LAPORAN PENDAHULUAN ASMA BRONKIAL
LAPORAN
PENDAHULUAN ASMA BRONKIAL
A.
PENGERTIAN
Asma
adalah suatu kelainan berupa inflamasi (peradangan) kronik saluran napasa yang
menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan yang ditandai
dengan gejala episodik berulang berupa mengi,
batuk, sesak napas dan rasa berat
di dada terutama pada malam hari atau dini hari yang umumnya bersifat
revrsibel baik dengan atau tanpa pengobatan (Depkes RI, 2009)
Asma
merupakan penyakit inflamasi kronik saluran napas yang disebabkan oleh reaksi
hiperresponsif sel imun tubuh seperti sel mast, eosinofil, dan limfosit-T terhadap stimulus tertentu dan
menimbulkan gejala dyspnea, wheezing, dan batuk akibat obstruksi jalan napas
yang bersifat reversibel dan terjadi secara episodik berulang (Brunner &
Suddarth, 2001).
Asma
bronkhial adalah penyakit jalan nafas obstruktif intermitten, reversible dimana
trakeobronkial berespon secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu. Asma
bronchial adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon trakea dan
bronkus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan
jalan nafas yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah baik secara spontan
maupun hasil dari pengobatan (The American Thoracic Society).
B.
KLASIFIKASI
Berdasarkan
penyebabnya, asma bronkhial dapat diklasifikasikan menjadi 3 tipe, yaitu:
a. Ekstrinsik (alergik)
Ditandai dengan reaksi alergik yang
disebabkan oleh faktor-faktor pencetus yang spesifik, seperti debu, serbuk
bunga, bulu binatang, obat- obatan (antibiotic dan aspirin) dan spora jamur.
Asma ekstrinsik sering dihubungkan dengan adanya suatu predisposisi genetik
terhadap alergi.
Oleh karena itu jika ada
faktor-faktor pencetus spesifik seperti yang disebutkan di atas, maka akan
terjadi serangan asma ekstrinsik.
b. Intrinsik (non alergik)
Ditandai dengan
adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap pencetus yang tidak spesifik
atau tidak diketahui, seperti udara dingin atau bisa juga disebabkan oleh
adanya infeksi saluran pernafasan dan emosi. Serangan asma ini menjadi lebih
berat dan sering sejalan dengan berlalunya waktu dan dapat berkembang menjadi bronkhitis kronik dan emfisema.
Beberapa pasien akan mengalami asma gabungan.
Asma gabungan
Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik dari bentuk
alergik dan non-alergik.
C.
ETIOLOGI
Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi
timbulnya serangan asma bronkhial.
1.
Faktor
predisposisi
a. Genetik
Dimana yang
diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui bagaimana cara penurunannya
yang jelas. Penderita dengan penyakit alerg biasanya mempunyai keluarga dekat
juga menderita penyakit alergi. Karena adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma
bronkhial jika terpapar dengan foktor pencetus. Selain itu hipersentifisitas
saluran pernafasannya juga bisa diturunkan.
2.
Faktor
presipitasi
a. Alergen
Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :
1)
Inhalan,
yang masuk melalui
saluran pernapasan
ex: debu, bulu binatang,
serbuk bunga, spora jamur, bakteri
dan polusi
2)
Ingestan, yang masuk melalui mulut
ex: makanan dan obat-obatan
3)
Kontaktan, yang masuk melalui kontak
dengan kulit ex: perhiasan, logam dan jam tangan
b. Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang
dingin sering mempengaruhi asma. Atmosfir yang mendadak dingin merupakan faktor
pemicu terjadinya serangan asma. Kadang-kadang serangan berhubungan dengan
musim, seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga. Hal ini berhubungan
dengan arah angin serbuk bunga dan debu.
c. Stress
Stress/ gangguan
emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga bisa memperberat
serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma yang timbul harus segera
diobati penderita asma yang mengalami stress/gangguanemosi perlu diberi nasehat
untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stressnya
belum diatasi maka gejala asmanya belum bisa diobati.
d. Lingkungan kerja
Mempunyai
hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan asma. Hal ini berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya
orang yang bekerja di laboratorium hewan, industri tekstil, pabrik asbes, polisi lalu lintas. Gejala ini membaik pada waktu
libur atau cuti.
e. Olah raga/ aktifitas jasmani
yang berat
Sebagian besar penderita asma akan mendapat
serangan jika melakukan aktifitas
jasmani atau aloh raga yang berat. Lari cepat
paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena aktifitas biasanya
terjadi segera setelah selesai aktifitas tersebut.
D.
PATOFISIOLOGI
Asma ditandai dengan kontraksi
spastic dari otot polos bronkhiolus yang menyebabkan sukar bernafas.
Penyebab yang umum adalah
hipersensitivitas bronkhioulus terhadap benda-benda asing di udara. Reaksi yang
timbul pada asma tipe alergi diduga terjadi dengan cara sebagai berikut :
seorang yang alergi mempunyai kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibody
Ig E abnormal dalam jumlah besar dan antibodi ini menyebabkan reaksi alergi
bila reaksi dengan antigen spesifikasinya. Pada asma, antibody ini terutama
melekat pada sel mast yang terdapat pada interstisial paru yang berhubungan
erat dengan brokhiolus dan bronkhus kecil. Bila seseorang menghirup alergen
maka antibody Ig E orang tersebut meningkat, alergen bereaksi dengan antibodi
yang telah terlekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini akan mengeluarkan
berbagai macam zat, diantaranya histamin, zat anafilaksis yang bereaksi lambat
(yang merupakan leukotrient), factor kemotaktik eosinofilik dan bradikinin.
Efek gabungan dari semua faktor-faktor ini akan menghasilkan adema lokal pada
dinding bronkhioulus kecil maupun sekresi mucus yang kental dalam lumen bronkhioulus
dan spasme otot polos bronkhiolus sehingga menyebabkan tahanan saluran napas
menjadi sangat meningkat.
Pada asma , diameter bronkiolus lebih
berkurang selama ekspirasi daripada selama inspirasi karena peningkatan tekanan
dalam paru selama eksirasi paksa menekan bagian luar bronkiolus. Karena
bronkiolus sudah tersumbat sebagian, maka sumbatan selanjutnya adalah akibat
dari tekanan eksternal yang menimbulkan obstruksi berat terutama selama
ekspirasi. Pada penderita asma biasanya dapat melakukan inspirasi dengan baik
dan adekuat, tetapi sekali-kali melakukan ekspirasi.
Hal ini menyebabkan dispnea.
Kapasitas residu fungsional dan volume residu paru menjadi sangat meningkat
selama serangan asma akibat kesukaran mengeluarkan udara ekspirasi dari paru.
Hal ini bisa menyebabkan barrel chest.
E.
MANIFESTASI KLINIK
Biasanya pada penderita yang sedang
bebas serangan tidak ditemukan gejala klinis, tapi pada saat serangan penderita
tampak bernafas cepat dan dalam, gelisah, duduk dengan menyangga ke depan,
serta tanpa otot-otot bantu pernafasan bekerja dengan keras.
Gejala klasik dari asma bronkial ini
adalah sesak nafas, mengi (whezing), batuk, dan pada sebagian penderita ada
yang merasa nyeri di dada. Gejala- gejala tersebut tidak selalu dijumpai
bersamaan.
Pada serangan asma yang lebih berat ,
gejala-gejala yang timbul makin banyak, antara lain : silent chest, sianosis,
gangguan kesadaran, hyperinflasi dada, tachicardi dan pernafasan cepat dangkal
. Serangan asma seringkali terjadi pada malam hari.
F.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
a. Pemeriksaan sputum
Pemeriksaan sputum dilakukan untuk melihat adanya:
-
Kristal-kristal charcot leyden yang
merupakan degranulasi dari Kristal eosinopil.
-
Spiral curshmann, yakni yang merupakan
cast cell (sel cetakan) dari cabang bronkus.
-
Creole
yang merupakan fragmen
dari epitel bronkus.
-
Netrofil dan eosinopil yang terdapat pada
sputum, umumnya bersifat mukoid dengan viskositas yang tinggi dan kadang terdapat
mucus plug.
b. Pemeriksaan darah
-
Analisa gas darah pada umumnya normal
akan tetapi dapat pula terjadi hipoksemia, hiperkapnia, atau asidosis.
-
Kadang pada darah terdapat peningkatan dari SGOT dan LDH.
-
Hiponatremia dan kadar leukosit
kadang-kadang di atas 15.000/mm3 dimana menandakan terdapatnya suatu infeksi.
-
Pada pemeriksaan faktor-faktor alergi
terjadi peningkatan dari Ig E pada
waktu serangan dan menurun pada waktu bebas dari serangan.
G.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1.
Pemeriksaan radiologi
Gambaran
radiologi pada asma pada umumnya normal. Pada waktu serangan menunjukan
gambaran hiperinflasi pada paru-paru yakni radiolusen yang bertambah dan
peleburan rongga intercostalis, serta diafragma yang menurun.
Akan tetapi bila
terdapat komplikasi, maka kelainan yang didapat adalah sebagai berikut:
-
Bila disertai dengan bronkitis, maka bercak-bercak di hilus akan bertambah.
-
Bila terdapat komplikasi empisema
(COPD), maka gambaran radiolusen akan semakin bertambah.
-
Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran
infiltrate pada paru
-
Dapat pula menimbulkan gambaran atelektasis lokal.
-
Bila terjadi pneumonia mediastinum,
pneumotoraks, dan pneumoperikardium, maka dapat dilihat bentuk gambaran
radiolusen pada paru-paru.
2.
