LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN DIFTERI
LAPORAN
PENDAHULUAN
ASUHAN
KEPERAWATAN ANAK
DENGAN
DIFTERI
I.
Konsep Medis
A.
PENGERTIAN
Difteria adalah suatu infeksi akut yang mudah menular dan yang diserang terutama saluran pernapasan bagian atas dengan tanda khas timbulnya pseudomembran (Ngastiyah, 2005).
Difteria adalah suatu infeksi akut yang mudah menular dan yang diserang terutama saluran pernapasan bagian atas dengan tanda khas timbulnya pseudomembran (Ngastiyah, 2005).
Difteri
adalah infeksi saluran pernapasan yang disebabkan oleh corynebacterium
diphteriae dengan bentuk basil gram positif (WHO). Difteri adalah suatu
infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri penghasil racun (Detik Health).
Difteri adalah suatu infeksi yang
akut yang disebabkan oleh bakteri penghasil toksik corynebacterium diphteriae. Difteri
adalah infeksi akut yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium
diptheriae toksigenik dapat menyerang saluran nafas, kulit, mata, dan
organ lain. Penyakit ini ditandai dengan demam, malaise, batuk, nyeri menelan
dan pada pemeriksaan terdapat pseudomembran kas. Penyakit ini ditularkan
melalui kontak atau droplet, dan diagnosis pasti ditegakan berdasarkan gejala
klinis dan kultur atau PCR. Terdapat 939 kasus di 30 provinsi di Indonesia
dengan angka kematian 44 kasus dan case fatality rate 4,7% selama KLB
tahun 2017. Penyakit ini dapat dicegah dengan imunisasi. Sari Pediatri
2018;19(5):300-6
Difteri adalah penyakit akut yang
disebabkan oleh Corynebacterium diphtheria, suatu bakteri Gram positif
fakultatif anaerob. Penyakit ini ditandai dengan sakit tenggorokan, demam,
malaise dan pada pemeriksaan ditemukan pseudomembran pada tonsil, faring, dan /
atau rongga hidung. 1 Difteri adalah penyakit yang ditularkan melalui kontak
langsung atau droplet dari penderita. Pemeriksaan khas menunjukkan
pseudomembran tampak kotor dan berwarna putih keabuan yang dapat menyebabkan
penyumbatan karena peradangan tonsil dan meluas ke struktur yang berdekatan
sehingga dapat menyebabkan bull neck. Membran mudah berdarah apabila dilakukan
pengangkatan. 1,2 Diagnosis cepat harus segera dilakukan berdasarkan gejala
klinis, laboratorium (swab tenggorok, kultur, atau PCR) untuk penanganan lebih
awal. Tata laksana terdiri dari penggunaan antitoksin spesifik dan eliminasi
organisme penyebab. Komplikasi dari difteri dapat menyebabkan obstruksi jalan
napas, miokarditis, paralisis otot palatum, otitis media dan juga dapat
menyebar ke paru-paru menyebabkan pneumonia. Pencegahan dengan melakukan
imunisasi, pengobatan karier, dan
penggunaan APD. 3,5,9.
B. ETIOLOGI
Disebabkan oleh corynebacterium diphteriae, bakteri gram positif yang bersifat polimorf, tidak bergerak dan tidak membentuk spora. Pewarna sediaan langsung dengan biru metilen atau biru toluidin. Basil ini dapat ditemukan dengan sediaan langsung dari lesi (Nursalam, 2005).
Sifat basil
polimorf, gram positif, tidak bergerak dan tidak membentuk spora, mati pada
pemanasan 60ºC selama 10 menit, tahan sampai beberapa minggu dalam es, air
susu, dan lendir yang telah mengering.
Terdapat 3 jenis
basil yaitu bentuk gravis mitis dan intermedius atas dasar perbedaan bentuk
koleni dalam biakan agar darah yang mengandung kalium terlarut.
Basil dapat membentuk :
Basil dapat membentuk :
ü Pseudomembran
yang sukar diangkat, mudah berdarah dan berwarna putih keabu-abuan yang terkena
terdiri dari fibrin, leukosit, jaringan nekrotik dan basil.
ü Eksotoksin yang sangat ganas dan dapat
meracuni jaringan setelah bebrapa jam diabsorbsi dan memberikan gambaran
perubahan jaringan yang khas terutama pada otot jantung, ginjal dan jaringan
saraf. Satu perlima puluh ml toksin dapat membunuh marmut dan kurang lebih 1/50
dosis ini dipakai untuk uji Schick.
C. PATOFISIOLOGI
Corynebacterium diphteriae masuk kehidung atau mulut dimana basil akan menempel di mukosa saluran nafas bagian atas, kadang-kadang kulit, mata atau mukosa genital. Setelah 2-4 jam hari masa inkubasi kuman dengan corynephage menghasilkan toksik yang mula-mula diabsorbsi oleh membran sel, kemudian penetrasi dan interferensi dengan sintesa protein bersama-sama dengan sel kuman mengeluarkan suatu enzim penghancur terhadap Nicotinamide Adenine Dinucleotide (NAD). Sehingga sintesa protein terputus karena enzim dibutuhkan untuk memindahkan asam amino dan RNA dengan memperpanjang rantai polipeptida akibatnya terjadi nekrose sel yang menyatu dengan nekrosis jaringan dan membentuk eksudat yang mula-mula dapat diangkat, produksi toksin kian meningkat dan daerah infeksi makin meluas akhirnya terjadi eksudat fibrin, perlengketan dan membentuk membran yang berwarna dari abu-abu sampai hitam tergantung jumlah darah yang tercampur dari pembentukan membran tersebut apabila diangkat maka akan terjadi perdarahan dan akhirnya menimbulkan difteri. Hal tersebut dapat menimbulkan beberapa dampak antara lain sesak nafas sehingga menyebabkan pola nafas tidak efektif, anoreksia sehingga penderita tampak lemah sehingga terjadi intoleransi aktifitas (Nusalam,2005).
