LAPORAN PENDAHULUAN TRAUMA ABDOMEN

LAPORAN PENDAHULUAN
TRAUMA ABDOMEN

A. KONSEP PENYAKIT
1. DEFINISI
Trauma adalah penyebab kematian ketiga di Amerika serikat setelah aterosklerosis dan kanker. Trauma adalah cedera fisik dan psikis, kekerasan yang mengakibatkan cedera. Ada banyak sekali macam trauma sesuai dengan dengan jenis yang terjadi pada tubuh kita. Salah satu trauma adalah trauma abdomen.
Trauma abdomen adalah trauma/cedera yang mengenai daerah abdomen yang menyebabkan \ timbulnya gangguan/kerusakan pada organ yang ada di dalamnya.
Trauma Abdomen adalah terjadinya atau kerusakan pada organ abdomen yang dapat menyebabkan perubahan fisiologi sehingga terjadi gangguan metabolisme, kelainan imonologi dan gangguan faal berbagai organ (Yudhautama, 2013).

2. KLASIFIKASI
Trauma abdomen ada dua macam, yaitu: penetrasi dan non penetrasi.
1) Trauma tumpul (non penetrasi)
Trauma tumpul abdomen adalah suatu trauma pada abdomen oleh karena benda tumpul yang didasarkan hasil autoanamnesa atau alloanamnesa baik adanya jejas maupun tanpa jejas, tetapi didapatkan adanya tanda tanda klinis berupa rasa ketidak nyamanan sampai rasa nyeri dibagian abdomen oleh karena perlukaan atau kerusakan organ bagian dalam.
2) Trauma tembus (penetrasi)
Trauma tembus abdomen (luka tembak, luka tusuk) bersifat serius dan biasanya memerlukan pembedahan. Pada cedera tembus, factor yang paling penting adalah kecepatan peluru masuk ke dalam tubuh. Peluru kecepatan tinggi membuat kerusakan jaringan yang sangat luas. Hamper semua luka tembak memerluka bedah eksplorasi. Luka tusuk mungkin lebih ditangani secara konservatif. Trauma tembus abdominal menimbulkan insiden yang tinggi dari luka terhadap organ beruang, terutama usus halus. Hati adalah organ padat yang paling sering cedera (Brunner & Suddarth, 2001).


Trauma pada dinding abdomen terdiri kontusio dan laserasi :
1) Kontusio dinding abdomen disebabkan trauma non-penetrasi. Kontusio dinding abdomen tidak terdapat cedera intra abdomen, kemungkinan terjadi eksimosis atau penimbunan darah dalam jaringan lunak dan masa darah dapat menyerupai tumor.
2) Laserasi, jika terdapat luka pada dinding abdomen yang menembus rongga abdomen harus dieksplorasi. Atau terjadi karena trauma penetrasi.

3. ETIOLOGI
Penyebab trauma abdomen berdasarkan klasifikasinya:
1) Penyebab trauma tumpul abdomen:
a. Terkena kompresi atau tekanan dari luar tubuh
b. Hancur (tertabrak mobil)
c. Terjepit sabuk pengaman karna terlalu menekan perut
d. Cidera akselerasi / deserasi karena kecelakaan olah raga
Pasien dengan trauma tumpul adalah suatu tantangan karena adanya potensi cedera yang tersembunyi yang mungkin sulit dideteksi.. insiden komplikasi berkaitan dengan trauma yang penanganannya terlambat lebih besar dari insiden yang berhubungan dari luka tusuk. Khususnya cedera tumpul yang mengenai hati, limpa, ginjal, atau pembuluhdarah, yang dapat menimbulkan kehilangan darah substansial kedalam orgam perineum (Brunner & Suddarth, 2001).
2) Penyebab truma tembus abdomen:
a. Luka akibat terkena tembakan
b. Luka akibat tikaman benda tajam
c. Luka akibat tusukan