Pemeriksaan tes kulit
Dilakukan untuk
mencari faktor alergi dengan berbagai alergen yang dapat menimbulkan reaksi
yang positif pada asma.
3.
Elektrokardiografi
Gambaran
elektrokardiografi yang terjadi selama serangan dapat dibagi menjadi 3 bagian,
dan disesuaikan dengan gambaran yang terjadi pada empisema paru yaitu :
-
Perubahan aksis jantung, yakni pada umumnya
terjadi right axis deviasi
dan clock wise rotation.
-
Terdapatnya tanda-tanda hipertropi otot jantung, yakni terdapatnya
RBB (Right bundle branch block).
-
Tanda-tanda hopoksemia, yakni terdapatnya
sinus tachycardia, SVES, dan VES atau terjadinya depresi segmen ST negative.
4.
Scanning
paru
Dengan scanning
paru melalui inhalasi dapat dipelajari bahwa redistribusi udara selama serangan
asma tidak menyeluruh pada paru-paru.
5.
Spirometri
Untuk menunjukkan
adanya obstruksi jalan nafas reversible, cara yang paling cepat dan sederhana
diagnosis asma adalah melihat respon pengobatan dengan bronkodilator.
Pemeriksaan spirometer dilakukan sebelum dan sesudah pamberian bronkodilator
aerosol (inhaler atau nebulizer) golongan adrenergik. Peningkatan FEV1 atau FVC
sebanyak lebih dari 20% menunjukkan diagnosis asma. Tidak adanya respon aerosol
bronkodilator lebih dari 20%. Pemeriksaan spirometri tidak saja penting untuk
menegakkan diagnosis tetapi juga penting untuk menilai berat obstruksi dan efek
pengobatan. Benyak penderita tanpa keluhan tetapi pemeriksaan spirometrinya
menunjukkan obstruksi.
H.
KOMPLIKASI
Berbagai komplikasi
yang mungkin timbul adalah :
1.
Status asmatikus
2.
Atelektasis
3.
Hipoksemia
4.
Pneumothoraks
5.
Emfisema
6.
Deformitas thoraks
7.
Gagal nafas
I.
PENATALAKSANAAN
Prinsip umum pengobatan asma bronchial adalah :
a. Menghilangkan obstruksi
jalan nafas dengan segara.
b. Mengenal
dan menghindari fakto-faktor yang dapat mencetuskan serangan asma
c. Memberikan penerangan kepada
penderita ataupun keluarganya mengenai penyakit asma, baik pengobatannya maupun
tentang perjalanan penyakitnya sehingga penderita mengerti tujuanpenngobatan
yang diberikan dan bekerjasama dengan dokter atau perawat yang merawatnnya.
Pengobatan pada asma bronkhial
terbagi 2, yaitu:
1.
Pengobatan non farmakologik:
-
Memberikan penyuluhan
-
Menghindari faktor pencetus
-
Pemberian cairan
-
Fisiotherapy
-
Beri O2 bila perlu.
2.
Pengobatan farmakologik :
-
Bronkodilator : obat yang melebarkan
saluran nafas. Terbagi dalam 2 golongan
:
a. Simpatomimetik/
andrenergik (Adrenalin dan efedrin) Nama obat :
§ Orsiprenalin (Alupent)
§ Fenoterol (berotec)
§ Terbutalin (bricasma)
b. Obat-obat
golongan simpatomimetik tersedia dalam bentuk tablet, sirup, suntikan dan
semprotan. Yang berupa semprotan: MDI (Metered dose inhaler). Ada juga yang
berbentuk bubuk halus yang dihirup (Ventolin Diskhaler dan Bricasma Turbuhaler)
atau cairan broncodilator (Alupent, Berotec,
brivasma serts Ventolin)
yang oleh alat khusus diubah menjadi aerosol (partikel-partikel yang
sangat halus) untuk selanjutnya dihirup.
c. Santin
(teofilin) Nama obat :
§ Aminofilin (Amicam supp)
§ Aminofilin (Euphilin
Retard)
§ Teofilin (Amilex)
Efek dari
teofilin sama dengan obat golongan simpatomimetik, tetapi cara kerjanya berbeda. Sehingga bila kedua obat ini dikombinasikan efeknya saling
memperkuat. Cara pemakaian : Bentuk suntikan teofillin / aminofilin dipakai
pada serangan asma akut, dan disuntikan perlahan-lahan langsung ke pembuluh
darah. Karena sering merangsang lambung bentuk tablet atau sirupnya sebaiknya diminum
sesudah makan. Itulah sebabnya penderita yang mempunyai sakit lambung
sebaiknya berhati-hati bila minum obat ini. Teofilin ada juga dalam bentuk
supositoria yang cara pemakaiannya dimasukkan ke dalam anus. Supositoria ini digunakan jika penderita karena sesuatu
hal tidak dapat minum teofilin (misalnya muntah atau lambungnya kering).
-
Kromalin
Kromalin bukan
bronkodilator tetapi merupakan obat pencegah serangan asma. Manfaatnya adalah
untuk penderita asma alergi terutama
anakanak. Kromalin biasanya diberikan bersama-sama obat anti asma yang lain,
dan efeknya baru terlihat setelah pemakaian satu bulan.
-
Ketolifen
Mempunyai efek pencegahan terhadap
asma seperti kromalin. Biasanya diberikan dengan dosis dua kali 1mg / hari. Keuntungnan obat ini adalah dapat diberika
secara oral.
J.
PENGKAJIAN PRIMER
Pengkajian Primer pada askep asma
bronkial adalah :
1.
Airway. Yang kita dapatkan pada pengkajian airway ini
diantaranya yaitu : batuk kering/tidak produktif, wheezing yang nyaring,
penggunaan otot- otot aksesoris pernapasan ( retraksi otot interkosta).
2.
Breathing.
Perpanjangan ekspirasi dan
perpendekan periode inspirasi, dypsnea, takypnea, taktil fremitus
menurun pada palpasi, suara tambahan ronkhi, hiperresonan pada perkusi.
3.
Circulation. Yang kita dapatkan pada pengkajian sirkulasi ini
adalah adanya hipotensi, diaforesis, sianosis, gelisah, fatique, perubahan
tingkat kesadaran, pulsus paradoxus > 10 mm.
K.
PENGKAJIAN SEKUNDER
Hal-hal yang perlu dikaji pada pasien asma adalah sebagai berikut:
1.
Riwayat
kesehatan yang lalu:
-
Kaji riwayat pribadi atau keluarga tentang penyakit
paru sebelumnya.
-
Kaji riwayat reaksi alergi atau sensitifitas terhadap zat / faktor lingkungan.
-
Kaji riwayat pekerjaan
pasien.
2.
Aktivitas
-
Ketidakmampuan melakukan aktivitas karena sulit bernapas.
-
Adanya penurunan
kemampuan / peningkatan kebutuhan bantuan melakukan
aktivitas sehari-hari.
-
Tidur dalam posisi duduk tinggi.
3.
Pernapasan
-
Dipsnea
pada saat istirahat
atau respon terhadap
aktivitas atau latihan.
-
Napas memburuk ketika pasien berbaring
terlentang ditempat tidur.
-
Menggunakan obat bantu pernapasan, misalnya: meninggikan bahu, melebarkan
hidung.
-
Adanya
bunyi napas mengi.
-
Adanya batuk berulang.
4.
Sirkulasi
-
Adanya
peningkatan tekanan darah.
-
Adanya
peningkatan frekuensi jantung.
-
Warna kulit atau membran mukosa normal/ abu-abu/ sianosis.
-
Kemerahan atau berkeringat.
5.
Integritas ego
-
Ansietas
-
Ketakutan
-
Peka rangsangan
-
Gelisah
6.
Asupan nutrisi
-
Ketidakmampuan untuk makan karena
distress pernapasan.
-
Penurunan berat badan karena anoreksia.
7.
Hubungan sosal
-
Keterbatasan mobilitas fisik.
-
Susah bicara atau bicara terbata-bata.
-
Adanya
ketergantungan pada orang lain.
8.
Seksualitas
-
Penurunan libido
L.
DIAGNOSA YANG MUNGKIN MUNCUL
a. Tak efektif bersihan jalan nafas b/d bronkospasme.
b. Pola nafas tidak efektif b/d penurunan ekspansi paru.
c. Kerusakan pertukaran gas b/d gangguan
suplai oksigen (spasme bronkus)
M.
INTERVENSI KEPERAWATAN
Diagnosa 1: Tak efektif bersihan jalan nafas b/d bronkospasme.
Tujuan: Dalam
asuhan keperawatan 1 x 30 menit, Jalan
nafas kembali efektif.
Kriteria Hasil:
-
Sesak berkurang
-
Batuk berkurang
-
Klien dapat mengeluarkan sputum
-
Wheezing berkurang/hilang
-
Vital
dalam batas normal
-
Keadaan umum baik.
Mandiri:
a. Auskultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas, ex: mengi
b. Beberapa derajat
spasme bronkus terjadi
dengan obstruksi jalan nafas dan dapat/tidak dimanifestasikan adanya
nafas advertisius.
c. Kaji /
pantau frekuensi pernafasan, catat rasio inspirasi / ekspirasi. Tachipnea
biasanya ada pada beberapa derajat dan dapat ditemukan pada penerimaan atau selama stress/ adanya proses infeksi
akut.
d. Catat adanya derajat dispnea,
ansietas, distress pernafasan, penggunaan obat bantu.
e. Disfungsi pernafasan adalah variable yang tergantung pada tahap proses akut yang menimbulkan perawatan di
rumah sakit.
f.
