Format LP dan Format KMB
LAPORAN PENDAHULUAN
NAMA
MAHASISWA :
N I
M :
RUANG :
MASALAH KESEHATAN : AREA KEPERAWATAN
………………………………………………………………… (…........ ) Sistem Persarafan
………………………………………………………………… (…....... ) Sistem
Pencernaan dan Hepatobilier
………………………………………………………………… (…........ ) Sistem Kardiovaskuler
………………………………………………………………… (…........ ) Sistem Perkemihan
………………………………………………………………… (…........ ) Sistem Pernafasan
Ketidakstabilan Kadar Glukosa Darah ( Ö ) Sistem Endokrin
………………………………………………………………… (…........ )Sistem
Muskuloskeletal
………………………………………………………………… (…........ ) Ssitem Integumen
………………………………………………………………… (…........ ) Sistem Indera
………………………………………………………………… (…........ ) Masalah Perioperatif
………………………………………………………………… (…....... ) Penyakit
Tropik, Infeksi, Onkologi
I.
DEFINISI KASUS :
Diabetes Mellitus adalah suatu keadaan
ketika tubuh tidak mampu menghasilkan atau menggunakan insulin (hormon yang
membawa glukosa darah ke sel-sel dan menyimpannya sebagai glikogen). Dengan demikian
terjadi hiperglikemia yang disertai berbagai kelainan metabolik akibat ganggua
hormonal, melibatkan kelaian metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak serta
menimbulkan berbagai komplikasi kronis pada organ tubuh (Aini & Aridiana,
2016). Diabetes Mellitus adalah suatu penyakit yang komplek yang melibatkan
keliainan metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak dan berkembangnya
komplikasi makro vaskuler dan neurologis (Purwanto, 2016). Menurut Pedoman
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
(PERKENI), 2015 hipoglikemia
didefinisikan sebagai penurunan konsentrasi glukosa serum dengan atau tanpa
adanya gejala-gejala sistem otonom. Hipoglikemia ditandai dengan kadar glukosa
darah yang menurun di bawah 70 mg/dl.³ Gejala otonom pada hipoglikemi dikenal dengan
Whipples triad, yaitu 1) Terdapat gejala-gejala hipoglikemia, 2) Kadar glukosa
dara
rendah dan 3) Gejala berkurang dengan pengobatan. Penurunan kesadaran
yang terjadi pada pasien diabetes harus selalu dipikirkan kemungkinan karena
hipoglikemia. Pasien berisiko hipoglikemia perlu diperiksa adanya kemungkinan
hipoglikemia simtomatik ataupun asimtomatik.
II.
ETIOLOGI
Penyebab penyakit Diabetes Mellitus belum diketahui secara lengkap,
kemungkinan faktor penyebab dan faktor resiko penyakit Diabetes Mellitus
diantaranya :
1)
Faktor Keturunan (Genetik)
Para ahli bependapat bahwa penyakit Diabetes Mellitus merupakan penyakit
yang terpaut kromosom seks atau kelamin yang umumnya laki-laki menjadi
penderita dan perempuan sebagai pihak pembawa gen yang diturunkan pada anaknya
(Tholib, 2016). Faktor genetik dapat langsung mempengaruhi sel beta dan
mengubah kemampuannya untuk mengenali dan menyebarkan rangsang sekretoris
insulin. Keadaan ini meningkatkan kerentanan individu terhadap faktor-faktor
lingkungan yang dapat mengubah integritas dan fungsi sel beta pankreas
(Damayanti, 2016 Obesitas
Obesitas atau kegemukan merupakan berat badan lebih dari atau sama dengan
20% dari berat badan ideal atau BMI (Body Mass Indeks) lebih dari atau sama
dengan 27 kg/m² (Tarwoto, 2012). Kegemukan menyebabkan reseptor insulin yang
bekerja di dalam sel di seluruh tubuh termasuk di otot skleletal atau jaringan
berkurang jumlah dan keaktifannya. Kegemukan juga dapat merusak kemampuan sel
beta untuk melepaskan insulin saat terjadi peningkatan glukosa dalam darah
(Damayanti, 2016). Peningkatan BB 10 kg pada pria dan 8 kg pada wanita dari
batas normal IMT akan meningkatkan risiko terjadinya Diabetes.
III.
MANIFESTASI KLINIS
Tanda dan gejala pada klien Diabetes Mellitus sering kali tidak
terdeteksi pada awalnya dan baru terdeteksi setelah klien mengalami komplikasi.
Gejala klinis yang khas pada klien Diabetes Mellitus meliputi trias poli yaitu
poliuria, polidipsi dan polipagia. Selain itu, juga sering muncul keluhan
penurunan berat badan, kelemahan, kelelahan, perubahan penglihatan secara
mendadak, rasa gatal dan kebas pada tangan dan kaki (Brunner & Suddarth,
2015).
Menurut Lemone et al. (2016) tanda dan gejala klinis yang muncul pada
penderita DM antara lain :
a)
Poliuria (Sering
Kencing/Miksi)
Kadar glukosa darah yang tinggi menyebabkan sebagian glukosa harus
dikeluarkan oleh ginjal bersama urin sebagai akibat dari kemampuan filtrasi
ginjal dan kemampuan reabsorpsi tubulus ginjal yang terbatas. Untuk memudahkan
pengeluaran glukosa maka diperlukan banyak air sehingga frekuensi kencing/miksi
menjadi meningkat (Tarwoto, 2012).
b)
Polidipsi (Sering haus)
Meningkatnya frekuensi kencing/miksi pada klien Diabetes Mellitus
menyebabkan tubuh mengalami dehidrasi yang merangsang tubuh untuk meningkatkan
rasa haus (Tarwoto, 2012).
c)
Polifagia (Mudah lapar)
Pada klien Diabetes Mellitus terjadi peningkatan katabolime, pemecahan
glikogen untuk energi yang mengakibatkan cadangan energi pada tubuh berkurang
sehingga timbul rasa lapar yang sangat besar (Tarwoto, 2012).
d)
Penurunan berat badan dan
kelemahan
Pada klien Diabetes Mellitus glukosa dalam darah tidak dapat masuk ke
dalam sel, sehingga sel kekurangan bahan bakar untuk menghasilkan energi. Untuk
kelangsungan hidup,sumber tenaga terpaksa diambil dari cadangan lain yaitu sel
lemak dan otot yang mengakibatkan tubuh kehilangan potassium sehingga klien
menjadi kurus dan mudah lelah (Tholib, 2016).