4. PATOFISIOLOGI
 Bila suatu kekuatan eksternal dibenturkan pada tubuh manusia (akibat kecelakaan lalulintas, penganiayaan, kecelakaan olah raga dan terjatuh dari ketinggian), maka beratnya trauma merupakan hasil dari interaksi antara faktor – faktor fisik  dari kekuatan tersebut dengan jaringan tubuh. Berat trauma yang terjadi berhubungan  dengan kemampuan obyek statis (yang ditubruk) untuk menahan tubuh. Pada tempat benturan karena terjadinya perbedaan pergerakan  dari jaringan tubuh yang akan menimbulkan disrupsi jaringan. Hal ini juga karakteristik dari permukaan  yang menghentikan tubuh juga penting. Trauma juga tergantung pada elastitisitas dan viskositas dari jaringan tubuh. Elastisitas adalah kemampuan jaringan untuk kembali pada keadaan yang sebelumnya. Viskositas adalah kemampuan jaringan untuk menjaga bentuk aslinya walaupun ada benturan. Toleransi tubuh menahan benturan tergantung pada kedua keadaan tersebut.. Beratnya trauma yang terjadi tergantung kepada seberapa jauh gaya yang ada akan dapat melewati ketahanan jaringan. Komponen lain yang harus dipertimbangkan  dalam beratnya trauma adalah posisi tubuh relatif terhadap permukaan benturan. Hal tersebut dapat terjadi cidera organ intra abdominal yang disebabkan beberapa mekanisme :
Meningkatnya tekanan intra abdominal yang mendadak dan hebat oleh gaya tekan dari luar seperti benturan setir atau sabuk pengaman yang letaknya tidak benar dapat mengakibatkan terjadinya ruptur dari organ padat maupun organ berongga.
Terjepitnya organ intra abdominal antara dinding abdomen anterior dan vertebrae atau struktur tulang dinding thoraks.
Terjadi gaya akselerasi – deselerasi secara mendadak dapat menyebabkan gaya robek pada organ dan pedikel vaskuler.

5. MANIFESTASI KLINIS
A. Manifestasi Klinis secara umum menurut Smeltzer (2001) :
· Nyeri (khususnya karena gerakan)
· Nyeri tekan dan lepas (mungkin menandakan iritasi peritoneum Cairan gastrointestinal atau darah
· Distensi abdomen
· Demam
· Anoreksia
· Mual dan muntah
· Takikardi
· Peningkatan suhu tubuh

B. Manifestasi Klinis secara umum menurut (Scheets, 2002), yaitu :
1. Laserasi, memar,ekimosis
2. Hipotensi
3. Tidak adanya bising usus
4. Hemoperitoneum
5. Mual dan muntah
6. Adanya tanda “Bruit” (bunyi abnormal pd auskultasi pembuluh darah, biasanya pd arteri karotis),
7. Nyeri
8. Pendarahan
9. Penurunan kesadaran
10. Sesak
11. Tanda Kehrs adalah nyeri di sebelah kiri yang disebabkan oleh perdarahan limfa.Tanda ini ada saat pasien dalam posisi recumbent.
12. Tanda Cullen adalah ekimosis periumbulikal pada perdarahan peritoneal
13. Tanda Grey-Turner adalah ekimosis pada sisi tubuh ( pinggang ) pada perdarahan retroperitoneal
14. Tanda coopernail adalah ekimosis pada perineum,skrotum atau labia pada fraktur pelvis
15. Tanda balance adalah daerah suara tumpul yang menetap pada kuadran kiri atas saat perkusi pada hematoma limfe

6. PEMERIKSAAN PADA TRAUMA ABDOMEN
A. Penilaian Trauma
Pemeriksaan pada korban trauma harus cepat dan sistematik sehingga tidak ada cedera yang tidak terdeteksi sebelum dilakukan penanggulangan yang efisien dan terencana. Diagnosis dapat ditegakkan dengan menganalisis data yang didapat dari anamnese, pemeriksaan fisik, laboratorium dan pencitraan. (Udeani, 2011)
1. Anamnese
Anamnese yang teliti terhadap pasien yang mengalami trauma abdomen akibat tabrakan kendaraan bermotor harus mencakup kecepatan kendaraan, jenis tabrakan, berapa besar penyoknya bagian kendaraan ke dalam ruang penumpang, jenis pengaman yang dipergunakan, ada/tidak air bag, posisi pasien dalam kendaraan, dan status penumpang lainnya. Keterangan ini dapat diperoleh langsung dari pasien, penumpang lain, polisi maupun petugas emergensi jalan raya. Informasi mengenai tanda-tanda vital, luka-iuka yang ada maupun respons terhadap perawatan pra-rumah sakit harus dapat diberikan oleh petugas-petugas pra-rumah sakit. (American College of Surgeons. 2004)
Bila meneliti pasien dengan trauma tajam, anamnese yang teliti harus diarahkan pada waktu terjadinya trauma, jenis senjata yang dipergunakan (pisau, pistol, senapan), jarak dari pelaku, jumlah tikaman atau tembakan, dan jumlah perdarahan eksternal yang tercatat di tempat kejadian. Bila mungkin, informasi tambahan harus diperoleh dari pasien mengenai hebatnya maupun lokasi dari setiap nyeri abdominalnya, dan apakah ada nyeri-alih ke bahu. Selain itu pada luka tusuk dapat diperkirakan organ mana yang terkena dengan mengetahui arah tusukan, bentuk pisau dan cara memegang alat penusuk tersebut. (Pusponegoro,2011).

