LAPORAN PENDAHULUAN DM TIPE II
LAPORAN PENDAHULUAN DM TIPE II
A. Definisi DM Tipe II
Diabetes Mellitus Tipe II adalah
keadaan dimana kadar glukosa tinggi, kadar insulin tinggi atau normal namun
kualitasnya kurang baik, sehingga gagal membawa glukosa masuk dalam sel,
akibatnya terjadi gangguan transport glukosa yang dijadikan sebagai bahan bakar
metabolisme energi. Penyebab DM Tipe II antara lain: penurunan fungsi
cell b pankreas dan retensi insulin.
Faktor-faktor resiko yang dapat
terkena DM Tipe II antara lain: usia ≥ 45 tahun, usia lebih muda, terutama
dengan indeks massa tubuh (IMT) >23 kg/m2 yang disertai
dengan kebiasaan tidak aktif; turunan pertama dari orang tua dengan DM; riwayat
melahirkan bayi dengan BB lahir bayi >4000 gram, atau riwayat DM
gestasional; hipertensi (≥140/90 mmHg); kolesterol HDL ≤ 35 mg/dl dan atau
trigliserida ≥ 250 mg/dl; menderita polycyctic ovarial syndrome(PCOS)
atau keadaan klinis lain yang terkait dengan resistensi insulin; adanya riwayat
toleransi glukosa yang terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu
(GDPT) sebelumnya; memiliki riwayat penyakit kardiovaskular, obesitas terutama
yang bersifat sentral (bentuk apel), diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat,
kurang gerak badan, genetic dan stress.
Tanda gejala DM Tipe II antara lain:
penurunan penglihatan, poliuri polidipsia, rasa lelah dan kelemahan
otot, polifagia, konfusi atau derajat delirium, konstipasi atau kembung
pada abdomen, retinopati atau pembentukan katarak, perubahan kulit, penurunan
nadi perifer, kulit dingin, penurunan reflek, dan kemungkinan nyeri perifer
atau kebas, hipotensi ortostatik , peningkatan angka infeksi
akibat peningkatan konsentrasi glukosa diskresi mukus, gangguan fungsi imun dan
penurunan aliran darah , paretesia atau abnormalitas
sensasi, kandidiasis vagina, pelisutan otot, efek somogyi dan
fenomena fajar.
Komplikasi yang dapat muncul antara
lain: hipoglikemia, ketoasidosis diabetic, sindrom nonketotik hiperglikemi,
hiperosmolar (Hyperosomolar hyperglycemic syndrome, HHNS) atau koma hiperosmolar,
neuropati perifer, penyakit kardiovaskuler dan infeksi kulit.
B. Etiologi DM Tipe II
Penyebab dari DM Tipe II antara lain:
a. Penurunan fungsi cell b pankreas
Penurunan fungsi
cell b disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
1) Glukotoksisitas
Kadar glukosa darah yang berlangsung lama
akan menyebkan peningkatan stress oksidatif, IL-1b DAN NF-kB dengan akibat
peningkatan apoptosis sel beta
2) Lipotoksisitas
Peningkatan asam lemak bebas yang berasal
dari jaringan adiposa dalam proses lipolisis akan mengalami metabolism non
oksidatif menjadi ceramide yang toksik terhadap sel beta sehingga terjadi
apoptosis
3) Penumpukan amiloid
Pada keadaan resistensi insulin, kerja
insulin dihambat sehingga kadar glukosa darah akan meningkat, karena itu sel
beta akan berusaha mengkompensasinya dengan meningkatkan sekresi insulin hingga
terjadi hiperinsulinemia. Peningkatan sekresi insulin juga diikuti dengan
sekresi amylin dari sel beta yang akan ditumpuk disekitar sel beta
hingga menjadi jaringan amiloid dan akan mendesak sel beta itu sendiri sehingga
akirnya jumlah sel beta dalam pulau Langerhans menjadi berkurang. Pada DM Tipe
II jumlah sel beta berkurang sampai 50-60%.
4) Efek inkretin
Inkretin memiliki efek langsung terhadap
sel beta dengan cara meningkatkan proliferasi sel beta, meningkatkan sekresi
insulin dan mengurangi apoptosis sel beta.
5) Umur
Diabetes Tipe II biasanya terjadi
setelah usia 30 tahun dan semakin sering terjadi setelah usia 40 tahun,
selanjutnya terus meningkat pada usia lanjut. Usia lanjut yang mengalami
gangguan toleransi glukosa mencapai 50 – 92%. Proses menua yang berlangsung
setelah usia 30 tahun mengakibatkan perubahan anatomis, fisiologis, dan
biokimia. Perubahan dimulai dari tingkat sel, berlanjut pada tingkat jaringan
dan ahirnya pada tingkat organ yang dapat mempengaruhi fungsi homeostasis.
Komponen tubuh yang mengalami perubahan adalah sel beta pankreas yang
mengahasilkan hormon insulin, sel-sel jaringan terget yang menghasilkan
glukosa, sistem saraf, dan hormon lain yang mempengaruhi kadar glukosa.
6) Genetik
b. Retensi insulin
Penyebab retensi insulin pada DM Tipe II
sebenarnya tidak begitu jelas, tapi faktor-faktor berikut ini banyak berperan:
1) Obesitas terutama yang bersifat sentral (
bentuk apel )
Obesitas menyebabkan respon sel beta
pankreas terhadap glukosa darah berkurang, selain itu reseptor insulin pada sel
diseluruh tubuh termasuk di otot berkurang jumlah dan keaktifannya kurang
sensitif.
2) Diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat
3) Kurang gerak badan
4) Faktor keturunan ( herediter )
5) Stress
Reaksi pertama dari respon stress adalah
terjadinya sekresi sistem saraf simpatis yang diikuti oleh sekresi simpatis
adrenal medular dan bila stress menetap maka sistem hipotalamus pituitari akan
diaktifkan. Hipotalamus mensekresi corticotropin releasing factor yang
menstimulasi pituitari anterior memproduksi kortisol, yang akan mempengaruhi
peningkatan kadar glukosa darah (FKUI, 2011)
C. Faktor Resiko DM Tipe II
Berikut ini adalah faktor resiko yang
dapat terkena DM Tipe II, antara lain:
a. Usia ≥ 45 tahun
b. Usia lebih muda, terutama dengan indeks
massa tubuh (IMT) >23 kg/m2 yang disertai dengan faktor
resiko:
1) Kebiasaan tidak aktif
2) Turunan pertama dari orang tua dengan DM
3) Riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir
bayi >4000 gram, atau riwayat DM gestasional
4) Hipertensi (≥140/90 mmHg)
5) Kolesterol HDL ≤ 35 mg/dl dan atau
trigliserida ≥ 250 mg/dl
6) Menderita polycyctic ovarial
syndrome(PCOS) atau keadaan klinis lain yang terkait dengan resistensi
insulin
7) Adanya riwayat toleransi glukosa yang terganggu
(TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT) sebelumnya
8) Memiliki riwayat penyakit kardiovaskular
c. Obesitas terutama yang bersifat sentral
(bentuk apel)
d. Diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat
e. Kurang gerak badan
f.
Faktor
genetik
g. Konsumsi obat-obatan yang bisa menaikkan
kadar glukosa darah
h. Stress (FKUI, 2011)
D. Manifestasi Klinis DM Tipe II
a. Tanda dan gejala spesifik DM Tipe II,
antara lain:
1) Penurunan penglihatan
2) Poliuri ( peningkatan pengeluaran urine )
karena air mengikuti
glukosa dan keluar melalui urine.
3) Polidipsia (peningkatan kadar rasa
haus)akibat volume urineyang sangat besar dan keluarnya air yang menyebabkan
dehidrasi ekstrasel. Dehidrasi intrasel mengikuti ekstrasel karena air intrasel
akan berdifusi keluar sel mengikuti penurunan gradien konsentrasi keplasma yang
hipertonik (konsentrasi tinggi) dehidrasi intrasel menstimulasi
pengeluaran hormon anti duretik (ADH, vasopresin)dan menimbulkan rasa haus
4) Rasa lelah dan kelemahan otot akibat
kataboisme protein di otot dan ketidakmampuan sebagian besar sel untuk
menggunakan glukosa sebagai energi. Aliran darah yang buruk pada
pasien DM kronis menyebabkan kelelahan
5) Polifagia (peningkatan rasa lapar) akibat
keadaan pascaabsorptif yang kronis, katabolisme protein dan lemak dan kelaparan
relatif sel. Sering terjadi penurunan berat badan tanpa terapi
6) Konfusi atau derajat delirium
7) Konstipasi atau kembung pada
abdomen(akibat hipotonusitas lambung)
8) Retinopati atau pembentukan katarak
9) Perubahan kulit, khususnya pada tungkai
dan kaki akibat kerusakan sirkulasi perifer, kemungkinan kondisi kulit kronis
seperti selulitis atau luka yang tidak kunjung sembuh, turgor kulit buruk dan
membran mukosa kering akibat dehidrasi
10) Penurunan nadi perifer, kulit dingin,
penurunan reflek, dan kemungkinan nyeri perifer atau kebas
11) Hipotensi ortostatik (Jaime Stockslager L
dan Liz Schaeffer,2007)
b. Tanda dan gejala non spesifik DM Tipe
II, antara lain:
1) Peningkatan angka infeksi
akibat peningkatan konsentrasi glukosa diskresi mukus, gangguan fungsi imun dan
penurunan aliran darah
2) Gangguan penglihatan yang berhubungan
dengan keseimbangan air atau pada kasus yang berat terjadi kerusakan retina
3) Paretesia atau abnormalitas sensasi
4) Kandidiasis vagina ( infeks ragi ),
akibat peningkatan kadar glukosa disekret vagina dan urine, serta gangguan
fungsi imun. kandidiasis
dapat menyebabkan rasa gatal dan kadas di vagina
5) Pelisutan otot dapat terjadi kerena
protein otot digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi tubuh
6) Efek Somogyi: Efek somogyi merupakan
komplikasi akut yang ditandai penurunan unik kadar glukosa darah di malam hari,
kemudian di pagi hari kadar glukosa kembali meningkat diikuti peningkatan
rebound pada paginya. Penyebab hipoglikemia malam hari kemungkinan besar
berkaitan dengan penyuntikan insulin di sore harinya. Hipoglikemia itu sendiri
kemudian menyebabkan peningkatan glukagon, katekolamin, kortisol, dan hormon
pertumbuhan. Hormon ini menstimulasi glukoneogenesis sehingga pada pagi harinya
terjadi hiperglikemia. Pengobatan untuk efek somogyi ditujukan untuk memanipulasi
penyuntikan insulin sore hari sedemikian rupa sehingga tidak menyebabkan
hipoglikemia. Intervensi diet juga dapat mengurangi efek somogyi. Efek somogyi
banyak dijumpai pada anak-anak.
