download file laporan pendahuluan konstipasi
I.
DEFINISI
KASUS
Konstipasi
adalah kondisi saluran pencernaan di mana orang mengalami kesulitan untuk
mengeluarkan feses, yang menjadi keras dan membutuhkan tenaga untuk
dikeluarkan. (Sitorus & Malinti, 2019)
Konstipasi
adalah penurunan frekunsi defekasi, yang diikuti oleh pengeluaran feses yang
lama atau keras dan kering. Adanya upaya mengedan saat defekasi adalah suatu
tanda yang terkait dengan konstipasi. Apabila motilitas usus halus melambat,
masa feses lebih lama terpapar pada dinding usus dan sebagian besar kandungan
air dalam feses diabsorpsi. Sejumlah kecil air ditinggalkan untuk melunakkan
dan melumasi feses. Pengeluaran feses yang kering dan keras dapat menimbulkan
nyeri pada rektum. (Claudina dkk., 2018)
Menurut Tumanggor (2014), mengatakan bahwa konstipasi memiliki
beberapa gejala seperti sulit buang air besar, kembung atau keras atau kecil.
Beberapa faktor yang mempengaruhi proses defekasi/ buang air besar antara lain
: diet atau pola nutrisi, misalnya asupan serat yang tidak adekuat, dehidrasi,
obat-obatan, penyakit, kurang latihan fisik atau imobilisasi, psikologis atau
kondisi kurang nyaman. Vazquez (2010) mengklasifikasikan konstipasi menjadi
konstipasi akibat kelainan struktural dan konstipasi fungsional. Komplikasi
konstipasi mulai dari mual, muntah, penurunan nafsu makan, hemoroid hingga
menjadi fisura ani, inkontinensia alvi, perdarahan pada rektum, fecal impacted
dan prolapsus uteri (Vivian, 2012).
Konstipasi
merupakan kesulitan dalam pengeluaran tinja lebih dari dua minggu, konsistensi
tinja bersifat keras, kering dan kecil yang dapat menyebabkan nyeri ketika
dikeluarkan. (Wiwit dkk.. 2020). Konstipasi merupakan gejala, bukan penyakit.
Konstipasi adalah penurunan frekunsi defekasi, yang diikuti oleh pengeluaran
feses yang lama atau keras dan kering. Adanya upaya mengedan saat defekasi
adalah suatu tanda yang terkait dengan konstipasi. Apabila motilitas usus halus
melambat, masa feses lebih lama terpapar pada dinding usus dan sebagian besar
kandungan air dalam feses diabsorpsi. Sejumlah kecil air ditinggalkan untuk
melunakkan dan melumasi feses. Pengeluaran feses yang kering dan keras dapat
menimbulkan nyeri pada rektum. (Potter & Perry, 2005). Normalnya pola
defekasi yang biasanya setiap 2 sampai 3 hari sekali tanpa ada kesulitan,
nyeri, atau perdarahan dapat dianggap normal.
II.
KLASIFIKASI
Konstipasi atau sembelit
dibedakan menjadi 2 yaitu:
1.
Konstipasi Akut dikatakan
sebagai konstipasi akut bila keluhan dirasakan kurang dari tiga bulan.
2.
Konstipasi Kronis jika sudah terjadi lebih dari 3 bulan, kondisi ini
dikenal dengan konstipasi kronik.
III.
ETIOLOGI
Penyebab umum konstipasi yang dikutip dari Potter
dan Perry, 2005 adalah sebagai berikut :
1.
Asupan
serat dan cairan kurang
Asupan serat dan
cairan yang tidak mencukupi dapat menyebabkan dehidrasi serta kelemahan pada
otot-otot perut. Serat dapat mengikat air di dalam usus besar, membuat volume
tinja menjadi lebih besar, dan merangsang syaraf di rektum, yang menyebabkan
orang ingin buang air besar. Seluruh cairan yang masuk ke dalam tubuh awal dari
makanan dan minuman. Air digunakan sebagai pelumas yang membantu metabolisme
sisa bergerak di dalam kolon. (Claudina dkk., 2018
2.
Kurangnya
beraktifitas atau olahraga
Berolahraga
secara teratur adalah cara alami untuk BAB lancar secara alami. Berolahraga
membantu mencegah sembelit dengan mempercepat pergerakan makanan melewati usus
besar. Olahraga juga dapat merangsang kontraksi otot usus besar secara alami,
yang mempercepat pengeluaran feses.
3.