2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik diarahkan untuk mencari bagian tubuh yang terkena trauma, kemudian menetapkan derajat cedera berdasarkan hasil analisis riwayat trauma.1 Pemeriksaan fisik abdomen harus dilakukan dengan teliti dan sistimatis meliputi inspeksi, auskultasi, perkusi, dan palpasi. Temuan-temuan positif ataupun negatif didokumentasi dengan baik pada status. (American College of Surgeons. 2004)
Syok dan penurunan kesadaran mungkin akan memberikan kesulitan pada pemeriksaan perut. Trauma penyerta kadang-kadang dapat menghilangkan gejala-gejala perut.  
a) Inspeksi
Umumnya pasien harus diperiksa tanpa pakaian. Adanya jejas pada dinding perut dapat menolong ke arah kemungkinan adanya trauma abdomen. Abdomen bagian depan dan belakang, dada bagian bawah dan perineum diteliti apakah mengalami ekskoriasi ataupun memar karena alat pengaman, adakah laserasi, liang tusukan, benda asing yang menancap, omentum ataupun bagian usus yang keluar, dan status kehamilan. Harus dilakukan log-roll agar pemeriksaan lengkap.
b) Auskultasi
Di ruang IGD yang ramai sulit untuk mendengarkan bising usus, yang penting adalah ada atau tidaknya bising usus tersebut. Darah bebas di retroperitoneum ataupun gastrointestinal dapat mengakibatkan ileus, yang mengakibatkan hilangnya bising usus. Pada luka tembak atau luka tusuk dengan isi perut yang keluar, tentunya tidak perlu diusahakan untuk memperoleh tanda-tanda rangsangan peritoneum atau hilangnya bising usus. Pada keaadan ini laparotomi eksplorasi harus segera dilakukan. Pada trauma tumpul perut, pemeriksaan fisik sangat menentukan untuk tindakan selanjutnya.3 Cedera struktur lain yang berdekatan seperti iga, vertebra, maupun pelvis bisa juga mengakibatkan ileus walaupun tidak ada cedera intraabdominal. Karena itu hilangnya bising usus tidak diagnostik untuk trauma intraabdominal. (American College of Surgeons. 2004)
c) Perkusi
Manuver ini mengakibatkan pergerakan peritoneum dan mencetuskan tanda peritonitis. Dengan perkusi bisa kita ketahui adanya nada timpani karena dilatasi lambung akut di kwadran kiri atas ataupun adanya perkusi redup bila ada hemoperitoneum.2 Adanya darah dalam rongga perut dapat ditentukan dengan shifting dullness, sedangkan udara bebas ditentukan dengan pekak hati yang beranjak atau menghilang. (Ahmadsyah,2009)
d) Palpasi
Adanya kekakuan dinding perut yang volunter (disengaja oleh pasien) mengakibatkan pemeriksaan abdomen ini menjadi kurang bermakna. Sebaliknya, kekakuan perut yang involunter merupakan tanda yang bermakna untuk rangsang peritoneal. Tujuan palpasi adalah untuk mendapatkan adanya nyeri lepas yang kadang-kadang dalam. Nyeri lepas sesudah tangan yang menekan kita lepaskan dengan cepat menunjukkan peritonitis, yang bisanya oleh kontaminasi isi usus, maupun hemoperitoneum tahap awal.
e) Evaluasi luka tusuk
Sebagian besar kasus luka tembak ditangani dengan laparotomi eksplorasi karena insiden cedera intraperitoneal bisa mencapai 95%. Luka tembak yang tangensial sering tidak betul-betul tangensial, dan trauma akibat ledakan bisa mengakibatkan cedera intraperitoneal walaupun tanpa adanya luka masuk. Luka tusukan pisau biasanya ditangani lebih selektif, akan tetapi 30% kasus mengalami cedera intraperitoneal. Semua kasus luka tembak ataupun luka tusuk dengan hemodinamik yang tidak stabil harus di laparotomi segera.
Bila ada kecurigaan bahwa luka tusuk yang terjadi sifatnya superfisial dan nampaknya tidak menembus lapisan otot dinding abdomen, biasanya ahli bedah yang berpengalaman akan mencoba untuk melakukan eksplorasi luka terlebih dahulu untuk menentukan kedalamannya. Prosedur ini tidak dilakukan untuk luka sejenis diatas iga karena kemungkinan pneumotoraks yang terjadi, dan juga untuk pasien dengan tanda peritonitis ataupun hipotensi. Akan tetapi, karena 25-33% luka tusuk di abdomen anterior tidak menembus peritoneum, laparotomi pada pasien seperti ini menjadi kurang produktif. Dengan kondisi steril, anestesi lokal disuntikkan dan jalur luka diikuti sampai ditemukan ujungnya. Bila terbukti peritoneum tembus, pasien mengaiami risiko lebih besar untuk cedera intraabdominal, dan banyak ahli bedah menganggap ini sudah indikasi untuk melaksanakan laparotomi. Setiap pasien yang sulit kita eksplorasi secara lokal karena gemuk, tidak kooperatif maupun karena perdarahan jaringan lunak yang mengaburkan penilaian kita harus dirawat untuk evaluasi ulang ataupun kalau perlu untuk laparotomi.
f) Menilai stabilitas pelvis
Penekanan secara manual pada sias ataupun crista iliaca akan menimbulkan rasa nyeri maupun krepitasi yang menyebabkan dugaan pada fraktur pelvis pada pasien dengan trauma tumpul. Harus hati-hati karena manuver ini bisa menyebabkan atau menambah perdarahan yang terjadi.
g) Pemeriksaan penis, perineum dan rektum
Adanya darah pada meatus uretra menyebabkan dugaan kuat robeknya uretra. Inspeksi pada skrotum dan perineum dilakukan untuk melihat ada tidaknya ekimosis ataupun hematom dengan dugaan yang sama dengan diatas. Tujuan pemeriksaan rektum pada pasien dengan trauma tumpul adalah untuk menentukan tonus sfingter, posisi prostat (prostat yang lelaknya tinggi menyebabkan dugaan cedera uretra), dan menentukan ada tidaknya fraktur pelvis. Pada pasien dengan luka tusuk, pemeriksaan rektum bertujuan menilai tonus sfingter dan melihat adanya perdarahan karena perforasi usus.
h) Pemeriksaan vagina
Bisa terjadi robekan vagina karena fragmen tulang dari fraktur pelvis ataupun luka tusuk.
i) Pemeriksaan glutea
Regio glulealis memanjang dari crista iliaca sampai Iipatan glutea. Luka tusuk di daerah ini biasanya berhubungan (50%) dengan cedera intraabdominal.