IV. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK :
1. Pengukuran
kadar glukosa serum
V.
MASALAH KEPERAWATAN :
1.
Ketidakstabilan kadar glukosa
darah
2.
Bersihan jalan napas tidak efektif
VI. TINDAKAN KOLABORATIF
Tindakan kolaboratif untuk pasien hipoglikemia merupakan
bagian penting dari penanganan yang melibatkan kerja sama antara perawat, dokter,
apoteker, dan tim kesehatan lainnya. Tujuan utama dari tindakan ini adalah
menstabilkan kadar glukosa darah, mencegah komplikasi, serta mendukung
pemulihan fungsi vital pasien. Berikut uraian tindakan kolaboratif yang bisa
dilakukan:
Tindakan Kolaboratif pada Pasien Hipoglikemia
1.
Pemberian Glukosa Secara
Medis
Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian glukosa
oral pada pasien yang masih sadar, biasanya dalam bentuk cairan
manis, permen glukosa, atau larutan glukosa.
Bila pasien tidak sadar atau tidak mampu menelan, lakukan
kolaborasi untuk pemberian glukosa
intravena (misalnya Dextrose
40% atau 50% secara IV bolus),
yang biasanya disiapkan dan diberikan oleh tenaga medis di bawah instruksi
dokter. Infus cairan glukosa (Dextrose 5% atau 10%) dapat digunakan untuk
pemeliharaan setelah kadar gula stabil.
2. Pemberian Hormon Glukagon
Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian glukagon
intramuskular atau subkutan untuk merangsang pelepasan glukosa dari hati, terutama jika akses IV sulit didapatkan atau saat di luar fasilitas
kesehatan.
3. Monitoring Kadar
Gula Darah
Kolaborasi
dengan tim laboratorium untuk pemeriksaan kadar glukosa darah secara berkala
(blood glucose monitoring), baik melalui glukometer bedside atau uji lab.
Evaluasi
berkala ini penting untuk menentukan efektivitas terapi yang diberikan dan
mencegah rebound hiperglikemia.
4.
Manajemen Nutrisi
Kolaborasi dengan ahli gizi (nutrisionis) untuk menyusun
rencana makan pasien dengan memperhatikan kebutuhan energi, frekuensi makan,
dan kandungan karbohidrat kompleks.
Edukasi juga diberikan agar pasien menghindari puasa
panjang, serta menyusun pola makan teratur yang dapat mencegah kekambuhan
hipoglikemia.
5. Evaluasi Obat-obatan
Kolaborasi dengan apoteker dan dokter untuk meninjau
kembali dosis dan jadwal pemberian obat antidiabetes seperti insulin atau obat oral (misalnya sulfonilurea) yang bisa menjadi penyebab hipoglikemia.
Bila perlu, dosis
dikurangi atau diganti
dengan jenis obat lain yang lebih sesuai
dengan kondisi pasien saat ini.
6. Pemberian Oksigen
Tambahan
Dalam kasus hipoglikemia berat dengan gangguan
kesadaran atau penurunan saturasi oksigen, kolaborasi dilakukan
dengan tim medis untuk pemberian
oksigen nasal kanul atau masker.
7. Penanganan Komplikasi
Kolaborasi dengan dokter untuk menangani komplikasi seperti
kejang (pemberian diazepam/antiepileptik), syok, atau kehilangan kesadaran
berkepanjangan.
8. Edukasi Pasien
dan Keluarga
Kolaboratif dengan tim edukator kesehatan untuk memberikan pendidikan
tentang tanda-tanda awal hipoglikemia, cara penanganan cepat di rumah, dan
pentingnya pengaturan gaya hidup.
Edukasi juga mencakup penggunaan glukagon kit bagi pasien
dengan risiko tinggi.
VII.
PATOFISIOLOGI : A SKEMA
Prediposisi
Genetik Usia >43 tahun Imunologi
Gangguan kromosom Penurunan fungsi Pankreas Autoimun Jaringan Adipos Berlebihan Memicu
tubuh memproduksi hormonepinepri
¯ Jumlah sel beta
Glukosa dalam darah
Kurang kepatenan reseptor insulin Menyerang pulau langerhans
Konsumsi karbohidrat Kerusakan pankreas Pembentukan replicasi sel beta pulau Langerhans terganggu
Insulin
yang diproduksi tidak seimbang
¯ Berat badan yang signifikan Terjadinya defesiansi urine
Produksi insulin dan jumlah glukosa tidak sebanding
¯ Kepekaan reseptor insulin
Hormon epinerine akan kadar gula darah dengan
dengan melepas glukosa
Kurang bergerak Tidak ada pembakaran
energi Gaya hidup Presipitasi Obesitas Stress ETIOLOGI Menghilang reseptor Peningkatan jaringan
Resiko Perfusi Perifer Penurunan kesadaran Resiko lidah jatuh ke belakang Tidak
mampu membuka mulut dalam jangka waktu yang lama Respon otak menurun Muskulos pada
otot rahang dan mulit lemah Hambatan upaya napas Resiko Perfusi Serebral
Tidak Efektif Kortek serebri kurang suplai energi Ketidakstabilan Kadar Glukosa Dalam Darah Gula darah menurun <70 mg/dl Hipoglikemia berat (<40 mg/dl) Hipoglikemia sedang (40-54 mg/dl) Hipoglikemia ringan (54-70 mg/dl) Penurunan kadar glukosa darah HIPOGLIKEMIA
Kadar gula
darah yang rendah Kadar gula
darah yang rendah Mengalami penurunan nutrisi ke otak
Resiko Aspirasi Sistem
saraf simpatik mengalami reangsangan Penurunan darah dan 02 dalam
otak
Koma
Bersihan Jalan Napas
Tidak Efektif
B URAIAN
Diabetes
melitus adalah suatu keadaan ketika tubuh tidak mampu
menghasilkan insulin (Aini & Aridiana, 2016). Pada diabetes tipe-l belum
diketahui hal apa yang memicu terjadinya kerusakan sel pada pankreas, namun
bukti-bukti yang ada menunjukan bahwa faktor genetik dan faktor lingkungan
seperti infeksi virus tertentu berperan dalam prosesnya. Pada kondisi ini
terdapat autoimun yang dapat menyebabkan kerusakan sel B pankreas sehingga
timbul defisiensi insulin absolut. Sedangkan pada diabetes tipe II, faktor penyebab
yang banyak berperan adalah faktor predisposisi seperti usia, obesitas, gaya
hidup dll (Aini & Aridiana, 2016). Diabetes tipe ini juga terjadi
resistensi urin sehingga menyebabkan insufisiensi urin atau terganggunya kerja
fungsi insulin. Insulin merupakan hormon yang membawa glukosa darah ke sel-sel
dan menyimpannya sebagai glikogen (Aini & Aridiana, 2016). Berkurangnya
fungsi kinerja insulin menyebabkan kadar gula darah menjadi tidak terkontrol.