Kehamilan
Pada usia
kehamilan trimester I dan III, akan mengalami masalah konstipasi. Konstipasi
disebabkan menurunnya peristaltik yang muncul kearena relaksasi otot polos saat
peningkatan progesteron pada usus besar. Selama kehamilan, tubuh cenderung
menahan cairan dan absorbsi cairan di usus meningkat sehingga masa feses
cenderung kering dan keras yang memudahkan terjadinya konstipasi. Uterus yang
makin membesar seiring perkembangan janin juga memberi dekagay usus esar
sehingga evakuasi feses terhambat.
4.
Kebiasaan
menahan buang air besar
Kebiasaan
defekasi yang tidak teratur dan mengabaikan keinginan untuk defekasi dapat
menyebabkan konstipasi. Ketika menahan BAB, usus besar akan menyerap air dari
tinja yang menumpuk di rektum, yang membuat feses menjadi lebih keras.
Akibatnya, tinja menjadi lebih sulit untuk keluar
5.
Klien
yang mengonsumsi diet rendah serat dalam bentuk hewani (misalnya daging,
produk-produk susu, telur) dan karbohidrat murni (makanan penutup yang berat)
sering mengalami masalah konstipasi, karena bergerak lebih lambat didalam
saluran cerna. Asupan cairan yang rendah juga memperlambat peristaltik.
6.
Tirah
baring yang panjang atau kurangnya olahraga yang teratur menyebabkan
konstipasi.
7.
Pemakaian
laksatif yag berat menyebabkan hilangnya reflex defekasi normal. Selain itu,
kolon bagian bawah yang dikosongkan dengan sempurna, memerlukan waktu untuk
diisi kembali oleh masa feses.
8.
Obat
penenang, opiat, antikolinergik, zat besi (zat besi mempunyai efek menciutkan
dan kerja yang lebih secara lokal pada mukosa usus untuk menyebabkan
konstipasi. Zat besi juga mempunyai efek mengiritasi dan dapat menyebabkan
diare pada sebagian orang), diuretik, antasid dalam kalsium atau aluminium, dan
obat-obatan antiparkinson dapat menyebabkan konstipasi.
9.
Lansia
mengalami perlambatan peristaltic, kehilangan elastisitas otot abdomen, dan
penurunan sekresi mukosa usus. Lansia sering mengonsumsi makanan rendah serat.
10. Konstipasi juga dapat disebabkan oleh kelainan
saluran Gl (gastrointestinal), seperti obstruksi usus, ileus paralitik, dan
divertikulitus.
11. Kondisi neurologis yang menghambat implus saraf ke
kolon (misalnya cedera pada medula spinalis, tumor) dapat menyebabkan
konstipasi.
12. Penyakit-penyakit organik, seperti hipotirodisme,
hipokalsemia, atau hypokalemia dapat menyebabkan konstipasi.
13. Peningkatan stres psikologi. Emosi yang kuat
diperkirakan menyebabkan konstipasi dengan menghambat gerak peristaltik usus
melalui kerja dari epinefrin dan sistem syaraf simpatis. Stres juga dapat
menyebabkan usus spastik (spastik/konstipasi hipertonik atau iritasi colon).
Yang berhubungan dengan konstipasi tipe ini adalah kram pada abdominal,
meningkatnya jumlah mukus dan periode bertukar-tukarnya antara diare dan
konstipasi.
14. Otot semakin melemah dan melemahnya tonus spinkter
yang terjadi pada orang tua turut berperan menyebabkan konstipasi.
IV.
MANIFESTASI
KLINIS
Manifestasi klinis mencakup distensi abdomen,
borborigimus (gemuruh usus), rasa nyeri dan tekanan, penurunan nafsu makan,
sakit kepala, kelelahan, tidak dapat makan, sensasi pengosongan tidak lengkap,
mengejan saat defekasi, dan eliminasi volume feses sedikit, keras, dan kering.
Pemeriksaan fisik pada kontipasi sebagian
besar tidak mendapatkan kelainan yang jelas. Namun demikian pemeriksaan fisik
yang teliti dan menyeluruh diperlukan untuk menemukan kelainan yang berpotensi
mempengaruhi fungsi usus besar. Pemeriksaan dimulai pada rongga mulut meliput
gigi geligi, adanya luka pada selaput lendir mulut dan tumor yang dapat
mengganggu rasa pengecap dan proses menelan. Daerah perut diperiksa apakah ada
pembesaran perut, peregangan atau tonjolan. Perabaan permukaan perut untuk
menilai kekuatan otot perut.
