LAPORAN PENDAHULUAN KOLESISTIS


LAPORAN PENDAHULUAN KOLESISTIS

1.        DEFINISI
Kolesistitis adalah radang kandung empedu yang merupakan inflamasi akut dinding kandung empedu disertai nyeri perut kanan atas,nyeri tekan dan panas badan. Dikenal dua klasifikasi yaitu akut dan kronis (Brooker,2011).
Kolelitiasis adalah adanya batu yang terdapat didalam kandung empedu atau saluran empedu (duktus koledokus) atau keduanya Batu empedu bisa terdapat pada kantung empedu, saluran empedu ekstra hepatik, atau saluran empedu intra hepatik. Bila terletak di dalam kantung empedu saja disebut kolesistolitiasis, dan yang terletak di dalam saluran empedu ekstra hepatik (duktus koleduktus) disebut koledokolitiasis, sedang bila terdapat di dalam saluran empedu intra hepatik disebelah proksimal duktus hepatikus kanan dan kiri disebut hepatolitiasis. Kolesistolitiasis dan koledokolitiasis disebut dengan kolelitiasis (Muttaqin dan Sari, 2011).

2.        KLASISFIKASI
Berdasarkan komposisi kimiawi dan gambaran mikroskopiknya, batu empedu dibagi menjadi tiga tipe utama oleh Suzuki dan Sato, yaitu batu kolesterol (batu kolesterol murni, batu kombinasi, batu campuran), batu pigmen (batu kasium bilirubinat, batu hitam atau pigmen murni), dan batu empedu yang jarang (batu kalsium karbonat, dan batu kalsium asam lemak).
Menurut Hadi (2002), batu empedu terbagi menjadi tiga tipe yaitu:
1)    Batu Kolesterol
a.    Soliter (single cholesterol stone) atau batu kolesterol tunggal
     Tipe batu ini mengandung kristal kasar kekuning-kuningan, pada foto rontgen terlihat intinya. Bentuknya bulat dengan diameter 4 cm, dengan permukaan licin atau noduler. Batu ini tidak mengandung kalsium sehingga tidak dapat dilihat pada pemotretan sinar X biasa.


b.    Batu kolesterol campuran
Batu ini terbentuk bilamana terjadi infeksi sekunder pada kandung empedu yaitu mengandung batu empedu kolesterol yang soliter dimana pada permukaannya terdapat endapan pigmen kalsium.
c.    Batu kolesterol ganda
Jenis batu ini jarang ditemui dan bersifat radio transulen.
2)    Batu Pigmen
Pigmen kalkuli mengandung pigmen empedu dan berbagai macam kalsium dan matriks dari bahan organik. Batu ini biasanya berganda, kecil, keras, amorf, bulat, berwarna hitam atau hijau tua. Alasannya ± 10 % radioopaque.
3)    Batu Campuran
Batu ini adalah jenis yang paling banyak dijumpai (± 80 %), dan terdiri atas kolesterol, pigmen empedu, berbagai garam kalsium dan matriks protein. Biasanya berganda dan sedikit mengandung kalsium sehingga bersifat radioopaque.
Menurut Sjamsuhidajat (1997), Batu kolesterol mengandung paling sedikit 70% kolesterol, dan sisanya adalah kalsium karbonat, kalsium palmitit dan kalsium bilirubinat. Bentuknya lebih bervariasi dibandingkan bentuk batu pigmen. Dapat berupa batu soliter atau multiple. Permukaanya mungkin licin atau multifaset, bulat, berduri, da nada yang seperti buah murbei.
Batu pigmen mengandung kurang dari 25% kolesterol, sering ditemukan kecil-kecil, dapat berjumlah banyak, warnanya bervariasi antara coklat, kemerahan, sampai hitam, dan berbentuk seperti lumpur atau tanah yang rapuh.