Kondisi ini juga mempengaruhi metabolisme protein, metabolisme karbohidrat, dan
metabolisme lemak.
Pada
metabolisme karbohidrat normalnya asupan glukosa atau produksi glukosa dalam
tubuh akan difasilitasi (oleh insulin) untuk masuk ke dalam sel tubuh. Glukosa
ini kemudian diolah untuk menjadi bahan energi, apabila bahan energi yang
dibutuhkan masih ada sisa, maka akan disimpan sebagai glikogen dalam sel hati
dan sel otot (sebagai masa sel otot). Proses ini tidak dapat berlangsung dengan
baik pada penderita diabetes,
sehingga glukosa banyak yang menumpuk di darah (hiperglikemia) (Aini &
Aridiana, 2016). Gangguan karbohidrat terjadi peningkatan kadar glukosa darah
yang melebihi ambang batas ginjal sehingga muncul diuresis osmotic menyebabkan
poliuri dan terjadi dehidrasi yang memunculkan masalah keperawatan kekurangan
volume cairan.
Kondisi defisit insulin diawali
dengan berkurangnya transpor glukosa yang melintasi membran sel. Kondisi ini
memicu terjadinya penurunan glikogenesis (pembentukan glikogen dari glukosa),
namun tetap terdapat kelebihan glukosa dalam darah sehingga meningkatkan
glikolisis (pemecahan glikogen). Cadangan glikogen menjadi berkurang dan
glukosa yang tersimpan dalam hati dikeluarkan terus-menerus melebihi kebutuhan
Peningkatan glukoneogenesis (pembentukan glukosa dari unsur nonkarbohidrat
seperti asam amino dan lemak) juga terjadi sehingga glukosa dalam hati semakin
banyak yang dikeluarkan sehingga glukosa banyak yang menumpuk di darah
(hiperglikemia). Hiperglikemia dapat mempengaruhi pembuluh darah kecil, arteri
kecil sehingga suplai makanan dan oksigen ke perifer menjadi berkurang, yang
memunculkan suatu masalah keperawatan yang baru yaitu gangguan perfusi
jaringan.
Kurangnya kinerja insulin sebagai
pengontrol kadar gula darah dalam tubuh juga berpengaruh terhadap metabolisme
lemak. Metabolisme lemak merupakan proses tubuh untuk menghasilkan energi dari
asupan lemak setelah masuk menjadi sari-sari makanan dalam tubuh. Dalam
metabolisme lemak, insulin sangat berperan dalam proses lipolisis dan
lipogenesis. Saat kinerja insulin berkurang menyebabkan proses lipolisis
meningkat sehingga asam lemak bebas meningkat, asem lemak bebas yang meningkat
menyebabkan proses lipogenesis terhambat dan akhirnya menurun. Peningkatan
mobilisasi lemak dan daerah penyimpanan lemak sehingga menyebabkan kelainan
metabolisme lemak maupun pengendapan lemak pada dinding vaskula yang nantinya
menyebabkan masa otot menjadi menurun yang nantinya memunculkan sebuah masalah
keperawatan baru yaitu hambatan mobilitas fisik.
Ketika insulin berkurang maka kadar
glukosa dalam darah juga akan meningkat. Hormon insulin diperlukan pada proses
penyerapan nutrisi agar gula dapat masuk ke dalam sel-sel tubuh untuk dijadikan
sumber energi. Ketika kadar hormon insulin dalam darah rendah, maka gula tidak
dapat masuk ke dalam sel untuk diproses menjadi sumber energi. Jika demikian,
tubuh akan mengkompensasinya dengan cara menggunakan lemak sebagai sumber
energi alternatif lainnya dan menghasilkan suatu zat yang disebut badan keton
(Pane, 2020). Kemudian badan keton akan terakumulasi di dalam darah (ketonemia)
yang nantinya akan dikeluarkan lewat urin. Kandungan keton dalam urin inilah
yang dinamakan dengan ketonuria. Kadar glukosa darah yang tinggi akan
menyebabkan kadarnya juga meningkat dalam urin (Wijino, 2010). Meningkatkanya
kadar glukosa dalam urine akan menyebabkan volume urin bertambah sehingga
cairan tubuh akan berkurang. Ketika kondisi tubuh mengalami dehidrasi dan
terbentuknya badan keton membuat darah menjadi lebih asam. Keadaan darah
menjadi lebih asam disebut ketoasidosis. Ketaosidosi menyebabkan beberapa
gejala, seperti mual dan muntah sehingga memunculkan suatu masalah keperawatan
yang baru, yaitu risiko ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan.