7) Fenomena fajar ( dawn phenomenon) adalah hiperglikemia
pada pagi hari ( antara jam 5 dan 9 pagi) yang tampaknya disebabkan oleh
peningkatan sirkadian kadar glukosa di pada pagi hari. Fenomena ini dapat
dijumpai pada pengidap diabetes Tipe I atau Tipe II. Hormone-hormon yang
memperlihatkan variasi sirkadian pada pagi hari adalah kortisol dan hormon
pertumbuhan, dimana dan keduanya merangsang glukoneogenesis. Pada pengidap
diabetes Tipe II, juga dapat terjadi di pagi hari, baik sebagai variasi
sirkadian normal maupun atau sebagai respons terhadap hormone pertumbuhan atau
kortisol. (Elizabeth J Corwin, 2009)
E. Patofisiologi DM Tipe II
Patogenesis diabetes melitus Tipe II
ditandai dengan adanya resistensi insulin perifer, gangguan “hepatic glucose
production (HGP)”, dan penurunan fungsi cell β, yang akhirnya akan menuju ke
kerusakan total sel β. Mula-mula timbul resistensi insulin yang kemudian
disusul oleh peningkatan sekresi insulin untuk mengkompensasi retensi insulin
itu agar kadar glukosa darah tetap normal. Lama kelamaan sel beta tidak akan
sanggup lagi mengkompensasi retensi insulin hingga kadar glukosa darah
meningkat dan fungsi sel beta makin menurun saat itulah diagnosis diabetes
ditegakkan. Ternyata penurunan fungsi sel beta itu berlangsung secara progresif
sampai akhirnya sama sekali tidak mampu lagi mengsekresi
insulin.( FKUI,2011 )
Individu yang mengidap DM Tipe II tetap
mengahasilkan insulin. Akan tetapi jarang terjadi keterlambatan awal dalam
sekresi dan penurunan jumlah total insulin yang di lepaskan. Hal ini mendorong
semakin parah kondisi seiring dengan bertambah usia pasien. Selain itu, sel-sel
tubuh terutama sel otot dan adiposa memperlihatkan resitensi terhadap insulin
yang bersirkulasi dalam darah. Akibatnya pembawa glukosa (transporter glukosa
glut-4) yang ada disel tidak adekuat. Karena sel kekurangan glukosa, hati
memulai proses glukoneogenesis, yang selanjutnya makin meningkatkan kadar
glukosa darah serta mestimulasai penguraian simpanan trigliserida, protein, dan
glikogen untuk mengahasilkan sumber bahan bakar alternative, sehingga
meningkatkan zat- zat ini didalam darah. Hanya sel-sel otak dan sel darah merah
yang terus menggunakan glukosa sebagai sumber energy yang efektif . Karena
masih terdapa insulin , individu dengan DM Tipe II jarang
mengandalkan asam lemak untuk menghasilkan energi dan tidak rentang terhadap
ketosis. (Elizabeth J Corwin, 2009)
F. Komplikasi DM Tipe II
Beberapa komplikasi yang dapat muncul
akibat DM Tipe II, antara lain:
a. Hipoglikemia
Komplikasi yang mungkin terjadi pada
penderita diabetes yang di obati dengan insulin atau obat-obatan antidiabetik
oral. Hal ini mungkin di sebabkan oleh pemberian insulin yang berlebihan,
asupan kalori yang tidak adekuat, konsumsi alkohol, atau olahraga yang
berlebihan. Gejala hipoglikemi pada lansia dapat berkisar dari ringan sampai
berat dan tidak disadari sampai kondisinya mengancam jiwa.
b. Ketoasidosis diabetic
Kondisi yang ditandai dengan hiperglikemia
berat, merupakan kondisi yang mengancam jiwa. Ketoasidosis diabetik biasanya
terjadi pada lansia dengan diabetes Tipe 1, tetapi kadang kala dapat terjadi
pada individu yang menderita diabetes Tipe 2 yang mengalami stress fisik dan
emosional yang ekstrim.
c. Sindrom nonketotik hiperglikemi,
hiperosmolar (Hyperosomolar hyperglycemic syndrome, HHNS) atau koma
hiperosmolar
Komplikasi metabolik akut yang paling umum
terlihat pada pasien yang menderita diabetes. Sebagai suatu kedaruratan medis,
HHNS di tandai dengan hiperglikemia berat(kadar glukosa darah di atas 800
mg/dl), hiperosmolaritas (di atas 280 mOSm/L), dan dehidrasi berat akibat
deuresis osmotic. Tanda gejala mencakup kejang dan hemiparasis (yang sering
kali keliru diagnosis menjadi cidera serebrovaskular) dan kerusakan pada
tingkat kesadaran (biasanya koma atau hampir koma).
d. Neuropati perifer
Biasanya terjadi di tangan dan kaki serta
dapat menyebabkan kebas atau nyeri dan kemungkinan lesi kulit. Neuropati otonom
juga bermanifestasi dalam berbagai cara, yang mencakup gastroparesis
(keterlambatan pengosongan lambung yang menyebabkan perasaan mual
dan penuh setelah makan), diare noktural, impotensi, dan hipotensi ortostatik.
e. Penyakit kardiovaskuler
Pasien lansia yang menderita diabetes
memiliki insidens hipertensi 10 kali lipat dari yang di temukan pada lansia
yang tidak menderita diabetes. Hasil ini lebih meningkatkan resiko iskemik
sementara dan penyakit serebrovaskular, penyakit arteri koroner dan infark
miokard, aterosklerosis serebral, terjadinya retinopati dan neuropati
progresif, kerusakan kognitif, serta depresi sistem saraf pusat.
f.
Infeksi
kulit
Hiperglikemia merusak resistansi lansia
terhadap infeksi karena kandungan glukosa epidermis dan urine mendorong
pertumbuhan bakteri. Hal ini membuat lansia rentan terhadap infeksi kulit dan
saluran kemih serta vaginitis. (Jaime Stockslager L dan Liz Schaeffer, 2007)
G. Pemeriksaan Penunjang DM Tipe II
Pemeriksaan penunjang DM Tipe II antara
lain:
a. Pemeriksaan Kadar Glukosa Darah
Kadar glukosa dapat diukur dari sample
berupa darah biasa atau plasma. Pemeriksaan kadar glukosa darah lebih akurat
karena bersifat langsung dan dapat mendeteksi kondisi hiperglikemia dan
hipoglikemia. Pemeriksaan kadar glukosa darah menggunakan glukometer lebih baik
daripada kasat mata karena informasi yang diberikan lebih objektif kuantitatif.