3.        FAKTOR RESIKO
Faktor risiko utama untuk kolesistitis, memiliki peningkatan prevalensi di kalangan orang-orang keturunan Skandinavia, Pima India, dan populasi Hispanik, cholelithiasis sedangkan kurang umum di antara orang dari sub-Sahara Afrika dan Asia. Beberapa faktor resiko yang lain sebagai berikut:
1.         adanya riwayat kolesistitis akut sebelumnya
2.         Wanita (beresiko dua jadi lebih besar dibanding laki-laki)
3.         Usia lebih dari 40 tahun .
4.         Kegemukan (obesitas).
5.         Faktor keturunan
6.         Aktivitas fisik
7.         Kehamilan (resiko meningkat pada kehamilan)
8.         Hiperlipidemia
9.         Diet tinggi lemak dan rendah serat
10.     Pengosongan lambung yang memanjang
11.     Nutrisi intravena jangka lama
12.     Dismotilitas kandung empedu
13.     Obat-obatan antihiperlipedmia (clofibrate)
14.     Penyakit lain (seperti Fibrosis sistik, Diabetes mellitus, sirosis hati, pankreatitis dan kanker kandung empedu) dan penyakit ileus (kekurangan garam empedu)

4.        ETIOLOGI
Etiologi batu empedu masih belum diketahui secara pasti. Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor resiko dibawah ini. Namun, semakin banyak faktor resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar kemungkinan untuk terjadinya kolelitiasis. Faktor resiko tersebut antara lain:
1)        Jenis Kelamin
Wanita mempunyai resiko 2-3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh terhadap peningkatan eskresi kolesterol oleh kandung empedu. Kehamilan, yang menigkatkan kadar esterogen juga meningkatkan resiko terkena kolelitiasis. Penggunaan pil kontrasepsi dan terapi hormon (esterogen) dapat meningkatkan kolesterol dalam kandung empedu dan penurunan aktivitas pengosongan kandung empedu.
2)        Usia
Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Orang dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan orang degan usia yang lebih muda.
3)        Obesitas
Kondisi obesitas akan meningkatkan metabolism umum, resistensi insulin, diabetes militus tipe II, hipertensi dan hyperlipidemia berhubungan dengan peningkatan sekresi kolesterol hepatica dan merupakan faktor resiko utama untuk pengembangan batu empedu kolesterol.
4)        Statis Bilier
Kondisi statis bilier menyebabkan peningkatan risiko batu empedu. Kondisi yang bisa meningkatkan kondisi statis, seperti cedera tulang belakan (medulla spinalis), puasa berkepanjangan, atau pemberian diet nutrisi total parenteral (TPN), dan penurunan berat badan yang berhubungan dengan kalori dan pembatasan lemak (misalnya: diet rendah lemak, operasi bypass lambung).
5)        Obat-obatan
Estrogen yang diberikan untuk kontrasepsi atau untuk pengobatan kanker prostat meningkatkan risiko batu empedu kolesterol. Clofibrate dan obat fibrat hipolipidemik meningkatkan pengeluaran kolesterol hepatic melalui sekresi bilier dan tampaknya meningkatkan resiko batu empedu kolesterol. Analog somatostatin muncul sebagai faktor predisposisi untuk batu empedu dengan mengurangi pengosongan kantung empedu.
6)        Diet
Diet rendah serat akan meningkatkan asam empedu sekunder (seperti asam desoksikolat) dalam empedu dan membuat empedu lebih litogenik. Karbohidrat dalam bentuk murni meningkatkan saturasi kolesterol empedu. Diet tinggi kolesterol meningkatkan kolesterol empedu.
7)        Keturunan
Sekitar 25% dari batu empedu kolesterol, faktor predisposisi tampaknya adalah turun temurun, seperti yang dinilai dari penelitian terhadap kembar identik fraternal.
8)        Infeksi Bilier
Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat memgang peranan sebagian pada pembentukan batu dengan meningkatkan deskuamasi seluler dan pembentukan mucus. Mukus meningkatkan viskositas dan unsur seluler sebagai pusat presipitasi.
9)        Gangguan Intestinal
Pasien pasca reseksi usus dan penyakit crohn memiliki risiko penurunan atau kehilangan garam empedu dari intestinal. Garam empedu merupakan agen pengikat kolesterol, penurunan garam pempedu jelas akan meningkatkan konsentrasi kolesterol dan meningkatkan resiko batu empedu.
10)    Aktifitas fisik
Kurangnya aktifitas fisik berhungan dengan peningkatan resiko terjadinya kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit berkontraksi.
11)    Nutrisi intravena jangka lama
Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak terstimulasi untuk berkontraksi, karena tidak ada makanan/ nutrisi yang melewati intestinal. Sehingga resiko untuk terbentuknya batu menjadi meningkat dalam kandung empedu.