Ketoasdisis juga menyebabkan asidosis respiratik yang mengakibatkan kerja
pertukaran gas dalam paru-paru yang nantinya memunculkan suatu masalah gangguan
pertukaran gas. Hal ini juga menyebabkan perubahan fisiologis pada pernafasan
yang menyebabkan terjadinya masalah pola nafas tidak efektif
Starvasi selular merupakan kondisi
kelaparan yag dialami oleh sel karena glukosa sulit masuk, padahal di seliling
sel banyak sekali glukosa. Starvasi selular mengakibatkan peningkatan
metabolisme protein dan asam amino yang digunakan sebagai subtrat yang
diperlukan untuk glukoneogenesis dalam hati. Perubahan ini berdampak pada
penurunan sintesis protein. Penurunan sintesis protein nanti dapat menyebabkan
regenarasi sel saraf terganggu, tubuh kurus, mudah terjadi infeksi, dan luka
sulit sembuh (Aini & Aridiana, 2016). Protein merupakan zat pembangun dalam
tubuh manusia, kurangnya protein akan menghambat pertumbuhan dan perkambangan
sehingga bila itu terjadi secara terus menerus, maka akan terjadi berbagai
komplikasi, salah satunya yaitu tubuh kurus
yang nantinya memunculkan suatu permasalahan barus yaitu ketidak seimbangan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh. Zat protein juga berperan untuk membantu
sel antibodi dalam tubuh untuk mengidentifikasi dan mengelilingi antigen (virus
atau bakteri) agar tetap terkurung sampai pada akhirnya dibasmi oleh sel darah
putih (Rubiyat, 2017). Apabila jumlah protein kurang maka virus atau bakteri
akan gampang menyerang apabila tubuh terkena luka sehingga akan memunculkan
sebuah masalah keperawatan baru yaitu resiko infeksi. Ketika luka terinfesksi
dan tidak mudah sembuh maka jaringan tersebut lama-kelamaan akan mati karena
infeksi sehingga terjadi gangren dan ini juga memunculkan suatu masalah
keperawatan baru yaitu kerusakan integritas kulit. Kerusakan jaringan juga
dapat menimbulkan gangguan citra tubuh.
VIII.
PROSES ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN FOKUS
KEPERAWATAN
1)
Identitas klien
Meliputi
nama, umur biasanya penderita Diabetes Mellitus berusia kurang dari 30 tahun
dan tipe 2 berusia diatas 40 tahun, jenis kelamin biasanya banyak ditemukan
pada perempuan dibanding laki-laki, agama, pendidikan perlu dikaji untuk
mengetahui tingkat pengetahuan klien yang akan berpengaruh terhadap pemahaman
klien akan suatu informasi, pekerjaan perlu dikaji untuk mengetahui apakah
pekerjaannya merupakan faktor pencetus terjadinya penyakit Diabetes Mellitus,
suku bangsa, status mental, tanggal masuk Rumah Sakit, tanggal pengakajian,
diagnosa medis, dan alamat (Aini & Aridiana, 2016).
Identitas
Penanggung Jawab Meliputi nama, umur,
jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, alamat, dan hubungan dengan klien
(Nursalam, 2013).
2)
Keluhan utama
berisi
tentang keluhan klien pada saat dilakukan pengkajian. Pada klien Diabetes
Mellitus keluhan utama yang sering terjadi yaitu adanya sering kencing
(poliuria), sering haus (polidipsi), dan mudah lapar (polifagia), penurunan
berat badan dan tubuh terasa lemas,perubahan penglihatan secara mendadak
(kabur), rasa gatal, dan rasa kebas pada tangan dan kaki, adanya luka yang
sulit sembuh dan nyeri (Aini & Aridiana, 2016).
3)
Riwayat Kesehatan
a)
Riwayat Kesehatan Sekarang
Data ini
diambil pada saat melakukan pengkajian yang berisi tentang perjalanan dari
klien merasakan keluhan sampai klien dibawa ke Rumah Sakit. Pada umumnya klien
Diabetes Mellitus akan mengeluh adanya poliuri, polidipsi dan polifagia. Selain
itu klien juga mengeluh adanya rasa gatal pada kulit, kesemutan, mata kabur,
kelemahan tubuh, berat badan yang menurun, bahkan adanya keluhan luka yang
sulit sembuh sampai membusuk yang menjadi alasan klien datang ke rumah sakit.
Keluhan yang ada dikembangkan dengan metode P (Provokatus-Paliatif), Q
(Quality-Quantity), R (Region-Radiasi), S (Scala-Severity), T (Time) (Purwanto,
2016).
b)
Riwayat Kesahatan Dahulu
Berisi
tentang riwayat penyakit yang diderita klien yang berhubungan dengan penyakit
saat iniatau penyakit lain yang mempengaruhi penyakit yang diderita klien saat
ini. Pada klien Diabetes Mellitus perlu dikaji adanya riwayat hipertensi,
Infark Miokard Akut, Diabetes Gestasional, riwayat obesitas, riwayat
mengonsumsi glukosa/karbohidrat berlebih, dan riwayat penggunaan obat-obatan
seperti steroid, diametik (tiazid), dilantin dan penoborbital. Perlu juga
dikaji apakah klien pernah dirawat di rumah sakit dengan keluhan yang sama
(Purwanto, 2016).
c)
Riwayat Kesehatan Keluarga
Pada klien
Diabetes Mellitus biasanya ditemukan adanya riwayat anggota keluarga yang
menderita Diabetes Mellitus karena Diabetes Mellitus termasuk salah satu
penyakit yang diturunkan. Juga perlu ditanyakan apakah didalam satu keluarga
ada yang menderita penyakit menular seperti TBC paru, hepatitis dan lainnya
(Purwanto, 2016).