Tempatkan posisi yang nyaman pada pasien,
contoh : meninggikan kepala tempat tidur, duduk pada sandara tempat tidur
g. Peninggian kepala tempat tidur memudahkan fungsi pernafasan dengan menggunakan
gravitasi.
h. Pertahankan
polusi lingkungan minimum, contoh: debu, asap dll Pencetus tipe alergi
pernafasan dapat mentriger episode akut.
i.
Tingkatkan masukan cairan sampai dengan
3000 ml/ hari sesuai toleransi jantung
memberikan air hangat.
j.
Hidrasi membantu menurunkan kekentalan
sekret, penggunaan cairan hangat dapat menurunkan kekentalan sekret, penggunaan
cairan hangat dapat menurunkan spasme bronkus.
Kolaborasi:
a. Berikan obat sesuai dengan indikasi bronkodilator.
b. Merelaksasikan
otot halus dan menurunkan spasme jalan nafas, mengi, dan produksi mukosa.
Diagnosa 2: Pola
nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan ekspansi paru.
Tujuan : Dalam asuhan keperawatan 1 x 30 menit, pola nafas klien kembali
efektif
Kriteria Hasil:
-
Pola nafas efektif dengan perbandingan inspirasi dan ekspirasi
1 : 2
-
Bunyi nafas normal atau bersih
-
TTV dalam batas normal
-
Batuk
berkurang
-
Ekspansi paru mengembang.
Mandiri:
a.
Kaji frekuensi
nafas, kedalaman pernafasan dan ekspansi dada Kecepatan biasanya meningkat, kedalaman
pernafasan bervariasi tergantung derajat asma
b.
Auskultasi bunyi
nafas dan catat adanya bunyi nafas Ronkhi dan mengi menyertai obstruksi jalan
nafas
c.
Tinggikan kepala dan
bantu mengubah posisi Memungkinkan ekspansi paru dan memudahkan pernafasan
d.
Kolaborasi pemberian
oksigen tambahan Memaksimalkan bernafas dan menurunkan kerja nafas
e.
Kolaborasi pemberian
obat
f.
Bronkodilator
golongan B2, Nebulizer (via inhalasi) dg golongan terbutaline 0,25 mg,
fenoterol HBr 0,1% solution, orciprenaline sulfur 0,75 mg.
g.
Pemberian
bronkodilator via inhalasi akan langsung menuju area bronkus
h.
yg mengalamin spasme
shg lebih cepat berdilatasi
Diagnosa 3: Kerusakan pertukaran gas b/d gangguan
suplai oksigen (spasme bronkus)
Hasil yang
diharapkan ; perbaikan ventilasi dan oksigen jaringan edukuat.
Mandiri:
a. Kaji/awasi secara rutin kulit dan membrane mukosa.
Sianosis mungkin
perifer atau sentral
keabu-abuan dan sianosis
sentral mengindikasi kan
beratnya hipoksemia.
b. Palpasi fremitus
Penurunan getaran
vibrasi diduga adanya pengumplan cairan/udara.
c. Awasi tanda vital dan irama jantung
Tachicardi, disritmia, dan perubahan tekanan
darah dapat menunjukan efek hipoksemia sistemik pada
fungsi jantung.
Kolaborasi:
a.
Berikan oksigen tambahan sesuai dengan indikasi hasil AGDA dan
toleransi pasien.
b. Dapat memperbaiki atau mencegah memburuknya hipoksia.
DAFTAR PUSTAKA
Baratawidjaja, K. (1990) “Asma Bronchiale”, dikutip dari Ilmu Penyakit Dalam, Jakarta : FK UI.
Brunner & Suddart
(2002) “Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah”, Jakarta : AGC.
Crockett, A. (1997) “Penanganan Asma dalam Penyakit Primer ”, Jakarta : Hipocrates.
Crompton, G. (1980) “Diagnosis
and Management of Respiratory Disease”, Blacwell Scientific Publication.
Doenges, M. E., Moorhouse, M. F. & Gei ssler, A. C. (2000) “Rencana Asuhan Keperawatan”, Jakarta : EGC.
Guyton & Hall (1997) “ Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran”, Jakarta : EGC.
Hudak & Gallo
(1997) “Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik”, Volume 1, Jakarta : EGC.
Price, S & Wilson, L. M. (1995)
“ Patofisiologi : Konsep
Klinis Proses-proses Penyakit”, Jakarta : EGC.
Pullen, R. L. (1995) “ Pulmonary Disease”, Philadelpia : Lea
& Febiger. Rab, T. (1996) “Ilmu
Penyakit Paru”, Jakarta : Hipokrates.
Rab, T. (1998) “Agenda Gawat Darurat”, Jakarta : Hipokrates.
Reeves, C. J., Roux, G & Lockhart, R. (1999) “ Keperawatan
Medikal Bedah”, Buku Satu, Jakarta : Salemba Medika.
Staff Pengajar FK UI (1997) “Ilmu
Kesehatan Anak”, Jakarta : Info Medika. Sundaru, H. (1995) “ Asma ; Apa dan Bagaimana Pengobatannya ”,
Jakarta : FK UI.
ASUHAN
KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN ASMA BRONCHIALE
KONSEP
TEORI
A.
Definisi
Asma bronkial merupakan inflamasi
kronik jalan nafas yang melibatkan berbagai sel inflamasi. Dasar penyakit ini
adalah hiperaktivitas bronkus dalam berbagai tingkat, obstruksi jalan napas,
dan gejala pernafasan (mengi dan sesak). Obstruksi jalan nafas umumnya bersifat
reversibel tergantung berat dan lamanya penyakit. (Kapita Selekta Kedokteran,
1999)
B.
Etiologi
Asma selalu dihubungkan dengan bronko spasme yang
reversibel dan sebagai faktor pencetus adalah :
1.
Alergi
2.
Infeksi dan iritasi
3.
Ketidakseimbangan saraf otonom
4.
Perubahan lingkungan dan suhu
C.
Manifestasi Klinis
Gejala yang timbul biasanya
berhubungan dengan beratnya derajat hiperaktivitas bronkus. Obstruksi jalan
nafas dapat reversibel secara spontan maupun dengan pengobatan.
Gejala-gejala asma antara lain :
1.
Bising mengi (wheezing) yang terdengar dengan atau tanpa
stetoskop.
2.
Batuk produktif, sering pada malam hari.
3.
Nafas atau dada seperti tertekan.
Gejalanya bersifat paroksismal,yaitu
membaik pada siang hari dan memburuk pada malam hari. Penyebabnya tidak
mengerti dengan jelas, tetapi mungkin
berhubungan dengan variasi sirkadian, yang mempengaruhi ambang reseptor
jalan nafas.
Serangan asma biasanya bermula
mendadak dengan batuk dan rasa sesak dalam dada, disertai dengan pernafasan
lambat dan mengi. Ekspirasi selalu lebih susah dan lebih panjang dari inspirasi
membuat pasien untuk duduk tegak dan menggunakan otot-otot aksesori pernafasan
jalan nafas yang tersumbat menyebabkan dispnea. Batuk semula ringan makin lama
makin berat. Sputum makin kental dan susah dibatukkan sianosis sekunder bila
terjadi hipoxia berat dan gejala-gejala retensi karbondioksida.
Serangan asma dapat berlangsung dari
30 menit sampai beberapa jam dan dapat hilang secara spontan, kadang terjadi
reaksi kontinue yang lebih berat yang disebut status asmatekus. Kondisi ini
dapat mengancam kehidupan.
D.
Patofisiologi (Pohon Masalah)
E.
Pemeriksaan Penunjang
Melakukan pemeriksaan laboratorium
antara lain :
1.
Pemeriksaan sputum
Pada pemeriksaan sputum ditemukan :
a. Kristal-kristal charcot legden yang merupakan
degranulasi dari kristal eosinofil.
b. Terdapatnya spiral curshmann, yakni spiral yang merupakan silinder sel-sel
cabang-cabang bronkus
c. Terdapatnya creole yang merupakan fragmen dari epithel bronkus
d. Terdapatnya neutrofil
eosinofil
2.
Pemeriksaan darah untuk melihat
a. Gas analisa darah
Terdapat hasil
aliran darah yang variabel, akan tetapi bila terdapat peninggian PaCO 2 maupun peningkatan Ph menunjukkan kondensasi prognosis yang buruk
b. Kadang-kadang pada darah
terdapat SGOT dan LDH yang meninggi
c. Hiponatremia, kadang-kadang
PMN meningkat di atas 15.000/mm3 menandakan terdapatnya infeksi
d. Pada pemeriksaan alergi
terdapat IgE yang meningkat pada waktu serangan dan menurun waktu bebas
serangan
3.
Foto rontgen untuk melihat keadaan paru-paru apakah terdapat
komplikasi atau tidak.
4.
Pemeriksaan faal paru, untuk melihat adanya perubahan
ventilasi perfusi, difusi udara selama serangan asma.
5.
Elektrokardiografi untuk melihat perubahan aksis jantung,
melihat tanda-tanda hipertrofi jantung, melihat adanya tanda-tanda hipoksemia.
6.
Skaning paru untuk melihat ada tidaknya perubahan rasio
ventilasi paru.
F.
Penatalaksanaan
Tujuan terapi asma yaitu :
1.
Menyembuhkan dan mengendalikan gejala asma
2.
Mencegah kekambuhan
3.
Mengupayakan fungsi paru senormal mungkin serta mempertahankannya
4.
Mengupayakan aktivitas harian pada tingkat normal termasuk melakukan exercise
5.
Menghindari efek samping obat asma
6.
Mencegah obstruksi jalan nafas yang irreversibel
Penatalaksanaan Therapi :
1.
Oksigen 4 – 6 liter/menit
2.