5.        MANIFESTASI KLINIS
Gejalanya bersifat akut dan kronis, Gangguan epigastrium : rasa penuh, distensi abdomen, nyeri samar pada perut kanan atas, terutama setelah klien konsumsi makanan berlemak / yang digoreng.
Tanda dan gejalanya adalah sebagai berikut :
1)   Nyeri dan kolik bilier, jika duktus sistikus tersumbat oleh batu empedu, kandung empedu akan mengalami distensi dan akhirnya infeksi.
2)   Pasien akan menderita panas.
3)   Teraba massa padat pada abdomen, pasien dapat mengalami kolik bilier disertai nyeri hebat pada abdomen kanan atas yang menjalar kepunggung atau bahu kanan.
4)   rasa nyeri disertai mual dan muntah, dan akan bertambah hebat dalam waktu beberapa jam sesudah makan dalam porsi besar.
5)   Pasien akan gelisah dan membalik-balikkan badan, merasa tidak nyaman, nyerinya bukan kolik tetapi persisten. Seorang kolik bilier semacam ini disebabkan oleh kontraksi kandung empedu yang tidak dapat mengalirkan empedu keluar akibat tersumbatnya saluran oleh batu.
6)   Adanya  nyeri tekan yang mencolok pada kuadran kanan atas ketika inspirasi dalam.
7)   Ikterus. Biasanya terjadi obstruksi duktus koledokus. Obstruksi pengaliran getah empedu keduodenum akan menimbulkan gejala yang khas : getah empedu tidak dibawa keduodenum tetapi diserap oleh darah sehingga kulit dan mukosa membran berwarna kuning, disertai gatal pada kulit.
8)   Perubahan warna urine tampak gelap dan feses warna abu-abu serta pekat karena ekskresi pigmen empedu oleh ginjal.
9)   Terjadi defisiensi vitamin ADEK. Defisiensi vitamin K dapat mengganggu pembekuan darah yang normal. Jika batu empedu terus menyumbat saluran tersebut akan mengakibatkan abses, nekrosis dan perforasi disertai peritonitis generalisata.

6.        PATOFISIOLOGI
Pembentukan batu kolesterol merupakan proses yang terdiri atas 4 defek utama yang dapat terjadi secara berurutan atau bersamaan:

