LAPORAN PENDAHULUAN ASMA BRONKIAL

 

LAPORAN PENDAHULUAN ASMA BRONKIAL

A.     PENGERTIAN

Asma adalah suatu kelainan berupa inflamasi (peradangan) kronik saluran napasa yang menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan yang ditandai dengan gejala episodik berulang berupa mengi, batuk, sesak napas dan rasa berat di dada terutama pada malam hari atau dini hari yang umumnya bersifat revrsibel baik dengan atau tanpa pengobatan (Depkes RI, 2009)

Asma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran napas yang disebabkan oleh reaksi hiperresponsif sel imun tubuh seperti sel mast, eosinofil, dan limfosit-T terhadap stimulus tertentu dan menimbulkan gejala dyspnea, wheezing, dan batuk akibat obstruksi jalan napas yang bersifat reversibel dan terjadi secara episodik berulang (Brunner & Suddarth, 2001).

Asma bronkhial adalah penyakit jalan nafas obstruktif intermitten, reversible dimana trakeobronkial berespon secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu. Asma bronchial adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon trakea dan bronkus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan jalan nafas yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah baik secara spontan maupun hasil dari pengobatan (The American Thoracic Society).

 

B.     KLASIFIKASI

Berdasarkan penyebabnya, asma bronkhial dapat diklasifikasikan menjadi 3 tipe, yaitu:

a.       Ekstrinsik (alergik)

Ditandai dengan reaksi alergik yang disebabkan oleh faktor-faktor pencetus yang spesifik, seperti debu, serbuk bunga, bulu binatang, obat- obatan (antibiotic dan aspirin) dan spora jamur. Asma ekstrinsik sering dihubungkan dengan adanya suatu predisposisi genetik terhadap alergi.

Oleh karena itu jika ada faktor-faktor pencetus spesifik seperti yang disebutkan di atas, maka akan terjadi serangan asma ekstrinsik.

b.      Intrinsik (non alergik)

Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap pencetus yang tidak spesifik atau tidak diketahui, seperti udara dingin atau bisa juga disebabkan oleh adanya infeksi saluran pernafasan dan emosi. Serangan asma ini menjadi lebih berat dan sering sejalan dengan berlalunya waktu dan dapat berkembang menjadi bronkhitis kronik dan emfisema. Beberapa pasien akan mengalami asma gabungan.

Asma gabungan Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik dari bentuk alergik dan non-alergik.

 

C.     ETIOLOGI

Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi timbulnya serangan asma bronkhial.

1.      Faktor predisposisi

a.       Genetik

Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui bagaimana cara penurunannya yang jelas. Penderita dengan penyakit alerg biasanya mempunyai keluarga dekat juga menderita penyakit alergi. Karena adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkhial jika terpapar dengan foktor pencetus. Selain itu hipersentifisitas saluran pernafasannya juga bisa diturunkan.

2.      Faktor presipitasi

a.       Alergen

Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :

1)      Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan

ex: debu, bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan polusi

2)      Ingestan, yang masuk melalui mulut

ex: makanan dan obat-obatan

3)      Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit ex: perhiasan, logam dan jam tangan


 

b.      Perubahan cuaca

Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma. Atmosfir yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma. Kadang-kadang serangan berhubungan dengan musim, seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga. Hal ini berhubungan dengan arah angin serbuk bunga dan debu.

c.       Stress

Stress/ gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga bisa memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma yang timbul harus segera diobati penderita asma yang mengalami stress/gangguanemosi perlu diberi nasehat untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stressnya belum diatasi maka gejala asmanya belum bisa diobati.

d.      Lingkungan kerja

Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan asma. Hal ini berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang yang bekerja di laboratorium hewan, industri tekstil, pabrik asbes, polisi lalu lintas. Gejala ini membaik pada waktu libur atau cuti.

e.       Olah raga/ aktifitas jasmani yang berat

Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktifitas jasmani atau aloh raga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena aktifitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktifitas tersebut.

 

D.     PATOFISIOLOGI

Asma ditandai dengan kontraksi spastic dari otot polos bronkhiolus yang menyebabkan sukar bernafas.

Penyebab yang umum adalah hipersensitivitas bronkhioulus terhadap benda-benda asing di udara. Reaksi yang timbul pada asma tipe alergi diduga terjadi dengan cara sebagai berikut : seorang yang alergi mempunyai kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibody Ig E abnormal dalam jumlah besar dan antibodi ini menyebabkan reaksi alergi bila reaksi dengan antigen spesifikasinya. Pada asma, antibody ini terutama melekat pada sel mast yang terdapat pada interstisial paru yang berhubungan erat dengan brokhiolus dan bronkhus kecil. Bila seseorang menghirup alergen maka antibody Ig E orang tersebut meningkat, alergen bereaksi dengan antibodi yang telah terlekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini akan mengeluarkan berbagai macam zat, diantaranya histamin, zat anafilaksis yang bereaksi lambat (yang merupakan leukotrient), factor kemotaktik eosinofilik dan bradikinin. Efek gabungan dari semua faktor-faktor ini akan menghasilkan adema lokal pada dinding bronkhioulus kecil maupun sekresi mucus yang kental dalam lumen bronkhioulus dan spasme otot polos bronkhiolus sehingga menyebabkan tahanan saluran napas menjadi sangat meningkat.

Pada asma , diameter bronkiolus lebih berkurang selama ekspirasi daripada selama inspirasi karena peningkatan tekanan dalam paru selama eksirasi paksa menekan bagian luar bronkiolus. Karena bronkiolus sudah tersumbat sebagian, maka sumbatan selanjutnya adalah akibat dari tekanan eksternal yang menimbulkan obstruksi berat terutama selama ekspirasi. Pada penderita asma biasanya dapat melakukan inspirasi dengan baik dan adekuat, tetapi sekali-kali melakukan ekspirasi.

Hal ini menyebabkan dispnea. Kapasitas residu fungsional dan volume residu paru menjadi sangat meningkat selama serangan asma akibat kesukaran mengeluarkan udara ekspirasi dari paru. Hal ini bisa menyebabkan barrel chest.

 

E.     MANIFESTASI KLINIK

Biasanya pada penderita yang sedang bebas serangan tidak ditemukan gejala klinis, tapi pada saat serangan penderita tampak bernafas cepat dan dalam, gelisah, duduk dengan menyangga ke depan, serta tanpa otot-otot bantu pernafasan bekerja dengan keras.

Gejala klasik dari asma bronkial ini adalah sesak nafas, mengi (whezing), batuk, dan pada sebagian penderita ada yang merasa nyeri di dada. Gejala- gejala tersebut tidak selalu dijumpai bersamaan.

Pada serangan asma yang lebih berat , gejala-gejala yang timbul makin banyak, antara lain : silent chest, sianosis, gangguan kesadaran, hyperinflasi dada, tachicardi dan pernafasan cepat dangkal . Serangan asma seringkali terjadi pada malam hari.

 

F.      PEMERIKSAAN LABORATORIUM

a.       Pemeriksaan sputum

Pemeriksaan sputum dilakukan untuk melihat adanya:

-          Kristal-kristal charcot leyden yang merupakan degranulasi dari Kristal eosinopil.

-          Spiral curshmann, yakni yang merupakan cast cell (sel cetakan) dari cabang bronkus.

-          Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkus.

-          Netrofil dan eosinopil yang terdapat pada sputum, umumnya bersifat mukoid dengan viskositas yang tinggi dan kadang terdapat mucus plug.

b.      Pemeriksaan darah

-          Analisa gas darah pada umumnya normal akan tetapi dapat pula terjadi hipoksemia, hiperkapnia, atau asidosis.

-          Kadang pada darah terdapat peningkatan dari SGOT dan LDH.

-          Hiponatremia dan kadar leukosit kadang-kadang di atas 15.000/mm3 dimana menandakan terdapatnya suatu infeksi.

-          Pada pemeriksaan faktor-faktor alergi terjadi peningkatan dari Ig E pada waktu serangan dan menurun pada waktu bebas dari serangan.

 

G.    PEMERIKSAAN PENUNJANG

1.      Pemeriksaan radiologi

Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal. Pada waktu serangan menunjukan gambaran hiperinflasi pada paru-paru yakni radiolusen yang bertambah dan peleburan rongga intercostalis, serta diafragma yang menurun.

Akan tetapi bila terdapat komplikasi, maka kelainan yang didapat adalah sebagai berikut:

-          Bila disertai dengan bronkitis, maka bercak-bercak di hilus akan bertambah.

-          Bila terdapat komplikasi empisema             (COPD), maka gambaran radiolusen akan semakin bertambah.

-          Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran infiltrate pada paru

-          Dapat pula menimbulkan gambaran atelektasis lokal.

-          Bila terjadi pneumonia mediastinum, pneumotoraks, dan pneumoperikardium, maka dapat dilihat bentuk gambaran radiolusen pada paru-paru.

2.      Pemeriksaan tes kulit

Dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai alergen yang dapat menimbulkan reaksi yang positif pada asma.

3.      Elektrokardiografi

Gambaran elektrokardiografi yang terjadi selama serangan dapat dibagi menjadi 3 bagian, dan disesuaikan dengan gambaran yang terjadi pada empisema paru yaitu :

-          Perubahan aksis jantung, yakni pada umumnya terjadi right axis deviasi dan clock wise rotation.