D. MANIFESTASI KLINIS
Gejala umum yang
timbul berupa:
1. Demam tidak
terlalu tinggi
2. Lesu dan lemah
3. Pucat
4. Anoreksia
Gejala khas yang menyertai:
1. Nyeri
menelan
2. Sesak
nafas
3. Serak
Gejala lokal : nyeri menelan, bengkak pada leher
karena pembengakakan pada kelenjar regional, sesak napas, serak sampai stridor
jika penyakit sudah pada stadium lanjut.Gejala akibat eksitoksin tergantung
bagian yang terkene, misalnya mengenai otot jantung terjadi miokarditis dan
bila mengenai saraf terjadi kelumpuhan. Bila difteria mengenai hidung (hanya 2%
dari jumlah pasien difteria) gejala yang timbul berupa pilek, sekret yang
keluar bercampur darah yang berasal dari pseudomembran dalam hidung. Biasanya
penyakit ini akan meluas ke bagian tenggorak pada tonsil, faring dan laring
(Nusalam,2005).
E. KLASIFIKASI
Menurut tingkat
keparahannya, penyakit ini dibagi menjadi 3 tingkat yaitu :
ü Infeksi
ringan bila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa hidung dengan gejala hanya
nyeri menelan.
ü Infeksi
sedang bila pseudomembran telah menyerang sampai faring (dinding belakang
rongga mulut) sampai menimbulkan pembengkakan pada laring.
ü Infeksi
berat bila terjadi sumbatan nafas yang berat disertai dengan gejala komplikasi
seperti miokarditis (radang otot jantung), paralisis (kelemahan anggota gerak)
dan nefritis (radang ginjal).
Menurut lokasi gejala yang dirasakan pasien :
1. Difteri
hidung bila penderita menderita pilek dengan ingus yang bercampur darah.
Difteri hidung biasanya ringan dan kronis dengan salah satu rongga hidung
tersumbat dan terjadi ekskorisasi (ledes). Infeksi subklinis (atau kolonisasi)
merupakan kasus terbanyak. Toksin dapat menyebabkan myocarditis dengan heart
block dan kegagalan jantung kongestif yang progresif, timbul satu minggu
setelah gejala klinis difteri. Gejala lain yang muncul belakangan antara lain
neuropati yang mirip dengan Guillain Barre Syndrome. Tingkat kematian kasus
mencapai 5-10% untuk difteri noncutaneus, angka ini tidak banyak berubah selama
50 tahun. Bentuk lesi pada difteria kulit bermacam-macam dan tidak dapat
dibedakan dari lesi penyakit kulit yang lain, bisa seperti atau merupakan
bagian dari impetigo.
2. Difteri
faring dan tonsil dengan gejala radang akut tenggorokan, demam sampai dengan
38,5 derajat celsius, nadi yang cepat, tampak lemah, nafas berbau, timbul
pembengkakan kelenjar leher. Pada difteri jenis ini juga akan tampak membran
berwarna putih keabu abuan kotor di daerah rongga mulut sampai dengan dinding
belakang mulut (faring).
3. Difteri
laring dengan gejala tidak bisa bersuara, sesak, nafas berbunyi, demam sangat
tinggi sampai 40 derajat celsius, sangat lemah, kulit tampak kebiruan,
pembengkakan kelenjar leher. Difteri jenis ini merupakan difteri paling berat
karena bisa mengancam nyawa penderita akibat gagal nafas.
4. Difteri
kutaneus dan vaginal dengan gejala berupa luka mirip sariawan pada kulit dan
vagina dengan pembentukan membran diatasnya. Namun tidak seperti sariawan yang
sangat nyeri, pada difteri, luka yang terjadi cenderung tidak terasa apa apa.
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a) Schick test
Tes kulit ini digunakan untuk menentukan status imunitas penderita. Tes ini tidak berguna untuk diagnosis dini karena baru dapat dibaca beberapa hari kemudian. Untuk pemeriksaan ini digunakan dosis 1/50 MED. Yang diberikan intrakutan dalam bentuk larutan yang telah diencerkan sebanyak 0,1 ml bila orang tersebut tidak mengandung antitoksin akan timbul vesikel pada bekas suntikan akan hilang setelah beberapa minggu. Pada orang yang mengandung titer antitoksin yang rendah uji schick dapat positif, pada bekas suntikan akan timbul warna merah kecoklatan dalam 24 jam. Uji schick dikatakan negatif bila tidak didapatkan reaksi apapun pada tempat suntikan dan ini terdapat pada orang dengan imunitas atau mengandung antitoksin yang tinggi. Positif palsu dapat terjadi akibat reaksi alergi terhadap protwin antitoksin yang akan menghilang dalam 72 jam.
