan
serebro-spinalis (seperti warna, konsistensi) Terapeutik 13. Minimalkan stimulus dengan
menyediakan lingkungan yang tenang 14. Berikan posisi semi fowler
(head up 30°) 15. Hindari manuver valsava 16. Cegah terjadinya kejang 17. Hindari penggunaan PEEP 18. Hindari pemberian cairan IV
hipotonik 19. Atur ventilator agar PaCO2
optimal 20. Pertahankan suhu tubuh
normal Kolaborasi 21. Kolaborasi pemberian sedasi
dan anti konvulsan, jika perlu |
D.0054 |
Gangguan mobilitas fisik b/d gangguan neuromuskular |
Setelah
dilakukan tindakan keperawatan selama
3x24 jam, diharapkan klien dapat melakukan pergerakan fisik dengan kriteria hasil : 1. Klien meningkat dalam aktivitas fisik 2. Mengerti tujuan
dari peningkatan mobilitas 3. Memverbalisasikan
perasaan dalam meningkatkan kekuatan dan kemampuan berpindah 4. Memperagakan penggunaan alat Bantu untuk
mobilisasi (walker) |
Observasi : 1.
Identifikasi adanya
nyeri atau keluhan fisik lainnya 2.
Identifikasi toleransi fisik melakukan ambulasi 3.
Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah
sebelum memulai ambulasi 4.
Monitor kondisi umum selama
melakukan ambulasi Terapeutik : 5.
Fasilitasi aktivitas ambulasi dengan
alat bantu (mis. tongkat, kruk) 6.
Fasilitasi melakukan mobilisasi
fisik, jika perlu 7.
Libatkan keluarga untuk membantu
pasien dalam meningkatkan ambulasi Edukasi : 8.
Jelaskan tujuan dan prosedur ambulasi 9.
Anjurkan melakukan ambulasi dini 10.
Ajarkan ambulasi sederhana yang harus dilakukan (mis. berjalan dari temapt
fidur ke kursi roda,
berjalan dari tempat
tidur ke kamar mandi, berjalan sesuai toleransi) |
D.
0119 |
Gangguan komunikasi verbal b/d gangguan neuromuskular |
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3 x
24 jam, diharapkan klien mampu
untuk berkomunikasi lagi dengan kriteria hasil: 1. Kemampuan berbicara meningkat 2. Kesesuaian ekspresi
wajah/tubuh meningkat |
Observasi 1. Monitor
kecepatan, tekanan, kuantitias, volume, dan diksi bicara 2. Monitor
progress kognitif, anatomis, dan fisiologis yang berkaitan dengan bicara
(mis: memori, pendengaran, dan Bahasa) 3. Monitor
frustasi, marah, depresi, atau hal lain yang mengganggu bicara 4. Identifikasi
perilaku emosional dan fisik sebagai bentuk komunikasi Terapeutik 5. Gunakan
metode komunikasi alternatif (mis: menulis, mata berkedip, papan komunikasi
dengan gambar dan huruf, isyarat tangan, dan komputer) 6. Sesuaikan
gaya komunikasi dengan kebutuhan (mis: berdiri di depan pasien, dengarkan
dengan seksama, tunjukkan satu gagasan atau pemikiran sekaligus,
bicaralah dengan perlahan sambal menghindari teriakan, gunakan komunikasi tertulis,
atau meminta bantuan keluarga untuk memahami ucapan pasien) 7. Modifikasi
lingkungan untuk meminimalkan bantuan 8. Ulangi
apa yang disampaikan pasien 9. Berikan
dukungan psikologis 10. Gunakan
juru bicara, jika perlu Edukasi 11. Anjurkan
berbicara perlahan 12. Ajarkan
pasien dan keluarga proses kognitif, anatomis, dan fisiologis yang
berhubungan dengan kemampuan bicara Kolaborasi 13. Rujuk
ke ahli patologi bicara atau terapis |
D.