Perabaan lebih dalam dapat mengetahui massa
tinja di usus besar, adanya tumor atau pelebaran batang nadi. Pada pemeriksaan
bentuk dicari pengumppulan gas berlebihan, pembesaran organ, cairan dalam
rongga perut atau adanya massa tinja. Pemeriksaan dengan stetoskop digunakan
untuk mendengarkan suara gerakan usus besar serta mengetahui adanya sumbatan
usus. Sedangkan pemeriksaan dubur untuk mengetahui adanya wasir, hernia, fissure
(retakan) atau fistula (hubungan abnormal pada saluran cerna), juga kemungkinan
tumor di dubur yang bisa menganggu proses buang air besar. Colok dubur memberi
informasi tentang tegangan otot, dubur, adanya timbunan tinja, atau adanya
darah. Pemeriksaan laboratorium dikaitkan dengan upaya mendeteksi faktor risiko
konstipasi seperti gula darah, kadar hormon tiroid, elektrolit, anemia akibat
keluarnya darah dari dubur.
Anoskopi dianjurkan untuk menemukan hubungan
abnormal pada saluran cerna, tukak, wasir, dan tumor. Foto polos perut harus
dikerjakan pada penderita konstipasi untuk mendekteksi adanya pemadatan tinja
atau tinja keras yan yang menyumbat bahkan melubangi usus. Jika ada penurunan
nurunan berat badan, anemia, keluarnya daerah dari dubur atau riwayat keluarga
dengan kanker usus besar perlu dilakukan kolonoskopi. Bagi sebagian orang
kontipasi hanya sekadar mengganggu, tapi bagi sebagian kecil dapat menimbulkan
komplikasi serius. Tinja dapat mengeras sekeras batu di poros usus (70%), usus
besar (20%), dan pangkal usus besar (10%).
V.
PEMERIKSAAN
DIAGNOSTIK :
Pemeriksaan
penunjang pasien dengan konstipasi menurut Pittara (2022) :
1. Tes darah,
untuk memeriksa kadar hormon dalam tubuh, seperti hormon tiroid, dan kadar
kalsium.
2. Foto Rontgen,
untuk mendeteksi tinja di dalam usus atau penyumbatan dalam usus.
3. Kolonoskopi,
untuk memeriksa kondisi usus dan rektum menggunakan selang lentur berkamera
(kolonoskop).
4. Manometri
anorektal, untuk memeriksa koordinasi otot yang menggerakkan anus, dengan
memasukan balon kecil menggunakan selang lentur, kemudian menariknya kembali
5. Defecography
atau foto Rontgen rektum dengan barium, untuk mendeteksi gangguan pada fungsi
otot rektum dengan memasukkan barium ke dalam rektum kemudian meminta pasien
mengeluarkannya seperti sedang BAB.
6. MRI
defecography, yaitu sama dengan defecography tetapi menggunakan bantuan
teknologi MRI
7. Pemeriksaan
waktu transit kolon, untuk mengukur waktu pergerakan makanan di dalam usus,
dengan meminta pasien menelan pil yang dilengkapi perekam atau zat penanda yang
pergerakannya di dalam usus akan diamati selama 24–48 jam menggunakan foto
Rontgen
8. Elektrokardiografi (ECG)
Pemeriksaan EKG digunakan
yntuk mengetahui aktivitas listrik jantung dan akan direkam untuk menunjukkan
ritme abnormal atau aritmia.
VI.
MASALAH
KEPERAWATAN:
1.
Konstipasi (D.0049)
2.
Nyeri akut (D.0077)
3.
Pola nafas tidak efektif (D.0005)
VII. MASALAH KOLABORATIF:
1.
Kolaborasi
dengan dokter DPJP sebagai penentu diagnosa medis pasien.
2.
Kolaborasi
dengan ahli gizi sebagai pemberian diit pasien.
3.
Kolaborasi
dengan farmasi sebagai palayanan obat untuk pasien.
VIII.