Tes kulit ini digunakan untuk menentukan status imunitas penderita. Tes ini tidak berguna untuk diagnosis dini karena baru dapat dibaca beberapa hari kemudian. Untuk pemeriksaan ini digunakan dosis 1/50 MED. Yang diberikan intrakutan dalam bentuk larutan yang telah diencerkan sebanyak 0,1 ml bila orang tersebut tidak mengandung antitoksin akan timbul vesikel pada bekas suntikan akan hilang setelah beberapa minggu. Pada orang yang mengandung titer antitoksin yang rendah uji schick dapat positif, pada bekas suntikan akan timbul warna merah kecoklatan dalam 24 jam. Uji schick dikatakan negatif bila tidak didapatkan reaksi apapun pada tempat suntikan dan ini terdapat pada orang dengan imunitas atau mengandung antitoksin yang tinggi. Positif palsu dapat terjadi akibat reaksi alergi terhadap protwin antitoksin yang akan menghilang dalam 72 jam.
b) Pemeriksaan
laboratorium
Pada pemeriksaan
darah terdapat penurunan kadar hemoglobin dan leukositosis polimorfonukleus,
penurunan jumlah eritrosit, dan kadar albumin. Pada urin terdapat albumin ringan.
c) Pemeriksaan
Diagnostik
1. Pada
pemeriksaan darah terdapat penurunan kadar hemoglobin dan leukositosis,
penurunan jumlah eritrosit dan kadar albumin.
2.
Pada urine terdapat albuminuria ringan.
G. PENULARAN
Difteri merupakan
penyakit menular yang sangat berbahaya pada anak anak. Penyakit ini mudah
menular dan menyerang terutama daerah saluran pernafasan bagian atas. Penularan
biasanya terjadi melalui percikan ludah dari orang yang membawa kuman ke orang
lain yang sehat. Selain itu penyakit ini bisa juga ditularkan melalui benda atau
makanan yang terkontaminasi. Cara penularan adalah melalui kontak dengan
penderita atau carrier; jarang sekali penularan melalui peralatan yang tercemar
oleh discharge dari lesi penderita difteri. Susu yang tidak dipasteurisasi
dapat berperan sebagai media penularan.
H.
PENCEGAHAN
1. Isolasi penderita
Penderita harus
diisolasi dan baru dapat dipulangkan setelah pemeriksaan kuman difteri dua kali
berturut-turut negatif.
2. Pencegahan
terhadap kontak
Terhadap anak yang
kontak dengan difteri harus diisolasi selama 7 hari. Bila dalam pengamatan
terdapat gejala-gejala maka penderita tersebut harus diobati. Bila tidak ada
gejala klinis, maka diberi imunisasi terhadap difteri.
3. Imunisasi
Penurunan drastis
morbiditas diftery sejak dilakukan pemberian imunisasi. Imunisasi DPT diberikan
pada usia 2, 4 dan 6 bulan. Sedangkan boster dilakukan pada usia 1 tahun dan 4
sampai 6 tahun. Di indonesia imunisasi sesuai PPI dilakukan pada usaia 2, 3 dan
4 bulan dan boster dilakukan pada usia 1 – 2 tahun dan menjelang 5 tahun.
Setelah vaksinasi I pada usia 2 bulan harus dilakukan vaksinasi ulang pada
bulan berikutnya karena imunisasi yang didapat dengan satu kali vaksinasi tidak
mempunyai kekebalan yang cukup proyektif. Dosis yang diberikan adalah 0,5 ml
tiap kali pemberian.
Cara
Pencegahan
1. Kegiatan
penyuluhan sangatlah penting: beri penyuluhan kepada masyarakat terutama kepada
para orang tua tentang bahaya dari difteria dan perlunya imunisasi aktif
diberikan kepada bayi dan anak-anak.
2. Tindakan
pemberantasan yang efektif adalah dengan melakukan imunisasi aktif secara luas
(missal) dengan Diphtheria Toxoid (DT). Imunisasi dilakukan pada waktu bayi
dengan vaksin yang mengandung diphtheria toxoid, tetanus toxoid, antigen
“acellular pertussis: (DtaP, yang digunakan di Amerika Serikat) atau vaksin yang
mengandung “whole cell pertusis” (DTP). Vaksin yang mengandung kombinasi
diphtheria dan tetanus toxoid antigen “whole cell pertussis”, dan tipe b
haemophillus influenzae (DTP-Hib) saat ini juga telah tersedia.
3. Jadwal
imunisasi berikut ini adalah yang direkomendasikan di Amerika Serikat (Negara
lain mungkin menggunakan jadwal lain dan tidak memberikan 4 dosis sebagai
imunisasi dasar).
a)
Untuk anak-anak berusia kurang dari 7 tahun.
Imunisasi dasar
untuk vaksin DtaP atau DTP-Hib, 3 dosis pertama diberikan dengan interval 4-8
minggu. Dosis pertama diberikan saat bayi berusia 6-8 minggu; dosis ke-4
diberikan 6-12 bulan setelah dosis ke-3 diberikan. Jadwal ini tidak perlu
diulang kembali walaupun terjadi keterlambatan dalam pelaksanaan jadwal
tersebut.