-          Terdapatnya tanda-tanda hipertropi otot jantung, yakni terdapatnya RBB (Right bundle branch block).

-          Tanda-tanda hopoksemia, yakni terdapatnya sinus tachycardia, SVES, dan VES atau terjadinya depresi segmen ST negative.

4.      Scanning paru

Dengan scanning paru melalui inhalasi dapat dipelajari bahwa redistribusi udara selama serangan asma tidak menyeluruh pada paru-paru.

5.      Spirometri

Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas reversible, cara yang paling cepat dan sederhana diagnosis asma adalah melihat respon pengobatan dengan bronkodilator. Pemeriksaan spirometer dilakukan sebelum dan sesudah pamberian bronkodilator aerosol (inhaler atau nebulizer) golongan adrenergik. Peningkatan FEV1 atau FVC sebanyak lebih dari 20% menunjukkan diagnosis asma. Tidak adanya respon aerosol bronkodilator lebih dari 20%. Pemeriksaan spirometri tidak saja penting untuk menegakkan diagnosis tetapi juga penting untuk menilai berat obstruksi dan efek pengobatan. Benyak penderita tanpa keluhan tetapi pemeriksaan spirometrinya menunjukkan obstruksi.

 

H.    KOMPLIKASI

Berbagai komplikasi yang mungkin timbul adalah :

1.      Status asmatikus

2.      Atelektasis

3.      Hipoksemia

4.      Pneumothoraks

5.      Emfisema

6.      Deformitas thoraks

7.      Gagal nafas

 

I.       PENATALAKSANAAN

Prinsip umum pengobatan asma bronchial adalah :

a.       Menghilangkan obstruksi jalan nafas dengan segara.

b.      Mengenal dan menghindari fakto-faktor yang dapat mencetuskan serangan asma

c.       Memberikan penerangan kepada penderita ataupun keluarganya mengenai penyakit asma, baik pengobatannya maupun tentang perjalanan penyakitnya sehingga penderita mengerti tujuanpenngobatan yang diberikan dan bekerjasama dengan dokter atau perawat yang merawatnnya.

Pengobatan pada asma bronkhial terbagi 2, yaitu:

1.      Pengobatan non farmakologik:

-          Memberikan penyuluhan

-          Menghindari faktor pencetus

-          Pemberian cairan

-          Fisiotherapy

-          Beri O2 bila perlu.

 

2.      Pengobatan farmakologik :

-          Bronkodilator : obat yang melebarkan saluran nafas. Terbagi dalam 2 golongan :

a.       Simpatomimetik/ andrenergik (Adrenalin dan efedrin) Nama obat :

§  Orsiprenalin (Alupent)

§  Fenoterol (berotec)

§  Terbutalin (bricasma)

b.      Obat-obat golongan simpatomimetik tersedia dalam bentuk tablet, sirup, suntikan dan semprotan. Yang berupa semprotan: MDI (Metered dose inhaler). Ada juga yang berbentuk bubuk halus yang dihirup (Ventolin Diskhaler dan Bricasma Turbuhaler) atau cairan broncodilator (Alupent, Berotec, brivasma serts Ventolin) yang oleh alat khusus diubah menjadi aerosol (partikel-partikel yang sangat halus) untuk selanjutnya dihirup.

c.       Santin (teofilin) Nama obat :

§  Aminofilin (Amicam supp)

§  Aminofilin (Euphilin Retard)

§  Teofilin (Amilex)

Efek dari teofilin sama dengan obat golongan simpatomimetik, tetapi  cara  kerjanya  berbeda.  Sehingga  bila  kedua  obat  ini dikombinasikan efeknya saling memperkuat. Cara pemakaian : Bentuk suntikan teofillin / aminofilin dipakai pada serangan asma akut, dan disuntikan perlahan-lahan langsung ke pembuluh darah. Karena sering merangsang lambung bentuk tablet atau sirupnya sebaiknya diminum sesudah makan. Itulah sebabnya penderita yang mempunyai sakit lambung sebaiknya berhati-hati bila minum obat ini. Teofilin ada juga dalam bentuk supositoria yang cara pemakaiannya dimasukkan ke dalam anus. Supositoria ini digunakan jika penderita karena sesuatu hal tidak dapat minum teofilin (misalnya muntah atau lambungnya kering).

-          Kromalin

Kromalin bukan bronkodilator tetapi merupakan obat pencegah serangan asma. Manfaatnya adalah untuk penderita asma alergi terutama anakanak. Kromalin biasanya diberikan bersama-sama obat anti asma yang lain, dan efeknya baru terlihat setelah pemakaian satu bulan.

-          Ketolifen

Mempunyai efek pencegahan terhadap asma seperti kromalin. Biasanya diberikan dengan dosis dua kali 1mg / hari. Keuntungnan obat ini adalah dapat diberika secara oral.

 

J.       PENGKAJIAN PRIMER

Pengkajian Primer pada askep asma bronkial adalah :

1.      Airway. Yang kita dapatkan pada pengkajian airway ini diantaranya yaitu : batuk kering/tidak produktif, wheezing yang nyaring, penggunaan otot- otot aksesoris pernapasan ( retraksi otot interkosta).

2.      Breathing.  Perpanjangan  ekspirasi  dan  perpendekan  periode  inspirasi, dypsnea, takypnea, taktil fremitus menurun pada palpasi, suara tambahan ronkhi, hiperresonan pada perkusi.

3.      Circulation. Yang kita dapatkan pada pengkajian sirkulasi ini adalah adanya hipotensi, diaforesis, sianosis, gelisah, fatique, perubahan tingkat kesadaran, pulsus paradoxus > 10 mm.

 

K.    PENGKAJIAN SEKUNDER

Hal-hal yang perlu dikaji pada pasien asma adalah sebagai berikut:

1.      Riwayat kesehatan yang lalu:

-          Kaji riwayat pribadi atau keluarga tentang penyakit paru sebelumnya.

-          Kaji riwayat reaksi alergi atau sensitifitas terhadap zat / faktor lingkungan.

-          Kaji riwayat pekerjaan pasien.

2.      Aktivitas

-          Ketidakmampuan melakukan aktivitas karena sulit bernapas.

-          Adanya penurunan kemampuan / peningkatan kebutuhan bantuan melakukan aktivitas sehari-hari.

-          Tidur dalam posisi duduk tinggi.

3.      Pernapasan

-          Dipsnea pada saat istirahat atau respon terhadap aktivitas atau latihan.

-          Napas memburuk ketika pasien berbaring terlentang ditempat tidur.

-          Menggunakan obat bantu pernapasan, misalnya: meninggikan bahu, melebarkan hidung.

-          Adanya bunyi napas mengi.

-          Adanya batuk berulang.

4.      Sirkulasi

-          Adanya peningkatan tekanan darah.

-          Adanya peningkatan frekuensi jantung.

-          Warna kulit atau membran mukosa normal/ abu-abu/ sianosis.

-          Kemerahan atau berkeringat.

5.      Integritas ego

-          Ansietas

-          Ketakutan

-          Peka rangsangan

-          Gelisah

6.      Asupan nutrisi

-          Ketidakmampuan untuk makan karena distress pernapasan.

-          Penurunan berat badan karena anoreksia.

7.      Hubungan sosal

-          Keterbatasan mobilitas fisik.

-          Susah bicara atau bicara terbata-bata.

-          Adanya ketergantungan pada orang lain.

8.      Seksualitas

-          Penurunan libido

 

L.     DIAGNOSA YANG MUNGKIN MUNCUL

a.       Tak efektif bersihan jalan nafas b/d bronkospasme.

b.      Pola nafas tidak efektif b/d penurunan ekspansi paru.

c.       Kerusakan pertukaran gas b/d gangguan suplai oksigen (spasme bronkus)

 

M.   INTERVENSI KEPERAWATAN

Diagnosa 1: Tak efektif bersihan jalan nafas b/d bronkospasme.

Tujuan: Dalam asuhan keperawatan 1 x 30 menit, Jalan nafas kembali efektif.

Kriteria Hasil:

-          Sesak berkurang

-          Batuk berkurang

-          Klien dapat mengeluarkan sputum

-          Wheezing berkurang/hilang

-          Vital dalam batas normal

-          Keadaan umum baik.


 

Mandiri:

a.      Auskultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas, ex: mengi

b.      Beberapa derajat spasme bronkus terjadi dengan obstruksi jalan nafas dan dapat/tidak dimanifestasikan adanya nafas advertisius.

c.       Kaji / pantau frekuensi pernafasan, catat rasio inspirasi / ekspirasi. Tachipnea biasanya ada pada beberapa derajat dan dapat ditemukan pada penerimaan atau selama stress/ adanya proses infeksi akut.

d.      Catat adanya derajat dispnea, ansietas, distress pernafasan, penggunaan obat bantu.

e.       Disfungsi pernafasan adalah variable yang tergantung pada tahap proses akut yang menimbulkan perawatan di rumah sakit.

f.        Tempatkan posisi yang nyaman pada pasien, contoh : meninggikan kepala tempat tidur, duduk pada sandara tempat tidur

g.      Peninggian kepala tempat tidur memudahkan fungsi pernafasan dengan menggunakan gravitasi.

h.      Pertahankan polusi lingkungan minimum, contoh: debu, asap dll Pencetus tipe alergi pernafasan dapat mentriger episode akut.

i.        Tingkatkan masukan cairan sampai dengan 3000 ml/ hari sesuai toleransi jantung memberikan air hangat.

j.        Hidrasi membantu menurunkan kekentalan sekret, penggunaan cairan hangat dapat menurunkan kekentalan sekret, penggunaan cairan hangat dapat menurunkan spasme bronkus.