1)   Supersaturasi Kolesterol Empedu
Kolesterol merupakan komponen utama dalam batu kolesterol. Pada metabolisme kolesterol yang normal, kolesterol yang disekresi ke dalam empedu akan terlarut oleh komponen empedu yang memiliki aktivitas detergenik seperti garam empedu dan fosfolipid (khususnya lesitin). Konformasi kolesterol dalam empedu dapat berbentuk misel, vesikel, campuran misel dan vesikel atau kristal. Umumnya pada keadaan normal dengan saturasi kolesterol yang rendah, kolesterol wujud dalam bentuk misel yaitu agregasi lipid dengan komponen berpolar lipid seperti senyawa fosfat dan hidroksil terarah keluar dari inti misel dan tersusun berbatasan dengan fase berair sementara komponen rantaian hidrofobik bertumpuk di bagian dalam misel.
Semakin meningkat saturasi kolesterol, maka bentuk komposisi kolesterol yang akan ditemukan terdiri atas campuran dua fase yaitu misel dan vesikel. Vesikel kolesterol dianggarkan sekitar 10 kali lipat lebih besar daripada misel dan memiliki fosfolipid dwilapisan tanpa mengandung garam empedu. Seperti misel, komponen berpolar vesikel turut diatur mengarah ke luar vesikel dan berbatasan dengan fase berair ekstenal sementara rantaian hidrokarbon yang hidrofobik membentuk bagian dalam dari lipid dwilapis. Diduga <30% kolesterol bilier diangkut dalam bentuk misel, yang mana selebihnya berada dalam bentuk vesikel. Umumnya, konformasi vesikel berpredisposisi terhadap pembentukan batu empedu karena lebih cenderung untuk beragregasi dan bernukleasi untuk membentuk konformasi kristal.. Empedu yang tersupersaturasi dengan kolesterol akan berwujud lebih dari satu fase yaitu dapat dalam bentuk campuran fase misel, vesikel maupun kristal dan cenderung mengalami presipitasi membentuk kristal yang selanjutnya akan berkembang menjadi batu empedu.
Pada keadaan supersaturasi, molekul kolesterol cenderung berada dalam bentuk vesikel unilamelar yang secara perlahan-lahan akan mengalami fusi dan agregasi hingga membentuk vesikel multilamelar (kristal cairan) yang bersifat metastabil. Agregasi dan fusi yang berlanjutan akan menghasilkan kristal kolesterol monohidrat menerusi proses nukleasi. Teori terbaru pada saat ini mengusulkan bahwa keseimbangan fase fisikokimia pada fase vesikel merupakan faktor utama yang menentukan kecenderungan kristal cairan untuk membentuk batu empedu.
2)   Hipomotilitas Kantung Empedu
Motilitas kantung empedu normal merupakan satu proses fisiologik yang mencegah litogenesis dengan memastikan evakuasi empedu secara berterusan dari kantung empedu ke dalam usus sebelum terjadinya proses litogenik. Hipomotilitas kantung empedu memperlambat evakuasi empedu ke dalam usus menerusi duktus empedu secara optimal dan ini menfasilitasi pembentukan kristal kolesterol halus yang cenderung bernukleasi dan berkembang menjadi batu empedu. Perlambatan evakuasi kantung empedu membolehkan absorpsi air dari empedu oleh dinding mukosa secara melampau hingga terjadi peningkatan konsentrasi empedu dan ini mempergiat proses litogenesis empedu. Hipomotilitas kantung empedu dapat terjadi akibat:
a)    Kelainan intrinsik dinding muskuler yang meliputi: Perubahan tingkat hormon seperti menurunnya kolesistokinin (CCK), meningkatnya somatostatin dan estrogen. Perubahan kontrol neural (tonus vagus).
b)    Kontraksi sfingter melampau hingga menghambat evakuasi empedu normal.
Patofisiologi yang mendasari fenomena hipomotilitas kantung empedu pada batu empedu masih belum dapat dipastikan. Namun begitu, diduga hipomotilitas kantung empedu merupakan akibat efek toksik kolesterol berlebihan yang menumpuk di sel otot polos dinding kantung yang menganggu transduksi sinyal yang dimediasi oleh protein G. Kesannya, terjadi pengerasan membran sarkolema sel otot tersebut. Secara klinis, penderita batu empedu dengan defek pada motilitas kantung empedu cenderung bermanifestasi sebagai gangguan pola makan terutamanya penurunan selera makan serta sering ditemukan volume residual kantung empedu yang lebih besar.
3)   Peningkatan Aktivitas Nukleasi Kolesterol
Empedu yang supersaturasi dengan kolesterol cenderung untuk mengalami proses nukleasi. Nukleasi merupakan proses kondensasi atau agregasi yang menghasilkan kristal kolesterol monohidrat mikroskopik atau partikel kolesterol amorfus daripada empedu supersaturasi.
Nukleasi kolesterol merupakan proses yang dipengaruhi oleh keseimbangan unsur antinukleasi dan pronukleasi yang merupakan senyawa protein tertentu yang dikandung oleh empedu. Penelitian in vitro model empedu mendapatkan bahwa faktor pronukleasi berinteraksi dengan vesikel kolesterol sementara faktor antinukleasi berinteraksi dengan kristal solid kolesterol. Antara faktor pronukleasi yang paling penting termasuk glikoprotein musin, yaitu satu-satunya komponen empedu yang terbukti menginduksi pembentukan batu pada keadaan in vivo. Inti dari glikoprotein musin terdiri atas daerah hidrofobik yang mampu mengikat kolesterol, fosfolipid dan bilirubin. Pengikatan vesikel yang kaya dengan kolesterol kepada regio hidrofilik glikoprotein musin ini diduga memacu proses nukleasi.
Faktor pronukleasi lain yang berhasil diisolasi daripada model sistem empedu termasuk imunoglobulin (IgG dan M), aminopeptidase N, haptoglobin dan glikoprotein asam. Penelitian terbaru menganjurkan peran infeksi intestinal distal oleh spesies Helicobacter (kecuali H. pylori) menfasilitasi nukleasi kolesterol empedu. Proses nukleasi turut dapat diinduksi oleh adanya mikropresipitat garam kalsium inorganik maupun organik.2 Faktor antinukleasi termasuk protein seperti imunoglobulin A (IgA), apoA-I dan apoA –II. Mekanisme fisiologik yang mendasari efek untuk sebagian besar daripada faktor-faktor ini masih belum dapat dipastikan.
Nukleasi yang berlangsung lama selanjutnya akan menyebabkan terjadinya proses kristalisasi yang menghasilkan kristal kolesterol monohidrat. Waktu nukleasi pada empedu penderita batu empedu telah terbukti lebih pendek dibanding empedu kontrol pada orang normal. Waktu nukleasi yang pendek mempergiat kristalisasi kolesterol dan menfasilitasi proses litogenesis empedu.
4)   Hipersekresi Mukus Di Kantung Empedu
Hipersekresi mukus kantung empedu dikatakan merupakan kejadian prekursor yang universal pada beberapa penelitian menggunakan model empedu hewan. Mukus yang eksesif menfasilitasi pembentukan konkresi kolesterol makroskopik karena mukus dalam kuantitas melampau ini berperan dalam memerangkap kristal kolesterol dengan memperpanjang waktu evakuasi empedu dari kantung empedu. Komponen glikoprotein musin dalam mukus ditunjuk sebagai faktor utama yang bertindak sebagai agen perekat yang menfasilitasi aglomerasi kristal dalam patofisiologi batu empedu. Saat ini, stimulus yang menyebabkan hipersekresi mukus belum dapat dipastikan namun prostaglandin diduga mempunyai peran penting dalam hal ini.