Agonis B2 (salbutamol 5 mg atau fereterol 2,5 mg atau
terbutalin 10 mg) inhalasi nebulasi dan pemberiannya dapat diulang setiap 20
menit sampai 1 jam. Pemberian agnosis B2 dapat secara subkutan atau IV dengan
dosis salbutamol 0,25 mg atau terbutalin
0,25 mg dalam larutan dekstrosa 5% dan diberikan perlahan.
3.
Aminofilin bolus IV 5 – 6 mg/kg BB, jika sudah menggunakan
obat ini dalam 12 jam sebelumnya maka cukup diberikan ½ dosis Kortikosteroid hidrokortison
100 – 200 mg
4.
Jika tidak ada respon segera atau pasien sedang menggunakan
steroid oral atau dalam serangan sangat berat.
G.
Masalah
Keperawatan dan Data
Pendukung
1.
Pertukaran gas, kerusakan Data Dispnea, sianosis
Takikardia Gelisah/perubahan mental
Hipoksia
2.
Bersihan jalan nafas, tak efektif
Data Perubahan frekuensi, kedalaman
pernafasan
Bunyi nafas tidak normal, penggunaan
otot aksesori
Dispnea, sianosis
Batuk efektif atau tak efektif,
dengan/tanpa produksi Sputum
3.
Kekurangan volume cairan, resiko tinggi terhadap
Data Tidak dapat diterapkan adanya tanda-tanda
dan gejala-gejala membuat diagnosa aktual
4.
Cemas/ansietas/ketakutan (uraikan tingkatan) Data Gelisah, peka rangsang
Menolak atau perilaku menyerang
Rangsangan simpatis, misal : eksitasi
kardiovaskuler, dilatasi Repil, berkeringat, muntah, diare Menangis, suara
menggigit
H.
Diagnosa Keperawatan
1.
Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan obstruksi jalan
nafas oleh sekresi mukus, spasme bronkus.
2.
Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan bronkus
spasme, peningkatan produksi mukus, mukus bertahan tebal dan kental, penurunan
energi/kelemahan untuk batuk.
3.
Resiko defisit volume cairan berhubungan dengan demam,
diaforesis dan hiperventilasi.
4.
Cemas berhubungan dengan hiperventilasi, ancaman kehidupan
perubahan status kesehatan, hipoksemia.
I.
Rencana Asuhan Keperawatan
1.
Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan obstruksi jalan
nafas oleh sekresi mukus, spasme bronkus.
Tujuan : Mempertahankan
suplai O 2 dan ventilasi alveolus yang adekuat.
Kriteria hasil : Bebas gejala
distress pernafasan.
Intervensi dan rasional :
a. Kaji frekuensi, ke dalam
pernafasan, catat penggunaan otot aksesori, nafas, bibir, ketidakmampuan
berbicara.
R/ : Untuk mengevaluasi derajat distrees pernafasan
b. Tinggikan kepala tempat
tidur, bantu pasien untuk memilih posisi yang mudah untuk bernafas.
R/ : Distribusi
O 2 dapat diperbaiki dengan posisi duduk.
c. Dorong pasien untuk
mengeluarkan sputum, bila perlu lakukan penghisapan.
R/ : Sputum
yang tebal dan kental adalah sumber utama gangguan pertukaran gas, penghisapan
dilakukan bila batuk tidak efektif
d. Auskultasi bunyi nafas secara
periodik.
R/ : Masih
adanya mengi mengidentifikasikan masih adanya spasmebronkus/tertahannya sekret
e. Awasi tanda-tanda vital dan
irama jantung
R/ : Takikardia,
disritmia, dan perubahan tekanan darah menunjukkan efek hipoksemia sistemik
pada fungsi jantung
f.
Kolaborasi berikan O 2 sesuai hasil GDA dan toleransi pasien
R/ : Untuk
memperbaiki hipoksia
2.
Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan bronkus
spasme, peningkatan produksi mukus, mukus bertahan tebal dan kental, penurunan
energi/kelemahan untuk batuk.
a. Tujuan :
Mampu mengeluarkan sekret lebih
efektif.
b. Kriteria hasil :
Sekresi dapat diluluhkan atau dihisap
minimal
c. Bunyi nafas terdengar bersih
Intervensi dan rasional :
Auskultasi bunyi nafas
R/ : Mengetahui
derajat spasme
d. Kaji pantau frekuensi
pernafasan
R/ : Takipnea
sering terjadi
e. Catat adanya/derajat distres,
misal : keluhan air hungry, gelisah, ansietas, distres pernafasan, penggunaan
otot bantu
R/ : Disfungsi
pernafasan adalah indikator kegagalan nafas
f.
Kaji pasien untuk posisi yang nyaman untuk bernafas
R/ : Pasien dengan
distress pernafasan akan
g. mencari posisi yang nyaman
dan mudah untuk bernafas, membantu menurunkan kelemahan otot dan mempermudah
ekspansi dada
h. Resiko defisit volume cairan
berhubungan dengan demam, diaforesis dan hiperventilasi
i.
Tujuan :
Mempertahankan keseimbangan volume cairan dan elektrolit yang adekuat.
j.
Kriteria hasil :
Tekanan darah dan nadi dalam batas
normal
Turgor kulit dalam batas normal
Asupan dan haluaran seimbang
BB stabil
Berat jenis urine dalam batas normal (1,010 – 1,025)
k. Intervensi dan rasional :
Kaji perubahan tanda vital, contoh :
suhu meningkat, takikardia, hipotensi ortostatik
R/ : Indikator
kekurangan cairan sistemik
l.
Kaji turgor kulit, membran mukosa
R/ : Indikator
kekurangan cairan
a. Pantau
masukan dan hantaran
R/ : Indikator
keadekuatan volume cairan tubuh
m. Timbang BB setiap hari
R/ : Indikator
kekurangan cairan bila kehilangan berat BB secara individu
n. Tingkatkan asupan oral 2.500 ml/hari atau sesuai
kondisi individu
R/ : Untuk pemenuhan kebutuhan dasar mengurangi
resiko dehidrasi lebih lanjut
o. Kolaborasi :
-
Berikan cairan perparenteral sesuai indikasi
R/ : Penggunaan cairan parenteral berguna memperbaiki dehidrasi
-
Pantau BJ urine
R/ : Indikator kekurangan cairan bila BJ urine meningkat
-
Pantau kadar elektrolit
R/ : Indikator
adanya asidosis akibat dehidrasi
3.
Cemas berhubungan dengan hiperventilasi, ancaman kehidupan perubahan status kesehatan,
hipoksemia.
Tujuan :
Mengalami penurunan tingkat
kecemasan.
Kriteria hasil :
Melaporkan penurunan tingkat kecemasan
sampai tingkat yang dapat ditangani dengan managemen koping.
Intervensi dan rasional :
a. Kaji tingkat ansietas dan
yakinkan bahwa perasaannya adalah normal dan dorong pasien/orang terdekat untuk
mengungkapkan perasaannya.
R/ : Dapat membantu untuk mengontrol
emosinya sendiri.
b. Berikan lingkungan yang
tenang dan nyaman
R/ : Dapat
menurunkan tingkat ansietas
c. Bantu pasien mencari posisi yang nyaman
untuk bernafas, fokus bernafas, relaksasi
R/ : Untuk
mengontrol dan menurunkan tingkat ansietas
d. Dukung pasien/orang terdekat
untuk menerima situasi dan libatkan pasien dalam perencanaan keperawatan
R/ : Merupakan
mekanisme koping yang adaptif
Daftar Pustaka
Alsagaff Hood,
Abdul Mukty, (2005). Dasar – Dasar Ilmu Penyakit Paru. Airlangga University Press. Surabaya.
Amin muhammad,
Hood Alsagaff. (2009). Pengantar Ilmu
Penyakit Paru. Airlangga University Press. Surabaya.
Blac,MJ Jacob.
(2003). l.uckman & Sorens en’S Medical surgical Nursing A Phsycopsicologyc
Approach. W.B. Saunders Company. Philapidelpia.
Barbara Engram.
(2009). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Vol. 1 . Penerbit EGC.
Jakarta.
Marylin E
doengoes. (2004). Rencana Asuhan keperawatan Pedoman untuk Perencnaan / pendokumentasian
Perawatan Pasien. EGC.Jakarta.
Mansjoer, Arif M dkk). (2009). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta
: Media Aesculapius.
Rab. Tabrani. (2006). Prinsip Gawat Paru – ed. 2. Jakarta : EGC.
Soeparman,
Sarwono Waspadji. (2004 ). Ilmu Penyakit Dalam Jilid II . Balai Penerbit FKUI.
Jakarta.
Sylvia Anderson
Price, Lorraine McCarty Wilson. (2005).
Patofisiologi
Konsep Klinis Proses - Proses Penyakit. EGC. Jakarta.
Yunus Faisal.
(2006). Pulmonologi Klinik . Bagian
Pulmonologi FKUI. Jakarta.
LAPORAN
PENDAHULUAN ASMA BRONCHIALE
Konsep Dasar Penyakit
1. Pengertian
Asma adalah suatu penyakit
paru dengan tand-tanda khas berupa manifestasi berupa penyumbatan (obstruksi)
saluran pernafasa yang dapat pulih kembali baik secara spontan maupun dengan
pengobatan, keradangan saluran pernafasan, peningkatan kepekaan yang berlebihan
dari saluran pernafasan terhadap berbagai rangsangan (Alsagaaf Hood, 2005).