Kolaborasi:

a.      Berikan obat sesuai dengan indikasi bronkodilator.

b.     Merelaksasikan otot halus dan menurunkan spasme jalan nafas, mengi, dan produksi mukosa.

Diagnosa 2: Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan ekspansi paru.

Tujuan : Dalam asuhan keperawatan 1 x 30 menit, pola nafas klien kembali efektif


 

Kriteria Hasil:

-          Pola nafas efektif dengan perbandingan inspirasi dan ekspirasi 1 : 2

-          Bunyi nafas normal atau bersih

-          TTV dalam batas normal

-          Batuk berkurang

-          Ekspansi paru mengembang.

Mandiri:

a.      Kaji frekuensi nafas, kedalaman pernafasan dan ekspansi dada Kecepatan biasanya meningkat, kedalaman pernafasan bervariasi tergantung derajat asma

b.      Auskultasi bunyi nafas dan catat adanya bunyi nafas Ronkhi dan mengi menyertai obstruksi jalan nafas

c.      Tinggikan kepala dan bantu mengubah posisi Memungkinkan ekspansi paru dan memudahkan pernafasan

d.      Kolaborasi pemberian oksigen tambahan Memaksimalkan bernafas dan menurunkan kerja nafas

e.      Kolaborasi pemberian obat

f.       Bronkodilator golongan B2, Nebulizer (via inhalasi) dg golongan terbutaline 0,25 mg, fenoterol HBr 0,1% solution, orciprenaline sulfur 0,75 mg.

g.      Pemberian bronkodilator via inhalasi akan langsung menuju area bronkus

h.      yg mengalamin spasme shg lebih cepat berdilatasi

Diagnosa 3: Kerusakan pertukaran gas b/d gangguan suplai oksigen (spasme bronkus)

Hasil yang diharapkan ; perbaikan ventilasi dan oksigen jaringan edukuat.

Mandiri:

a.       Kaji/awasi secara rutin kulit dan membrane mukosa.

Sianosis mungkin perifer atau sentral keabu-abuan dan sianosis sentral mengindikasi kan beratnya hipoksemia.

b.      Palpasi fremitus

Penurunan getaran vibrasi diduga adanya pengumplan cairan/udara.

c.       Awasi tanda vital dan irama jantung

Tachicardi, disritmia, dan perubahan tekanan darah dapat menunjukan efek hipoksemia sistemik pada fungsi jantung.

Kolaborasi:

a.      Berikan oksigen tambahan sesuai dengan indikasi hasil AGDA dan toleransi pasien.

b.      Dapat memperbaiki atau mencegah memburuknya hipoksia.

 


 

DAFTAR PUSTAKA

Baratawidjaja, K. (1990) Asma Bronchiale”, dikutip dari Ilmu Penyakit Dalam, Jakarta : FK UI.

Brunner & Suddart (2002) Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah”, Jakarta : AGC.

Crockett,  A.  (1997)  Penanganan Asma  dalam  Penyakit  Primer ”,  Jakarta  : Hipocrates.

Crompton, G. (1980) Diagnosis and Management of Respiratory Disease”, Blacwell Scientific Publication.

Doenges, M. E., Moorhouse, M. F. & Gei ssler, A. C. (2000) Rencana Asuhan Keperawatan”, Jakarta : EGC.

Guyton & Hall (1997) Buku Ajar Fisiologi Kedokteran”, Jakarta : EGC.

Hudak & Gallo (1997) Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik”, Volume 1, Jakarta : EGC.

Price, S & Wilson, L. M. (1995) Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit”, Jakarta : EGC.

Pullen, R. L. (1995) “ Pulmonary Disease”, Philadelpia : Lea & Febiger. Rab, T. (1996) “Ilmu Penyakit Paru”, Jakarta : Hipokrates.

Rab, T. (1998) Agenda Gawat Darurat”, Jakarta : Hipokrates.

Reeves, C. J., Roux, G & Lockhart, R. (1999) Keperawatan Medikal Bedah”, Buku Satu, Jakarta : Salemba Medika.

Staff Pengajar FK UI (1997) “Ilmu Kesehatan Anak”, Jakarta : Info Medika. Sundaru, H. (1995) Asma ; Apa dan Bagaimana Pengobatannya ”, Jakarta : FK UI.


ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN ASMA BRONCHIALE

KONSEP TEORI

A.     Definisi

Asma bronkial merupakan inflamasi kronik jalan nafas yang melibatkan berbagai sel inflamasi. Dasar penyakit ini adalah hiperaktivitas bronkus dalam berbagai tingkat, obstruksi jalan napas, dan gejala pernafasan (mengi dan sesak). Obstruksi jalan nafas umumnya bersifat reversibel tergantung berat dan lamanya penyakit. (Kapita Selekta Kedokteran, 1999)

B.     Etiologi

Asma   selalu   dihubungkan   dengan bronko spasme yang reversibel dan sebagai faktor pencetus adalah :

1.      Alergi

2.      Infeksi dan iritasi

3.      Ketidakseimbangan saraf otonom

4.      Perubahan lingkungan dan suhu

 

C.     Manifestasi Klinis

Gejala yang timbul biasanya berhubungan dengan beratnya derajat hiperaktivitas bronkus. Obstruksi jalan nafas dapat reversibel secara spontan maupun dengan pengobatan.

Gejala-gejala asma antara lain :

1.      Bising mengi (wheezing) yang terdengar dengan atau tanpa stetoskop.

2.      Batuk produktif, sering pada malam hari.

3.      Nafas atau dada seperti tertekan.

Gejalanya bersifat paroksismal,yaitu membaik pada siang hari dan memburuk pada malam hari. Penyebabnya tidak mengerti dengan jelas, tetapi mungkin  berhubungan dengan variasi sirkadian, yang mempengaruhi ambang reseptor jalan nafas.

Serangan asma biasanya bermula mendadak dengan batuk dan rasa sesak dalam dada, disertai dengan pernafasan lambat dan mengi. Ekspirasi selalu lebih susah dan lebih panjang dari inspirasi membuat pasien untuk duduk tegak dan menggunakan otot-otot aksesori pernafasan jalan nafas yang tersumbat menyebabkan dispnea. Batuk semula ringan makin lama makin berat. Sputum makin kental dan susah dibatukkan sianosis sekunder bila terjadi hipoxia berat dan gejala-gejala retensi karbondioksida.

Serangan asma dapat berlangsung dari 30 menit sampai beberapa jam dan dapat hilang secara spontan, kadang terjadi reaksi kontinue yang lebih berat yang disebut status asmatekus. Kondisi ini dapat mengancam kehidupan.


 

D.     Patofisiologi (Pohon Masalah)

 

E.     Pemeriksaan Penunjang

Melakukan pemeriksaan laboratorium antara lain :

1.      Pemeriksaan sputum

Pada pemeriksaan sputum ditemukan :

a.       Kristal-kristal  charcot legden yang    merupakan degranulasi dari kristal eosinofil.

b.      Terdapatnya    spiral    curshmann,      yakni   spiral    yang merupakan silinder sel-sel cabang-cabang bronkus

c.       Terdapatnya    creole   yang    merupakan       fragmen           dari epithel bronkus

d.      Terdapatnya neutrofil eosinofil

2.      Pemeriksaan darah untuk melihat

a.       Gas analisa darah

Terdapat  hasil  aliran darah  yang variabel,   akan tetapi bila  terdapat peninggian  PaCO 2 maupun peningkatan Ph  menunjukkan kondensasi prognosis yang buruk

b.      Kadang-kadang pada darah terdapat SGOT dan LDH yang meninggi

c.       Hiponatremia, kadang-kadang PMN meningkat di atas 15.000/mm3 menandakan terdapatnya infeksi

d.      Pada pemeriksaan alergi terdapat IgE yang meningkat pada waktu serangan dan menurun waktu bebas serangan

3.      Foto rontgen untuk melihat keadaan paru-paru apakah terdapat komplikasi atau tidak.

4.      Pemeriksaan faal paru, untuk melihat adanya perubahan ventilasi perfusi, difusi udara selama serangan asma.

5.      Elektrokardiografi untuk melihat perubahan aksis jantung, melihat tanda-tanda hipertrofi jantung, melihat adanya tanda-tanda hipoksemia.

6.      Skaning paru untuk melihat ada tidaknya perubahan rasio ventilasi paru.

 

F.      Penatalaksanaan

Tujuan terapi asma yaitu :

1.      Menyembuhkan dan mengendalikan gejala asma

2.      Mencegah kekambuhan

3.      Mengupayakan            fungsi  paru     senormal          mungkin          serta mempertahankannya

4.      Mengupayakan aktivitas harian pada tingkat normal termasuk melakukan exercise

5.      Menghindari efek samping obat asma

6.      Mencegah obstruksi jalan nafas yang irreversibel

Penatalaksanaan Therapi :

1.      Oksigen 4 – 6 liter/menit

2.      Agonis B2 (salbutamol 5 mg atau fereterol 2,5 mg atau terbutalin 10 mg) inhalasi nebulasi dan pemberiannya dapat diulang setiap 20 menit sampai 1 jam. Pemberian agnosis B2 dapat secara subkutan atau IV dengan dosis salbutamol  0,25 mg atau terbutalin 0,25 mg dalam larutan dekstrosa 5% dan diberikan perlahan.