D.0109 |
Defisit perawatan diri b/d gangguan neuromuskular |
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x 24
jam, diharapkan kebutuhan mandiri klien
terpenuhi, dengan kriteria hasil: 1. Klien terbebas dari bau badan 2. Menyatakan kenyamanan
terhadap kemampuan untuk
melakukan ADLs 3. Dapat melakukan ADLS dengan bantua |
Observasi 1. Identifikasi kebiasaan aktivitas perawatan diri
sesuai usia 2. Monitor tingkat kemandirian 3. Identifikasi kebutuhan alat
bantu kebersihan diri,
berpakaian, berhias, dan makan Terapeutik : 4. Sediakan lingkungan yang terapeutik (mis.
suasana hangat, rileks, privasi) 5. Dampingi dalam
melakukan perawatan diri
sampai mandiri 6. Fasilitasi kemandirian, bantu jika tidak
mampu melakukan perawatn
diri Edukasi : 7.
Anjurkan melakukan perawatan diri secara
konsisten sesuai kemampuan |
D.0006 |
Resiko aspirasi b/d penurunan tingkat kesadaran |
Setelah dilakukan tindakan perawatan selama
3 x 24 jam, diharapkan tidak terjadi aspirasi pada pasien dengan
kriteria hasil : 1. Klien dapat
bernafas dengan mudah,
tidak irama, frekuensi pernafasan normal 2. Pasien mampu
menelan, mengunyah tanpa
terjadi aspirasi, dan mampumelakukan oral
hygien Jalan nafas paten,
mudah bernafas, tidak
merasa tercekik dan tidak ada suara nafas
abnormal |
Observasi : 1. Identifikasi risiko
biologis, lingkungan dan
perilaku Identifikasi risiko secara berkala di masing-masing unit 2. Identifikasi risiko
baru sesual perencanaan yang telah
ditetapkan Terapeutik : 3. Tentukan metode
pengelolaan resiko yang
baik dan ekonomis Lakukan pengelolaan risiko secara efektif 4. Lakukan
update perencanaan secara reguler (mis,
bulanan, triwulan, tahunan) Buat perencanaan
tindakan yang memiliki timeline dan penanggungjawab yang jelas 5. Dokumentasikan temuan
risiko secara akurat |
D.0143 |
Resiko jatuh
b/d penurunan tingkat kesadaran |
Setelah dilakukan tindakan perawatan selama 3 x 24 jam, diharapkan pasien tidak
terjadi jatuh dengan kriteria hasil : |
Observasi : 1. Identifikasi risiko biologis, lingkungan dan perilaku Identifikasi risiko
secara berkala di masing-masing unit 2. Identifikasi risiko
baru sesual perencanaan yang telah
ditetapkan Terapeutik : 3. Tentukan metode
pengelolaan resiko yang
baik dan ekonomis Lakukan pengelolaan risiko secara efektif 4. Lakukan
update perencanaan secara reguler (mis,
bulanan, triwulan, tahunan) Buat perencanaan
tindakan yang memiliki timeline dan penanggungjawab yang jelas 5. Dokumentasikan temuan
risiko secara akurat |
D.
IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Implementasi atau pelaksanaan adalah realisasi
rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kegiatan dalam
pelaksanaan juga meliputi pen-gumpulan data berkelanjutan, mengobservasi
respons klien selama dan sesudah pelaksanaan tindakan, dan menilai data yang
baru.
Ada beberapa keterampilan yang dibutuhkan dalam
hal ini. Per-tama, keterampilan kognitif. Keterampilan kognitif mencakup
pengeta-huan keperawatan yang menyeluruh. Perawat harus mengetahui alasan untuk
setiap intervensi terapiutik, memahami respons fisiologis dan psikologis normal
dan abnormal, mampu mengidentifikasi kebutuhan pembelajaran dan pemulangan
klien, dan mengenali aspek-aspek pro-motif kesehatan klien dan kebutuhan
penyakit.