3. Intubasi
Bilamana problem airway, breathing, dan circulation sudah dilakukan diagnosis dan terapi, sering dilakukan pemasangan kateter gaster dan urine sebagai bagian dari resusitasi.
A. Gastric tube
Tujuan terapeutik dari pemasangan gastric tube sejak masa resusitasi adalah untuk mengatasi dilatasi lambung akut, dekompresi gaster sebelum melakukan DPL, dan mengeluarkan isi lambung yang berarti mencegah aspirasi. Adanya darah pada NGT menunjukkan kemungkinan adanya cedera esofagus ataupun saluran gastrointestinal bagian atas bila nasofaring ataupun orofaringnya aman. Perhatian: gastric tube harus dimasukkan melalui mulut (orogastric) bila ada kecurigaan fraktur tulang fasial ataupun fraktur basis cranii agar bisa mencegah tube masuk melalui lamina cribiformis menuju otak.
B. Kateter urin
Tujuan pemasangan adalah mengatasi retensi urin, dekompresi buli-buli sebelum melakukan DPL, dan untuk monitor urinary output sebagai salah satu indeks perfusi jaringan. Hematuria menunjukkan adanya cedera traktus urogenitalis. Perhatian: ketidak mampuan untuk kencing, fraktur pelvis yang tidak stabil, darah pada metus urethra, hematoma skrotum ataupun ekimosis perineum maupun prostat yang letaknya tinggi pada colok dubur menjadi petunjuk agar dilakukan pemeriksaan uretrografi retrograd agar bisa diyakinkan tidak adanya rupture urethra sebelum pemasangan kateter. Bilamana pada primary survey maupun secondary survey kita ketahui adanya robek uretra, mungkin harus dilakukan pemasangan kateter suprapubik oleh dokter yang berpengalaman.