3.      Aminofilin bolus IV 5 – 6 mg/kg BB, jika sudah menggunakan obat ini dalam 12 jam sebelumnya maka cukup diberikan ½ dosis Kortikosteroid hidrokortison 100 – 200 mg

4.      Jika tidak ada respon segera atau pasien sedang menggunakan steroid oral atau dalam serangan sangat berat.

 

G.    Masalah  Keperawatan  dan  Data  Pendukung

1.      Pertukaran gas, kerusakan Data Dispnea, sianosis

Takikardia Gelisah/perubahan mental Hipoksia

2.      Bersihan jalan nafas, tak efektif

Data Perubahan frekuensi, kedalaman pernafasan

Bunyi nafas tidak normal, penggunaan otot aksesori

Dispnea, sianosis

Batuk efektif atau tak efektif, dengan/tanpa produksi Sputum

3.      Kekurangan volume cairan, resiko tinggi terhadap

Data    Tidak   dapat   diterapkan       adanya tanda-tanda dan gejala-gejala membuat diagnosa aktual

4.      Cemas/ansietas/ketakutan (uraikan tingkatan) Data  Gelisah, peka rangsang

Menolak atau perilaku menyerang

Rangsangan simpatis, misal : eksitasi kardiovaskuler, dilatasi Repil, berkeringat, muntah, diare Menangis, suara menggigit

 

H.     Diagnosa Keperawatan

1.      Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan obstruksi jalan nafas oleh sekresi mukus, spasme bronkus.

2.      Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan bronkus spasme, peningkatan produksi mukus, mukus bertahan tebal dan kental, penurunan energi/kelemahan untuk batuk.

3.      Resiko defisit volume cairan berhubungan dengan demam, diaforesis dan hiperventilasi.

4.      Cemas berhubungan dengan hiperventilasi, ancaman kehidupan perubahan status kesehatan, hipoksemia.

 

I.       Rencana Asuhan Keperawatan

1.      Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan obstruksi jalan nafas oleh sekresi mukus, spasme bronkus.

Tujuan : Mempertahankan suplai O 2 dan ventilasi alveolus yang adekuat.

Kriteria hasil : Bebas gejala distress pernafasan.

Intervensi dan rasional :

a.       Kaji frekuensi, ke dalam pernafasan, catat penggunaan otot aksesori, nafas, bibir, ketidakmampuan berbicara.

R/ :       Untuk  mengevaluasi   derajat distrees pernafasan

b.      Tinggikan kepala tempat tidur, bantu pasien untuk memilih posisi yang mudah untuk bernafas.

R/ :       Distribusi O 2 dapat diperbaiki dengan posisi duduk.

c.       Dorong pasien untuk mengeluarkan sputum, bila perlu lakukan penghisapan.

R/ :       Sputum yang tebal dan kental adalah sumber utama gangguan pertukaran gas, penghisapan dilakukan bila batuk tidak efektif

d.      Auskultasi bunyi nafas secara periodik.

R/ :       Masih adanya mengi mengidentifikasikan masih adanya spasmebronkus/tertahannya sekret

e.       Awasi tanda-tanda vital dan irama jantung

R/ :       Takikardia, disritmia, dan perubahan tekanan darah menunjukkan efek hipoksemia sistemik pada fungsi jantung

f.        Kolaborasi berikan O 2 sesuai hasil GDA dan toleransi pasien

R/ :       Untuk memperbaiki hipoksia

2.      Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan bronkus spasme, peningkatan produksi mukus, mukus bertahan tebal dan kental, penurunan energi/kelemahan untuk batuk.

a.       Tujuan :

Mampu mengeluarkan sekret lebih efektif.

b.      Kriteria hasil :

Sekresi dapat diluluhkan atau dihisap minimal

c.       Bunyi nafas terdengar bersih Intervensi dan rasional :

Auskultasi bunyi nafas

R/ :      Mengetahui derajat spasme

d.      Kaji pantau frekuensi pernafasan

R/ :      Takipnea sering terjadi

 

e.       Catat adanya/derajat distres, misal : keluhan air hungry, gelisah, ansietas, distres pernafasan, penggunaan otot bantu

R/ :      Disfungsi pernafasan adalah indikator kegagalan nafas

f.        Kaji pasien untuk posisi yang nyaman untuk bernafas

R/ :      Pasien  dengan  distress  pernafasan  akan

g.      mencari posisi yang nyaman dan mudah untuk bernafas, membantu menurunkan kelemahan otot dan mempermudah ekspansi dada

h.      Resiko defisit volume cairan berhubungan dengan demam, diaforesis dan hiperventilasi

i.        Tujuan :

Mempertahankan        keseimbangan  volume            cairan   dan elektrolit yang adekuat.

j.        Kriteria hasil :

Tekanan darah dan nadi dalam batas normal

Turgor kulit dalam batas normal

Asupan dan haluaran seimbang

BB stabil

Berat   jenis     urine    dalam  batas    normal (1,010  – 1,025)

k.      Intervensi dan rasional :

Kaji perubahan tanda vital, contoh : suhu meningkat, takikardia, hipotensi ortostatik

R/ :      Indikator kekurangan cairan sistemik

l.        Kaji turgor kulit, membran mukosa

R/ :      Indikator kekurangan cairan

a.         Pantau masukan dan hantaran

R/ :      Indikator keadekuatan volume cairan tubuh

 

m.    Timbang BB setiap hari

R/ :      Indikator kekurangan cairan bila kehilangan berat BB secara individu

n.      Tingkatkan      asupan oral      2.500   ml/hari atau     sesuai kondisi individu

R/ :      Untuk  pemenuhan      kebutuhan       dasar    mengurangi resiko dehidrasi lebih lanjut

o.      Kolaborasi :

-          Berikan cairan perparenteral sesuai indikasi

R/ :      Penggunaan     cairan   parenteral        berguna memperbaiki dehidrasi

-          Pantau BJ urine

R/ :      Indikator         kekurangan      cairan   bila      BJ urine meningkat

-          Pantau kadar elektrolit

R/ :      Indikator adanya asidosis akibat dehidrasi

3.      Cemas berhubungan   dengan hiperventilasi,  ancaman kehidupan perubahan status kesehatan, hipoksemia.

Tujuan :

Mengalami penurunan tingkat kecemasan.

Kriteria hasil :

Melaporkan penurunan tingkat kecemasan sampai tingkat yang dapat ditangani dengan managemen koping.

Intervensi dan rasional :

a.       Kaji tingkat ansietas dan yakinkan bahwa perasaannya adalah normal dan dorong pasien/orang terdekat untuk mengungkapkan perasaannya.

R/ : Dapat membantu untuk mengontrol emosinya sendiri.

b.      Berikan lingkungan yang tenang dan nyaman

R/ :      Dapat menurunkan tingkat ansietas

c.       Bantu  pasien  mencari posisi yang nyaman untuk bernafas, fokus bernafas, relaksasi

R/ :      Untuk mengontrol dan menurunkan tingkat ansietas

d.      Dukung pasien/orang terdekat untuk menerima situasi dan libatkan pasien dalam perencanaan keperawatan

R/ :      Merupakan mekanisme koping yang adaptif


 

Daftar  Pustaka

Alsagaff Hood, Abdul Mukty, (2005). Dasar – Dasar Ilmu Penyakit Paru.  Airlangga University Press. Surabaya.

Amin muhammad, Hood Alsagaff. (2009).    Pengantar Ilmu Penyakit Paru. Airlangga University Press. Surabaya.

Blac,MJ Jacob. (2003). l.uckman & Sorens en’S Medical surgical Nursing A Phsycopsicologyc Approach. W.B. Saunders Company. Philapidelpia.

Barbara Engram. (2009). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Vol. 1 . Penerbit EGC. Jakarta.

Marylin E doengoes. (2004). Rencana Asuhan keperawatan Pedoman untuk Perencnaan / pendokumentasian Perawatan Pasien. EGC.Jakarta.

Mansjoer, Arif  M dkk). (2009). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius.

Rab. Tabrani. (2006).  Prinsip Gawat Paru – ed. 2. Jakarta : EGC.

Soeparman, Sarwono Waspadji. (2004 ). Ilmu Penyakit Dalam Jilid II . Balai Penerbit FKUI. Jakarta.

Sylvia Anderson Price, Lorraine McCarty Wilson. (2005).

Patofisiologi Konsep Klinis Proses - Proses Penyakit. EGC. Jakarta.

Yunus Faisal. (2006).  Pulmonologi Klinik . Bagian Pulmonologi FKUI. Jakarta.


LAPORAN PENDAHULUAN ASMA BRONCHIALE

Konsep Dasar Penyakit

1.      Pengertian

Asma adalah suatu penyakit paru dengan tand-tanda khas berupa manifestasi berupa penyumbatan (obstruksi) saluran pernafasa yang dapat pulih kembali baik secara spontan maupun dengan pengobatan, keradangan saluran pernafasan, peningkatan kepekaan yang berlebihan dari saluran pernafasan terhadap berbagai rangsangan (Alsagaaf Hood, 2005).

Asma bronchiale adalah suatu penyakit paru dengan tand-tanda khas berupa manifestasi berupa penyumbatan (obstruksi) saluran pernafasa yang dapat pulih kembali baik secara spontan maupun dengan pengobatan, keradangan saluran pernafasan, peningkatan kepekaan yang berlebihan dari saluran pernafasan terhadap berbagai rangsangan (Alsagaaf Hood, 2005).