7.     
PATWAY

8.        PENATALAKSANAAN
A.       Penatalaksanaan Keperawatan
Sasaran utama terapi medikal adalah untuk mengurangi insiden serangan akut nyeri kandung empedu dan kolesistitis dengan penatalaksanaan suportif dan diit, dan jika memungkinkan, untuk menyingkirkan penyebab dengan farmakoterapi, prosedur-prosedur endoskopi, atau intervensi pembedahan.
1. Penatalaksanaan Supotif dan Diet
Sekitar 80% pasien dengan inflamasi akut kandung empedu sembuh dengan istirahat, cairan infus, pengisapan nasogastric, analgesic dan antibiotik. Intervensi bedah harus ditunda sampai gejala akut mereda dan evaluasi yang lengkap dapat dilaksanakan, kecuali jika kondisi pasien semakin memburuk.
B.       Penatalaksanaan Medis
Beberapa metode telah digunakan untuk melarutkan batu empedu dengan menginfuskan suatu bahan pelarut (monooktanoin atau metil tertier butyl eter [MTBE]) ke dalam kandung empedu. Pelarut tersebut dapat diinfuskan melalui selang atau kateter yang dipasang perkutan langsung ke dalam kandung empedu, atau melalui selang atau drain yang dimasukkan melaui T-tube untuk melarutkan batu yang belum dikeluarkan pada saat pembedahan, atau bisa juga melalui endoskop ERCP, atau kateter bilier transnasal.
Extracorporeal Shock-Wave Lithotripsy (ESWL). Prosedur noninvasif ini menggunakan gelombang kejut berulang (repeated shock waves) yang diarahkan pada batu empedu di dalam kandung empedu atau duktus koledokus dengan maksud untuk memecah batu tersebut menjadi sejumlah fragmen. Gelombang kejut dihasilkan dalam media cairan oleh percikan listrik, yaitu piezoelektrik, atau muatan elektromagnetik. Energi ini disalurkan ke dalam tubuh lewat rendaman air atau kantong yang berisi cairan. Gelombang kejut yang dkonvergensikan tersebut dialirkan kepada batu empedu yang akan dipecah. Setelah batu dipecah secara bertahap, pecahannya akan bergerak spontan dari kandung empedu atau duktus koledokus dan dikeluatkan melalui endoscop atau dilarutkan dengan pelarut asam empedu yang diberikan per oral.
Litotripsi Intracorporeal. Batu yang ada dalam kandung empedu atau duktus koledokus dapat dipecah dengan menggunakan gelombang ultrasound, laser berpulsa atau litotripsi hidrolik yang dipasang pada endoscop, dan diarahkan langsung pada batu. Kemudian fragmen batu atau debris dikeluarkan dengan cara irigasi dan aspirasi.