4. Pengambilan Sampel Darah Dan Urin
Darah yang diambil sewaktu pemasangan jarum infus gunanya adalah menentukan tipe darah. Pada pasien yang hemodinamiknya stabil adalah untuk penentuan tipe dan crossmatch bagi yang hemodinamiknya tidak stabil. Bersamaan dengan itu dilakukan juga pemeriksaan darah rutin, kalium + glukosa + amylase (pada trauma tumpul) dan juga kadar alkohol darah.  Walaupun kadang tidak penting, dilakukan juga pemeriksaan laboratorium tambahan pada pasien yang diketahui punya sakit lain sebelumnya, ataupun pasien yang akan menjalani pemeriksaan Rontgen dengan bahan kontras (terutama yodium) intravena. Urin dikirim untuk urinalisa ataupun tes obat dalam urin bilamana diperlukan. Untuk wanita dengan usia produktif, dilakukan juga pemeriksaan tes kehamilan.2 Indikasi untuk urinalisis diagnostik termasuk trauma yang signifikan pada dan perut/atau panggul, gross hematuria, hematuria mikroskopis dalam pengaturan hipotensi, dan mekanisme deselerasi yang signifikan. (Udeani, 2011).

5. Pemeriksaan Radiologi
A. Pemeriksaan X-Ray untuk screening trauma tumpul
Rontgen untuk screening adalah Ro-foto cervical lateral, thorax AP dan pelvis AP  dilakukan pada pasien trauma tumpul dengan multitrauma. Rontgen foto abdomen 3 posisi (telentang, tegak dan lateral dekubitus) berguna untuk melihat adanya udara bebas di bawah diafragma ataupun udara di luar lumen di retroperitonium, yang kalau ada pada keduanya menjadi petunjuk untuk dilakukannya laparotomi. Hilangnya bayangan psoas menunjukkan kemungkinan cedera retroperitoneal.
B. Pemeriksaan X-Ray untuk screening trauma tajam
Pasien luka tusuk dengan hemodinamik yang abnormal tidak memerlukan pemeriksaan screening X-Ray. Pada pasien luka tusuk di atas umbilikus atau dicurigai dengan cedera thoracoabdominal dengan hemodinamik yang normal, rontgen foto thorax tegak bermanfaat untuk menyingkirkan hemo atau pneumothorax, ataupun untuk dokumentasi adanya udara bebas intraperitoneal. Pada pasien yang hemodinamiknya normal, pemasangan klip pada luka masuk maupun luka keluar dari suatu luka tembak dapat memperlihatkan jalannya peluru maupun adanya udara retroperitoneal pada rontgen foto abdomen tidur.
C. Pemeriksaan dengan kontras yang khusus
1) Uretrografi
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, harus dilakukan uretrografi sebelum pemasangan kateter urin bila kita curigai adanya ruptur uretra. Pemeriksaan uretrografi dilakukan dengan memakai kateter No. 8-F dengan balon dipompa 15-20 cc di fossa naviculare. Dimasukkan 15-20 cc kontras yang tidak diencerkan. Dilakukan pengambilan foto dengan proyeksi oblik dengan sedikit tarikan pada penis.
2) Sistografi
 Ruptur buli-buli intra ataupun ekstraperitoneal terbaik ditentukan dengan pemeriksaan sistografi ataupun CT sistografi. Dipasang kateter uretra dan kemudian dipasang 300 cc kontras yang larut dalam air pada kolf setinggi 40 cm di atas pasien dan dibiarkan kontras mengalir ke dalam buli-buli atau sampai (1) aliran terhenti (2) pasien secara spontan mengedan, atau (3) pasien merasa sakit. Diambil foto rontgen AP, oblik dan foto post-voiding. Cara lain adalah dengan periksaan CT Scan (CT cystogram) yang terutama bermanfaat untuk mendapatkan informasi tambahan tentang ginjal maupun tulang pelvisnya. (American College of Surgeons. 2004). Pada trauma pelvis atau abdomen bagian bawah dengan hematuria,  dilakukan sistografi dan ureterogram bila ada kecurigaan cedera uretra,  terutama bila ada riwayat cedera pelana seperti jatuh di atas setang sepeda. (Pusponegoro,2011).
3) CT Scan/IVP
Bilamana ada fasilitas CT Scan, maka semua pasien dengan hematuria dan hemodinamik stabil yang dicurigai mengalami cedera sistem urinaria bias diperiksa dengan CT Scan dengan kontras dan bisa ditentukan derajat cedera ginjalnya. Bilamana tidak ada fasilitas CT Scan, alternatifnya adalah pemeriksaan IVP.2 Pada penderita dengan hematuria yang keadaannya stabil harus dilakukan IVP. (Pusponegoro,2011). Gastrointestinal
6. Pemeriksaan Diagnostik pada Trauma Tumpul(American College of Surgeons. 2004)
Apabila ada bukti awal atau pun bukti yang jelas menunjukkan pasien harus segera ditransfer, pemeriksaan yang memerlukan banyak waktu tidak perlu dilakukan. Beberapa prosedur yang dapat dilakukan antara lain diagnostik peritoneal lavage, CT scan, maupun Focused Assesment Sonography in Trauma (USG FAST).
Diagnostik Peritoneal Lavage (DPL) merupakan prosedur invasif yang bisa dikerjakan dengan cepat, memiliki sensitivitas sebesar 98% untuk perdarahan intraperitoneal. DPL harus dilakukan pada pasien trauma tumpul dengan hemodinamik abnormal, khususnya apabila ditemui:
1. Perubahan sensorium akibat trauma kapitis, intoksikasi alkohol, kecanduan obat-obatan.
2. Perubahan sensasi akibat trauma spinal.
3. Cedera organ yang berdekatan dengan iga bawah, pelvis, vertebra lumbalis.
4. Pemeriksaan fisik diagnostik tidak jelas.
5. Diperkirakan akan ada kehilangan kontak dengan pasien dalam waktu yang agak lama, misalnya pasien menjalani pembiusan untuk cidera ekstraabdominal, pemeriksaan angiografi.
6. Adanya lap-belt sign (kontusio dinding perut) dengan kecurigaan trauma usus.