Asma bronchiale adalah suatu gangguan pada saluran bronchial dengan ciri bronkospasme, periodik (kontraksi spasme pada saluran nafas). Asma merupakan penyakit kompleks yang dapat diakibatkan oleh faktor biokimia, endokrin, infeksi, otonomik dan psikologi (Somantri, 2008).

2.      Kalsifikasi

Menurut Konthen, P.G, dkk dalam buku pedoman diagnosis dan terapi Konthen, P.G, dkk (2008; 53) asma dibagi menjadi 4 derajat yaitu:

1)      Derajat I: intermitten

a.       Gejala muncul kurang dari sekali dalam satu minggu

b.      Kekambuhan berlangsung singkat

c.       Serangan atau gejala asma pada malam hari < 2 kali dalam sebulan

d.      FEV2 (Force Expiratory Volume dalam 2 detik) > 80% prediksi atau PEF (Peak Expiratory Flow) > 80% nilai terbaik penderita Variabilitas PEEF atau FEV1 < 20%

2)      Derajat II: persisten ringan

a.       Gejala muncul > 1 kali dalam seminggu, tetapi tidak setiap hari

b.      Kekambuhan mengganggu aktivitas sehari-hari dan mengganggu tidur

c.       Serangan atau gejala asma pada malam hari > 2 kali dalam sebulan

d.      FEV1 > 80% prediksi atau PEEF > 80% nilai terbaik penderita

Variabilitas PEF atau FEV, 20-30%

3)      Derajat III: persisten sedang

a.       Gejala muncul setiap hari

b.      Kekambuhan mengganggu aktivitas sehari-hari dan mengganggu tidur

c.       Serangan atau gejala asma pada malam hari > 1 x dalam seminggu

d.      FEV1 60-80% prediksi atau PEF 60-80% nilai terbaik penderita

e.       Variabilitas PEEF atau FEV1 >30%

4)      Derajat IV persisten berat

a.       Gejala muncul setiap hari

b.      Kekambuhan sering terjadi

c.       Serangan atau gejala asma pada malam hari sering terjadi

FEV1 < 60% prediksi atau PEF < 60% nilai terbaik penderita Variabilitas PEF atau FEV1 > 30%.

3.      Etiologi

Penyebab terjadinya asma menurut Kowalak (2011), Konthen, P.G, dkk (2008;50), dan Danusantoso (2000)

1)      Faktor ekstrinsik: reaksi antigen-antibodi; karena inhalasi alergen (debu, serbuk-serbuk, bulu-bulu binatang, spora jamur, dan tepung sari rerumputan). polen (tepung sari bunga), debu rumah atau kapang, bantal kapuk atau bulu, zat aditif pangan yang mengandung sulfit, zat lain yang menm,bulkan sensitifitas

2)      Faktor intrinsik: infeksi: para influenza virus, pneumonia, Mycoplasma, Kemudian dari fisik: cuaca dingin, perubahan temperature atau kelembapan, tertawa, faktor genetik, emosional; takut, cemas, dan tegang, perubahan endokrin. Iritan: kimia, polusi udara ( CO, asap rokok, parfum ).

3)      Aktivitas yang berlebihan juga dapat menjadi faktor pencetus.

4)      Obat-obatan: aspirin, NSAID, β-bloker.

4.      Patofisiologi

Menurut Smeltzer (2001:611), patologi dari asma adalah:

Asma terjadi karena adanya penyempitan pada jalan nafas dan hipereaktif bronkus terhadap bahan iritasi, alergen, atau stimulus lain. Dengan adanya bahan iritasi atau allergen otot-otot bronkus menjadi spasme dan zat antibodi tubuh muncul ( immunoglobulin E atau IgE ) dengan adanya alergi. IgE di muculkan pada reseptor sel mast  dan  akibat  ikata    IgE dan antigen menyebabkan pengeluaran histamine, bradikinin, anafilaktosin.  Mediator tersebut akan menyebabkan kontraksi otot polos yang menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler, oedema mukosa,sekresi mukus meningkat sehingga produksi sekret meningkat.

Respon asma terjadi dalam tiga tahap : pertama tahap immediate/ segera yang ditandai dengan bronkokonstriksi dalam 1-2 jam (puncaknya dalam 30 menit). Dalam beberapa menit dari paparan alergen, ditemukan degranulasi sel mast bersamaan dengan pelepasan mediator inflamasi, termasuk histamin, prostaglandin D2, dan leukotrien C4. Zat ini menyebabkan kontraksi otot pada saluran pernafasan serta peningkatan permeabilitas kapiler, sekresi lendir, dan aktivasi refleks saraf. Respon asma dini ditandai dengan bronkokonstriksi yang umumnya responsif terhadap bronkodilator, seperti agen beta2-agonis. Tahap delayed dimana brokokontriksi dapat berulang dalam 4-6 jam dan terus-menerus 2-5 jam lebih lama dan menghilang dalam 12-24 jam, tahap late yang ditandai dengan peradangan dan hiperresponsif jalan nafas beberapa minggu atau bulan. Pelepasan mediator inflamasi bilangan molekul adhesi pada epitel saluran napas dan endotelium kapiler, yang kemudian memungkinkan sel-sel inflamasi, seperti eosinofil, neutrofil, dan basofil, untuk melampirkan epitel dan endotelium dan kemudian bermigrasi ke dalam jaringan jalan napas. Eosinofil melepaskan eosinophilic cationic protein (ECP) dan protein dasar utama (MBP). Kedua ECP dan MBP menginduksi deskuamasi epitel saluran napas dan mengekspos ujung saraf. Interaksi ini mempromosikan hyperresponsiveness napas pada asma lebih lanjut. Hal ini dapat terjadi pada individu dengan eksaserbasi asma ringan. Selama serangan asthmatik, bronkiolus menjadi meradang dan peningkatan sekresi mukus. Hal ini menyebabkan lumen jalan nafas menjadi bengkak dan obstruksi sehingga ventilasi tidak adekuat terjadi penurunan P02 (hipoxia). Selama serangan astma , CO2 tertahan dengan meningkatnya resistensi jalan nafas selama ekspirasi, dan menyebabkan acidosis respiratory dan hypercapnea dan dapat menimbulkan distress nafas (Constantine, 2012).

5.      Manifestasi Klinis

Menurut Djojodibroto (2009:69) dan Muttaqin (2008:172) ada beberapa manifestasi klinis yang dapat muncul pada pasien dengan asma:

1)      Pernafasan labored (perpanjangan ekshalasi)

2)      Pembesaran vena jugularis

3)      Wheezing, yaitu suara yang terdengar kontinu, nadanya lebih tinggi dibanding suara napas lainnya. Suara ini disebabkan karena adanya penyempitan saluran napas kecil (bronkus perifer dan bronkiolus). Karena udara melewati suatu peyempitan (Djojodibroto,2009:69).

4)      Dispnea dengan lama ekspirasi, penggunaan otot-otot aksesoris pernafasan, cuping hidung, retraksi dada dan stridor

Akibat dari bronkospasme, edema mukosa dan dinding bronkholus serta hipereksresi mucus menyebabkan terjadinya penyempitan pada bronkiolus dan percabangannya sehingga akan menimbulkan rasa sesak, napas berbunyi dan batuk produktif (Muttaqin, 2008:172).

5)      Gelisah

Lebih sering terjadi pada anak-anak. Anak mengalami gelisah kerana sesak napas yang dialami.

6)      Tidak toleran terhadap aktivitas, makan, bermain, berjalan, bicara

Meningkatnya ukuran diameter anteroposterior (barrel chest ini timbul akibat terjadinya overinflasi paru, overinflamasi paru terjadi karena adanya sumbatan sehingga paru berusaha mengambil udara secara paksa)

7)      Serangan berlangsung lebih dari 24 jam


 

6.      Penilaian Derajat Serangan Asma (FK UNAIR, 2008:35)

Parameter Klinis

 

 

 

Ancaman henti

Fungsi paru, Laboratorium Sesak timbul pada saat (breathless)

Ringan, Berjalan Bayi: menangis keras

Sedang

Berbicara Bayi :

-          Tangis pendek dan lemah

-          Kesulitan makan/ minum

Berat

Istirahat Bayi: tidak mau makan/minum

Nafas

Bicara

Kalimat

Penggal kalimat

Kata-kata

 

Posisi

Bisa berbaring

Lebih suka duduk

Duduk bertopang lengan

 

Kesadaran

Mungkin

Biasanya

Biasanya

Bingung dan mengantuk

Sianosis

Iritable

Tidak ada

Iritable

Tidak ada

Iritable

Tidak ada

Nyata/jelas

Mengi (whezzing)

Sedang, sering hanya pada akhir ekspirasi

Nyaring, sepanjang ekspirasi, ± inspirasi

Sangat nyaring, terdengar tanpa stetoskop

Sulit/tidak terdengar

Sesak nafas

Obat bantu nafas

Minimal

Biasanya tidak

Sedang

Biasanya ya

Berat

ya

Gerakan

Retraksi

Dangkal, retraksi interkostal

Sedang, ditambah retraksi suprasternal

Dalam, ditambah nafas cuping hidung

paradoktorako- abdominal

Dangkal/ hilang

Laju nafas

Meningkat

Meningkat

Meningkat

 