Dosis ke-5
diberikan pada saat usia 4-6 tahun (usia masuk sekolah); dosis ke-5 ini tidak
perlu diberikan jika sudah mendapat dosis ke-4 pada usia 4 tahun. Bila komponen
pertusis dari DTP merupakan kontraindikasi, sebagai pengganti dapat diberikan
vaksin DT.
b) Untuk
usia 7 tahun ke atas:
Mengingat efek
samping pemberian imunisasi meningkat dengan bertambahnya usia maka dosis
booster untuk anak usia di atas 7 tahun, vaksin yang dipakai adalah vaksin
dengan konsentrasi / kadar diphtheria toxoid (dewasa) yang rendah. Sedangkan
untuk mereka yang sebelumnya belum pernah diimunisasi maka diberikan imunisasi
dasar berupa 3 dosis vaksin serap tetanus dan diphtheria toxoid (Td).
Dua dosis pertama
diberikan dengan interval 4-6 minggu dan dosis ke-3 diberikan 6 bulan hingga 1
tahun setelah dosis ke-2. data yang terbatas dari Swedia menunjukkan bahwa
jadwal pemberian imunisasi ini mungkin tidak memberikan tingkat perlindungan
yang memadai pada kebanyakan remaja, oleh karena itu perlu diberikan
dosis tambahan.
Untuk mempertahankan tingkat perlindungan maka perlu dilakukan pemberian dosis Td setiap 10 tahun kemudian.
Untuk mempertahankan tingkat perlindungan maka perlu dilakukan pemberian dosis Td setiap 10 tahun kemudian.
4. Upaya
khusus perlu dilakukan terhadap mereka yang terpajan dengan penderita seperti
kepada para petugas kesehatan dengan cara memberikan imunisasi dasar lengkap
dan setiap sepuluh tahun sekali diberikan dosis booster Td kepada mereka.
5. Bagi
anak-anak dan orang dewasa yang mempunyai masalah dengan sistem kekebalan
mereka (immunocompromised) atau mereka yang terinfeksi HIV diberikan imunisasi
dengan vaksin diphtheria dengan jadwal yang sama bagi orang normal walaupun ada
risiko pada orang-orang ini tidak memberikan respon kekebalan yang optimal.
Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitar.
1). Isolasi
Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitar.
1). Isolasi
Isolasi ketat
dilakukan terhadap penderita difteria faringeal, isolasi untuk difteria kulit
dilakukan terhadap kontak hingga 2 kultur dari sampel tenggorokan dan hidung
(dan sampel dari lesi kulit pada difteria kulit hasilnya negatif tidak
ditemukan baksil. Jarak 2 kultur ini harus dibuat tidak kurang dari 24 jam dan
tidak kurang dari 24 jam setelah penghentian pemberian antibiotika. Jika kultur
tidak mungkin dilakukan maka tindakan isolasi dapat diakhiri 14 hari setelah
pemberian antibiotika yang tepat (lihat 9B7 di bawah).
2).
Desinfeksi serentak:
Dilakukan terhadap
semua barang yang dipakai oleh/untuk penderita dan terhadap barang yang
tercemar dengan discharge penderita. Dilakukan pencucihamaan menyeluruh.
3).
Karantina
Karantina dilakukan terhadap dewasa yang
pekerjaannya berhubungan dengan pengolahan makanan (khususnya susu) atau
terhadap mereka yang dekat dengan anak-anak yang belum diimunisasi. Mareka
harus diistirahatkan sementara dari pekerjaannya sampai mereka telah diobati
dengan cara seperti yang diuraikan di bawah dan pemeriksaan bakteriologis
menyatakan bahwa mereka bukan carrier.
4).
Manajemen Kontak
Semua kontak dengan penderita harus dilakukan
kultur dari sample hidung dan tenggorokan, diawasi selama 7 hari. Dosis tunggal
Benzathine Penicillin (IM: lihat uraian dibawah untuk dosis pemberian) atau
dengan Erythromycin selama 7-10 hari direkomendasikan untuk diberikan kepada
semua orang yang tinggal serumah dengan penderita difteria tanpa melihat status
imunisasi mereka. Kontak yang menangani makanan atau menangani anak-anak
sekolah harus dibebaskan untuk sementara dari pekerjaan tersebut hingga hasil
pemeriksaan bakteriologis menyatakan mereka bukan carrier. Kontak yang
sebelumnya sudah mendapatkan imunisasi dasar lengkap perlu diberikan dosis
booster apabila dosis imunisasi terakhir yang mereka terima sudah lebih dari
lima tahun. Sedangkan bagi kontak yang sebelumnya belum pernah diimunisasi,
berikan mereka imunisasi dasar dengan vaksinasi: Td, DT, DTP, DtaP atau DTP-Hib
tergantung dari usia mereka.
5). Investigasi kontak dan sumber infeksi
Pencarian carrier
dengan menggunakan kultur dari sampel yang diambil dari hidung dan tenggorokan
tidak bermanfaat.Pencarian carrier dengan kultur hanya bermanfaat jika
dilakukan terhadap kontak yang sangat dekat.