Asma bronchiale adalah suatu
penyakit paru dengan tand-tanda khas berupa manifestasi berupa penyumbatan
(obstruksi) saluran pernafasa yang dapat pulih kembali baik secara spontan
maupun dengan pengobatan, keradangan saluran pernafasan, peningkatan kepekaan
yang berlebihan dari saluran pernafasan terhadap berbagai rangsangan (Alsagaaf
Hood, 2005).
Asma bronchiale adalah suatu
gangguan pada saluran bronchial dengan ciri bronkospasme, periodik (kontraksi
spasme pada saluran nafas). Asma merupakan penyakit kompleks yang dapat
diakibatkan oleh faktor biokimia, endokrin, infeksi, otonomik dan psikologi
(Somantri, 2008).
2. Kalsifikasi
Menurut Konthen, P.G, dkk
dalam buku pedoman diagnosis dan terapi Konthen, P.G, dkk (2008; 53) asma
dibagi menjadi 4 derajat yaitu:
1)
Derajat I: intermitten
a. Gejala muncul kurang dari
sekali dalam satu minggu
b. Kekambuhan berlangsung
singkat
c. Serangan atau gejala asma
pada malam hari < 2 kali dalam sebulan
d. FEV2 (Force Expiratory Volume
dalam 2 detik) > 80% prediksi atau PEF (Peak Expiratory Flow) > 80% nilai
terbaik penderita Variabilitas PEEF atau FEV1 < 20%
2)
Derajat II: persisten ringan
a. Gejala muncul > 1 kali
dalam seminggu, tetapi tidak setiap hari
b. Kekambuhan mengganggu
aktivitas sehari-hari dan mengganggu tidur
c. Serangan atau gejala asma
pada malam hari > 2 kali dalam sebulan
d. FEV1 > 80% prediksi atau
PEEF > 80% nilai terbaik penderita
Variabilitas PEF atau FEV, 20-30%
3)
Derajat III: persisten sedang
a. Gejala muncul setiap hari
b. Kekambuhan mengganggu
aktivitas sehari-hari dan mengganggu tidur
c. Serangan atau gejala asma
pada malam hari > 1 x dalam seminggu
d. FEV1 60-80% prediksi atau PEF
60-80% nilai terbaik penderita
e. Variabilitas PEEF atau FEV1
>30%
4)
Derajat IV persisten berat
a. Gejala muncul setiap hari
b. Kekambuhan sering terjadi
c. Serangan atau gejala asma
pada malam hari sering terjadi
FEV1 < 60% prediksi atau PEF <
60% nilai terbaik penderita Variabilitas PEF atau FEV1 > 30%.
3. Etiologi
Penyebab terjadinya asma menurut
Kowalak (2011), Konthen, P.G, dkk (2008;50), dan Danusantoso (2000)
1)
Faktor ekstrinsik: reaksi antigen-antibodi; karena inhalasi
alergen (debu, serbuk-serbuk, bulu-bulu binatang, spora jamur, dan tepung sari
rerumputan). polen (tepung sari bunga), debu rumah atau kapang, bantal kapuk
atau bulu, zat aditif pangan yang mengandung sulfit, zat lain yang menm,bulkan
sensitifitas
2)
Faktor intrinsik: infeksi: para influenza virus, pneumonia,
Mycoplasma, Kemudian dari fisik: cuaca dingin, perubahan temperature atau
kelembapan, tertawa, faktor genetik, emosional; takut, cemas, dan tegang,
perubahan endokrin. Iritan: kimia, polusi udara ( CO, asap rokok, parfum ).
3)
Aktivitas yang berlebihan juga dapat menjadi faktor pencetus.
4)
Obat-obatan: aspirin, NSAID, β-bloker.
4. Patofisiologi
Menurut Smeltzer (2001:611), patologi
dari asma adalah:
Asma terjadi karena adanya
penyempitan pada jalan nafas dan hipereaktif bronkus terhadap bahan iritasi,
alergen, atau stimulus lain. Dengan adanya bahan iritasi atau allergen
otot-otot bronkus menjadi spasme dan zat antibodi tubuh muncul ( immunoglobulin
E atau IgE ) dengan adanya alergi. IgE di muculkan pada reseptor sel mast dan
akibat ikata IgE dan antigen menyebabkan pengeluaran
histamine, bradikinin, anafilaktosin.
Mediator tersebut akan menyebabkan kontraksi otot polos yang menyebabkan
peningkatan permeabilitas kapiler, oedema mukosa,sekresi mukus meningkat
sehingga produksi sekret meningkat.
Respon asma terjadi dalam
tiga tahap : pertama tahap immediate/ segera yang ditandai dengan
bronkokonstriksi dalam 1-2 jam (puncaknya dalam 30 menit). Dalam beberapa menit
dari paparan alergen, ditemukan degranulasi sel mast bersamaan dengan pelepasan
mediator inflamasi, termasuk histamin, prostaglandin D2, dan leukotrien C4. Zat
ini menyebabkan kontraksi otot pada saluran pernafasan serta peningkatan
permeabilitas kapiler, sekresi lendir, dan aktivasi refleks saraf. Respon asma
dini ditandai dengan bronkokonstriksi yang umumnya responsif terhadap
bronkodilator, seperti agen beta2-agonis. Tahap delayed dimana brokokontriksi
dapat berulang dalam 4-6 jam dan terus-menerus 2-5 jam lebih lama dan
menghilang dalam 12-24 jam, tahap late yang ditandai dengan peradangan dan
hiperresponsif jalan nafas beberapa minggu atau bulan. Pelepasan mediator
inflamasi bilangan molekul adhesi pada epitel saluran napas dan endotelium
kapiler, yang kemudian memungkinkan sel-sel inflamasi, seperti eosinofil,
neutrofil, dan basofil, untuk melampirkan epitel dan endotelium dan kemudian
bermigrasi ke dalam jaringan jalan napas. Eosinofil melepaskan eosinophilic
cationic protein (ECP) dan protein dasar utama (MBP). Kedua ECP dan MBP
menginduksi deskuamasi epitel saluran napas dan mengekspos ujung saraf.
Interaksi ini mempromosikan hyperresponsiveness napas pada asma lebih lanjut.
Hal ini dapat terjadi pada individu dengan eksaserbasi asma ringan. Selama
serangan asthmatik, bronkiolus menjadi meradang dan peningkatan sekresi mukus.
Hal ini menyebabkan lumen jalan nafas menjadi bengkak dan obstruksi sehingga
ventilasi tidak adekuat terjadi penurunan P02 (hipoxia). Selama serangan astma
, CO2 tertahan dengan meningkatnya resistensi jalan nafas selama ekspirasi, dan
menyebabkan acidosis respiratory dan hypercapnea dan dapat menimbulkan distress
nafas (Constantine, 2012).
5. Manifestasi Klinis
Menurut Djojodibroto
(2009:69) dan Muttaqin (2008:172) ada beberapa manifestasi klinis yang dapat
muncul pada pasien dengan asma:
1)
Pernafasan labored (perpanjangan ekshalasi)
2)
Pembesaran vena jugularis
3)
Wheezing, yaitu suara yang terdengar kontinu, nadanya lebih
tinggi dibanding suara napas lainnya. Suara ini disebabkan karena adanya
penyempitan saluran napas kecil (bronkus perifer dan bronkiolus). Karena udara
melewati suatu peyempitan (Djojodibroto,2009:69).
4)
Dispnea dengan lama ekspirasi, penggunaan otot-otot aksesoris
pernafasan, cuping hidung, retraksi dada dan stridor
Akibat dari bronkospasme,
edema mukosa dan dinding bronkholus serta hipereksresi mucus menyebabkan
terjadinya penyempitan pada bronkiolus dan percabangannya sehingga akan
menimbulkan rasa sesak, napas berbunyi dan batuk produktif (Muttaqin,
2008:172).
5)
Gelisah
Lebih sering terjadi pada
anak-anak. Anak mengalami gelisah kerana sesak napas yang dialami.
6)
Tidak toleran terhadap aktivitas, makan, bermain, berjalan,
bicara
Meningkatnya ukuran diameter
anteroposterior (barrel chest ini timbul akibat terjadinya overinflasi paru,
overinflamasi paru terjadi karena adanya sumbatan sehingga paru berusaha
mengambil udara secara paksa)
7)
Serangan berlangsung lebih dari 24 jam
6. Penilaian Derajat Serangan
Asma (FK UNAIR, 2008:35)
Parameter Klinis |
|
|
|
Ancaman henti |
Fungsi paru, Laboratorium Sesak
timbul pada saat (breathless) |
Ringan, Berjalan Bayi: menangis keras |
Sedang Berbicara Bayi : -
Tangis pendek dan lemah -
Kesulitan makan/ minum |
Berat Istirahat Bayi: tidak mau makan/minum |
Nafas |
Bicara |
Kalimat |
Penggal kalimat |
Kata-kata |
|
Posisi |
Bisa berbaring |
Lebih suka duduk |
Duduk bertopang lengan |
|
Kesadaran |
Mungkin |
Biasanya |
Biasanya |
Bingung dan mengantuk |
Sianosis |
Iritable Tidak ada |
Iritable Tidak ada |
Iritable Tidak ada |
Nyata/jelas |
Mengi (whezzing) |
Sedang, sering hanya pada akhir ekspirasi |
Nyaring, sepanjang
ekspirasi, ± inspirasi |
Sangat nyaring,
terdengar tanpa stetoskop |
Sulit/tidak terdengar |
Sesak nafas Obat bantu nafas |
Minimal Biasanya tidak |
Sedang Biasanya ya |
Berat ya |
Gerakan |
Retraksi |
Dangkal, retraksi interkostal |
Sedang, ditambah
retraksi suprasternal |
Dalam, ditambah nafas
cuping hidung |
paradoktorako- abdominal Dangkal/ hilang |
Laju nafas |
Meningkat |
Meningkat |
Meningkat |
|
Laju nadi |
Normal |
Takikardi |
Takikardi |
Bradikardi |
Pulsus paradoksus |
|
PEFR |
|
atau PEV1 - Pra |
bronkodilator |
Tidak ada |
Ada |
Ada |
Tidak ada, tanda kelelahan otot nafas |
-
Pasca bronkodilator |
< 10 mmHg |
10-20 mmHg |
> 20mmHg |
|
|
> 60% |
>80% |
<40% |
|
|
40-60% |
60-80% |
<60% |
|
|
|
|
Respons <2 jam |
|
SaO2 |
>95% |
91-95% |
≤90% |
|
PaO2 |
Normal |
>60 mmHg |
<60 mmHg |
|
|
biasanya tidak perlu diperiksa |
|
|
|
PaCO2 |
< 45 mmHg |
< 45 mmHg |
> 45 mmHg |
|
7. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Muttaqin (2008:178) ada
beberapa pemeriksaan yang dilakukan pada penderita asma yaitu:
1)
Pemeriksaan Fungsi Paru (Spirometri)
Pengukuran ini dilakukan
sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator aerosol golongan adrenergik.