4)
Pola Aktivitas Sehari-hari
a)
Pola Nutrisi dan Cairan
Pada klien
Diabetes Mellitus kebutuhan nutrisi dan cairan meningkat, karena klien
mengalami gejala sering lapar sehingga nafsu makan meningkat (polifagia). Pada
kebutuhan cairan klien mengalami peningkatan volume berkencing (poliuria)
sehingga klien sering merasa haus dan menjadi sering minum (polidipsi)
(Tarwoto, 2012). Perlu dikaji pola makan klien apakah teratur atau tidak dan
berapa banyak porsi dalam satu kali makan, apakah klien sering makan makanan
yang manis, apakah ada keluhan sering merasa lapar walaupun sudah makan, apakah
ada keluhan tidak nafsu makan (anoreksia) karena ada rasa mual atau muntah,
apakah klien melanggar program diet yang ditetapkan dengan mengonsumsi makanan
yang dilarang, apakah ada keluhan penurunan berat badan yang drastis dalam
beberapa hari atau minggu, serta apakah ada keluhan banyak minumdan selalu
merasa haus (Aini & Aridiana, 2016).
b)
Pola Istirahat dan Tidur
Perlu
dikaji pola istirahat dan tidur baik secara kualitas mapupun kuantitas yang
meliputi berapa jam klien tidur dalam satu hari, bagaimana persaan klien
setelah tidur. Pada klien Diabetes akan ditemukan masalah seperti sering
terbangun pada malam hari karena sering berkemih (nokturia) (Purwanto, 2016).
c)
Pola Eliminasi
Pada klien
Diabetes Mellitus akan terjadi peningkatan frekuensi dalam berkemih (poliuria),
adanya keluhan sering berkemih pada malam hari (nokturia) dan kesulitan dalam
berkemih (anuria). Juga perlu dikaji tentang pola defekasi, pada klien Diabetes
Mellitus akan terjadi masalah defekasi berupa diare, inkontinensia, dan
konstipasi akibat dari komplikasi neuropati pada sistem gastrointestinal
(Tarwoto, 2012).
d)
Pola Aktivitas dan Personal
Hygiene
Pada klien
Diabetes Mellitus biasanya terdapat rasa lemah, letih dan penurunan kekuatan
otot, sehingga klien sulit bergerak atau berkativitas. Kaji kemampuan klien
dalam melakukan perawatan seperti mandi, berpakaian, toileting dan lainnya.
Apakah klien dibantu atau dapat melakukan secara mandiri (Damayanti, 2016).
e)
Pola Kognitif dan Sensori
Persepsi
Pada klien
Diabetes Mellitus akan terjadi disorientasi, klien sering mengantuk, kesadaran
stupor/semi koma pada tahap lanjut, klien juga mengalami nyeri kepala,
parasthesia, kesemutan pada ektremitas, penglihatan kabur dan gangguan
penglihatan (Tarwoto, 2012)
f)
Pola Konsep diri dan
Interaksi Sosial
Pada klien
Diabetes Mellitus hubungan dengan lingkungan sosial tidak terganggu, biasanya
klien tetap ikut serta dalam aktifitas sosial, tetapi jika klien sudah
menderita komplikasi seperti seperti ulkus, ganggren, dan gangguan penglihatan
biasanya klien akan menarik diri dari lingkungan sosial (Manurung, 2018).
g)
Pola Persepsi Diri dan
Toleransi terhadap Stres
Pada klien
Diabetes Mellitus kemungkinan ditemukan kecemasan bahkan perasaan depresi pada
penyakitnya yang disebabkan oleh proses terjadinya penyakit yang lama dan
kurangnya pengetahuan terhadap prosedur tindakan yang akan dilakukan. Perlu
dikaji ungkapan klien tentang adanya masalah pada penyakitnya, perasaan
negative tentang tubuhnya, klien merasa kehilangan fungsi pada tubuhnya, klien
merasa kehilangan kebebasan dan menjalanihidupnya (Manurung, 2018). kesempatan
untuk
h)
Pola Seksualitas atau Reproduksi
Pada klien
Diabetes Mellitus akan terjadi masalah berupa ketidakmampuan ereksi (impotensi)
pada laki-laki, kesulitan orgasme pada wanita serta penurunan libido (Tarwoto,
2012). i) Pola Keyakinan dan Nila Perlu dilakukan pengkajian tentang keyakinan
dan persepsi klien terhadap penyakit dan kesembuhannya yang dihubungkan dengan
agama yang klien anut. Kaji bagaimana aktifitas spiritual klien selama
menjalani perawatan di rumah sakit dan siapa yang menjadi pendorong motivasi
untuk kesembuhan klien (Manurung, 2018).
5)
Pemeriksaan Fisik
a)
Keadaan umum
Berisi
keadaan klien, kesadaran klien, tinggi badan, berat badan dan tanda-tanda vital
(Tekanan darah, Nadi, Suhu dan Respirasi). Menurut Tarwoto (2012) keadaan umum
klien Diabetes Mellitus tampak lemas dan lesu, kesadaran apatis, stupor atau
semikoma pada klien Diabetes Mellitus tahap lanjut, berat badan mengalami
penurunan, tekanan darah meningkat dengan jumlah tekanan sistole 140 mmHg dan
tekanan diastole > 90 mmHg, denyut nadi meningkat dengan jumlah 110 x/menit,
dan frekuensi pernafasan lebih dari 24 x/menit jika terdapat komplikasi.
b)
Pemeriksaan Kepala dan Leher
Pada
pemeriksaan kepala, rambut tipis dan mudah rontok, leher tidak ditemukan adanya
gangguan. Biasanya ditemukan gangguan pada penglihatan yang disebabkan adanya
katarak, glukoma (peningkatan bola mata) dan retinopati. Lidah klien Diabetes
Mellitus terasa membesar atau lebar dan kadang timbul gangguan rasa pengecapan,
mulut terasa kering karena ludah yang mengental, gigi pada klien Diabetes
Mellitus mudah goyang dan lepas, gusi mudah mengalami infeksi, bernanah dan
bengkak serta bau mulut yang tidak sedap (Aini & Aridiana, 2016).