(FKUI,2011)
b. Pemeriksaan Kadar Glukosa Urine
Pemeriksaan kadar glukosa urin
menggambarkan kadar glukosa darah secara tidak langsung dan tergantung pada
ambang batas rangsang ginjal yang bagi kebanyakan orang sekitar 180 mg/dl.
Pemeriksaan ini tidak memberikan informasi tentang kadar glukosa darah
tersebut, sehingga tak dapat membedakan normoglikemia atau hipoglikemia. (FKUI,
2011)
c. Kadar Glukosa Serum Puasa dan Pemeriksaan
Toleransi Glukosa
Memberikan diagnosis definitif diabetes.
Akan tetapi, pada lansia, pemeriksaan glukosa serum postprandial 2 jam dan
pemeriksaan toleransi glukosa oral lebih membantu menegakan diagnosis karena
lansia mungkin memiliki kadar glukosa puasa hampir normal tetapi mengalami
hiperglikemia berkepanjangan setelah makan. Diagnosis biasanya dibuat setelah
satu dari tiga kriteria berikut ini terpenuhi:
1) Konsentrasi glukosa plasma acak 200 mg/dl
atau lebih tinggi.
2) Konsentrasi glukosa darah puasa 126 mg/dl
atau lebih tinggi.
3) Kadar glukosa darah puasa setelah asupan
glukosa per oral 200 mg/dl atau lebih. (Jaime Stockslager L dan Liz Schaeffer,
2007)
d. Pemeriksaan Hemoglobin Terglikosilasi
(hemoglobin A atau HbA1c)
Menggambarkan kadar rata-rata glukosa
serum dalam 3 bulan sebelumnya, biasanya dilakukan untuk memantau keefektifan
terapi antidiabetik. Pemeriksaan ini sangat berguna, tetapi peningkatan hasil
telah ditemukan pada lansia dengan toleransi glukosa normal. (Jaime Stockslager
L dan Liz Schaeffer, 2007)
e. Fruktosamina serum
Menggambarkan kadar glukosa serum
rata-rata selama 2 sampai 3 minggu sebelumnya, merupakan indicator yang lebih
baik pada lansia karena kurang menimbulkan kesalahan. Sayangnya pemeriksaan ini
tidak stabil sehingga jarang dilakukan. Namun pemeriksaan ini dapat bermanfaat
pada keadaan dimana pengukuran AIC tidak dapat dipercaya, misalnya pada keadaan
anemia hemolitik. (Jaime Stockslager L dan Liz Schaeffer, 2007)
f.
Pemeriksaan
keton urine
Kadar glukosa darah yang terlalu tinggi
dan kurang hormone insulin menyebabkan tubuh menggunakan lemak sebagai sumber
energy. Keton urin dapat diperiksa dengan menggunkan reaksi kolorimetrik antara
benda keton dan nitroprusid yang menghasilkan warna ungu. (FKUI,2011)
g. Pemeriksaan Hiperglikemia Kronik (Test
AIC)
Pada penyandang DM, glikosilasi hemoglobin
meningkat secara proporsional dengan kadar rata-rata glukosa darah selama 8-10
minggu terakhir. Bila kadar glukosa darah dalam keadaan normal antara 70-140
mg/dl selama 8-10 minggu terakhir, maka test AIC akan menunjukkan nilai normal.
Pemeriksaan AIC dipengaruhi oleh anemia berat, kehamilan, gagal ginjal dan
hemoglobinnopati. Pengukuran AIC dilakukan minimal 4bulan sekali dalam setahun.
(FKUI, 2011)
h. Pemantauan Kadar Glukosa Sendiri (PKGS)
PKGS memberikan informasi kepada
penyandang DM mengenai kendali glikemik dari hai kehari sehingga memungkinkan
klien melakukan penyesuaian diet dan pengobatan terutama saat sakit, latihan
jasmani dan aktivitas lain. PKGS memberikan feedback cepat
kepada pasien terhadap kadar glukosa setiap hari. (FKUI,2011)
i.
Pemantauan
Glukosa Berkesinambungan (PGB)
Merupakan metode sample glukosa cairan
intestinal ( yang berhubungan dengan glukosa darah) telah banyak digunakan
untuk mengetahui kendali glikemik. Caranya adalah menggunakan sistem
mikrodialisis yang dinsersi secara subkutan, konsentrasi glukosa kemudian
diukur dengan detector elektroda oksidasi glukosa. Sensor glukosa pada PGB
memiliki alaram untuk mendeteksi kondisi hipoglikemi dan hiperglikemi. (FKUI)
H.
H. Penatalaksanaan DM Tipe II
a. Penatalaksanaan Medis
Sarana pengelolaan farmakologis diabetes
dapat berupa:
1. Obat Hipoglikemik Oral
a) Pemicu sekresi insulin
1) Sulfonilurea
Golongan obat ini bekerja dengan
menstimulasi sel beta pankreas untuk melepaskan insulin yang tersimpan. Efek
ekstra pankreas yaitu memperbaiki sensitivitas insulin ada, tapi tidak penting
karena ternyata obat ini tidak bermanfaat pada pasien insulinopenik. Mekanisme
kerja golongan obat ini antara lain:
a) Menstimulasi pelepasan insulin yang
tersimpan ( Stored insulin)
b) Menurunkan ambang sekresi insulin
c) Meningkatkan sekresi insulin sebagai
akibat rangsangan glukosa (FKUI, 2011)
2) Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya
sama dengan sulfonylurea, dengan meningkatkan sekresi insulin fase pertama.
Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu: Repaglinid (derivate
asam benzoat) dan Nateglinid (derivate fenilalanin). Obat ini diabsorbsi dengan
cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui
hati.(FKUI, 2011)
b) Penambah sensitivitas terhadap insulin
1) Biguanid
Saat ini dari golongan ini yang masih
dipakai adalah metformin. Etformin menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya
terhadap insulin pada tingkat selular, distal dari reseptor insulin serta juga
pada efeknya menurunkan produksi glukosa hati. Metformin meningkatkan pemakaian
glukosa oleh sel usus sehingga menurunkan glukosa darah dan menghambat absorbsi
glukosa dari usus pada keadaan sesudah makan. (FKUI, 2011)
2)
2) Tiazolidindion
Tiazolidindion adalah golongan obat yang
mempunyai efek farmakologis meningkatkan sesitivitas insulin. Golongan obat ini
bekerja meningkatkan glukosa disposal pada sel dan mengurangi produksi glukosa
dihati.( FKUI, 2011)
c) Penghambat glukosidase alfa
Obat ini bekerja secara kompetitif
menghambat kerja enzim glukosidase alfa dalam saluran cerna sehingga dapat
menurunkan penyerapan glukosa dan menurunkan hiperglikemia postprandial. Obat
ini bekerja di lumen usus dan tidak menyebabakan hipoglikemia dan juga tidak
berpengaruh pada kadar insulin.(FKUI, 2011)
d) Incretin mimetic, penghambat DPP-4
Obat ini bekerja merangsang sekresi
insulin dan penekanan terhadap sekresi glukagon dapat menjadi lama, dengan
hasil kadar glukosa dapat diturunkan. (FKUI, 2011)
2. Insulin
Insulin adalah suatu hormone yang
diproduksi oleh sel beta dari pulau Langerhanss kelenjar pankreas. Insulin dibentuk
dari proinsulin yang bila kemudian distimulasi, terutama oleh peningkatan kadar
glukosa darah akan terbelah untuk menghasilkan insulin dan peptide penghubung
(C-peptide)yang masuk kedalam aliran darah dalam jumlah ekuimolar.
Secara keseluruhan sebanyak 20-25% pasien
DM Tipe II akan memerlukan insulin untuk mengendalikan kadar glukosa darahnya.
Pada DM Tipe II tertentu akan butuh insulin bila:
a)
Terapi
jenis lain tida dapat mencapai target pengendalian kadar glukosa darah
b)
Keadaan
stress berat, seperti pada infeksi berat, tindakan pembedahan, infark miocard
akut atau stroke.
Pengaruh insulin tehadap jaringan tubuh
antara lain insulin menstimulasi pemasukan asam amino ke dalam sel dan kemudian
meningkatkan sintesa protein. Insulin meningkatkan penyimpanan lemak dan
mencegah penggunaan lemak sebagai bahan energi. Insulin menstimulasi pemasukan
glukosa ke dalam sel untuk di gunakan sebagai sumber energi dan membantu
penyimpanan glikogen di dalam sel otot dan
hati.(FKUI,2011)
b.
Penatalaksanaan
Keperawatan
Penatalaksanaan keperawatan pada kasus DM
Tipe II antara lain:
1)
Memberikan
penyuluhan tentang keadaaan penyakit, symptom, hasil yang ditemukan dan
alternative tindakan yang akan diambil pada pasien maupun keluarga pasien.
2)
Memberikan
motivasi pada klien dan keluarga agar dapat memanfaatkan potensi atau sumber
yang ada guna menyembuhkan anggota keluarga yang sakit dan menyelesaikan
masalah penyakit diabetes dan resikonya.
3)
Konseling
untuk hidup sehat yang juga dimengerti keluarga dalam pengobatan dan pencegahan
resiko komplikasi lebih lanjut
4)
Memberikan
penyuluhan untuk perawatan diri, budaya bersih, menghindari alkohol,
penggunaaan waktu luang yang positif untuk kesehatan, menghilangkan stress
dalam rutinitas kehidupan atau pekerjaan, pola makan yang baik
5)
Memotivasi
penanggung jawab keluarga untuk memperhatikan keluhan dan meluangkan waktu bagi
anggota keluarga yang terkena DM atau yang memiliki resiko
6)
Mengawasi
diit klien DM Tipe II, bila perlu berikan jadwal latihan jasmani atau kebugaran
yang sesuai.
c.
Penatalaksanaan
Diet
Tujuan umum terapi gizi adalah membantu
orang dengan diabetes memperbaiki kebiasaan gizi dan olahraga untuk
mendapatakan control metabolic yang lebih baik, dan beberapa tambahan tujuan
khusus yaitu:
1)
Mempertahankan
kadar glukosa darah mendekati normal dengan keseimbangan asupan makanan dengan
insulin(endogen/eksogen) atau obat hipoglikemik oral dan tingkat aktifitas
2) Mencapai kadar serum lipid yang optimal.
3) Memberikan energy yang cukup untuk
mencapai atau mempertahankan berat badan yang memadai pada orang dewasa
mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang normal pada anak dan remaja, untuk
peningkatan kebutuhan metabolic selama kehamilan dan laktasi atau penyambuhan
dari penyakit metabolic
4) Dapat mempertahankan berat badan yang
memadai
5) Menghindari dan menangani komplikasi akut
orang dengan diabetes yang menggunakan insulin seperti hipoglikemia, penyakit
jangka pendek, komplikasi kronik diabetes seperti penyakit ginjal, hipertensi,
neuropati autonomic dan penyakit jantung
6) Meningkatkan kesehatan secara keseluruhan
melalui gizi yang optimal.
I. Kebutuhan zat gizi penderita DM Tipe II
1) Protein
Menurut consensus pengelolaan diabetes di
Indonesia tahun 2006, Kebutuhan protein untuk penyandang diabetes
sebesar 10-20% energi dari protein total.
2) Total lemak
Asupan lemak di anjurkan <7% energy
dari lemak jenuh dan tidak lebih 10% energy dari lemak titk jenuh ganda,
sedangkan selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal. Anjuran asupan lemak di
Indonesia adalah 20-25% energi.