PATOFISIOLOGI
:
A
SKEMA
Asupan serat dan cairan yang kurang, kurang
berktifitas, kehamilan (peningkatan hormon progesteron) Gangguan fungsi utama kolon (transport mukosa,
aktivasi mioelektrik, proses defekasi) Relaksasi sfingter interna dan eksterna Rangsangan reflek penyekat rekto anal Motalitas (peristaktik kolon) Feses mengeras Membran mukosa & muskulator tidak peka
terhadap rangsangan fekal Gangguan defekasi Tinja
tertahan didalam usus Tinja
tertahan di dalam usus KONSTIPASI
(D.0049) Absorsi cairan elektrolit
Tekanan
intra abdomen
Diperlukan rangsangan yang lebih kuat untuk
mendorong feses Pola nafas tidak efektif (D.0005) Nyeri akut (D.0077) Spasme setelah makan, nyeri kolik pada abdomen Nyeri pada abdomen dapat menyebabkan tekanan pada
diafragma
B
URAIAN
Konstipasi
adalah kondisi yang ditandai dengan sulit buang air besar atau frekuensi BAB
yang lebih sedikit daripada biasanya. Faktor penyebab dari konstipasi diantaranya
seperti asupan serat dan cairan yang kurang, kurang beraktivitas, serta kehamilan
(yang menyebabkan peningkatan hormon progesteron). Faktor-faktor ini kemudian
memicu masalah pada absorpsi cairan, yang selanjutnya mempengaruhi motilitas
(peristaltik) usus. Terganggunya motilitas usus ini dapat menyebabkan
terbentuknya feses yang keras atau tinja yang tertahan di dalam. Jika tinja
tertahan di dalam, hal ini dapat langsung mengarah pada diagnosis konstipasi. Selain
itu, gangguan motilitas usus juga dapat mempengaruhi fungsi utama kolon,
termasuk transport mukosa, aktivitas mioelektrik, dan proses defekasi. Kondisi
ini menyebabkan gangguan pada rangsangan refleks untuk buang air besar
(rektal). Akibatnya, terjadi relaksasi sfingter interna dan peningkatan tekanan
intra. Peningkatan tekanan intra dan relaksasi sfingter ini menunjukkan bahwa
membran mukosa dan muskular tidak lagi peka terhadap rangsangan normal,
sehingga dibutuhkan rangsangan yang lebih kuat untuk mendorong feses keluar.
Kondisi ini dapat menyebabkan spasme setelah makan, nyeri kolik, serta nyeri
pada abdomen yang dapat menyebabkan tekanan pada diafragma. Dari kondisi spasme
setelah makan dan nyeri kolik, dapat muncul diagnosis nyeri akut. Sementara
itu, nyeri pada abdomen yang menyebabkan tekanan pada diafragma dapat berujung
pada pola napas tidak efektif.
IX.
PROSES
ASUHAN KEPERAWATAN
A.
PENGKAJIAN
FOKUS KEPERAWATAN:
Menurut Mubarak & Chayatin (2007),
pengkajian keperawatan pada klien denan gangguan eliminasi alvi difokuskan pada
riwayat keperawatan, pemriksaan fisik, dan pemeriksaan diangostik.
a.
Identitas,
seperti : nama, tempat tanggal lahir/umur, pendidikan, pekerjaaan, alamat, agama, jenis kelamin, nomer registrasi, dan
diagnosa medis.
b.
Riwayat kesehatan
a) Keluhan utama
Didapat dengan menanyakan tentang gangguan
terpenting yang dirasakan pasien sampai perlu pertolongan. (misal Nyeri, diare,
mual, muntah, kembung. ketidaknyamanan abdomen, konstipasi).
b) Riwayat Kesehatan Sekarang
Pengkajian riwayat kesehatan dilakukan dengan
anamnesis atau wawancara untuk menggali masalah keperawatan lainnya sesuai
dengan keluhan utama dari pasiennya. Perawat memperoleh data subyektif dari
pasien mengenai awitan masalahnya dan bagaimana penanganan yang sudah
dilakukan. Persepsi dan harapan pasien sehubungan dengan masalah kesehatan
dapat mempengaruhi masalah kesehatan. Yang perlu dikaji dalam sistem
gastrointestinal: Pengkajian rongga mulut, Pengkajian esofagus, Pengkajian
lambung, Pengkajian intestinal, Pengkajian anus dan feses, Pengkajian organ
aksesori.
c) Riwayat kesehatan dahulu
Pengkajian kesehatan masa lalu bertujuan untuk
menggali berbagai kondisi yang memberikan berbagai kondisi saat ini. Perawat
mengkaji riwayat MRS (masuk rumah sakit) dan penyakit berat yang pernah
diderita, penggunaan obat2 dan adanya alergi.
d) Riwayat kesehatan keluarga
Pengkajian ini dilakukan karena ada beberapa faktor
jika ada keturunan yang memiliki riwayat yang sama
c.