c)
Pemeriksaan Sistem
Kardiovaskuler
Menurut
Purwanto (2016) terjadi takikardia atau nadi lemah bahkan tidak ada, tekanan
darah mengalami perubahan bisa terjadi hipertensi dengan jumlah tekanan tekanan
sistole > 140 mmHg dan tekanan diastole> 90 mmHg atau hipotensi dengan
jumlah tekanan darah sistole ≤110 mmHg dan tekanan diastole ≤60 mmHg, kaji
adanya edema jaringan, disritmia jantung, serta palpitasi yang menunjukkan
terjadinya hipoglikemik. Apabila telah terjadi komplikasi neuropati jantung
maka diperoleh kelainan gambaran EKG yang lambat.
d)
Pemeriksaan Sistem
Pernafasan
Menurut
Tarwoto (2012) pada sistem pernafasan terdapat bau nafas seperti keton, adanya
sesak nafas, batuk dengan atau tanpa spuntum purulen (tergantung adanya infeksi
atau tidak), frekuensi pernafasan meningkat dengan jumlah RR lebih dari 24
x/menit.
e)
Pemeriksaan Abdomen
Menurut
Purwanto (2016), pada pemeriksaan abdomen dapat ditemukan data saat inspeksi
bentuk abdomen simetris, saat diauskultasi bising usus terdengar lemah/menurun,
saat dilakukan palapasi terdapat nyeri perut dan kekakuan/distensi abdomen,
saat diperkusi terdengar hypertimpani/kembung karena adanya pengaruh neuropati
pada gastrointestinal.
f)
Pemeriksaan Genetalia
Jika
terjadi infeksi akan ditemukan rabbas vagina, keputihan, terjadi impotensi pada
laki-laki dan kesulitan orgasme pada wanita (Purwanto, 2016).
g)
Pemeriksaan Muskuloskeletal
Pada sistem
muskuloskeletal biasanya terjadi penunuran tonus otot dan kekuatan otot, adanya
kesemutan atau rasa berat pada tungkai, dan terdapat ulkus pada kaki (Purwanto,
2016).
h)
Pemeriksaan Integumen
Menurut
Purwanto (2016) pada sistem integumen ditemukan turgor kulit menurun/jelek,
akral teraba dingin dan kerusakan integritas kulit, adanya lesi/ulserasi/ulkus
diabetikum. Kulit terasa kering dan kemerahan. Terdapat demam dan diaphoresis
(keluar keringat banyak) jika klien mengalami infeksi.
i)
Pemeriksaan Neurosensori
Menurut
Tarwoto (2012), pada pemeriksaan neurosensori terdapat disorientasi, terjadi
penurunan kesadaran (mengantuk, gelisah, latergi, stupor bahkan sampai koma),
penurunan sensasi sensori terutama pada penciuman dan pengecapan, adanya rasa
nyeri/pusing pada kepala, rasa kesemutan/kebas, kelemahan otot bahkan sampai
terjadi paresthesi pada jari-jari tangan dan kaki, adanya gangguan penglihatan
akibat retinopati, katarak, glautoma. Terdapat kekacauan mental dan aktivitas
kejang.
j)
Pemeriksaan
Diagnostik/Pemeriksaan Penunjang
Menurut
Tarwoto (2012), hasil pemeriksaan diagnostik pada klien Diabetes Mellitus
yaitu:
1)
Pemeriksaan Gula Darah
Puasa/Fasting Blood Sugar (FBS) diperoleh hasil > 140mg/dL.
2)
Pemeriksaan Gula darah
Postprandial didapat hasil lebih dari 200 mg/dL..
3)
Pemeriksaan Toleransi
Glukosa Oral (TTGO) didapatkan hasil glukosa darah > 200 mg/dL dan tidak
Kembali setelah 2 atau 3 jam.
4)
Trombosit darah mungkin
meningkat (dehidrasi) atau normal, leukositosis, hemokonsentrasi yang
menunjukkan respon terhadap stress/infeksi.
5)
Pemeriksaan urine didapatkan
hasil urine positif terdapat glukosa dan keton, kemungkinan osmolaritas
(kekentalan) urine meningkat.
6)
Pemeriksaan kolesterol dan
kadar serum trigliserida didaptkan hasil peningkatan kolesterol dan
trigliderida akibat ketidakadekuatan kontrol glikemik.
7)
Insulin darah mungkin
menurun bahkan sampai tidak ada atau normal sampai tinggi yang menandakan insufisiensi insulin.
8)
Pemeriksaan Hemoglobin
Glikat (HbAlc) menunjukkan kadar meningkat 2-4 kali lipat dari normal.
9)
Elektrolit mungkin normal,
menurun, bahkan meningkat.
a)
Natrium: mugkin normal,
menurun atau meningkat.
b)
Kalium mungkin normal atau
terjadi peningkatan semu yang disebabkan selanjutnya menurun. perpindahan
seluler
c)
Fosfor sering mengalami
penurunan.
B. DIAGNOSIS KEPERAWATAN (SDKI)
:
1.
Ketidakstabilan kadar glukosa
dalam darah (SDKI, D.0027)
2.