9.        PEMERIKSAAN PENUNJANG
1)        Pemeriksaan Laboratorium
  Batu kandung empedu yang asimtomatis umumnya tidak menunjukkan kelainan pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut, dapat terjadi leukositosis. Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan kenaikan ringan bilirubin serum akibat penekanan duktus koledukus oleh batu. Kadar bilirubin serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu didalam duktus koledukus. Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar amilase serum biasanya meningkat sedang setiap kali terjadi serangan akut. Enzim hati AST (SGOT), ALT (SGPT), LDH agak meningkat. Kadar protrombin menurun bila obstruksi aliran empedu dalam usus menurunkan absorbs vitamin K.
2)        Pemeriksaan Sinar-X Abdomen
   Pemeriksaan sinar-X abdomen bisa dilakukan jika ada kecurigaan akan penyakit kandung empedu dan untuk menyingkirkan penyebab gejala yang lain. Namun demikian, hanya 15-20% batu empedu yang mengalami cukup kalsifikasi untuk dapat tampak melalui pemeriksaan sinar-X.
3)        Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan USG telah menggantikan kolesistografi oral sebagai prosedur diagnostik pilihan karena pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan cepat dan akurat, dan dapat digunakan pada prndrita disfungsi hati dan icterus. Disamping itu, pemerikasaan USG tidak membuat pasien terpajan radiasi ionisasi. Prosedur ini akan memberikan hasil paling akurat jika pasien sudah berpuasa pada malam harinya sehingga kandung empedunya dalam keadaan distensi. Penggunaan ultra sound berdasarkan pada gelombang suara yang dipantulkan kembali.
4)        Kolesistografi
Meskipun sudah digantikan dengan USG sebagai pilihan utama, namun untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena relatif murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen sehingga dapat dihitung jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi oral dapat digunakan untuk mendeteksi batu empedu dan mengkaji kemempuan kandung empedu untuk melakukan pengisian, memekatkan isinya, berkontraksi, serta mengosongkan isinya. Media kontras yang mengandung iodium yang diekresikan oleh hati dan dipekatkan dalam kandung empedu diberikan kepada pasien. Kandung empedu yang normal akan terisi oleh bahan radiopaque ini. Jika terdapat batu empedu, bayangannya akan Nampak pada foto rontgen.
5)        Endoscopic Retrograde Cholangiopnacreatography (ERCP)
Pemeriksaan ERCP memungkinkan visualisasi struktur secara langsung yang hanya dapat dilihat pada saat melakukan laparotomi. Pemeriksaan ini meliputi insersi endoskop serat-optik yang fleksibel ke dalam esophagus hingga mencapai duodenum pasrs desenden.Sebuah kanula dimasukkan ke dalam duktus koledokus dan duktus pankreatikus, kemudian bahan kontras disuntikkan ke dalam duktus tersebut untuk memungkinkan visualisasi serta evaluasi percabangan bilier. ERCP juga memungkinkan visualisasi langsung struktur ini dan memudahkan akses ke dalam duktus koledokus bagian distal untuk mengambil batu empedu.
6)        Percutaneous Transhepatic Cholangiography (PTC)
Pemeriksaan kolangiografi ini meliputi penyuntikan bahan kontras secara langsung ke dalam percabangan bilier. Karena konsentrasi bahan kontras yang disuntikkan relative besar, maka semua komponen dalam system bilier tersebut, yang mencakup duktus hepatikus dalam hati, keseluruhan panjang doktus koledokus, duktus sistikus dan kandung empedu, dapat dilihat garis bentuknya dengan jelas.
7)        Computed Tomografi (CT)
  CT scan juga merupakan metode pemeriksaan yang akurat untuk menentukan adanya batu empedu, pelebaran saluran empedu dan koledokolitiasis. Walaupun demikian, teknik ini jauh lebih mahal dibanding US.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