Kedua, keterampilan interpersonal. Keterampilan
interpersonal penting untuk tindakan keperawatan yang efektif. Perawat harus
berkomunikasi dengan jelas kepada klien, keluarganya, dan anggota tim perawatan
kesehatan lainnya. Perhatian dan rasa saling percaya ditunjukkan ketika perawat
berkomunikasi secara terbuka dan jujur. Penyuluhan dan konseling harus
dilakukan hingga tingkat pemahaman yang diinginkan dan sesuai dengan
pengharapan klien. Perawat juga harus sensitif pada respons emosional klien
terhadap penyakit dan pen-gobatan. Penggunaan keterampilan interpersonal yang
sesuai memung-kinkan perawat mempunyai perseptif terhadap komunikasi verbal dan
nonverbal klien.
Ketiga, keterampilan psikomotor. cakup
kebutuhan langsung terhadap perawatan kepada klien, seperti Keterampilan
psikomotor men-perawatan luka, memberikan suntikan, melakukan penghisapan
len-dir, mengatur posisi, membantu klien memenuhi kebutuhan aktivitas
sehari-hari. dan lain-lain
E.
EVALUASI KEPERAWATAN
Evaluasi
keperawatan adalah kegiatan yang terus menerus dilakukan untuk menentukan apakah rencana keperawatan efektif dan bagaimana rencana keperawatan dilanjutkan, merevisi rencana
atau menghentikan rencanakeperawatan (Manurung, 2011).
Evaluasi menggunakan format S.O.A.P, yaitu:
a)
S: Data subjektif, yaitu data yang diutarakan klien dan pandangannya terhadapdata tersebut.
b)
O: Data objektif, yaitu data yang didapat dari hasil observasi
perawat, termasuktanda-tanda klinik dan fakta yang berhubungan denganpenyakit pasien (meliputidata fisiologis, dan informasi
dan pemeriksaan tenaga kesehatan).
c)
A: Analisis, yaitu
analisa ataupun kesimpulan dari data subjektif dan data objektif.
d)
P: Perencanaan, yaitu
pengembangan rencana segera atau yang akan datang untukmencapai status kesehatan
klien yang optimal.
(Hutahaen, 2010). Adapun ukuranpencapaian tujuan
tahap evaluasi dalamkeperawatanmeliputi:
1. Masalah
teratasi, jika klien menunjukkan perubahan sesuai dengan tujuan dankriteria hasil yang telah ditetapkan
2. Masalah
teratasi sebagian, jika klien menunjukkan perubahan sebagian dari kriteria hasil yang telah ditetapkan.
Masalah tidak teratasi, jika klien tidak menunjukkan perubahan
dankemajuansama sekali yang sesuai dengan tujuan dan kriteria hasil yang telah ditetapkandan
atau bahkan timbul masalah/diagnosa keperawatan baru.
VII.
DAFTAR PUSTAKA
Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan.
Jakarta: Salemba Medika
Sulistiyawati,
Sulistiyawati. (2020) KARYA TULIS
ILMIAH ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN STROKE NON HEMORAGIK YANG DIRAWAT
DI RUMAH SAKIT, Politeknik Kesehatan Kalimantan Timur.
Susan, E. S. (2019). LAPORAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. J DENGAN
CEREBRO VASCULAR ACCIDENT (CVA), Diss. Universitas Muhammadiyah
Malang.
SRIWIDYASTUTI,
ALMA. (2020) STUDI LITERATUR:
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN STROKE DENGAN MASALAH KEPERAWATAN GANGUAN
MOBILITAS FISIK, Diss. Universitas Muhammadiyah Ponorogo.
PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia : Definisi
dan Indikator Diagnostik, Edisi 1. Jakarta:
DPP PPNI.
PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia : Definisi dan Tindakan
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI. (2018). Standar
Luaran Keperawatan Indonesia
: Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
Comments
Post a Comment