Resiko aspirasi (SDKI, D.0006)
3. Resiko perfusi perifer (SDKI, D.0013)
4. Resiko perfusi serebral tidak efektif (SDKI,
D.0017)
5. Bersihan jalan napas tidak efektif (SDKI,
D.0001)
1. INTERVENSI KEPERAWATAN (SLKI dan SIKI):
No. DX |
Diagnosa Keperawatan (SDKI) |
Tujuan Keperawatan dan Kriteria Hasil (SLKI) |
Rencana Tindakan |
D.0027 |
Ketidakstabilan kadar glukosa dalam darah |
Setelah dilakukan Asuhan
keperawatan selama 2x24 jam diharapkan kadar |
Manajemen
Hipoglikemia (I.03115) Observasi |
|
|
glukosa dalam darah membaik Kriteria hasil
: - Koordinasi meningkat - Mengantuk menurun - Mendesak menurun - Lelah/lesu menurun - Rasa lapar menurun - Kadar glukosa dalam darah
membaik |
- Identifikasi tanda
dan gejala hipoglikemia - Identifikasi kemungkinan penyebab hipoglikemia Teraupetik - Berikan karbohidrat sederhana, jika perlu - Berikan glukagon, jika perlu - Berikan karbohidrat kompleks dan
protein sesuai diet - Pertahankan kepatenan jalan napas - Pertahankan akses
IV, jika perlu - Hubungi layanan
modis darurat, jika perlu Edukasi - Anjurkan membawa karbohidrat sederhana setiap saat - Anjurkan memakai identitas darurat
yang tepat - Anjurkan monitor
kadar glukosa darah - Anjurkan
berdiskusi dengan tim perawatan diabetes tentang penyesuaian program pengobatan - Jelaskan
interaksi antara diet, insulin/agen oral, dan olahraga - Ajarkan pengelolaan hipoglikemia (mis. tanda
dan gejala, faktor
risiko, dan pengobatan hipoglikemia) |
|
|
|
- Ajarkan
perawatan mandiri untuk mencegah hipoglikemia (mis.
mengurangi insulin/agen oral dan/atau meningkatkan asupan makanan untuk
berolahraga). Kolaborasi -Kolaborasi pemberian dekstrose, jika perlu -Kolaborasi pemberian glukagon, jika perlu |
D.0006 |
Resiko aspirasi |
Setelah dilakukan Asuhan keperawatan selama 1x 24 jam diharapkan tingkat aspirasi
menurun Kriteria hasil : -
Tingkat kesadaran meningkat -
Kemampuan
menelan meningkat -
Dispnea menurun -
Kelemahan otot menurun -
Akumulasi sekret menurun |
Manajemen
Jalan Napas (I.01012) Observasi -
Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas) -
Monitor bunyi napas tambahan
(mis. gurgling, mengi,
wheezing, ronkhi kering) -
Monitor sputum (jumlah, warna, aroma) Terapeutik -
Pertahankan kepatenan jalan napas
dengan head-tilt dan chin-lift (jaw-thrust jika
curiga trauma servikal) -
Posisikan semi-Fowler atau Fowler -
Berikan minum hangat -
Lakukan fisioterapi dada,
jika perlu |
|
|
|
-
Lakukan penghisapan lendir
kurang dari 15 detik -
Lakukan hiperoksigenasi sebelum penghisapan endotrakeal -
Keluarkan sumbatan benda padat dengan
forsep McGill -
Berikan oksigen, jika
perlu Edukasi -
Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika tidak kontraindikasi -
Ajarkan teknik batuk efektif Kolaborasi - Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitik, jika perlu |
D.0013 |
Resiko perfusi perifer |
Setelah dilakukan Asuhan keperawatan selama 2x 24
jam diharapkan perfusi perifer meningkat Kriteria
hasil : -
Kekuatan nadi perifer meningkat -
-Warna kulit pucat menurun -
-Pengisian kapiler membaik -
-Akral membaik |
Perawatan
Sirkulasi (I.02079) Observasi -
Periksa sirkulasi perifer (mis,
nadi perifer, edema, pengisian kapiler, wama, suhu, ankle-brachial index) -
Identifikasi faktor
risiko gangguan sirkulasi
(mis. diabetes, perokok, orang tua, hipertensi dan kadar kolesterol tinggi) -
Monitor panas, kemerahan, nyeri, atau bengkak pada ekstremitas |
|
|
- -Turgor
kulit membaik |
Terapeutik -
Hindan pemasangan infus atau
pengambilan darah di area keterbatasan perfusi Hindari pengukuran tekanan
darah pada ekstremitas dengan keterbatasan perfusi Hindari penekanan dan
pemasangan tourniquet pada area
yang cedera -
Lakukan pencegahan infeksi -
Lakukan perawatan
kaki dan kuku -
Lakukan hidrasi Edukasi -
Anjurkan berhenti merokok -
Anjurkan berolahraga rutin -
Anjurkan mengecek air mandi untuk menghindari kulit terbakar -
Anjurkan menggunakan obat
penurun tekanan darah, antikoagulan, dan penurun kolesterol jika pertu -
Anjurkan minum obat pengontrol tekanan darah secara teratur -
Anjurkan menghindari penggunaan obat penyekat beta -
Anjurkan melakukan perawatan
kulit yang tepat (mis, melembabkan kull kering pada kaki) -
Anjurkan program rehabilitasi vaskular |
|
|
|
-
Ajarkan program diet untuk
memperbaiki sirkulasi (mis
rendah lemak jenuh, minyak kan omega
3) -
Informasikan tanda dan gejata darurat
yang harus dilaporkan (mis, rasa sakit
yang tidak hilang saat istirahat, luka tidak
sembuh, hilangnya rasa) |
D.0017 |
Resiko perfusi serebral tidak efektif |
Setelah dilakukan
Asuhan keperawatan selama 2x 24
jam diharapkan perfusi perifer meningkat Kriteria
hasil : -
Tingkat kesadaran meningkat -
Sakit kepala
menurun -
Gelisah menurun -
Tekanan arteri rata-rata ( mean arterial pressure/MAP ) membaik -
Tekanan intra
kranial membaik |
Perawatan
Sirkulasi (I.02079) Observasi -
Periksa sirkulasi perifer (mis,
nadi perifer, edema, pengisian kapiler, wama, suhu, ankle-brachial index) -
Identifikasi faktor
risiko gangguan sirkulasi
(mis. diabetes, perokok, orang tua, hipertensi dan kadar kolesterol tinggi) -