Peningkatan FEV1 atau FVC sebanyak lebih dari 20 % menunjukkan diagnosa asma
2)
Tes Provokasi Bronkhus
Tes ini dilakukan pada
spirometri internal. Penurunan FEV 1 sebesar 20 % atau lebih setelah tes
provokasi dan denyut jantung 80-90 % dari maksimum dianggap bermakna bila
menimbulkan penurunan PEF 10 % atau lebih.
3)
Pemeriksaan Kulit
Untuk menunjukkan adanya
antibodi IgE hipersensitif yang spesifik dalam tubuh.
4)
Pemeriksaan Laboratorium
1. Analisa Gas Darah
Hanya dilakukan pada serangan
asma berat karena terdapat hipoksemia, hiperkapnea, dan asidosis respiratorik
2. Sputum
Adanya badan kreola adalah
karekteristik untuk serangan asma berat, karena reaksi yang hebat saja yang
menyebabkan transudasi dari edema mukosa, sehingga terlepaslah sekelompok
sel-sel epitel dari perlekatannya. Pewarnaan gram penting untuk melihat adanya
bakteri, cara tersebut kemudian diikuti kultur dan uji resistensi terhadap
beberapa antibiotik.
3. Sel Eosinofil
Sel eosinofil pada status
asmatikus dapat mencapai 1000-1500/mm 3 baik asma intriksik maupun ekstrinsik,
sedangkan hitung sel eosinofil normal antara 100-200/mm3.
4. Pemeriksaan darah rutin dan
kimia
Jumlah sel leukosit yag lebih
dari 15.000/mm3 terjadi karena adanya infeksi. SGOT dan SGPT meningkat
disebabkan kerusakan hati akibat hipoksia atau hiperkapnea.
5)
Pemeriksaan Radiologi
Hasil pemeriksaan radiologi
pada klien dengan asma bronkhial biasanya normal, tetapi prosedur ini tetap
harus dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan adanya proses patologi di paru
atau komplikasi asma seperti pneumothoraks, pneumomediastinum, atelektasis.
8. Penatalaksanaan
1)
Edukasi penderita
Penderita dan keluarga harus
mendapatkan informasi dna pelatihan agar dapat mencapai kendali asma semaksimal
mungkin. Diharapkan penderita dan keluarga dapat membina hubungan yang
kooperatif dengan tingkat kepatuhan yang tinggi. Pasien diinstruksikan untuk
segera melapor apabila terdapat tanda- tanda dan gejala yang menyulitkan,
seperti bangun saat malam hari dengan serangan akut, tidak mendapatkan peredaan
komplit dari penggunaan inhaler, atau mengalami infeksi pernafasa. Hidrasi
adekuat harus dipertahankan di rumah untuk menjaga sekresi agar tidka mengental
(Konthen, P.G, 2008: 55).
2)
Upaya menghindari faktor resiko
Kekambuhan asma seringkali
dipicu oleh beberapa macam alergen, polutan, makanan, obat-obatan, atau infeksi
saluran nafas. Menghindari faktor-faktor pencetus dapat mengurangi frekuensi
kekambuhan, meningkatkan kendali asma, dan mengurangi kebutuhan obat-obatan
(Konthen, P.G, 2008: 55).
3)
Terapi Medikamentosa
4)
Terapi ditentukan berdasarkan derajat asma. Secara umum
terapi medikamentoda untuk asma dikelompokkan menjadi obat-obat pelega
(reliever) dan obat-obat pengendali (controller). Setelah kendali asma tercapai
sekurangnya selama 3 bulan dapat dicoba untuk mengurangi secara bertahap (step
down) agar kendali asma dapat dicapai dengan terapi yang minimal ( Konthen,
P.G, 2008: 55).
5)
Menurut Mansjoer (2000) penatalaksanaan pada pasien asma
sebagai berikut:
Secara umum, terdapat dua
jenis obat dalam penatalaksanaan asma, yaitu obat pengendali (controller) dan
pereda (reliever). Obat pengendali merupakan profilaksis serangan yang
diberikan tiap hari, ada atau tidak ada serangan/gejala, sedangkan obat pereda adalah
yang diberikan saat serangan. Terapi medikamentosa dapat diliat pada gambar di
bawah ini.
Asma episodik jarang |
Obat pereda beta agonis
atau teofilin |
(asma ringan) |
(inhalasi atau oral) bila
perlu (serangan) Dosis |
Asma episodik sering |
Tambahkan obat pengendali |
(asma sedang) |
kromoglikat/nedokrimil
hirupan 6-8 minggu, respons (-) (+) |
Asma persisten |
obat pengendali: ganti
dengan steroid inhalasi dosis rendah |
(asma berat) |
obat pereda: beta agonis
teruskan 6-8 minggu, respons (-) (+) |
(asma sangat berat) |
Pertimbangkan penambahan
salah satu obat: -
beta agonis kerja panjang -
beta agonis lepas kendali -
teofilinlepas lambat |
6-8 minggu, respons |
Naikkan dosis steroid
inhalasi |
6-8 minggu, respons |
Tambahkan steroid oral |
6)
Penatalaksanaan saat serangan asma (GINA, 2006)
9. Komplikasi
Pada tahap awal asma akut,
hiperventilasi dapat menyebabkan alkalosis pernapasan. Hal ini karena unit
paru-paru yang mengalami obstruksi (kompartement lambat) lebih banyak daripada
unit paru yang tidak obstruksi (kompartement lambat). Hiperventilasi
memungkinkan penghapusan karbon dioksida melalui kompartemen cepat. Peningkatan
unit paru yang mengalami obstruksi mengakibatkan penurunan kemampuan untuk
menghilangkan karbon dioksida dan akhirnya menyebabkan hypercarbia/peningkatan
karbondioksida dalam sirkulasi darah, pneumothoraks, pneumomediastinum, atelektasis
(Constantine, 2012).
KONSEP KEPERAWATAN
A.
Pengkajian
1.
Identitas (Smeltzer, 2001)
1) Usia dan jenis kelamin
Asma dapat terjadi pada
sembarang usia; sekitar setengah dari kasus terjadi pada anak-anak dan
sepertiga lainnya terjadi sebelum usia 40 tahun.
Asma terutama terjadi pada
anak laki-laki di masa kecil, dengan rasio pria- perempuan 2:1 sampai pubertas,
jika rasio pria-perempuan menjadi 1:1. Prevalensi asma lebih besar pada wanita
setelah pubertas, dan mayoritas onset dewasa kasus didiagnosis pada orang tua
dari 40 tahun terjadi pada wanita.
2) Tempat tinggal
Terjadi pada seseorang,
terutama mereka yang tinggal dipemukiman yang padat tempat tinggalnya, lembab,
polusi udara, berdebu, ada binatang peliharaan di rumah, dan kurangnya
ventilasi dari rumah. (Morris, 2012; Konthen. P. G, dkk, 2008).
3) Pekerjaan
Pegawai pabrik, dan pekerjaan
yang berhubungan dengan asap dan polusi yang dapat menyebabkan pernapasan
terganggu (Muttaqin, 2008).
2.
Riwayat kesehatan
1) Riwayat penyakit sekarang
Serangan asma mendadak secara
klinis dapat terjadi menjadi 3 stadium. Stadium pertama ditandai dengan
batuk-batuk berkala dan kering. Stadium kedua ditandai dengan batuk disertai
mukus yang jernih dan berbusa. Klien merasa sesak napas, berusaha untuk
bernapas dalam, ekspirasi memanjang diikuti dengan mengi (wheezing). Stadium
ketiga ditandai dengan hampir tidak terdengarnya suara napas karena aliran
udara kecil, tidak ada batuk, pernapasan menjadi dangkal dan tidak teratur,
irama napas meningkat karena afiksia (Muttaqin 2008).
2) Riwayat penyakit dahulu
Menurut Mutaqin (2008) Salah
satu riwayat penyakit dahulu selain asma yaitu pernah mengalami infeksi saluran
pernapasan atas (ISPA). Ada riwayat alergi, ada riwayat sakit asma, timbul pada
waktu / musim tertentu (Konthen, P.G, 2008; Smeltzer, 2001).
3) Riwayat penyakit keluarga
Menurut teori Mutaqim (2008)
riwayat penyakit keluarga didapatkan adanya anggota keluarga yang mempunyai
riwayat penyakit asma, pneumonia, TBC, influenza yang berulang.