Laju nadi

Normal

Takikardi

Takikardi

Bradikardi

Pulsus paradoksus

 

PEFR

 

atau PEV1

-           Pra

bronkodilator

Tidak ada

Ada

Ada

Tidak ada, tanda kelelahan otot nafas

-          Pasca bronkodilator

< 10 mmHg

10-20 mmHg

> 20mmHg

 

 

> 60%

>80%

<40%

 

 

40-60%

60-80%

<60%

 

 

 

 

Respons <2 jam

 

SaO2

>95%

91-95%

≤90%

 

PaO2

Normal

>60 mmHg

<60 mmHg

 

 

biasanya tidak perlu diperiksa

 

 

 

PaCO2

< 45 mmHg

< 45 mmHg

> 45 mmHg

 

 

7.      Pemeriksaan Penunjang

Menurut Muttaqin (2008:178) ada beberapa pemeriksaan yang dilakukan pada penderita asma yaitu:

1)      Pemeriksaan Fungsi Paru (Spirometri)

Pengukuran ini dilakukan sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator aerosol golongan adrenergik. Peningkatan FEV1 atau FVC sebanyak lebih dari 20 % menunjukkan diagnosa asma

2)      Tes Provokasi Bronkhus

Tes ini dilakukan pada spirometri internal. Penurunan FEV 1 sebesar 20 % atau lebih setelah tes provokasi dan denyut jantung 80-90 % dari maksimum dianggap bermakna bila menimbulkan penurunan PEF 10 % atau lebih.

3)      Pemeriksaan Kulit

Untuk menunjukkan adanya antibodi IgE hipersensitif yang spesifik dalam tubuh.

4)      Pemeriksaan Laboratorium

1.      Analisa Gas Darah

Hanya dilakukan pada serangan asma berat karena terdapat hipoksemia, hiperkapnea, dan asidosis respiratorik

2.      Sputum

Adanya badan kreola adalah karekteristik untuk serangan asma berat, karena reaksi yang hebat saja yang menyebabkan transudasi dari edema mukosa, sehingga terlepaslah sekelompok sel-sel epitel dari perlekatannya. Pewarnaan gram penting untuk melihat adanya bakteri, cara tersebut kemudian diikuti kultur dan uji resistensi terhadap beberapa antibiotik.

3.      Sel Eosinofil

Sel eosinofil pada status asmatikus dapat mencapai 1000-1500/mm 3 baik asma intriksik maupun ekstrinsik, sedangkan hitung sel eosinofil normal antara 100-200/mm3.

4.      Pemeriksaan darah rutin dan kimia

Jumlah sel leukosit yag lebih dari 15.000/mm3 terjadi karena adanya infeksi. SGOT dan SGPT meningkat disebabkan kerusakan hati akibat hipoksia atau hiperkapnea.

5)      Pemeriksaan Radiologi

Hasil pemeriksaan radiologi pada klien dengan asma bronkhial biasanya normal, tetapi prosedur ini tetap harus dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan adanya proses patologi di paru atau komplikasi asma seperti pneumothoraks, pneumomediastinum, atelektasis.

8.      Penatalaksanaan

1)      Edukasi penderita

Penderita dan keluarga harus mendapatkan informasi dna pelatihan agar dapat mencapai kendali asma semaksimal mungkin. Diharapkan penderita dan keluarga dapat membina hubungan yang kooperatif dengan tingkat kepatuhan yang tinggi. Pasien diinstruksikan untuk segera melapor apabila terdapat tanda- tanda dan gejala yang menyulitkan, seperti bangun saat malam hari dengan serangan akut, tidak mendapatkan peredaan komplit dari penggunaan inhaler, atau mengalami infeksi pernafasa. Hidrasi adekuat harus dipertahankan di rumah untuk menjaga sekresi agar tidka mengental (Konthen, P.G, 2008: 55).

2)      Upaya menghindari faktor resiko

Kekambuhan asma seringkali dipicu oleh beberapa macam alergen, polutan, makanan, obat-obatan, atau infeksi saluran nafas. Menghindari faktor-faktor pencetus dapat mengurangi frekuensi kekambuhan, meningkatkan kendali asma, dan mengurangi kebutuhan obat-obatan (Konthen, P.G, 2008: 55).

3)      Terapi Medikamentosa

4)      Terapi ditentukan berdasarkan derajat asma. Secara umum terapi medikamentoda untuk asma dikelompokkan menjadi obat-obat pelega (reliever) dan obat-obat pengendali (controller). Setelah kendali asma tercapai sekurangnya selama 3 bulan dapat dicoba untuk mengurangi secara bertahap (step down) agar kendali asma dapat dicapai dengan terapi yang minimal ( Konthen, P.G, 2008: 55).

5)      Menurut Mansjoer (2000) penatalaksanaan pada pasien asma sebagai berikut:

Secara umum, terdapat dua jenis obat dalam penatalaksanaan asma, yaitu obat pengendali (controller) dan pereda (reliever). Obat pengendali merupakan profilaksis serangan yang diberikan tiap hari, ada atau tidak ada serangan/gejala, sedangkan obat pereda adalah yang diberikan saat serangan. Terapi medikamentosa dapat diliat pada gambar di bawah ini.

Asma episodik jarang

Obat pereda beta agonis atau teofilin

(asma ringan)

(inhalasi atau oral) bila perlu (serangan) Dosis

Asma episodik sering

Tambahkan obat pengendali

(asma sedang)

kromoglikat/nedokrimil hirupan 6-8 minggu, respons          (-)        (+)

Asma persisten

obat pengendali: ganti dengan steroid inhalasi dosis rendah

(asma berat)

obat pereda: beta agonis teruskan 6-8 minggu, respons          (-)        (+)

(asma sangat berat)    

Pertimbangkan penambahan salah satu obat:

-          beta agonis kerja panjang

-          beta agonis lepas kendali

-          teofilinlepas lambat

6-8 minggu, respons
(-)        (+)

Naikkan dosis steroid inhalasi

6-8 minggu, respons
(-)        (+)

Tambahkan steroid oral


 

6)      Penatalaksanaan saat serangan asma (GINA, 2006)

 

9.      Komplikasi

Pada tahap awal asma akut, hiperventilasi dapat menyebabkan alkalosis pernapasan. Hal ini karena unit paru-paru yang mengalami obstruksi (kompartement lambat) lebih banyak daripada unit paru yang tidak obstruksi (kompartement lambat). Hiperventilasi memungkinkan penghapusan karbon dioksida melalui kompartemen cepat. Peningkatan unit paru yang mengalami obstruksi mengakibatkan penurunan kemampuan untuk menghilangkan karbon dioksida dan akhirnya menyebabkan hypercarbia/peningkatan karbondioksida dalam sirkulasi darah, pneumothoraks, pneumomediastinum, atelektasis (Constantine, 2012).


 

 

KONSEP KEPERAWATAN

A.     Pengkajian

1.      Identitas (Smeltzer, 2001)

1)      Usia dan jenis kelamin

Asma dapat terjadi pada sembarang usia; sekitar setengah dari kasus terjadi pada anak-anak dan sepertiga lainnya terjadi sebelum usia 40 tahun.

Asma terutama terjadi pada anak laki-laki di masa kecil, dengan rasio pria- perempuan 2:1 sampai pubertas, jika rasio pria-perempuan menjadi 1:1. Prevalensi asma lebih besar pada wanita setelah pubertas, dan mayoritas onset dewasa kasus didiagnosis pada orang tua dari 40 tahun terjadi pada wanita.

2)      Tempat tinggal

Terjadi pada seseorang, terutama mereka yang tinggal dipemukiman yang padat tempat tinggalnya, lembab, polusi udara, berdebu, ada binatang peliharaan di rumah, dan kurangnya ventilasi dari rumah. (Morris, 2012; Konthen. P. G, dkk, 2008).

3)      Pekerjaan

Pegawai pabrik, dan pekerjaan yang berhubungan dengan asap dan polusi yang dapat menyebabkan pernapasan terganggu (Muttaqin, 2008).

2.      Riwayat kesehatan

1)      Riwayat penyakit sekarang

Serangan asma mendadak secara klinis dapat terjadi menjadi 3 stadium. Stadium pertama ditandai dengan batuk-batuk berkala dan kering. Stadium kedua ditandai dengan batuk disertai mukus yang jernih dan berbusa. Klien merasa sesak napas, berusaha untuk bernapas dalam, ekspirasi memanjang diikuti dengan mengi (wheezing). Stadium ketiga ditandai dengan hampir tidak terdengarnya suara napas karena aliran udara kecil, tidak ada batuk, pernapasan menjadi dangkal dan tidak teratur, irama napas meningkat karena afiksia (Muttaqin 2008).

2)      Riwayat penyakit dahulu

Menurut Mutaqin (2008) Salah satu riwayat penyakit dahulu selain asma yaitu pernah mengalami infeksi saluran pernapasan atas (ISPA). Ada riwayat alergi, ada riwayat sakit asma, timbul pada waktu / musim tertentu (Konthen, P.G, 2008; Smeltzer, 2001).

3)      Riwayat penyakit keluarga

Menurut teori Mutaqim (2008) riwayat penyakit keluarga didapatkan adanya anggota keluarga yang mempunyai riwayat penyakit asma, pneumonia, TBC, influenza yang berulang.