Monitor panas, kemerahan, nyeri, atau bengkak pada ekstremitas Terapeutik -
Hindan pemasangan infus atau
pengambilan darah di area keterbatasan perfusi Hindari pengukuran tekanan
darah pada ekstremitas dengan keterbatasan perfusi Hindari penekanan dan
pemasangan tourniquet pada area
yang cedera -
Lakukan pencegahan infeksi |
|
|
|
-
Lakukan perawatan
kaki dan kuku -
Lakukan hidrasi Edukasi -
Anjurkan berhenti merokok -
Anjurkan berolahraga rutin -
Anjurkan mengecek air mandi untuk menghindari kulit terbakar -
Anjurkan menggunakan obat
penurun tekanan darah, antikoagulan, dan penurun kolesterol jika pertu -
Anjurkan minum obat pengontrol tekanan darah secara teratur -
Anjurkan menghindari penggunaan obat penyekat beta -
Anjurkan melakukan perawatan
kulit yang tepat (mis, melembabkan kull kering pada kaki) -
Anjurkan program rehabilitasi
vaskular -
Ajarkan program diet untuk
memperbaiki sirkulasi (mis
rendah lemak jenuh, minyak kan omega
3) -
Informasikan tanda dan gejata
darurat yang harus dilaporkan (mis, rasa sakit
yang tidak hilang saat istirahat, luka tidak
sembuh, hilangnya rasa) |
D.0001 |
Bersihan jalan napas tidak efektif |
Setelah dilakukan
Asuhan keperawatan selama 2x 24
jam diharapkan perfusi perifer meningkat Kriteria
hasil : -
Batuk efektif
meningkat -
Produksi sputum
menurun -
Mengi menurun -
Wheezing
menurun -
Mekonium (pada
neonatus) menurun |
Perawatan
Sirkulasi (I.02079) Observasi -
Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas) -
Monitor bunyi napas tambahan
(mis. gurgling, mengi,
wheezing, ronkhi kering) -
Monitor sputum (jumlah, warna, aroma) Terapeutik -
Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head-tilt dan chin-lift (jaw- thrust jika curiga trauma
servikal) -
Posisikan semi-Fowler atau Fowler -
Berikan minum hangat -
Lakukan fisioterapi dada, jika perlu -
Lakukan penghisapan lendir
kurang dari 15 detik -
Lakukan hiperoksigenasi sebelum
penghisapan endotrakeal -
Keluarkan sumbatan benda padat dengan forsep McGill -
Berikan oksigen, jika
perlu Edukasi -
- Anjurkan asupan cairan 2000
ml/hari, jika tidak
kontraindikasi -
Ajarkan teknik batuk efektif |
|
|
|
Kolaborasi - Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran,
mukolitik, jika perlu. |
2. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Implementasi atau pelaksanaan adalah realisasi
rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kegiatan dalam
pelaksanaan juga meliputi pen-gumpulan data berkelanjutan, mengobservasi
respons klien selama dan sesudah pelaksanaan tindakan, dan menilai data yang
baru.
Ada beberapa keterampilan yang
dibutuhkan dalam hal ini. Per-tama, keterampilan kognitif. Keterampilan
kognitif mencakup pengeta-huan keperawatan yang menyeluruh. Perawat harus
mengetahui alasan untuk setiap intervensi terapiutik, memahami respons
fisiologis dan psikologis normal dan abnormal, mampu mengidentifikasi kebutuhan
pembelajaran dan pemulangan klien, dan mengenali aspek-aspek pro-motif
kesehatan klien dan kebutuhan penyakit.
Kedua,
keterampilan interpersonal. Keterampilan interpersonal penting untuk tindakan
keperawatan yang efektif. Perawat harus berkomunikasi dengan jelas kepada
klien, keluarganya, dan anggota tim perawatan kesehatan lainnya. Perhatian dan
rasa saling percaya ditunjukkan
ketika perawat berkomunikasi secara terbuka dan jujur. Penyuluhan dan konseling harus dilakukan
hingga tingkat pemahaman yang diinginkan dan sesuai dengan pengharapan klien.
Perawat juga harus sensitif pada respons emosional klien terhadap penyakit dan
pen-gobatan. Penggunaan keterampilan interpersonal yang sesuai memung-kinkan perawat
mempunyai perseptif terhadap
komunikasi verbal dan nonverbal
klien.
Ketiga,
keterampilan psikomotor. cakup kebutuhan langsung
terhadap perawatan kepada klien, seperti Keterampilan
psikomotor men-perawatan luka, memberikan suntikan, melakukan penghisapan
len-dir, mengatur posisi, membantu klien memenuhi kebutuhan aktivitas
sehari-hari. dan lain-lain
3.
EVALUASI KEPERAWATAN
Evaluasi adalah penilaian
dengan cara membandingkan perubahan ke-adaan pasien (hasil
yang diamati) dengan tujuan dan kriteria hasil yang dibuat pada tahap
perencanaan. Tujuan dari evaluasi ini adalah untuk:
1. Mengakhiri rencana
tindakan keperawatan.
2. Memodifikasi rencana
tindakan keperawatan.
3. Meneruskan rencana
tindakan keperawatan.
IX.
DAFTAR PUSTAKA
Smeltzer, S. (2002). Buku
ajar keperawatan medikal bedah. Jakarta: ECG.
Wulandari, Dewi & Meira Erawati. 2016. Buku Ajar Keperawatan Anak.
Jogjakarta:Pustaka
Pelajar.
Dwi, S. (2015). Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan pada Anak. Amin Huda Nurafif.
(2015). Aplikasi
Asuhan Keperawatan. Mediaction.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI (2017) Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia,
Cetakan III
(Revisi). Jakarta
: Dewan Pengurus Pusat
Tim Pokja SIKI DPP PPNI (2018) Standar Intervensi Keperawatan Indonesia, Cetakan
II.
1st edn. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat.
Tim Pokja SLKI DPP PPNI (2019) Standar Luaran
Keperawatan Indonesia, Cetakan II.
1st edn. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat
Comments
Post a Comment