4) Riwayat alergi
Menurut Smeltzer (2001: 611)
pada pasien dengan asma alergik biasanya mempunyai riwayat keluarga yang
alergik dan riwayat media masa lalu ekszem dan rhinitis alergik . pemajanan
terhadap alergen mencetuskan serangan asma.
5) Riwayat Psikososialspiritual
Pasien sering mengalami
kecemasan, takut, mudah tersinggung, interaksi sosial terbatas, kurang
pengetahuan terhadap kondisi penyakitnya, hubungan ketergantungan, kurang
sistem pendukung, kegagalan dukungan dari orang terdekat (Konthen, P.G, 2008;
smeltzer, 2001; Doengoes, 2000).
3.
Activity Day Living
Kebutuhan
aktivitas/istirahat: keletihan, kelemahan, malaise, ketidakmampuan untuk
melakukan aktivitas sehari-hari
karena sulit bernafas,
ketidamampuan untuk tidur, perlu tidur dalam posisi duduk tinggi, dispnea pada
saat istirahat (Doengoes, 2000).
1) Kebutuhan nutrisi: mual,
muntah, nafsu makan menurun, ketidakmampuan untuk makan karena distress
pernafasan, turgor kulit buruk (Doengoes, 2000).
2) Kebutuhan higiene
perseorangan: penurunan kemampuan/peningkatan kebutuhan bantuan melakukan
aktivitas sehari-hari (Doengoes, 2000).
3) Kebutuhan eliminasi/urine:
cenderung normal (Smeltzer, 2001).
4.
Pemeriksaan Fisik
1) Sistem pernapasan
Terjadi peningkatan usaha dan
frekuensi napas yang cepat dan dangkal serta adanya penggunaan otot bantu
pernapasan. Inpeksi dada untuk melihat postur bentuk dan kesimetrisan. Adanya
peningkatan diameter anterosposterior, retraksi otot-otot interkostalis, sifat
dan irama pernapasan. Napas cuping hidung, slem kental berbuih, terdapat suara
vesikuler yang meningkat disertai dengan ekspirasi lebih dari 4 detik atau
lebih dari 3 kali inspirasi, adanya wheezing saat ekspirasi (Konthen, P.G,
2008; Smeltzer, 2001; Muttaqin 2008).
2) Sistem kardiovaskuler
Nadi meningkat, tekanan darah
meningkat, turgor kulit menurun, suhu tubuh meningkat, berkeringat, ada pulsus
paradoksus atau nadi kuat saat ekspirasi (Konthen, P.G, 2008; Muttaqin 2008).
3) Sistem persarafan
Pasien gelisah, bingung, pada
asma yang berat pasien akan mengalami penurunan kesadaran apakah composmetis,
somnolen atau koma (Konthen, P.G, 2008; Smeltzer, 2001; Muttaqin 2008)
4) Sistem perkemihan
Pengukuran volume output
urine berhubungan dengan intake cairan, namun biasanya cenderung normal
(Muttaqin 2008 dan Smeltzer, 2001).
5) Sistem pencernaan
Kehilangan nafsu makan, mual,
muntah, penurunan berat badan, kulit kering dengan turgor kulit yang buruk.
(Smeltzer, 2001; Muttaqin, 2008
6) Sistem muskuloskeletal
Kelemahan dan kelelahan, penurunan toleransi terhadap aktifitas. (Smeltzer,2001; Muttaqin 2008).
B.
Diagnosa Keperawatan
Menurut Carpenito (2006:547) dan Wilkinson (2011:696)
diagnosa keperawatan yang muncul:
1) PK: Hipoksia
2) Ketidakefektifan bersihan
jalan nafas berhubungan dengan peningkatan produksi sputum dan batuk tidak
efektif.
3) Ketidakefektifan pola
pernafasan berhubungan dengan penyempitan saluran pernafasan akibat
bronkospasme
4) Perubahan perfusi jaringan
perifer berhubungan dengan gangguan aliran darah sekunder akibat asma
5) Resiko cedera berhubungan
dengan penurunan kesadaran
6) Nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh berhubungan dengan penurunan nafsu makan
7) Intoleran aktifitas
berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai oksigen dengan kebutuhan
oksigen
8) Ansietas berhubungan dengan
dampak kondisi dan lingkungan perawatan kritis
C.
Intervensi
1) Ketidakefektifan bersihan
jalan nafas berhubungan dengan peningkatan produksi sputum dan batuk tidak
efektif.
Tujuan: pasien menunjukkan
bersihan jalan nafas yang paten setelah dilakukan perawatan dengan kriteria
hasil:
-
Pasien menggungkapkan sesak berkurang, secret tidak sulit
keluar
-
Pasien dapat mengeluarkan secret saat batuk dan jumlah secret
berkurang
-
Tidak terdengar suara nafas tambahan
-
RR 20-30 x/menit dalam rentang normal
-
Pasien dapat batuk efektif Intervensi
2) Jelaskan kepada pasien
penyebab terjadinya sesak.
R/ Karena adanya alergi
menyebabkan peyempitan jalan nafas dan penumpukan secret pada jalan nafas
sehingga mengganggu aliran udara sehingga terjadi sesak.
3) Beri posisi semi fowler
(dilakukan dengan cara memodifikasi tempat tidur atau memberi bantal pada
kepala).
R/ Posisi semifowler akan
meningkatkan ekspansi paru.
4) Lakukan fisioterapi
pernafasan
-
Humidifikasi dengan nebulizer
R/ Kelembapan akan menurunkan
kekentalan secret, sehingga mempermudah pengeluaran dan membantu mencegah pembentukkan
mucus tebal pada bronkus.
-
Perkusi dan vibrasi dada
R/ Perkusi dan vibrasi dada
membantu merontokkan mucus sehingga masuk ke saluran nafas yang lebih besar.
-
Anjarkan dan motivasi pasien untuk nafas dalam dan batuk
efektif
R/ Nafas dalam akan
meningkatkan inspirasi maksimal.inspirasi dalam meningkatkan volume paru dan
membuka jalan nafas untuk memungkinkan udara mencapai bagian belakang mukus dan
mendorongnya ke depan. Batuk efektif: membersihkan secret dari jalan nafas dengan
menggunakan dorongan udara dan kontraksi otot.
5) Berikan cairan sesuai
kebutuhan
R/ cairan membantu untuk
mencegah terjadi kekurangan cairan dan mencegah sekret yang kental sehingga
sekret menjadi encer dan mudah dikeluarkan
6) Kolaborasi dengan dokter
dalam pemberian. Nebulizer
R/ Dengan nebulizer dapat
mengencerkan sekresi kental dan dalam pemberian obat-obatan peralatan
humidifikasi digunakan untuk memberikan kelembapan. Nebulizer juga merupakan
suatu alat pemecah obat untuk menjadi bagian-bagian seperti uap untuk dihirup.
7) Obat-obat mukolitik
R/ Obat mukolitik membantu
mengencerkan dahak sehingga secret dapat dengan mudah dikeluarkan.
8) Observasi keluhan anak,
karakteristik secret, frekuensi RR, suara nafas tambahan, ketidakefektifan
batuk.
R/ Observasi secret untuk
melihat adanya manifestasi tubuh mengatasi kesulitan bernafas akibat
penyempitan saluran nafas. Ronkhi untuk menilai adanya penumpukkan secret pada
jalan nafas. Ketidakefektifan batuk menandakan terdapat penumpukan secret pada
jalan nafas.
9) PK: Hipoksia (Wilkinson,
2011: 696)
Tujuan : pasien tidak
kekurangan oksigen setelah dilakukan
tindakan keperawatan dengan kriteria hasil :
-
pasien tidak sesak, tidak sianosis
-
frekwensi nafas normal (12-20x/menit)
-
tidak ada nafas cuping hidung
-
tidak menggunakan otot bantu pernafasan
-
tidak ada wheezing.
-
Rasio I:E=1:2 (tidak ada ekspirasi memanjang)
-
Hasil BGA normal (pH: 7,35- 7,45, PCO2: 35-45mmHg, PO2: 80-
100mmHg, HCO3: 22-26 mEq/L, BE:+2)
Intervensi:
1) Berikan posisi semi fowler
dan bed rest.
R/Meningkatkan inspirasi maksimal,
dan meningkatkan pengeluaran sekret untuk memperbaiki ventilasi
2) Kolaborasi dalam pemberian
-
O2
-
R/ O2 membantu pasien untuk pernapasan secara efektif
-
Steroid
R/ bekerja melalui difusi
pasif melalui membran sel yang berikatan dengan protein reseptor di dalam sitoplasma.
Kompleks reseptor hormon kemudian masuk ke dalam nukleus mempengaruhi
transkripsi sejumlah gen-gen target yang menyebabkan penurunan sintesis
molekul-molekul proinflamasi termasuk sitokin, interleukin, molekul adhesi dan
protease serta steroid membantu melawa edema mukosa bronchial.
-
Bronchodilator sesuai yg ditentukan (agonis β-2 dan Xantin)
R/Bronkhodilator akan merelaksasi otot polos bronkial.
3) Observasi RR, nadi, tanda
hypoksia: gelisah, takhicardia, SpO2, suara nafas tambahan
R/ Deteksi efektitas jalan nafas dan
adequatnya distribusi oksigen dalam tubuh.
4) Ketidakefektifan pola
pernafasan berhubungan dengan penyempitan saluran pernafasan akibat
bronkospasme
Tujuan : pasien dapat mempertahankan ventilasi yang adekuat
setelah dilakukan tindakan keperawatan dengan kriteria hasil :
-
Tidak ada pernafasan cuping hidung
-
Tidak ada retraksi dada
-
RR 20-30 x/mnt Intervensi :
1) Jelaskan pada keluarga
tentang tindakan yang akan dilakukan
R/ pengetahuan yang memadai
memungkinkan pasien kooperatif terhadap tindakan keperawatan yang diberikan.