4)      Riwayat alergi

Menurut Smeltzer (2001: 611) pada pasien dengan asma alergik biasanya mempunyai riwayat keluarga yang alergik dan riwayat media masa lalu ekszem dan rhinitis alergik . pemajanan terhadap alergen mencetuskan serangan asma.

5)      Riwayat Psikososialspiritual

Pasien sering mengalami kecemasan, takut, mudah tersinggung, interaksi sosial terbatas, kurang pengetahuan terhadap kondisi penyakitnya, hubungan ketergantungan, kurang sistem pendukung, kegagalan dukungan dari orang terdekat (Konthen, P.G, 2008; smeltzer, 2001; Doengoes, 2000).

3.      Activity Day Living

Kebutuhan aktivitas/istirahat: keletihan, kelemahan, malaise, ketidakmampuan  untuk  melakukan  aktivitas  sehari-hari  karena  sulit bernafas, ketidamampuan untuk tidur, perlu tidur dalam posisi duduk tinggi, dispnea pada saat istirahat (Doengoes, 2000).

1)      Kebutuhan nutrisi: mual, muntah, nafsu makan menurun, ketidakmampuan untuk makan karena distress pernafasan, turgor kulit buruk (Doengoes, 2000).

2)      Kebutuhan higiene perseorangan: penurunan kemampuan/peningkatan kebutuhan bantuan melakukan aktivitas sehari-hari (Doengoes, 2000).

3)      Kebutuhan eliminasi/urine: cenderung normal (Smeltzer, 2001).


 

4.      Pemeriksaan Fisik

1)      Sistem pernapasan

Terjadi peningkatan usaha dan frekuensi napas yang cepat dan dangkal serta adanya penggunaan otot bantu pernapasan. Inpeksi dada untuk melihat postur bentuk dan kesimetrisan. Adanya peningkatan diameter anterosposterior, retraksi otot-otot interkostalis, sifat dan irama pernapasan. Napas cuping hidung, slem kental berbuih, terdapat suara vesikuler yang meningkat disertai dengan ekspirasi lebih dari 4 detik atau lebih dari 3 kali inspirasi, adanya wheezing saat ekspirasi (Konthen, P.G, 2008; Smeltzer, 2001; Muttaqin 2008).

2)      Sistem kardiovaskuler

Nadi meningkat, tekanan darah meningkat, turgor kulit menurun, suhu tubuh meningkat, berkeringat, ada pulsus paradoksus atau nadi kuat saat ekspirasi (Konthen, P.G, 2008; Muttaqin 2008).

3)      Sistem persarafan

Pasien gelisah, bingung, pada asma yang berat pasien akan mengalami penurunan kesadaran apakah composmetis, somnolen atau koma (Konthen, P.G, 2008; Smeltzer, 2001; Muttaqin 2008)

4)      Sistem perkemihan

Pengukuran volume output urine berhubungan dengan intake cairan, namun biasanya cenderung normal (Muttaqin 2008 dan Smeltzer, 2001).

5)      Sistem pencernaan

Kehilangan nafsu makan, mual, muntah, penurunan berat badan, kulit kering dengan turgor kulit yang buruk. (Smeltzer, 2001; Muttaqin, 2008

6)      Sistem muskuloskeletal

Kelemahan   dan      kelelahan,        penurunan       toleransi terhadap aktifitas. (Smeltzer,2001; Muttaqin 2008).


 

B.     Diagnosa Keperawatan

Menurut          Carpenito        (2006:547)       dan      Wilkinson        (2011:696) diagnosa keperawatan yang muncul:

1)      PK: Hipoksia

2)      Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan peningkatan produksi sputum dan batuk tidak efektif.

3)      Ketidakefektifan pola pernafasan berhubungan dengan penyempitan saluran pernafasan akibat bronkospasme

4)      Perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan gangguan aliran darah sekunder akibat asma

5)      Resiko cedera berhubungan dengan penurunan kesadaran

6)      Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penurunan nafsu makan

7)      Intoleran aktifitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai oksigen dengan kebutuhan oksigen

8)      Ansietas berhubungan dengan dampak kondisi dan lingkungan perawatan kritis

 

C.     Intervensi

1)      Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan peningkatan produksi sputum dan batuk tidak efektif.

Tujuan: pasien menunjukkan bersihan jalan nafas yang paten setelah dilakukan perawatan dengan kriteria hasil:

-          Pasien menggungkapkan sesak berkurang, secret tidak sulit keluar

-          Pasien dapat mengeluarkan secret saat batuk dan jumlah secret berkurang

-          Tidak terdengar suara nafas tambahan

-          RR 20-30 x/menit dalam rentang normal

-          Pasien dapat batuk efektif Intervensi

2)      Jelaskan kepada pasien penyebab terjadinya sesak.

R/ Karena adanya alergi menyebabkan peyempitan jalan nafas dan penumpukan secret pada jalan nafas sehingga mengganggu aliran udara sehingga terjadi sesak.

3)      Beri posisi semi fowler (dilakukan dengan cara memodifikasi tempat tidur atau memberi bantal pada kepala).

R/ Posisi semifowler akan meningkatkan ekspansi paru.

4)      Lakukan fisioterapi pernafasan

-          Humidifikasi dengan nebulizer

R/ Kelembapan akan menurunkan kekentalan secret, sehingga mempermudah pengeluaran dan membantu mencegah pembentukkan mucus tebal pada bronkus.

-          Perkusi dan vibrasi dada

R/ Perkusi dan vibrasi dada membantu merontokkan mucus sehingga masuk ke saluran nafas yang lebih besar.

-          Anjarkan dan motivasi pasien untuk nafas dalam dan batuk efektif

R/ Nafas dalam akan meningkatkan inspirasi maksimal.inspirasi dalam meningkatkan volume paru dan membuka jalan nafas untuk memungkinkan udara mencapai bagian belakang mukus dan mendorongnya ke depan. Batuk efektif: membersihkan secret dari jalan nafas dengan menggunakan dorongan udara dan kontraksi otot.

5)      Berikan cairan sesuai kebutuhan

R/ cairan membantu untuk mencegah terjadi kekurangan cairan dan mencegah sekret yang kental sehingga sekret menjadi encer dan mudah dikeluarkan

6)      Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian. Nebulizer

R/ Dengan nebulizer dapat mengencerkan sekresi kental dan dalam pemberian obat-obatan peralatan humidifikasi digunakan untuk memberikan kelembapan. Nebulizer juga merupakan suatu alat pemecah obat untuk menjadi bagian-bagian seperti uap untuk dihirup.

7)      Obat-obat mukolitik

R/ Obat mukolitik membantu mengencerkan dahak sehingga secret dapat dengan mudah dikeluarkan.

8)      Observasi keluhan anak, karakteristik secret, frekuensi RR, suara nafas tambahan, ketidakefektifan batuk.

R/ Observasi secret untuk melihat adanya manifestasi tubuh mengatasi kesulitan bernafas akibat penyempitan saluran nafas. Ronkhi untuk menilai adanya penumpukkan secret pada jalan nafas. Ketidakefektifan batuk menandakan terdapat penumpukan secret pada jalan nafas.

9)      PK: Hipoksia (Wilkinson, 2011: 696)

Tujuan : pasien tidak kekurangan oksigen setelah     dilakukan tindakan keperawatan dengan kriteria hasil :

-          pasien tidak sesak, tidak sianosis

-          frekwensi nafas normal (12-20x/menit)

-          tidak ada nafas cuping hidung

-          tidak menggunakan otot bantu pernafasan

-          tidak ada wheezing.

-          Rasio I:E=1:2 (tidak ada ekspirasi memanjang)

-          Hasil BGA normal (pH: 7,35- 7,45, PCO2: 35-45mmHg, PO2: 80- 100mmHg, HCO3: 22-26 mEq/L, BE:+2)

 

Intervensi:

1)      Berikan posisi semi fowler dan bed rest.

R/Meningkatkan inspirasi maksimal, dan meningkatkan pengeluaran sekret untuk memperbaiki ventilasi

2)      Kolaborasi dalam pemberian

-          O2

-          R/ O2 membantu pasien untuk pernapasan secara efektif

-          Steroid

R/ bekerja melalui difusi pasif melalui membran sel yang berikatan dengan protein reseptor di dalam sitoplasma. Kompleks reseptor hormon kemudian masuk ke dalam nukleus mempengaruhi transkripsi sejumlah gen-gen target yang menyebabkan penurunan sintesis molekul-molekul proinflamasi termasuk sitokin, interleukin, molekul adhesi dan protease serta steroid membantu melawa edema mukosa bronchial.

-          Bronchodilator sesuai yg ditentukan (agonis β-2 dan Xantin) R/Bronkhodilator akan merelaksasi otot polos bronkial.

3)      Observasi RR, nadi, tanda hypoksia: gelisah, takhicardia, SpO2, suara nafas tambahan

R/ Deteksi efektitas jalan nafas dan adequatnya distribusi oksigen dalam tubuh.

4)      Ketidakefektifan pola pernafasan berhubungan dengan penyempitan saluran pernafasan akibat bronkospasme

 

Tujuan : pasien dapat mempertahankan ventilasi yang adekuat setelah dilakukan tindakan keperawatan dengan kriteria hasil :

-          Tidak ada pernafasan cuping hidung

-          Tidak ada retraksi dada

-          RR 20-30 x/mnt Intervensi :

1)      Jelaskan pada keluarga tentang tindakan yang akan dilakukan

R/ pengetahuan yang memadai memungkinkan pasien kooperatif terhadap tindakan keperawatan yang diberikan.