I. KOMPLIKASI
Komplikasi yang timbul:
a. Infeksi
tumpangan oleh kuman lain
Infeksi ini dapat
disebabkan oleh kuman streptokokus dan staphilokokus. Panas tinggi terutama
didapatkan pada penderita difteri dengan infeksi tumpangan dengan kuman
streptokokus.
b. Obstruksi
jalan napas akibat membran atau oedem jalan nafas
Obstruksi ini
dapat terjadi akibat membaran atau oedem jalan nafas. Obstruksi jalan nafas
dengan sengaja akibatnya, bronkopneumoni dan atelektasis.
c. Sistemik
Sering timbul
akibat komplikasi difteri berat tetapi juga dapat terjadi pada bentuk ringan.
Komplikasi terhadap jantung pada anak diperkirakan 10-20%. Faktor yang mempengaruhi
terhadap niokarditis adalah virulensi kuman.Virulensi makin tinggi komplikasi
jantung. Miokarditis dapat terjadi cepat pada minggu pertama atau lambat pada
minggu keenam. NeuritisTerjadi 5-10% pada penderita difteri yang biasanya
merupakan komplikasi dari difteri berat. Manifestasi klinik ditandai dengan:
Timbul setelah masa laten.Lesi biasanya
bilateral dimana motorik kena lebih dominan dari pada sensorik.Biasanya sembuh
sempurna.
d. Susunan
saraf
Kira-kira 10%
penderita difteri akan mengalami komplikasi yang mengenai sistem susunan saraf
terutama sistem motorik. Paralysis ini dapat berupa:
1.Paralysis palatum
Manifestasi saraf yang paling sering timbul
pada minggu ketiga dan khas dengan adanya suara dan regurgitasi hidung, tetapi
ada yang mengatakan suara ini timbul pada minggu 1-2 Kelainan ini biasanya
hilang sama sekali dalam 1-2 minggu.
2.Ocular palsy
Biasanya timbul
pada minggu kelima atau khas ditandai oleh paralysis dari otot akomodasi yang
menyebabkan penglihatan menjadi kabur. Otot yang kena ialah m. rectus externus.Paralysis
diafragma.Dapat terjadi pada minus 5-7 Paralisis ini disebabkan neuritis n.
phrenicus dan bila tidak segera diatasi penderita akan meninggal.
3. Paralysis anggota gerak
Dapat terjadi pada minggu 6-10
1) Pada
pemeriksaan didapati lesi bilateral, refleks tendon menghilang, cairan
cerebrospinal menunjukan peningkatan protein yang mirip dengan sindrom guillian
barre.
Prognosa:
Sebelum adanya antioksitoksin dan antibiotika, angka kematian mencapai 30-50%. Dengan adanya antibiotik dan antitoksin maka kematian menurun menjadi 5-10%. Prognosa tergantung pada:
Sebelum adanya antioksitoksin dan antibiotika, angka kematian mencapai 30-50%. Dengan adanya antibiotik dan antitoksin maka kematian menurun menjadi 5-10%. Prognosa tergantung pada:
a) Usia
Makin rendah makin
jelek prognosa.
b) Waktu
pengobatan antitoksin
Sangat dipengaruhi
oleh cepatnya pemberian antitoksin. Nelson (1959) menyebutkan bahwa pemberian
antitoksin pada hari pertama sakit mortalitasnya 0,3%; pada hari ketiga 4%;
pada hari keempat 12%; dan hari kelima dan seterusnya mortalitasnya 25%.Pada
saluran pernafasan terjadi obstruktif jalan nafas dengan segala akibatnya,bronkopneumonia,atelektasis.
2) Kardiovaskuler
Miokarditis yang dapat terjadi akibat toksin yang dibentuk kuman diftera.
Kelainan pada ginjal (nefritis).
Miokarditis yang dapat terjadi akibat toksin yang dibentuk kuman diftera.
Kelainan pada ginjal (nefritis).
3) Kelainan
saraf
Kira-kira 10%
pasien difteri mengalami komplikasi yang mengenai susunan saraf terutama
motorik.
a) Paralisis/
paresis palatum mole sehingga terjadi rinolalia (suara sengau ),tersedak/ sukar
menelan. Dapat terjadi pada minggu I-II.
b) Paralisis/
paresis otot-otot mata dapat menyebabkan strabismus,gangguan akomodasi,
dilatasi pupil, timbul pada minggu III.
c) Paralisis
umum yang dapat terjdi setelah minggu IV. Kelainan dapat mengenai otot muka,
leher, anggota gerak dan yang paling berbahaya bila mengenai otot pernapasan.
J. PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan
medis
Pengobatan umum
dengan perawatan yang baik, isolasi dan pengawasan EKG yang dilakukan pada
permulan dirawat satu minggu kemudian dan minggu berikutnya sampai keadaan EKG
2 kali berturut-turut normal dan pengobatan spesifik.
Pengobatan
spesifik untuk difter :
a. ADS
(Antidifteri serum), 20.000 U/hari selama 2 hari berturut-turut dengan
sebelumnya harus dilakukan uji kulit dan mata.
b. Antibiotik,
diberikan penisillin prokain 5000U/kgBB/hari sampai 3 hari bebas demam. Pada
pasien yang dilakukan trakeostomi ditambahkan kloramfenikol 75mg/kgBB/hari
dibagi 4 dosis.
c. Kortikosteroid,
untuk mencegah timbulnya komplikasi miokarditis yang sangat membahayakan,
dengan memberikan predison 2mg/kgBB/hari selama 3-4 minggu. Bila terjadi
sumbatan jalan nafas yang berat dipertimbangkan untuk tindakan trakeostomi.