1.      PENGKAJIAN
Pengkajian dalam hal ini terdapat beberapa pengkajian yang harus di isi seperti identitas, pasien tanggal masuk, penangguang jawab pasien, semua itu harus di isi dengan benar.
2.      RIWAYAT KESEHATAN
Riwayat kesehatan merupakan bagian dari salah satu pengkajian dalam hal ini pasien dikaji seperti keluahan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat kesehatan terdahulu, riwayat kesehatan keluarga serta persepsi keluarga terhadap penyakit dan genogram. Pasien terdahulu pernah mengalami penyakit jantung bengkak
3.      POLA FUNGSI KESEHATAN
Pasien tidak ada alergi obat atau makanan.
4.      PERSEPSI DAN PEMELIHARAAN KESEHATAN
Dalam hal ini meliputi harapan dirawat di rumah sakit, penegetahuan tentang penyakit, penegtahuan tentang keamanan, dan keselamatan.
5.      NUTRISI DAN METABOLIK
Anoreksia, mual/muntah, Tidak toleran terhadap lemak dan makanan “pembuat gas”; regurgitas berulang, nyeri epigastrium, tidak dapat makan, flatus, dyspepsia. Kegemukan, adanya penurunan berat badan.
6.      AKTIVITAS DAN LATIHAN
Disini terdapat kemampuan perawatan diri pasien seperti makan, minum, mandi, toileting, berpakaian, berpindah, mobilitas, di tempat tidur, dan alat bantu.
7.      TIDUR DAN ISTIRAHAT
Dalam hal ini terdapat kebiasaan tidur pasien, lama tidur pasien, dan masalah tidur pasien
8.      ELIMINASI
Urine pekat dan berwarna gelap, akibat dari pigmen empedu, Feses berwarna kelabu “clay colored” akibat obstruksi duktus biliaris sehingga pigmen empedu tidak dibuang melalui feses
9.      POLA PERSEPSI DIRI
Terdapat hargadiri pasien, identitas diri pasien, ideal diri pasien, penampilan koping.
10.  SISTEM PERAN
Hal ini terdapat peran pasien saat ini, penampilan pasien, system pendukung, interaksi dengan orang lain.
11.  SEKSUAL DAN REPRODUKSI
Hal ini terdapat frekuensi hubungan seksual pasien, hambatan hubungan seksual, periode mestruasi.
12.  KOGNITIF PERSEPTUAL
Hal ini terdapat keadaan mental, berbicara, kemapuan memahami, ancietas, pendengaran, penglihatan, nyeri.
13.  NILAI DAN KEYAKINAN
Hal ini terdapat agama dan nilai keyakianan yang dianut oleh pasien.
14.  PENGKAJIAN FISIK PASIEN
1)   Vital sign: tekanan darah, suhu, nadi, respirasi
2)   Pemerkasaan fisik
a)    Kepala: warna rambut, kualiatas rambut, kulit kepala,bentuk kepala.
b)   Mata: konjungtiva, seclera, kesimetrisan, pengeluaran cairan.
c)    Telinga: bentuk telinga, kesimetrisan, pengeluaran cairan
d)   Hidung dan sinus: pengeluaran cairan, bentuk hidung, warna.
e)    Mulut dan tenggorokan: bentuk bibir, mukosa, gigi, lidah, palatum, faring.
f)    Leher: bentuk, warna, posisi trakea, pemeriksaan tiroid, JVP. Trdapat luka dibagian leher kanan dan luka bekas tusukan infus.
g)   Thorak: bentuk dada, frekuensi nafas, kedalaman nafas, jenis pernafasan, retraksi dada, irama nafas, ekspansi paru, vocal vermitus, nyeri, batas paru,
h)   Jantung: ictus cordis, nyeri, batas jantung, suara tambahan.
i)     Abdomen: pasien nyeri di bagian perut kanan atas
j)     Genetalia: kondisi meatus, kelinan sukrotum, odem vulva.
k)   Ektermitas: ektermitas pasien normal dan dapat berfungsi semua
15.  PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang dilakukan setelah pemeriksaan fisik pada penderita, specimen yang diperoleh dari pasien akan mengalami berbagai macam pemeriksaan mikroskopik, biokimia, mikrobiologi, mauapun imuno fluo resensi
16.  TERAPI MEDIK
Terapi yang dilakukan guna mengembalikan fungsi tubuh yang mengalami masalah, biasanya bagi seseorang yang telah menjalankan pengobatan atau operasi
17.  ANALISA DATA
Mengelompokan data-data pasien atau keadaan tertentu pasien dimana pasien mengalami permasalahan kesehatan atau keperawatan berdasarkan kkriteria
permasalahan.
18.  DIAGNOSA KEPERAWATAN
1)      Disfungsi motilitas gastrointestinal b.d intoleransi makanan
2)      Nyeri akut b.d agen cedera biologis ( peradangan pada empedu)
3)      Kekurangan volume cairan b.d kehilangan cairan aktif
19.  RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
NO
DIAGNOASA KEPERAWATAN
NOC
NIC
1
Disfungsi motilitas gastrointestinal b.d intoleransi makanan