3) Lemak jenuh dan kolesterol
Tujuan utama pengurangan konsumsi lemak
jenuh dan kolesterol adalah untuk menurunkan resiko penyakit kardiovaskuler.
Oleh karena itu <7% asupan energy sehari seharusnya dari lemak jenuh dan asupan
kolesterol makanan tidak lebih dari 300mg per hari.
4) Karbohidrat dan pemanis
Anjuran konsumsi karbohidrat untuk
penderita diabetes di Indonesia adalah 45-65% energy.
a) Sukrosa
Bukti ilmiah menunjukkan bahwa penggunaan
sukrosa bagian dari perencanaan makan tidak memperburuk control glukosa darah
pada individu dengan diabetes.
b) Pemanis
Fruktosa menaikkan glikosa plasma lebih
kecil daripada sukrosa dan kebanyakan karbohidrat jenis tepung-tepungan.
Sakarin, aspartame, acesulfame K adalah pemanis tak bergizi yang dapat di
terima sebagai pemanis pada semua penderita DM.
5) Serat
Rekomendasi asupan serat untuk orang
dengan diabetessama dengan untuk orang yang tidak diabetes yaitu dianjurkan
mengkonnsumsi 20-35 gr serat makanan dari berbagai sumber makanan. Di Indonesia
anjurannya adalah kira-kira 25gr /1000 kalori perhari dengan mengutamakan serat
larut
6) Natrium
Asupan untuk orang diabetes sama dengan
orang biasa yaitu tidak lebih dari 3000 mg, sedangkan bagi penderita hipertensi
ringan sampai sedang di anjurkan 2400 mg natrium perhari.
7) Alkohol
Asupan kalori dari alkohol di perhitungkan
sebagai bagian dari asupan kalori total dan sebagai penukar lemak ( 1 minuman
alkohol = 2 penukar lemak)
8) Mikronutrien: vitamin dan mineral
9) Apabila asupan gizi cukup, biasanya tidak
perlu menambah suplemen vitamin dan mineral. Walaupun ada alasan teoritis untuk
memberikan suplemen antioksidan pada saat ini hanya sedikit bukti yang
menunjang bahwa terapi tersebut menguntungkan.( FKUI, 2011 )
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Identitas pasien
2. Identitas penanggung jawab pasien
3. Keuhan utama
4. Riwayat kesehatan keluarga
Adakah keluarga yang menderita penyakit
seperti klien ?
5. Riwayat kesehatan pasien dan pengobatan
sebelumnya
Berapa lama klien menderita
DM, bagaimana penanganannya,mendapat terapi insulin jenis apa, bagaimana cara
minum obatnya apakah teratur atau tidak, apa saja yang dilakukan klien untuk
menanggulangi penyakitnya.
6. Pemeriksaan Fisik
1) Aktivitas / istirahat
Gejala :
-
Lemah,
letih, sulit bergerak / berjalan
-
Kram
otot, tonus otot menurun, gangguan tidur
Tanda :
-
Takikardia
dan takipnea pada keadaan isitrahat atau dengan aktivitas
-
Letargi
/ disorientasi, koma
-
Penurunan
kekuatan otot
-
2) Sirkulasi
Gejala :
-
Adanya
riwayat hipertensi
-
Klaudikasi,
kebas dan kesemutan pada ekstremitas
-
Ulkus
pada kaki, penyembuhan yang lama
Tanda :
-
Takikardia
-
Perubahan
tekanan darah postural, hipertensi
-
Nadi
yang menurun / tidak ada
-
Disritmia
-
Krekels
-
Kulit
panas, kering, kemerahan, bola mata cekung
3) Integritas Ego
Gejala :
-
Stress,
tergantung pada orang lain
-
Masalah
finansial yang berhubungan dengan kondisi
Tanda :
-
Ansietas,
peka rangsang
-
4) Eliminasi
Gejala :
-
Perubahan
pola berkemih (poliuria), nokturia
-
Rasa
nyeri / terbakar, kesulitan berkemih (infeksi)
-
Nyeri
tekan abdomen
-
Diare
Tanda :
-
Urine
encer, pucat, kuning : poliuri
5) Makanan / cairan
Gejala :
-
Hilang
nafsu makan
-
Mual /
muntah
-
Tidak
mengikuti diet : peningkatan masukan glukosa / karbohidrat.
-
Penurunan
BB lebih dari periode beberapa hari / minggu
-
Haus
-
Penggunaan
diuretic (tiazid)
Tanda :
-
Disorientasi
: mengantuk, letargi, stupor / koma (tahap lanjut). Ganguan memori (baru, masa
lalu) kacau mental.
6) Nyeri / kenyamanan
Gejala :
-
Abdomen
yang tegang / nyeri (sedang/berat)
Tanda :
-
Wajah
meringis dengan palpitasi; tampak sangat berhati-hati
7) Pernafasan
Gejala :
-
Merasa
kekurangan oksigen : batuk dengan / tanpa sputum purulen (tergantung ada
tidaknya infeksi)
Tanda :
-
Lapar
udara
-
Batuk,
dengan / tanpa sputum purulen (infeksi)
-
Frekuensi
pernafasan
8) Keamanan
Gejala :
-
Kulit
kering, gatal; ulkus kulit
Tanda :
-
Demam,
diaphoresis
-
Kulit
rusak, lesi / ilserasi
-
Menurunnya
kekuatan umum / rentang gerak
B. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan pemenuhan nutrisi berhubungan
dengan penurunan metabolisme karbohidrat akibat defisiansi insulin, intake
tidak adekuat akibat adanya mual muntah
2. Resiko devisit volume cairan dean
elektrolit b/d diuresis osmotic dan poliuria
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan
akibat penurunan produksi energi
4. Gangguan integritas kulit b/d penurunan
sensasi sensori, gangguan sirkulasi, penurunan aktifitas/mobilisasi, kurangnya
pengetahuan tentang perawatan kulit.