Bila pada pasien difteri terjadi komplikasi paralisis atau paresis otot, dapat
diberikan strikin ¼ mg dan vitamin B1 100 mg tiap hari selama 10 hari.
Pengobatan spesifik: Jika diduga kuat bahwa seseorang menderita difteria didasarkan kepada gejala klinis maka antitoksin harus diberikan setelah sampel untuk pemeriksaan bakteriologis diambil tanpa harus menunggu hasil pemeriksaan bakteriologis tersebut. (Saat ini yang tersedia adalah antitoksin yang berasal dari kuda).
Pengobatan spesifik: Jika diduga kuat bahwa seseorang menderita difteria didasarkan kepada gejala klinis maka antitoksin harus diberikan setelah sampel untuk pemeriksaan bakteriologis diambil tanpa harus menunggu hasil pemeriksaan bakteriologis tersebut. (Saat ini yang tersedia adalah antitoksin yang berasal dari kuda).
d. Diphtheria
Antitoxin (DAT) tersedia di CD-Atlanta sebagai “investigational product”.
Program imunisasi (Amerika Serikat) melayani permintaan DAT pada waktu jam
kerja (pukul 08.00 am – 04.30 pm. EST; Senin – Jum’at dengan menghubungi nomor
telepon 404-639-8255). Diluar jam kerja dan pada waktu hari libur menghubungi
petugas jaga CDC pada nomor 404-639-2888. DAT disimpan di stasiun karantina
yang tersebar di seluruh negara bagian di Amerika Serikat. Sebelum diberikan
lakukan terlebih dahulu skin test untuk mengetahui adanya hypersensivitas
terhadap serum kuda. Jika hasilnya negative, DAT diberikan IM dengan dosis
tunggal 20.000 – 100.000 unit tergantung berat ringan serta luasnya penyakit.
Untuk kasus berat pemberian IM dan IV dilakukan bersama-sama. Pemberian
antibiotika tidak dapat menggantikan pemberian antitoksin.Procain Penicillin G
(IM) diberikan sebanyak 25.000 – 50.000 unit/kg BB untuk anak-anak dan 1,2 juta
unit/kg BB untuk orang dewasa per hari. Dibagi dalam dua dosis. Penderita dapat
juga diberikan erythromycin 40-50 mg/kg BB per hari maksimum 2 g per hari
secara parenteral. Jika penderita sudah bisa menelan dengan baik maka
erythromycin dapat diberikan per oral dibagi dalam 4 dosis per hari atau
penicillin V per oral sebesar 125-250 mg empat kali sehari, selama 14 hari.
Pernah ditemukan adanya strain yang resisten terhadap erythromycin namun sangat
jarang. Antibiotik golongan macrolide generasi baru seperti azythromycin dan
chlarithromycin juga efektif untuk strain yang sensitif terhadap erythromycin
tetapi tidak sebaik erythromycin.
Terapi profilaktik bagi carrier: untuk tujuan profilaktik dosis tunggal penicillin G sebesar 600.000 unit untuk anak usia dibawah 6 tahun dan 1,2 juta unit untuk usia 6 tahun ke atas. Atau dapat juga diberikan erythromycin oral selama 7-10 hari dengan dosis 40 mg/kg BB per hari untuk anak-anak dan 1 gram per hari untuk orang dewasa.
Terapi profilaktik bagi carrier: untuk tujuan profilaktik dosis tunggal penicillin G sebesar 600.000 unit untuk anak usia dibawah 6 tahun dan 1,2 juta unit untuk usia 6 tahun ke atas. Atau dapat juga diberikan erythromycin oral selama 7-10 hari dengan dosis 40 mg/kg BB per hari untuk anak-anak dan 1 gram per hari untuk orang dewasa.
2.
Penatalaksanaan
keperawatan
Pasien difteri
harus dirawat di kamar isolasi yang tertutup. Petugas harus memakai gaun khusus
(celemek) dan masker yang harus diganti tiap pergantian tugas atau
sewaktu-waktu bila kotor (jangan dari pagi sampai malam hari). Sebaiknya
penunggu pasien juga harus memakai celemek tersebut untuk mencegah penularan ke
luar ruangan. Harus disediakan perlengkapan cuci tangan: desinfektan, sabun,
lap, atau handuk yang selallu kering (bila ada tisu) air bersih jika ada kran
juuga tempat untuk merendam alat makan yang diisi dengan desinfektan. Risiko
terjadi komplikasi obstruksi jalan napas, miokarditis, pneumonia. Pasien
difteri walaupun penyakitnya ringan perlu dirawat di rumah sakit karena
potensial terjadi komplikasi yang membahayakan jiwanya yang disebabkan adanya
pseudomembran dan eksotosin yang dikeluarkan oleh basil difteri tersebut.
a. Sumbatan
jalan napas.
Kelainan ini
terjadi karena adanya edema pada laring dan trakea serta adanya pseudomembran.
Gejala sumbatan adalah suara serak dan stridor inspiratoir. Bila makin berat
terjadi sesak napas, sianosis, tampak retraksi otot, kedengaran stridor :
1) Berikan
O2
2) Baringkan
setengah duduk.