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik keperawatan pada sistem GI dimulai
dari survei umum terhadap setiap kelainan yang terlihat atau mengklarifikasi
dari hasil pengkajian anamnesis.
a) Bibir
Keadaan kulit: warnanya (ikterus, pucat,
coklat, kehitaman), elastisitasnya (menurun pada orang tua dan dehidrasi),
kering (dehidrasi), lembab (asites), dan adanya bekas-bekas garukan (penyakit
ginjal kronik, ikterus obstruktif), jaringan parut (tentukan lokasinya),
striace (gravidarum/ cushing syndrome), pelebaran pembuluh darah vena
(obstruksi vena kava inferior & kolateral pada hipertensi portal).
b) Rongga mulut
menggunakan senter dan spatel lidah atau kasa
tunggal segi empat.
c) Abdomen
- Inpeksi: Amati abdomen untuk melihat
bentuknya, simetrisitas, adanya distensi atau gerak peristaltik.
- Palpasi : Lakukan palpasi untuk mengetahui
konsistensi abdomen serta adanya nyeri tekan atau massa di permukaan abdomen (perut
terasa keras, ada impaksi feses).
- Perkusi: Lakukan perkusi pada abdomen untuk
mengetahui adanya distensi berupa cairan, massa, atau udara. Mulailah pada
bagian kanan atas dan seterusnya.
- Auskultasi: Dengarkan bising usus, lalu
perhatikan intensitas, frekuensi, dan kualitasnya.
d) Rektum dan anus.
Pemeriksaan dilakukan pada posisi litotomi atau
sims.
-
Inspeksi. Amati daerah perianal untuk melihat adanya tanda-tanda
inflamasi, perubahan warna, lesi, lecet, fistula, konsistensi, hemoroid.
-
Palpasi. Palpasi dinding rektum dan rasakan adanya nodul, massa, nyeri
tekan. Tentukan lokasi dan ukurannya.
e)
Feses.
Amati feses klien dan catat
konsistensi, bentuk, bau, warna, dan jumlahnya. Amati pula unsur abnormal yang
terdapat pada feses.
B.
DIAGNOSIS
KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan
merupakan penilaian klinis mengenai respon pasien terhadap masalah kesehatan
(SDKI, 2017). Diagnosa keperawatan yang muncul pada penderita konstipasi
berdasarkan SDKI adalah:
1.
Konstipasi berhubungan dengan ketidakcukupan asupan serat
Definisi : Penurunan
defekasi normal yang disertai pengeluaran feses sulit dan tidak tuntas serta
feses kering dan banyak.
Penyebab :
Fisiologis
1. Penurunan motilitas
gastrointestinal
2. Ketidakadekuatan
pertumbuhan gigi
3. Ketidakcukupan diet
4. Ketidakcukupan asupan
serat
5. Ketidakcukupan asupan
cairan
6. Aganglionik (mis.
penyakit Hircsprung)
7. Kelemahan otot abdomen
Psikologis
1. Konfusi
2. Depresi
3. Gangguan emosional
Situasional
1. Perubahan kebiasaan makan
(mis, jenis makanan, jadwal makan)
2. Ketidakadekuatan
toileting
3. Aktivitas fisik harian
kurang dari yang dianjurkan
4. Penyalahgunaan laksatif
5. Efek agen farmakologis
6. Ketidakteraturan
kebiasaan defekasi
7. Kebiasaan menahan
dorongan defekasi
8. Perubahan lingkungan
Gejala dan Tanda Mayor
Subjektif :
1. Defekasi kurang dari 2
kali seminggu
2. Pengeluaran feses lama
dan sulit
Objektif :
1. Feses keras.
2. Peristaltik usus menurun
Gejala dan Tanda Minor
Subjektif :
1. Mengejan saat defekasi
Objektif :
1. Distensi abdomen
2. Kelemahan umum
3. Teraba massa pada rektal
2.
Nyeri akut berhubungan dengan Agen
pencendera fisiologis
Definisi : Pengalaman
sensorik atau emosional yang berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual atau
fungsional, dengan onset mendadak atau lambat dan berintensitas ringan hingga
berat yang berlangsung kurang dari 3 bulan.
Penyebab :
1. Agen pencedera fisiologis
(mis, inflamasi, iskemia, neoplasma)
2. Agen pencedera kimiawi
(mis, terbakar, bahan kimia iritan)
3. Agen pencedera fisik
(mis. abses, amputasi, terbakar, terpotong, mengangkat berat, prosedur operasi,
trauma, latihan fisik berlebihan)
Gejala dan Tanda Mayor
Subjektif :
1.