5. Gangguan citra tubuh b/d ekstremitas
gangren
6. Resiko cedera b/d penurunan fungsi
penglihatan, pelisutan otot.
7. Resiko terhadap infeksi berhubungan dengan
kadar glukosa tinggi, penurunan fungsi leukosit.
C. Intervensi Keperawatan
1. Gangguan pemenuhan nutrisi berhubungan
dengan penurunan metabolisme karbohidrat akibat defisiansi insulin, intake
tidak adekuat akibat adanya mual muntah
|
Tujuan :
|
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24
jam diharapkan kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi
|
|
Kriteria hasil :
|
Pasien dapat mencerna jumlah kalori atau nutrien
yang tepat, BB stabil, nilai lab normal
|
Intervensi
:
a. Timbang berat badan tiap hari atau sesuai
dengan indikasi
Rasional : Mengkaji
pemasukan makanan yang adekuat
b. Tentukan program diet dan pola makan
pasien dan bandingkan dengan makanan yang dapat dihabiskan pasien
Rasional :
Mengidentifikasi kekurangan dan penyimpangan dari kebutuhan terapeutik
c. Berikan makanan cair yang mengandung zat
makanan (nutrient) dan elektrolit dengan segera jika pasien sudah dapat
mentoleransinya melalui pemberian cairan melalui oral
Rasional : Pemberian
makanan melalui oral lebih baik jika pasien sadar dan fungsi gastroisntetinal
baik
d. Pantau pemeriksaan laboratorium, seperti
glukosa darah, aseton, pH, dan HCO3
Rasional : Gula darah
akan menurun perlahan dengan penggantian cairan dan terapi insulin terkontrol.
e. Kolaborasi dengan ahli diet
Rasional : Sangat
bermanfaat dalam perhitungan dan penyesuaian diet untuk memenuhi kebutuhan
nutrisi pasien
2. Devisit volume cairan dan elektorlit b/d
diuresis osmotic dan poliuria
|
Tujuan :
|
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24
jam diharapkan kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi.
|
|
Kriteria hasil :
|
Pasien menunjukkan hidrasi yang adekuat dibuktikan
oleh tanda vital stabil, nadi perifer dapat diraba, turgor kulit dan
pengisian kapiler baik, haluaran urin tepat secara individu dan kadar
elektrolit dalam batas normal.
|
Intervensi :
a. Pantau tanda-tanda vital, catat adanya
perubahan TD orotstatik
Rasional : Hipovelemia dapat dimanifestasikan
oleh hipotensi dan takikardia.
b. Ukur berat badan setiap hari
Rasional : Memberikan hasil
pengkajian yang terbaik di status cairan yang sedang berlangsung dan
selanjutnya dalam memberikan cairan pengganti.
c. Kaji nadi perifer, pengisian kapiler,
turgor kulit dan membran mukosa
Rasional : Merupakan
indikator dari tingkat dehidrasi atau volume sirkulasi yang adekuat
d. Pantau pemeriksaan lab seperti :
Hematoksit (Ht), BUN (kreatinin) dan Osmulalitas darah, Natrium, kalium
Rasional :
-
Ht :
Mengkaji tingkat hidrasi dan sering kali meningkat akibat homokonsentrasi yang
terjadi setelah dieresis osmotik
-
BUN :
Peningkatan nilai dapat mencerminkan kerusakan sel karena dehidrasi atau tanda
awitan kegagalan ginbjal.
-
Osmolalitas
darah : Meningkat sehubungan dengan adanya hiperglikemia dan dehidrasi
-
Natrium
: Mungkin menurun yang dapat mencerminkan perpindahan cairan dari intra sel
(dieresis osmotik)
-
Kalium
: Awalnya akan terjadi hiperkalemia dalam breepons pada asodisis
3. Intoleransi aktivitas b.d penurunan
simpanan energy
|
Tujuan :
|
Pada pasien tidak terjadi kelelahan dengan penurunan
produksi energi
|
|
Kriteria hasil :
|
- Mengungkapkan peningkatan tingkat
energy
- Menunjukkan perbaikan kemampuan
untuk berpartisipasi dalam aktivitas yang diinginkan
|
Intervensi :
a. Diskusi dengan pasien kebutuhan akan
aktivitas. Membuat jadwal perencanaan dengan pasien dan identifikasi aktivitas
yang menimbulkan kelelahan.
Rasional : Pendidikan
dapat memberikan motivasi untuk meningkatkan tingkat aktivitas meskipun pasien
mungkin sangat lemah.
b. Beri aktivitas alternatif dengan periode
istirahat yang cukup / tanpa diganggu.
Rasional : Mencegah
kelelahan yang berlebihan.
c. Pantau nadi, frekuensi pernafasan dan TD
sebelum / sesudah melakukan aktivitas.
Rasional :
Mengidentifikasi tingkat aktivitas yang dapat ditoleransi secara fisiologi.
d. Mendiskusikan cara menghemat kalori selama
mandi, berpindah tempat.
Rasional :
Pasien akan dapat melakukan lebih banyak kegiatan dengan penurunan kegiatan akan
pada energi pada setiap kegiatan.
e. Tingkatkan partisipasi pasien dalam
melakukan aktivitas sehari-hari sesuai dengan yang dapat ditoleransi.
Rasional :
Meningkatkan kepercayan diri / harga diri positif sesuai tingkat aktivitas yang
dapat ditoleransi pasien.
4.