3) Hubungi
dokter.
4) Pasang
infus (bila belum dipasang).
5) Hubungi
orang tua beritahu keadaan anak dan bahaya yang dapat terjadi miokarditis.
Eksotoksin yang
dikeluarkan oleh basil difteri jika diserap oleh janutng akan menyebabkan
terjadinya miokarditis yang biasanya kelainan ini timbul pada minggu kedua
sampai ketiga. Untuk mencegah adanya miokarditis hanya dengan pemberian
suntikan ADS sedini mungkin. Tetapi untuk mengetahui gejala miokarditis perlu
observasi terus menerus dan pasien harus istirahat paling sedikit 3 minggu atau
sampai hasil EKG 2 kali berturut-turut normal. Selama dirawat, pengamatan nadi,
pernapasan dan suhu dicatat dalam perawatan khusus. Bila tidak ada alat EKG :
Pemantauan nadi
sangat penting dan harus dilakukan setiap jam dan dicatat secara teratur. Bila
terdapat perubahan kecepatan nadi makin menurun (bradikardi) harus segera
menghubungi dokter.
b. Perawatan
lain selain tanda vital dan keadaan umum :
1.
Pasien tidak boleh banyak
bergerak, tetapi sikap berbaringnya harus sering diubah, misalnya setiap 3 jam
untuk mencegah terjadinya komplikasi brokopneumonia (pneumonia hipostatik).
2.
Jaga kulit pada bagian
tubuh yang tertekan agar tidak terjadi dekubitus (ingat pasien tirah baring
selama 3 minggu, tidak boleh bangun).
c. Komplikasi
yang mengenai saraf.
a. Komplikasi
yang mengenai saraf dapat terjadi pada minggu pertama dan kedua. Jika mengenai
saraf palatum mole (saraf telan) dengan gejala bila pasien minum air/susu akan
keluar melalui hidungnya. Jika terjadi demikian :
a. Cara
memberikan minum harus hati-hati, pasien sambil didudukkan.
b. Bila
pasien makan cair agar dibuat agak kental dan diberikan sedikit demi sedikit.
b. Komplikasi
pada ginjal.
Selama pasien
difteri dalam perawatan keadaan urine selain harus diperhatikan warnanya juga
banyaknya apakah normal atau tidak.
c. Gangguan
masukan nutrisi.
Gangguan masukan
nutrisi pada pasien difteri selain disebabkan karena sakit menelan juga karena
anoreksia. Jika anak masih mau menelan bujuklah agar ia mau makan sedikit demi
sedikit dan berikan makanan cair atau bubur encer dan berikan susu lebih
banyak. Jika pasien tidak amau makan sama sekali atau hanya sedikit sekali,
atau dalam keadaan sesak nafas perlu dipasang infus. Setelah 2-3 hari kemudian
sesak nafas telah berkurang sebelum infus dihentikkan dicoba makan per oral dan
apabila anak telah mau makan infus dihentikan. Berikan minum yang sering untuk
memelihara kebersihan mulut dan membantu kelancaran eliminasi.
I.
KONSEP
ASUHAN KEPERAWATAN
A.
Pengkajian
a.
Identitas : dapat terjadi pada semua golongan umur tapi
sering dijumpai pada anak (usia 1-10 tahun).
b.
Keluhan utama : biasanya
klien dating dengan keluhan kesulitan bernapas pada waktu tidur, nyeri pada
waktu makan , dan bengkak pada tenggorokan /leher.
c.
Riwayat kontak dengan
keluarga perlu dikaji.

§
Pada difteri
tonsil-faring terdapat malise, suhu tubuh > 38,9
C,
terdapat pseudomembran pada tonsil dan dinding faring, serta bullnek.

§ Pada
difteri laring terdapat stidor,suara parau, dan batuk kering, sementara pada
obstruksi laring yang besar terdapat retraksi supra sterna, sub costal, dan
supra clavicular.
§ Pada
difteri hidung terdapat pilek ringan,secret hidung yang serosauinus sampai
mukopurulen dan membrane putih pada septum nasi.

Untuk menentukan
diagnosis pasti diperlukan sediaan langsung dengan kultur dan pemeriksaan
toksigenitas.
B. Diagnosa keperawatan
·
Bersihan jalan nafas
tidak efektif berhubungan dengan obstruksi jalan napas.
·
Deficit nutrisi berhubungan dengan penurunan intake makanan.
·
Defisit pengetahuan
berhubungan dengan tidak mengetahui sumber informasi.
·
Hipertermi berhubungan
dengan proses penyakit
C.
Rencana
Keperawatan
No
|
Diagnosa Keperawatan
|
Tujuan dan Kriteria Hasil
|
Intervensi
|
1
|
Bersihan jalan nafas tidak efektif
|
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 2x24 jam
diharapkan bersihan jalan napas dapat meningkat dengan kriteria hasil :
1.
Batuk efektif
cukup meningkat
2.
Produksi sputum cukup menurun
3.
Wheezing menurun
4.
Frekuensi napas membaik
5.