Mengeluh nyeri
Objektif :
1.
Tampak meringis
2.
Bersikap protektif (mis. waspada, posisi menghindari nyeri)
3.
Gelisah
4.
Frekuensi nadi meningkat
5.
Sulit tidur
Gejala dan Tanda Minor
Subjektif :
(tidak
tersedia)
Objektif :
1.
Tekanan darah meningkat
2.
Pola napas berubah
3.
Nafsu makan berubah
4.
Proses berpikir terganggu
5.
Menarik diri
6.
Berfokus pada diri sendiri
7.
Diaforesis
3.
Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya nafas
Definisi : Inspirasi
dan/atau ekspirasi yang tidak memberikan ventilasi adekuat.
Penyebab :
1.
Depresi pusat pernapasan
2. Hambatan
upaya napas (mis. nyeri saat bernapas, kelemahan otot pernapasan)
3.
Deformitas dinding dada
4.
Deformitas tulang dada
5.
Gangguan neuromuskular
6.
Gangguan neurologis (mis. elektroensefalogram [EEG] positif, cedera kepala, ganguan
kejang)
7.
Imaturitas neurologis
8.
Penurunan energi
9.
Obesitas
10.
Posisi tubuh yang menghambat ekspansi paru
11.
Sindrom hipoventilasi
12.
Kerusakan inervasi diafragma (kerusakan saraf C5 ke atas)
13.
Cedera pada medula spinalis
14.
Efek agen farmakologis
15.
Kecemasan
Gejala dan Tanda Mayor
Subjektif :
1.
Dispnea
Objektif :
1.
Penggunaan otot bantu pernapasan
2.
Fase ekspirasi memanjang
3.
Pola napas abnormal (mis. takipnea, bradipnea, hiperventilasi, kussmaul,
cheyne-stokes)
Gejala dan Tanda Minor
Subjektif :
1. Ortopnea
Objektif :
1.
Pernapasan pursed-lip
2.
Pernapasan cuping hidung
3.
Diameter thoraks anterior-posterior meningkat
4.
Ventilasi semenit menurun
5.
Kapasitas vital menurun
6.
Tekanan ekspirasi menurun
7.
Tekanan inspirasi menurun
8.
Ekskursi dada berubah
C.
INTERVENSI
KEPERAWATAN
No. Dx |
Diagnosa
Keperawatan |
Standar
Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI) |
Standar
Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI) |
1. |
Konstipasi berhubungan
dengan ketidakcukupan asupan serat |
Setelah dilakukan
tindakan keperawatan selama 3x24 jam, diharapkan eliminasi fekal membaik
dengan kriteria hasil: 1. Kontrol pengeluaran meningkat (5) 2. Keluhan saat defekasi menurun (5) 3. Mengejan saat defekasi menurun (5) 4. Distensi abdomen menurun (5) 5. Teraba
massa pada rektal menurun (5) 6. Nyeri
abdomen menurun (5) 7. Kram
abdomen menurun (5) 8. Konsistensi
feses membaik (5) 9. Frekuensi
BAB membaik (5) 10. Peristaltik
usus membaik (5) |
Manajemen eliminasi
fekal (I. 04151) Observasi: 1. Identifikasi masalah usus dan penggunaan
obat pencahar 2. Identifikasi pengobatan yang berefek pada
kondisi gastrointestinal 3. Monitor buang air besar (mis. Warna,
frekuensi, konsistensi, volume) 4. Monitor tanda dan gejala diare, konstipasi,
atau impaksi Terapeutik: 5. Berikan air hangat setelah makan 6. Jadwalkan waktu defekasi bersama pasien 7. Sediakan makanan tinggi serat Edukasi: 8.
Jelaskan Jenis makanan yang membantu meningkatkan keteraturan
peristaltik usus 9.
Anjurkan mencatat warna, frekuensi, konsistensi, volume feses 10. Anjurkan meningkatkan aktifitas fisik, sesuai
toleransi 11. Anjurkan pengurangan asupan makanan
yang meningkatkan pembentukan gas 12. Anjurkan mengkonsumsi makanan yang
mengandung tinggi serat 13. Anjurkan meningkatkan asupan cairan,
jika tidak ada kontraindikasi Kolaborasi: 14. Kolaborasi pemberian obat supositoria
anal, jika perlu. |
2. |
Nyeri
akut berhubungan dengan Agen
pencendera fisiologis |
Setelah
dilakukan intervensi selama 3x24
jam, diharapkan nyeri akut
menurun dengan
kriteria hasil: 1.