7. PENATALAKSANAAN MEDIS
Menurut Azlina (2013) penatalaksanaan medis trauma abdomen yaitu:
A. Penanganan Awal
· Trauma non- penetrasi (trauma tumpul)
a. Stop makanan dan minuman
b. Imobilisasi
c. Kirim kerumah sakit.
· Penetrasi (trauma tajam)
a. Bila terjadi luka tusuk, maka tusukan (pisau atau benda tajam lainnya) tidak boleh dicabut kecuali dengan adanya tim medis
b. Penanganannya bila terjadi luka tusuk cukup dengan melilitkan dengan kain kassa pada daerah antara pisau untuk memfiksasi pisau sehingga tidak memperparah luka.
c. Bila ada usus atau organ lain yang keluar, maka organ tersebut tidak dianjurkan dimasukkan kembali kedalam tubuh, kemudian organ yang keluar dari dalam tersebut dibalut kain bersih atau bila ada verban steril.
d. Imobilisasi pasien
e. Tidak dianjurkan memberi makan dan minum
f. Apabila ada luka terbuka lainnya maka balut luka dengan menekang.
g.Kirim ke rumah sakit

B. Penatalaksanaan Kedaruratan 
1) Mulai prosedur resusitasi (memperbaiki jalan napas, pernapasan, sirkulasi) sesuai indikasi.
a) Pertahankan pasien pada brankar atau tandu papan ; gerakkan dapat menyebabkan fragmentasi bekuan pada pada pembuluh darah besar dan menimbulkan hemoragi masif.
b) Pastikan kepatenan jalan napas dan kestabilan pernapasan serta sistem saraf.
c) Jika pasien koma, bebat leher sampai setelah sinar x leher didapatkan.
d) Gunting baju dari luka.
e) Hitung jumlah luka.
f) Tentukan lokasi luka masuk dan keluar.
2) Kaji tanda dan gejala hemoragi. Hemoragi sering menyertai cedera abdomen, khususnya hati dan limpa mengalami trauma.
3) Kontrol perdarahan dan pertahanan volume darah sampai pembedahan dilakukan.
a) Berikan kompresi pada luka perdarahan eksternal dan bendungan luka dada.
b) Pasang kateter IV diameter besar untuk penggantian cairan cepat dan memperbaiki dinamika sirkulasi.
c) Perhatikan kejadian syoksetelah respons awal terjadi terhadap transfusi ; ini sering merupakan tanda adanya perdarrahan internal.
d) Dokter dapat melakukan parasentesis untuk mengidentifikasi tempat perdarahan.
4) Aspirasi lambung dengan selang nasogastrik. Prosedur ini membantu mendeteksi luka lambung, mengurangi kontaminasi terhadap rongga peritonium, dan mencegah komplikasi paru karena aspirasi.
5) Tutupi visera abdomen yang keluar dengan balutan steril, balutan salin basah untuk mencegah nkekeringan visera.
a) Fleksikan lutut pasien ; posisi ini mencegah protusi lanjut.
b) Tunda pemberian cairan oral untuk mencegah meningkatnya peristaltik dan muntah.
6) Pasang kateter uretra menetap untuk mendapatkan kepastian adanya hematuria dan pantau haluaran urine.
7) Pertahankan lembar alur terus menerus tentang tanda vital, haluaran urine, pembacaan tekanan vena sentral pasien (bila diindikasikan), nilai hematokrit, dan status neurologik.
8) Siapkan untuk parasentesis atau lavase peritonium ketika terdapat ketidakpastian mengenai perdarahan intraperitonium.
9) Siapkan sinografi untuk menentukan apakah terdapat penetrasi peritonium pada kasus luka tusuk.
a) Jahitan dilakukan disekeliling luka.
b) Kateter kecil dimasukkan ke dalam luka.
c) Agens kontras dimasukkan melalui kateter ; sinar x menunjukkan apakah penetrasi peritonium telah dilakukan.
10) Berikan profilaksis tetanus sesuai ketentuan.
11) Berikan antibiotik spektrum luas untuk mencegah infeksi. trauma dapat menyebabkan infeksi akibat karena kerusakan barier mekanis, bakteri eksogen dari lingkungan pada waktu cedera dan manuver diagnostik dan terapeutik (infeksi nosokomial).
12) Siapkan pasien untuk pembedahan jika terdapat bukti adanya syok, kehilangan darah, adanya udara bebas dibawah diafragma, eviserasi, atau hematuria.