Pola napas membaik
|
Observasi
- Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman,
usaha napas)
- Monitor bunyi napas tambahan (mis gurgling,
mengi, wheezing, ronkhi kering)
- Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)
Terapeutik
- Pertahankan kepatenan jalan napas dengan
head-till dan chin-lift (jaw-thrust jika curiga trauma servikal)
- Posisikan semi fowler atau fowler
- Berikan minum hangat
- Lakukan fisioterapi dada jika perlu
- Lakukan penghisapan lender kurang dari 15
detik
- Lakukan hiperoksigenasi sebelum penghisapan
endotrakeal
- Keluarkan sumbatan benda padat dengan forsep
- Berikan oksigen jika perlu
Edukasi
- Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika
tidak kontraindikasi
- Ajarkan tehnik batuk efektif
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian bronkodilator,
ekspektoran, mukolitik,, jika perlu.
|
2
|
Deficit nutrisi
|
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 2x24 jam
diharapkan status nutrisi dapat meningkat dengan kriteria hasil :
1.
Porsi makan di habiskan meningkat
2.
Nyeri abdomen menurun
3.
Diare menurun
4.
Sariawan menurun
5.
Mual menurun
6.
Berat badan membaik
7.
Frekuensi makan membaik
8.
Nafsu makan meningkat
9.
Bising usus membaik
10.
Membrane mukosa membaik
|
Observasi
- Identifikasi status nutrisi
- Identifikasi alergi dan intoleran makanan
- Identifikasi makanan yang disukai
- Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis
nutrisi
- Identifikasi perlunya penggunaan selang
nasogastrik
- Monitor asupan makanan
- Monitor berat badan
- Monitor hasil pemeriksaan laboratorium
Terapeutik
- Lakukan oral hygiene sebelum makan, jika
perlu
- Fasilitas menentukan pedoman diet (mis
piramida makanan)
- Sajikan makanan secara menarik dan suhu yang
sesuai
- Berikan makanan tinggi serat untuk mencegah
konstipasi
- Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein
- Berikan suplemen makanan, jika perlu
- Hentikan pemberian makanan melalui selang
nasogatrik jika asupan oral dapat ditoleransi
Edukasi
- Anjurkan posisi duduk, jika mampu
- Ajarkan diet yang diprogramkan
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian medikasi sbelum makan
(mis pereda nyeri, antiemetic)
- Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan
jumlah kalori dan jenis nutrisi yang dibutuhkan, jika perlu
|
3
|
Hipertermi
|
Setelah dilakuan tindakan keperawatan
selama 2x24 jam hipertermi dapat membaik dengan kriteria hasil:
1.
Suhu kulit menurun
2.
Kejang menurun
|
·
Manajemen hipertermi
Observasi
1.
Identifikasi penyebab hipertermi
2.
Monitor suhu tubuh
3.
Komplikasi akibat hipertermia
Terapeutik
4.
Sediakan lingkungan yang nyaman dan
tenang
5.
Longgarkan atau lepaskan pakaian
6.
Berikan cairan oral
7.
Lakukan pendinginan eksternal (kompres
dingin)
Edukasi
8.
Anjurkan tirah baring
Kolaborasi
9.
Kolaborasi pemberian cairan dan
elektrolit cairan
|
4
|
Defisit
Pengetahuan
|
Setelah dilakuan tindakan keperawatan
selama 2x24 jam tingkat pengetahuan membaik dengan kriteria hasil:
1. Kemampuan menjelaskan
pengetahuan tentang suatu topik cukup menurun
2. Pertanyaan tentang
masalah cukup menurun
|
·
Edukasi pengukuran suhu tubuh
Observasi
1.
Identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima
informasi
Terapeutik
2. Sediakan
materi dan media pendidikan kesehatan
3. Berikan
kesempatan untuk bertanya
Edukasi
4.
Jelaskan prosedur pengukuran suhu tubuh
5.
Anjurkan terus memegang bahu dan menahan
dada saat pengukuran susu
6.
Ajarkan cara meletakkan thermometer
7.
Ajarkan cara membaca hasil thermometer
di bagian tengah aksila
8.
Anjurkan membaca hasil thermometer
9.
Jelaskan penyebab dan faktor resiko
penyakit
10. Jelaskan
tanda dan gejala yang ditimbulakan oleh penyakit
11. Jelaskan
kemungkinan terjadi komplikasi
12. Ajarkan
cara meredakan atau mengatasi gejala yang dirasakan
13. Informasi
kondisi pasien saat ini
|
DAFTAR PUSTAKA
1. Nursalam
dr, M. Nurs,dkk.2005.Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak, Jakarta, Salemba Medika
2. Tim
Pokja PPNI. Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia (2017). Edisi I, Cetakan II.
Dewan Pengurus Pusat. Jakarta Selatan
3. Tim
Pokja PPNI. Standar Luaran Keperawatan Indonesia (2019). Edisi I, Cetakan II.
Dewan Pengurus Pusat. Jakarta Selatan
4. Tim
Pokja PPNI. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (2018). Edisi I, Cetakan
II. Dewan Pengurus Pusat. Jakarta Selatan
Pathways





Corynebacterium
diphteriae
mengeluarkan
toksin (eksotoksin)



Kuman
mengeluarkan enzim penghancur NAD


Nekrosis
sel dan jaringan
![]() |


terjadi pembentukan
eksudat fibrin,perlengketan dan membentuk
|

Comments
Post a Comment