Kemampuan menuntaskan
aktivitas meningkat (5) 2.
Keluhan nyeri menurun (5) 3. Meringis
menurun (5) 4. Sikap
protektif menurun (5) 5. Gelisah
menurun (5) 6. Kesulitan
tidur menurun (5) 7. Frekuensi
nadi membaik (5) 8. Pola
nafas membaik (5) 9. Tekanan
darah membaik (5) 10. Nafsu
makan membaik (5) Pola
tidur membaik (5) |
Manajemen
Nyeri Observasi: 1. Identifikasi
lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri 2. Identifikasi
skala nyeri 3. Identifikasi
respons nyeri non verbal 4. Identifikasi
faktor yang memperberat dan memperingan nyeri 5. Identifikasi
tentang nyeri pengetahuan dan keyaninan 6. Identifikasi
pengaruh budaya terhadap respon nyeri 7. Identifikasi
pengaruh nyeri pada kualitas hidup 8. Monitor
keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan 9. Monitor
efek samping penggunaan analgetik Terapeutik: 10. Berikan
teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri 11. Kontrol
lingkungan yang memperberat rasa nyeri 12. Fasilitasi istirahat dan
tidur 13. Pertimbangkan
jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi meredakan nyeri Edukasi: 14. Jelaskan
penyebab, periode, dan pemicu nyeri 15. Jelaskan
strategi meredakan nyeri 16. Anjurkan
memonitor nyeri secara mandiri 17. Anjurkan
menggunakan analgetik secara tepat 18. Ajarkan
teknik nonfarmakologis untuk mengurangi nyeri Kolaborasi: 19. Kolaborasi
pemberian analgetik, jika perlu |
3. |
Pola nafas tidak efektif
berhubungan dengan hambatan upaya nafas |
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24
jam, diharapkan pola nafas membaik dengan kriteria hasil: 1.
Dispneu menurun (5) 2.
Penggunaan otot bantu nafas menurun (5) 3.
Pernafasan cuping hidung menurun (5) 4.
Frekuensi nafas membaik (5) 5.
Kedalaman nafas membaik (5) |
Manajemen
Jalan Nafas (I.01012) Observasi: 1. Monitor pola napas
(frekuensi, kedalaman, usaha napas) 2.
Monitor bunyi napas tambahan (mis. gurgling, mengi, wheezing, ronkhi
kering) 3.
Monitor sputum (jumlah, warna, aroma) Теrapeutik: 4.
Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head-tilt dan chin-lift
(jaw-thrust jika curiga trauma servikal) 5.
Berikan minum hangat 6.
Posisikan semi-Fowler atau Fowler 7.
Lakukan fisioterapi dada, jika perlu 8.
Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik 9.
Lakukan hiperoksigenasi sebelum penghisapan endotrakeal 10.
Keluarkan sumbatan benda padat dengan forsep McGill 11.
Berikan oksigen, jika perlu Edukasi: 12.
Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika tidak kontraindikasi 13.
Ajarkan teknik batuk efektif Kolaborasi: 14.
Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitik, jika perlu |
D.
IMPLEMENTASI
KEPERAWATAN:
Implementasi
merupakan suatu proses keperawatan yang dilakukan setelah perencanaan
keperawatan. Implementasi keperawatan adalah langkah keempat dari proses
keperawatan yang telah direncanakan oleh perawat untuk membantu pasien yang
bertujuan mencegah, mengurangi, dan menghilangkan dampak ataupun respon yang
dapat ditimbulkan oleh adanya masalah keperawatan serta kesehatan. Implementasi
keperawatan membutuhkan fleksibilitas dan kreativitas perawat (Debora, 2013).
E.
EVALUASI
KEPERAWATAN
Evaluasi
keperawatan merupakan tahap kelima atau proses keperawatan terakhir yang
berupaya untuk membandingkan tindakan yang sudah dilakukan dengan kriteria
hasil yang sudah ditentukan. Evaluasi keperawatan bertujuan menentukan apakah
seluruh proses keperawatan sudah berjalan dengan baik dan tindakan berhasil
dengan baik (Debora, 2013). Pada tahap evaluasi ini terdiri dari dua kegiatan
yaitu kegiatan yang dilakukan dengan mengevaluasi selama proses keperawatan
berlangsung atau menilai dari respons klien disebut evaluasi proses, dan
kegiatan melakukan evaluasi dengan target tujuan yang diharapkan disebut
sebagai evaluasi hasil (Hidayat,2008).