B. ASUHAN KEPERAWATAN
A.  Pengkajian
Dalam pengkajian pada trauma  abdomen harus berdasarkan prinsip-prinsip Penanggulangan Penderita Gawat Darurat yang mempunyai skala prioritas A (Airway), B (Breathing), C (Circulation). Hal ini dikarenakan trauma abdomen harus dianggap sebagai dari multi trauma dan dalam pengkajiannya tidak terpaku pada abdomennya saja.
1. Anamnesa
a) Biodata
· Keluhan Utama
· Keluhan yang dirasakan sakit.
· Hal spesifik dengan penyebab dari traumanya.
b) Riwayat penyakit sekarang (Trauma)
· Penyebab dari traumanya  dikarenakan benda tumpul atau peluru.
· Kalau penyebabnya jatuh, ketinggiannya berapa dan bagaimana posisinya saat jatuh.
· Kapan kejadianya dan jam berapa kejadiannya.
· Berapa berat keluhan yang dirasakan bila nyeri, bagaimana sifatnya pada quadran mana yang dirasakan paling nyeri atau sakit sekali.
c) Riwayat Penyakit yang lalu
· Kemungkinan pasien sebelumnya  pernah menderita gangguan jiwa.
· Apakah pasien menderita penyakit asthma atau diabetesmellitus dan gangguan faal hemostasis.
d) Riwayat psikososial spiritual
· Persepsi pasien terhadap musibah yang dialami.
· Apakah musibah tersebut mengganggu emosi dan mental.
· Adakah kemungkinan percobaan bunuh diri (tentamen-suicide).

2. Pemeriksaan Fisik
a. Sistem Pernapasan
· Pada inspeksi bagian frekwensinya, iramanya dan adakah jejas pada dada serta jalan napasnya.
· Pada palpasi simetris tidaknya dada saat paru ekspansi dan pernapasan tertinggal.
· Pada perkusi adalah suara hipersonor dan pekak.
· Pada auskultasi adakah suara abnormal, wheezing dan ronchi.
b. Sistem cardivaskuler (B2 = blood)
· Pada inspeksi adakah perdarahan aktif atau pasif yang keluar dari daerah abdominal dan adakah anemis.
· Pada palpasi bagaimana mengenai kulit, suhu daerah akral dan bagaimana suara detak jantung menjauh atau menurun dan adakah denyut jantung paradoks.
c. Sistem Neurologis (B3 = Brain)
· Pada inspeksi adakah gelisah atau tidak gelisah dan adakah jejas di kepala.
· Pada palpasi adakah kelumpuhan atau lateralisasi pada anggota gerak.
· Bagaimana tingkat kesadaran yang dialami dengan menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS).
d. Sistem Gatrointestinal (B4 = bowel)
· Pada inspeksi :
Adakah jejas dan luka atau adanya organ yang luar.
Adakah distensi abdomen kemungkinan adanya perdarahan dalam cavum abdomen.
Adakah pernapasan perut yang tertinggal atau tidak.
Apakah kalau batuk terdapat nyeri dan pada quadran berapa, kemungkinan adanya abdomen iritasi.
· Pada palpasi :
Adakah spasme / defance mascular dan abdomen.
Adakah nyeri tekan dan pada quadran berapa.
Kalau ada  vulnus sebatas mana kedalamannya.
· Pada perkusi :
Adakah nyeri ketok dan pada quadran mana.
Kemungkinan-kemungkinan adanya cairan/udara bebas dalam cavum abdomen.
· Pada Auskultasi :
Kemungkinan adanya peningkatan atau penurunan dari bising usus atau menghilang.
· Pada rectal toucher :
Kemungkinan adanya darah / lendir pada sarung tangan.
Adanya ketegangan tonus otot / lesi pada otot rectum.
e. Sistem Urologi (B5 = bladder)
· Pada inspeksi adakah jejas pada daerah rongga pelvis dan adakah distensi pada daerah vesica urinaria serta bagaimana produksi urine dan warnanya.
· Pada palpasi adakah nyeri tekan daerah vesica urinaria dan adanya distensi.
· Pada perkusi adakah nyeri ketok pada daerah vesica urinaria.
f. Sistem Muskuloskeletal (B6 = Bone)
· Pada inspeksi adakah jejas dan kelaian bentuk extremitas terutama daerah pelvis.
· Pada palpasi adakah ketidakstabilan pada tulang pinggul atau pelvis.