Gangguan
integritas kulit b/d gangrene
|
Tujuan :
|
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24
jam diharapkan integritas kulit dapat membaik.
|
|
Kriteria hasil :
|
- Mempertahankan
integritas kulit
- Mendemonstrasikan
perilaku / teknik mencegah kerusakan kulit.
|
Intervensi :
a. Lihat kulit, area sirkulasinya terganggu /
pigmentasi atau kegemukan / kurus
Rasional : Kulit
beresiko karena gangguan sirkulasinya perifer, imobilitas fisik dan gangguan
status nutrisi.
b. Dapatkan kultur dari drainase luka saat
masuk
Rasional :
Mengidentifikasi pathogen dan terapi piliha
c. Rendam kaki dalam air steril pada suhu
kamar dengan larutan betadine tiga kali sehari selama 15 menit
Rasional : Germisidal
lokal efektif untuk luka permukaan
d. Balut luka dengan kasa kering steril.
Gunakan plester kertas
Rasional :
Menjaga kebersihan luka / meminimalkan kontaminasi silang. Plester adesif dapat
membuat abrasi terhadap jaringan mudah rusak.
e. Berikan dikloksasi 500 mg per oral setiap
6 jam, mulai jam 10 malam amati tanda-tanda hipersensitivitas, seperti :
pruritus, urtikaria, ruam
Rasional : Pengobatan
infeksi / pencegahan komplikasi. Makanan yang mengganggu absorbsi obat
memerlukan penjadwalan sekitar jam makan. Meskipun tidak ada riwayat reaksi
penicilin tetapi dapat terjadi kapan saja.
5.
Gangguan
citra diri b/d ekstremitas gangrene
|
Tujuan :
|
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24
jam pasien dapat menerima keadaannya yang sekarang.
|
|
Kriteria hasil :
|
- Pasien menerima
keadaannya yang sekarang
- Menunjukkan pandangan
yang realistis dan pemahaman diri dalam situasi.
|
Intervensi :
a. Dengarkan dengan aktif masalah dan
ketakutan pasien
Rasional :
Menyampaikan perhatian dan dapat lebih efektif mengidentifikasi kebutuhan dan
masalah dan juga strategi koping pasien dan seberapa efektif.
b. Dorong pengungkapan perasaan, penerima apa
yang dikatakannya
Rasional : Membantu
pasien / orang terdekat untuk memulai menerima perubahan dan mengurangi
ansietas mengenai perubahan fungsi atau gaya hidup.
c. Diskusikan pandangan klien terhadap citra
diri dan efek yang ditimbulkan dari penyakit
Rasional : Persepsi
pasien mengenai pada perubahan citra diri mungkin terjadi secara tiba-tiba atau
kemudian atau menjadi proses halus yang secara terus menerus.
d. Bantu pasien atau orang terdekat dengan
menjelaskan hal-hal yang diharapkan dan hal-hal tersebut mungkin diperkukan
untuk dilepaskan atau diubah.
Rasional :
Memberi kesempatan untuk mengidentifikasi kesalahan konsep dan mulai melihat
pilihan-pilihan, meningkatkan orientasi realita.
e. Rujuk pada dukungan psikiatri atau group
terapi, pelayanan sosial sesuai petunjuk
Rasional :
Mungkin dibutuhkan untuk membantu pasien / orang terdekat untuk mencapai
kesembuhan optimal.
6.
Resiko
injuri b/d gangguan penglihatan
|
Tujuan :
|
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24
jam diharapkan tidak terjadi injuri pada pasien
|
|
Kriteria hasil :
|
- Mengidentifikasi faktor-faktor
resiko injuri
- Memodifikasi
lingkungan sesuai petunjuk untuk meningkatkan keamanan dan penggunaan
sumber-sumber secara tepat.
|
Intervensi
:
a. Hindarkan alat-alat yang dapat menghalangi
aktivitas pasien
Rasional : Untuk meminimalisir
terjadinya cedera
b. Gunakan bed yang rendah
Rasional :
Meminimalkan resiko cedera
c. Orientasikan untuk pemakaian alat bantu
penglihatan ex. Kacamata
Rasional : Membantu
dalam penglihatan klien
d. Bantu pasien dalam ambulasi atau perubahan
posisi
Rasional : Agar
tidak terjadi injuri
7. Resiko terhadap infeksi berhubungan dengan
kadar glukosa tinggi, penurunan fungsi leukosit.
|
Tujuan :
|
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24
jam diharapkan tidak terjadi infeksi
|
|
Kriteria hasil :
|
TTV dalam batas normal, tanda-tanda infeksi tidak
ada, nilai leukosit dalam batas normal(4000-10000/mm3)
|
Intervensi
:
a. Observasi tanda-tanda infeksi(rubor,
dolor, calor, tumor, fungsiolaesa)
b. Rasional: pasien mungkin masuk dengan
infeksi yang biasanya telah mencetuskan keadaan ketoasidosis atau dapat
mengalami infeksi nosokomial
c. Pertahankan teknik aseptic pada prosedur
infasif
d. Rasional: kadar glukosa yang tinggi dalam
darah akan menjadi media terbaik bagi pertumbuhan kuman
e. Observasi hasil laboratorium(leukosit)
f.
Rasional:
gula darah akan menurun perlahan dengan penggantian cairan dan terapi insulin
terkontrol
g. Kolaborasi dalam pemberian antibiotic
sesuai indikasi
Rasional: Penanganan awal dapat membantu
mencegah terjadinya sepsis. ( Husni,2013)
DAFTAR
PUSTAKA
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku
Patofisiologi. Jakarta:EGC.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2011. Penatalaksanaan
Diabetes Melitus Terpadu, Edisi Kedua. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Gibson, Jhon.2002. Fisiologi dan Anatomi
Modern Untuk Perawat Edisi 2. Jakarta:EGC
Stockslager L, Jaime dan Liz Schaeffer .2007. Asuhan
Keperawatan Geriatric. Jakarta:EGC.
Tambayong, Jan. 2001. Anatomi dan Fisiologi
untuk Keperawatan.Jakarta:EGC
Wahdah, Nurul. 2011 .Menaklukan Hipertensi dan
Diabetes. Yogyakarta: Multipress.
Comments
Post a Comment