Tahapan
evaluasi keperawatan terdiri dari beberapa komponen, yaitu kriteria hasil,
keefektifan tahap-tahap proses keperawatan dan perbaikan rencana asuhan
keperawatan. Kerangka pembuatan kriteriahasil dibuat dalam bentuk SOAP
(Subyektif, Obyektif, Assessment, Planning). Adapun penjelasan lebih lanjut
sebagai berikut:
1) S
(Subyektif): yaitu keluhan-keluhan pasien (apa saja yang dikatakan pasien,
keluarga pasien dan orang terdekat pasien).
2) O
(Obyektif): yaitu segala sesuatu yang dapat dilihat, dicium, diraba, dan diukur
oleh perawat
3) A
(Analisis): yaitu suatu kesimpulan yang dirumuskan oleh perawat tentang kondisi
pasien.
4) P
(Planning): yaitu rencana tindakan keperawatan untuk mengatasi masalah pasien
selanjutnya.
X.
DAFTAR
PUSTAKA
Claudina, I., Rahayuning, D. P., Kartini,
A., Gizi Kesehatan Masyarakat, B., & Kesehatan, F. (2018a).
HUBUNGAN ASUPAN SERAT MAKANAN DAN CAIRAN
DENGAN KEJADIAN KONSTIPASI FUNGSIONAL PADA REMAJA DI SMA KESATRIAN 1 SEMARANG
(Vol. 6). http://ejournal3.undip.ac.id/index.php/jkm
Claudina, I., Rahayuning, D. P.,
Kartini, A., Gizi Kesehatan Masyarakat, B., & Kesehatan, F. (2018b).
HUBUNGAN ASUPAN SERAT MAKANAN DAN CAIRAN
DENGAN KEJADIAN KONSTIPASI FUNGSIONAL PADA REMAJA DI SMA KESATRIAN 1 SEMARANG
(Vol. 6). http://ejournal3.undip.ac.id/index.php/jkm
Nurbadriyah, W. D. (2022). ASUHAN
KEPERAWATAN KONSTIPASI DENGAN PENDEKATAN 3S (SDKI, SLKI DAN SIKI) (M.
Rosyiful Aqli, Ed.; 1 ed.).
Program, S. H., Diii, S., Stikes, K.,
& Negeri, P. (t.t.). PENGARUH KONSUMSI TABLET FE DENGAN KEJADIAN
KONSTIPASI PADA IBU HAMIL DI PUSKESMAS PAYUNG SEKAKI PEKANBARU. Jurnal Medika
Usada 1, 3.
Salsabila, Q. (t.t.). EFIKASI DAUN JATI
CINA DALAM MENGATASI KONSTIPASI.
http://jurnal.globalhealthsciencegroup.com/index.php/JPPP
Sibarani, M. V., Ulfah, R., &
Afriyanti, E. (2019). Hubungan Aktivitas Fisik Terhadap Konstipasi pada
Pasien Stroke di RS Islam Siti Rahmah Padang. Dalam Jurnal Kesehatan Andalas
(Vol. 8, Nomor 4). http://jurnal.fk.unand.ac.id
Sitorus, M., & Malinti, E. (2019).
AKTIVITAS FISIK DN KONSTIPASI PADA LANSIA ADVENT DI BANDUNG. Dalam Jurnal
Ilmiah Kesehatan Diagnosis (Vol. 14).
Tim Pojka SDKI DPP PPNI. (2017). Standar
Diagnosa Keperawatan Indonesia (2 ed.). Dewan Pengurus Pusat Persatuan
Perawat Nasional Indonesia.
Tim Pojka SIKI DPP PNI. (2018). Standar
Intervensi Keperawatan Indonesia (II). Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat
Nasional Indonesia.
Wiwit, P., Nurbadriyah, D., & Kep,
M. (2020a). ASUHAN KEPERAWATAN KONSTIPASI DENGAN PENDEKATAN 3S (SDKI, SLKI
DAN SIKI). www.penerbitlitnus.co.id
Wiwit, P.:, Nurbadriyah, D., & Kep,
M. (2020b). ASUHAN KEPERAWATAN KONSTIPASI DENGAN PENDEKATAN 3S (SDKI, SLKI
DAN SIKI). www.penerbitlitnus.co.id
Comments
Post a Comment