Fungsi gastrointestinal
Setalah dilakukan pengakjian selama 3x24 jam didapatkan hasil ;
1)      Nafsu makan  (4)
2)      Toleransi terhadap makanan (4)
3)      Serum albumin   (4)
4)      Hematrokrit  (4)
Penahapan diet
1)      Mnitor kesadaran pasien dan adanya reflek menelan sesuai kebutuhan
2)      Tingkatkan diet dari cairan jernih, lembut sampai denngan diet regular atau khusus
3)      Berikan nutrisi per oral sesuai kebutuhan
4)      Edukasi pasien dan keluarga tentang diet yang dijalani oleh pasien.
5)      Kolaborasi dengan tim medis lain dalam pemebrian obat dan meningkatkan diet secepat mungkin bila tidak ada komplikasi
2
Nyeri akut b.d agen cedera biologis ( peradangan pada empedu)

Kontrol nyeri
Setalah dilakukan pengakjian selama 3x24 jam didapatkan hasil ;
1)      Mengenali kapan yeri terjadi (4)
2)      Megambarkan waktu penyebab (4)
3)      Meggunakan tindakan pegurangan nyeri tanpa analgesic (4)
4)      Melaporkan nyeri yang terkontrol (4)

Manajeman nyeri
1.      Monitor mengenai ketidaknyamanan pada pasien yang di tunjukan secara verbal dan nonverbal
2.      Ajarkan teknik no farmakologi untuk menguragi nyeri
3.      Dukung tidur / istirahat yang adekuat untuk membantu penurunan nyeri
4.      Edukasi pasien dan keluarga meneganai nyeri seperti penyebab nyeri, berapa lama nyeri diraskan dan antisipasi dari ketidaknyamanan akibat procedure.
5.      Kolaborasi dengan tim medis dalam pembarian analgesik dalam mengurangi nyeri.
3
Kekurangan volume cairan b.d kehilangan cairan aktif

Keseimbangan cairan
pengakjian selama 3x24 jam didapatkan hasil ;
1)      Keseimbangan intake dan output dalam 24 jam (4)
2)      Berat badan stabil  (5)
3)      Serum elektrolit (4)
4)      Hematocrit  (4)

Manajemen cairan
1.      monitor hasil laboratorium yang relevan dengan retensi cairan (hemtokrit)
2.      jaga intake/ asupan yang akurat dan catat output
3.      medistribusikan asupan cairan selama 24 jam
4.      Edukasi pasien dan keluarga dalam pemberian makan yang baik
5.      Kolaborasi dengan tim medis lain untuk pemebrian obat melalui IV dan pemasagan infus dan mencatat kondisi pasien apakan membaik atau memburuk.






DAFTAR PUSTAKA

Cahyono, Suharjo B. 2009. Batu Empedu. Yogyakarta: Kanisus
Hadi, Sujono. 2002. Gastroenterologi. Bandung: Alumni
Herdman, T.Heather. 2010. NANDA Internasional Diagnosis Keperawatan : Definisi dan Klasifikasi 2009-2011. Jakarta : EGC
Kurnia, Nila Ramdani. “Kolelitiasis” (Online)
Muttaqin, Arif dan Sari, Kumala. 2011. Gangguan Gastrointestinal: Aplikasi Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Salemba Medika
Sanjaya, Arif. “Patofisiologi Pembentukan Batu Empedu” (Online)
Schwartz, Seymour I. 2000. Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah. Jakarta: EGC
Sherlock, Sheila. 1990. Penyakit Hati dan Sistem Saluran Empedu. Jakarta: Widya Medika.
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Keperawatan Medikal-Bedah: Buku Saku dari Brunner & Suddarth. Jakarta : EGC
Sulaiman, Ali dkk. 1990. Gastroenterologi Hepatologi. Jakarta : CV.Sagung Seto
Suratun dan Lusianah. 2010. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Gastrointestinal. Jakarta: Trans Info Medi


DOWNLOAD

Comments

Popular posts from this blog

DOWNLOAD CONTOH SURAT LAMARAN DAPUR MBG

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN AN. M.A DENGAN DIAGNOSA MEDIS KEJANG DEMAM (HIPERTERMIA)

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN SYOK SEPSIS DI RUANG ICU