3. Pemeriksaan Penunjang :
a. Radiologi :
· Foto BOF (Buick Oversic Foto)
· Bila perlu thoraks foto.
· USG (Ultrasonografi)
b. Laboratorium :
· Darah lengkap dan sample darah (untuk transfusi)
· Disini terpenting Hb serial ½ jam sekali sebanyak 3 kali.
· Urine lengkap (terutama ery dalam urine)
c. Elektro Kardiogram
· Pemeriksaan ini dilakukan pada pasien usia lebih 40 tahun.

B. DIAGNOSA

1. Risiko ketidakseimbangan elektrolit
2. nyeri akut




C. RENCANA KEPERAWATAN

SDKI
SLKI
SIKI
Risiko ketidak seimbangan elektrolit
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x 24 jam diharapkan keseimbangan cairan meningkat dengan KH:
1. tekanan darah membaik
2. frekuensi nadi membaik
3. output urin meningkat
4. dehidrasi menurun
5. turgor kulit membaik
Pencegahan Perdarahan
Observasi
1. monitor tanda dan gejala perdarahan
2. monitor nilai hb
3. monitor TTV
Terapeutik
4. pertahankan bed rest selama perdarahan
Edukasi
5. jelaskan tanda dan gejala perdarahan
6. anjurkan meningkatkan asupan dan vit K
Kolaborasi
7. kolaborasi pemberian obat pengontrol perdarahan
8. kolaborasi pemberian produk darah

Nyeri akut
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x 24 jam di harapkan tingkat nyeri  menurun dengan Kh:
1. keluhan nyeri menurun
2. kesulitan tidur menurun
3. frekuensi nafas membaik
4. tekanan darah membaik

Manajemen Nyeri
Observasi
1. identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri.
2. Identifikasi skala nyeri
Terapeutik
3. berikan tehnik non farmakoligi untuk mengurangi rasa nyeri
4. fasilitasi istrahat dan tidur
5. kontrol lingkungan yang memperberat nyeri
Edukasi
6.jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
7. jelaskan strategi meredakan nyeri
Kolaborasi 8
8. kolaborasi pemberian analgesik
DAFTAR PUSTAKA


Brooker, Christine. 2001. Kamus Saku Keperawatan Ed.31. Jakarta: EGC

Carpenito, 1998 Buku saku: Diagnosa Keperawatan Aplikasi Pada Praktek Klinis,             Edisi 6. Jakarta: EGC

Doenges. 2000.Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk perencanaan dan   Pendokumentasian perawatan pasien, Edisi 3. Jakarta: EGC

FKUI. 1995. Kumpulan Kuliah Ilmu bedah. Jakarta: Binarupa Aksara

               Hudak & Gallo. 2001. Keperawatan Kritis : Pendekatan Holistik. Jakarta : EGC

Mansjoer, Arif. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1.FKUI : Media      Aesculapius

Sjamsuhidayat. 1998. Buku Ajar Bedah. Jakarta : EGC

Smeltzer, Suzanne C. 2001. Keperawatan Medikal-Bedah Brunner and Suddarth   Ed.8 Vol.3. : Jakarta: EGC.

               Suddarth & Brunner. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.Jakarta :        EGC

Training. 2009. Primarytraumacare.(http ://www.primarytraumacare.org/   ptcman/training/ppd/ptc_indo.pdf/ 10, 17, 2009, 13.10 1m, diakses: 12         september 2011)





Comments

Popular posts from this blog

DOWNLOAD CONTOH SURAT LAMARAN DAPUR MBG

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN AN. M.A DENGAN DIAGNOSA MEDIS KEJANG DEMAM (HIPERTERMIA)

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN SYOK SEPSIS DI RUANG ICU