2) Berikan posisi semi fowler
atau fowler
R/ posisi semi fowler atau fowler
membuat diafragma tidak terdorong oleh isi abdomen sehingga ekspansi paru
meningkat
3) Kolaborasi dalam pemberian
-
Oksigen
R/ oksigen akan meningkatkan konsentrasi oksigen
alveoli dan oksigenasi arteri untuk memperbaiki hipoksemia
-
Pemeriksaan AGD, oksimetri
R/ hipoksemia dapat menjadi berat.
Pemeriksaan dilakukan untuk meminimalisasi terjadinya hipoksemia berat
4) Observasi pernafasan pasien,
meliputi
-
Pernafasan cepat saat beraktivitas
R/ tidak adanya pernafasan cepat saat
beraktivitas menandakan suplai O2 kedalam jaringan untuk metabolisme energi
tercukupi.
-
Tanda-tanda sianosis
R/ menunjukkan keadekuatan sirkulasi
darah ke dalam pembuluh darah perifer
5) Perubahan perfusi jaringan
perifer berhubungan dengan gangguan aliran darah sekunder akibat asma (Doenges,
2000:180)
Dapat dihubungkan dengan:
penghentian aliran darah arteri/vena. Kemungkinan dibuktikan oleh:
-
Kardiopulmonal: ketidakcocokan ventilasi/perfusi
-
Dispnea
-
Sianosis sentral
Kriteria hasil: menunjukkan
peningkatan perfusi sesuai dengan individual misalnya status mental
biasa/normal, irama jantung/frekuensi jantung dan nadi perifer dalam batas
normal, tidak adanya sianosis sentral dan perifer, kulit hangat/kering,
haluaran urine dan berat jenis dalam batas normal
Intervensi:
1) (Auskultasi frekuensi dan
irama jantung
R/ takikardia sebagai akibat
hipoksemia dan kompensasi upaya peningkatan aliran darah dan perfusi jaringan.
2) Observasi perubahan status
mental
R/ gelisah, bingung,
disorientasi, dan/atau perubahan sensori/motor dapat menunjukkan gangguan
aliran darah, hipoksia atau cedera vaskuler serebral
3) Observasi warna dan suhu
kulit/membrane mukosa
R/ kulit pucat atau sianosis,
kuku, membrane bibir/lidah atau dingin menunjukkan vasokonstriksi perifer
(syok) dan atau aliran darah sistemik
4) Tinggikan kaki/telapak bila
di tempat tidur/kursi. Dorong pasien untuk latihan kaki dengan fleksi/ekstensi
kaki pada pergelangan kaki. Hindari menyilangkan kaki dan duduk atau berdiri
terlalu lana.
R/ tindakan ini dilakukan
untuk menurunkan stasis vena di kaki dan pengumpulan darah pada vena pelvis
untuk menurunkan resiko pembentukan thrombus.
5) Resiko cedera berhubungan
dengan penurunan kesadaran
Tujuan: Pasien tidak mengalami cedera
selama serangan asma dilakukan tidakan keperawatan dengan criteria hasil :
-
Tidak ada luka, memar
-
Pasien tidak jatuh Intervensi:
1) Jelaskan kepada orangtua
tentang cara menghindari cedera pada pasien
R/ pengetahuan tentang cara
menghindarkan pasien dari cedera dapat membantu menghindari aktivitas yang
dapat beresiko cedera
2) Ciptakan lingkungan aman dan
nyaman
R/ lingkungan aman dapat
mengurangi resiko terjadinya ceder
3) Bantu pasien melakukan
aktivitas sehari-hari secara perlahan
R/ ambulasi yang tergesa-gesa
dapat menyebabkan pasien mudah jatuh
4) Batasi aktivitas
R/ menghemat penggunaan
oksigen
5) Observasi keluhan pasien
R/ meminimalkan terjadinya
cedera apabila pasien mengeluh pusing, masih sesak dan gelisah.
6) Nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh berhubungan dengan penurunan nafsu makan
Tujuan: pasien menunjukkan perbaikan
nutrisi setelah dilakukan tindakan keperawatan dengan kriteria hasil:
-
Pasien menunjukkan peningkatan BB 0, 5 kg/minggu,
-
Hasil laboratorium ( Hb dan Albumin ) dalam batas normal
(> 3,5 mMol/L).
-
Pasien menghabiskan ½ porsi makannya
-
Intake caran terpenuhi Intervensi:
1)
Jelaskan pentingnya nutrisi yang adekuat dan tipe diet yang dibutuhkan pada orang tua pasien.
R/ Intake nutrisi yang
adekuat memberikan kalori untuk tenaga dan protein untuk proses penyembuhan.
2)
Beri oral hygiene pada pasien sebelum makan
R/ pemberian oral hygiene
pada pasien untuk mengurangi bau mulut pada pasien
3)
Berikan makanan
dalam jumlah sedikit tapi sering, jika mungkin kombinasikan dengan makanan yang
disukai anak.
R/ Makanan dalam jumlah
sedikit namun sering akan menambah energi. Makanan yang menarik dan disukai
dapat meningkatkan selera makan.
4)
Kolaborasi dalam pemberian obat antiemetic, pemeriksaan
Albumin dan Hb
R/ Mengurangi gejala
gastrointestinal dan perasaan tidak enak pada perut, Albumin dan Hb merupakan
indikator intake nutrisi tubuh terpenuhi
5)
Observasi BB tiap minggu sekali dengan alat ukur yang sama.
R/ Peningkatan BB 0,5
kg/minggu menandakan indikator keberhasilan tindakan.
6)
Intoleran aktifitas berhubungan dengan ketidakseimbangan
antara suplai oksigen dengan kebutuhan oksigen
Tujuan : Klien toleran terhadap
aktivitas yang dilakukan setelah dilakukan tindkan keperawatan dengan kriteria
hasil :
-
Pasien tidak sesa
-
Nadi 80-110x/mnt
-
RR 20-30x/mnt
-
Tidak didapatkan tanda- tanda dispnea pada peningkatan
aktivitas.
-
Klien mampu melakukan aktivitas dengan bantuan minimal
Intervensi :
1)
Jelaskan pada pasien penyebab intoleransi aktivitas
R/ transport oksigen yang
terganggu akibat asma menyebabkan pasien akan cepat merasa lelah setelah
melakukan suatu aktivitas yang melebihi kemampuan saat masih terserang asma.
2)
Bantu dan motivasi klien dalam meningkatkan aktivitasnya
secara bertahap
R/ Peningkatan aktivitas
secara bertahap memberikan kesempatan pada tubuh menyeimbangkan persediaan
oksigen dengan kebutuhan
3)
Rencanakan program istirahat diantara aktivitas yg dilakukan
R/ Mencegah kelelahan yg
berlebihan, mencegah peningkatan beban kerja jantung
4)
Observasi kemampuan aktivitas klien
R/ Deteksi keberhasilan
tindakan dan memprogramkan aktivitas bertahap
5)
Ansietas berhubungan dengan dampak kondisi dan lingkungan
perawatan kritis.
Tujuan: pasien menyatakan peningkatan
kenyamanan psikologi dan fisiologi dengan kriteria hasil:
-
Menggambarkan ansietas dan pola kopingnya
-
Menggunakan mekanisme koping yang efektif Intervensi
1) Jelaskan kepada pasien
tentang penyakit
R/ pasien mampu menghindari
faktor-faktor yang dapat menyebabkan penyakit.
2) Jelaskan tentang tanda dan
gejala yang perlu dilaporkan dan segera mendapatkan penanganan
R/ keikutsertaan pasien dalam
memonitor kesehatannya dan meningkatkan tanggung jawab dalam pemeliharaan
kondisi serta mencegah penyakit berulang.
3) Libatkan keluarga dalam
membantu memberikan asuhan keperawatan yang tepat.
R/ peran keluarga merupakan
support system dalam meningkatkan keberhasilan tindakan keperawatan
4) Beri dukungan emosional
selama masa perawatan
R/ perawatan medis
menimbulkan krisis situasi. Mendengarkan kekhawatiran serta perasaannya akan membantu
pasien untuk beradaptasi dengan krisis yang dialaminya.
DAFTAR PUSTAKA
Alsagaff, Hood dan Mukty, abdul
(2005). Dasar-dasar ilmu Penyaki Paru.
Surabaya: Airlangga University Press
Carpenito, Lynda Juall, (2007). Buku
Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 10.
Alih bahasa : Yasmin Asih EGC:
Jakarta.
Doenges.E Marilynn. (2000). Rencana
Asuhan Keperawatan Pedoman untuk perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan
Pasien, Jakarta: EGC.
Price, Sylvia Anderson. (2006).
Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Alih bahasa: Brahm U.Edisi
6. Jakarta: EGC.
Konthen, P.G dkk (2008). Pedoman
Diagnosis Dan Terapi Bag/ SMF Ilmu Penyakit Dalam Edisi III. Surabaya : RSU dr.
Soetomo
Kowalak, Jenifer P dkk (2001). Buku
Ajar Patofisiologi. Alih Bahasa: Andry Hartono: Editor Bahasa Indonesia Renata
Kumalasari dkk. Jakarta: ECG.
Smeltzer, Suzanne C. (2001). Buku
Ajar Keperawatan Medikal Bedah Ed. 8
Vol. 2. Alih Bahasa: Agung Waluyo.
Jakarta: EGC.
Soemantri, Irman. (2008). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan Sistem Pernafasan. Jakarta:
Salemba Medik
Comments
Post a Comment