2)      Berikan posisi semi fowler atau fowler

R/ posisi semi fowler atau fowler membuat diafragma tidak terdorong oleh isi abdomen sehingga ekspansi paru meningkat

3)      Kolaborasi dalam pemberian

-          Oksigen

R/    oksigen            akan     meningkatkan  konsentrasi      oksigen alveoli dan oksigenasi arteri untuk memperbaiki hipoksemia

-          Pemeriksaan AGD, oksimetri

R/ hipoksemia dapat menjadi berat. Pemeriksaan dilakukan untuk meminimalisasi terjadinya hipoksemia berat

4)      Observasi pernafasan pasien, meliputi

-          Pernafasan cepat saat beraktivitas

R/ tidak adanya pernafasan cepat saat beraktivitas menandakan suplai O2 kedalam jaringan untuk metabolisme energi tercukupi.

-          Tanda-tanda sianosis

R/ menunjukkan keadekuatan sirkulasi darah ke dalam pembuluh darah perifer

5)      Perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan gangguan aliran darah sekunder akibat asma (Doenges, 2000:180)

Dapat dihubungkan dengan: penghentian aliran darah arteri/vena. Kemungkinan dibuktikan oleh:

-          Kardiopulmonal: ketidakcocokan ventilasi/perfusi

-          Dispnea

-          Sianosis sentral

Kriteria hasil: menunjukkan peningkatan perfusi sesuai dengan individual misalnya status mental biasa/normal, irama jantung/frekuensi jantung dan nadi perifer dalam batas normal, tidak adanya sianosis sentral dan perifer, kulit hangat/kering, haluaran urine dan berat jenis dalam batas normal

Intervensi:

1)      (Auskultasi frekuensi dan irama jantung

R/ takikardia sebagai akibat hipoksemia dan kompensasi upaya peningkatan aliran darah dan perfusi jaringan.

2)      Observasi perubahan status mental

R/ gelisah, bingung, disorientasi, dan/atau perubahan sensori/motor dapat menunjukkan gangguan aliran darah, hipoksia atau cedera vaskuler serebral

3)      Observasi warna dan suhu kulit/membrane mukosa

R/ kulit pucat atau sianosis, kuku, membrane bibir/lidah atau dingin menunjukkan vasokonstriksi perifer (syok) dan atau aliran darah sistemik

4)      Tinggikan kaki/telapak bila di tempat tidur/kursi. Dorong pasien untuk latihan kaki dengan fleksi/ekstensi kaki pada pergelangan kaki. Hindari menyilangkan kaki dan duduk atau berdiri terlalu lana.

R/ tindakan ini dilakukan untuk menurunkan stasis vena di kaki dan pengumpulan darah pada vena pelvis untuk menurunkan resiko pembentukan thrombus.

5)      Resiko cedera berhubungan dengan penurunan kesadaran

Tujuan: Pasien tidak mengalami cedera selama serangan asma dilakukan tidakan keperawatan dengan criteria hasil :

-          Tidak ada luka, memar

-          Pasien tidak jatuh Intervensi:

1)      Jelaskan kepada orangtua tentang cara menghindari cedera pada pasien

R/ pengetahuan tentang cara menghindarkan pasien dari cedera dapat membantu menghindari aktivitas yang dapat beresiko cedera

2)      Ciptakan lingkungan aman dan nyaman

R/ lingkungan aman dapat mengurangi resiko terjadinya ceder

3)      Bantu pasien melakukan aktivitas sehari-hari secara perlahan

R/ ambulasi yang tergesa-gesa dapat menyebabkan pasien mudah jatuh

4)      Batasi aktivitas

R/ menghemat penggunaan oksigen

5)      Observasi keluhan pasien

R/ meminimalkan terjadinya cedera apabila pasien mengeluh pusing, masih sesak dan gelisah.

6)      Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penurunan nafsu makan


 

Tujuan: pasien menunjukkan perbaikan nutrisi setelah dilakukan tindakan keperawatan dengan kriteria hasil:

-          Pasien menunjukkan peningkatan BB 0, 5 kg/minggu,

-          Hasil laboratorium ( Hb dan Albumin ) dalam batas normal (> 3,5 mMol/L).

-          Pasien menghabiskan ½ porsi makannya

-          Intake caran terpenuhi Intervensi:

1)      Jelaskan pentingnya nutrisi yang adekuat dan tipe diet yang dibutuhkan pada orang tua pasien.

R/ Intake nutrisi yang adekuat memberikan kalori untuk tenaga dan protein untuk proses penyembuhan.

2)      Beri oral hygiene pada pasien sebelum makan

R/ pemberian oral hygiene pada pasien untuk mengurangi bau mulut pada pasien

3)      Berikan     makanan dalam jumlah sedikit tapi sering, jika mungkin kombinasikan dengan makanan yang disukai anak.

R/ Makanan dalam jumlah sedikit namun sering akan menambah energi. Makanan yang menarik dan disukai dapat meningkatkan selera makan.

4)      Kolaborasi dalam pemberian obat antiemetic, pemeriksaan Albumin dan Hb

R/ Mengurangi gejala gastrointestinal dan perasaan tidak enak pada perut, Albumin dan Hb merupakan indikator intake nutrisi tubuh terpenuhi

5)      Observasi BB tiap minggu sekali dengan alat ukur yang sama.

R/ Peningkatan BB 0,5 kg/minggu menandakan indikator keberhasilan tindakan.

6)      Intoleran aktifitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai oksigen dengan kebutuhan oksigen

Tujuan : Klien toleran terhadap aktivitas yang dilakukan setelah dilakukan tindkan keperawatan dengan kriteria hasil :

-          Pasien tidak sesa

-          Nadi 80-110x/mnt

-          RR 20-30x/mnt

-          Tidak didapatkan tanda- tanda dispnea pada peningkatan aktivitas.

-          Klien mampu melakukan aktivitas dengan bantuan minimal Intervensi :

1)      Jelaskan pada pasien penyebab intoleransi aktivitas

R/ transport oksigen yang terganggu akibat asma menyebabkan pasien akan cepat merasa lelah setelah melakukan suatu aktivitas yang melebihi kemampuan saat masih terserang asma.

2)      Bantu dan motivasi klien dalam meningkatkan aktivitasnya secara bertahap

R/ Peningkatan aktivitas secara bertahap memberikan kesempatan pada tubuh menyeimbangkan persediaan oksigen dengan kebutuhan

3)      Rencanakan program istirahat diantara aktivitas yg dilakukan

R/ Mencegah kelelahan yg berlebihan, mencegah peningkatan beban kerja jantung

4)      Observasi kemampuan aktivitas klien

R/ Deteksi keberhasilan tindakan dan memprogramkan aktivitas bertahap

5)      Ansietas berhubungan dengan dampak kondisi dan lingkungan perawatan kritis.

Tujuan: pasien menyatakan peningkatan kenyamanan psikologi dan fisiologi dengan kriteria hasil:

-          Menggambarkan ansietas dan pola kopingnya

-          Menggunakan mekanisme koping yang efektif Intervensi

1)      Jelaskan kepada pasien tentang penyakit

R/ pasien mampu menghindari faktor-faktor yang dapat menyebabkan penyakit.

2)      Jelaskan tentang tanda dan gejala yang perlu dilaporkan dan segera mendapatkan penanganan

R/ keikutsertaan pasien dalam memonitor kesehatannya dan meningkatkan tanggung jawab dalam pemeliharaan kondisi serta mencegah penyakit berulang.

3)      Libatkan keluarga dalam membantu memberikan asuhan keperawatan yang tepat.

R/ peran keluarga merupakan support system dalam meningkatkan keberhasilan tindakan keperawatan

4)      Beri dukungan emosional selama masa perawatan

R/ perawatan medis menimbulkan krisis situasi. Mendengarkan kekhawatiran serta perasaannya akan membantu pasien untuk beradaptasi dengan krisis yang dialaminya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

Alsagaff, Hood dan Mukty, abdul (2005).  Dasar-dasar ilmu Penyaki Paru.

Surabaya: Airlangga University Press

 

Carpenito, Lynda Juall, (2007). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 10.

Alih bahasa : Yasmin Asih EGC: Jakarta.

 

Doenges.E Marilynn. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, Jakarta: EGC.

 

Price, Sylvia Anderson. (2006). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Alih bahasa: Brahm U.Edisi 6. Jakarta: EGC.

 

Konthen, P.G dkk (2008). Pedoman Diagnosis Dan Terapi Bag/ SMF Ilmu Penyakit Dalam Edisi III. Surabaya : RSU dr. Soetomo

 

Kowalak, Jenifer P dkk (2001). Buku Ajar Patofisiologi. Alih Bahasa: Andry Hartono: Editor Bahasa Indonesia Renata Kumalasari dkk. Jakarta: ECG.

 

Smeltzer, Suzanne C. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Ed. 8

Vol. 2. Alih Bahasa: Agung Waluyo. Jakarta: EGC.

Soemantri,       Irman.  (2008). Asuhan            Keperawatan   Pada    Pasien  Dengan Gangguan Sistem Pernafasan. Jakarta: Salemba Medik

 download

Comments

Popular posts from this blog

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN KEBUTUHAN OKSIGENASI

Naskah Drama Bahasa Jawa Tema Pergaulan Bebas - "Lika-liku Perjalanane Erna"