NIFAS


PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
              Persalinan merupakan proses pengeluaran hasil konsepsi (janin dan plasenta) yang telah cukup bulan atau dapat hidup di luar kandungan melalui jalan lahir atau melalui jalan lain, dengan bantuan atau tanpa bantuan atau kekuatan sendiri (Manuaba, 2001). Terdapat dua cara persalinan, yaitu persalinan lewat vagina, lebih dikenal dengan persalinan normal atau alami dan persalinan dengan operasi caesar (Sectio Caesarea), yaitu bayi dikeluarkan lewat pembedahan perut (Kasdu, 2003).
              Sectio Caesarea (SC) merupakan pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka dinding perut dan dinding uterus atau vagina atau suatu histerotomi untuk melahirkan janin dari dalam rahim (Carpenito, 2001). Menurut Christine (2005) dalam tahun 30 tahun belakangan, peristiwa operasi caesar meningkat dengan pesat.  Di Australia dan Inggris, operasi caesar sekitar 10 sampai 15%. Di Amerika Serikat, sekitar 16% sampai 20%. Brasil merupakan salah satu negara dengan tingkat operasi caesar tertinggi di dunia. Tingkat kelahiran melalui operasi di Brasil saat ini sudah mencapai 44 persen dimana menurut World Health Organization (WHO) standar rata-rata operasi caesar di sebuah negara adalah sekitar 5-15%. Di Indonesia persentase operasi caesar sekitar 5%. Di rumah sakit pemerintah rata-rata 11%, sementara di rumah sakit swasta bisa lebih dari 30% (www.health.kompas.com).
              Berbagai faktor yang dapat menjadi indikasi dilakukan tindakan SC antara lain faktor ibu dan janin. Salah satu faktor yang berasal dari ibu adalah Disproporsi Kepala Panggul (DKP). DKP atau Cephalopelvic Disproportion (CPD) adalah keadaan yang menggambarkan ketidaksesuaian antara kepala janin dan panggul ibu sehingga janin tidak dapat keluar melalui vagina. Disproporsi kepala panggul disebabkan oleh panggul sempit, janin yang besar ataupun kombinasi keduanya (Cunningham, 2005). Ukuran lingkar panggul ibu tidak sesuai dengan ukuran lingkar kepala janin dapat menyebabkan ibu tidak dapat melahirkan secara alami (Kasdu, 2003).
              Penatalaksanaan klien post sectio caesarea mempunyai karakteristik yang berbeda, dimana penatalaksanaannya merupakan kombinasi antara penatalaksanaan post operasi dan post partum. Uraian di atas membuat penulis tertarik dalam menyusun dan memberikan asuhan keperawatan post partum pada klien post sectio caesarea atas indikasi disproporsi kepala panggul di Ruang Edelweis RSUD KRT Setjonegoro Wonosobo.


























LANDASAN TEORI
A.    Pengertian
Sectio caesarea adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka dinding perut dan dinding uterus. (Sarwono, 2005)
Sectio caesarea adalah suatu cara melahirkan janin dengan membuat sayatan pada dinding uterus melalui depan perut atau vagina. Atau disebut juga histerotomia untuk melahirkan janin dari dalam rahim. (Mochtar, 1998)

B.     Etiologi
Menurut Mochtar (1998) faktor dari ibu dilakukannya sectio caesarea adalah plasenta previa , panggul sempit, partus lama, distosia serviks, pre eklamsi dan hipertensi. Sedangkan faktor dari janin adalah letak lintang dan letak bokong.
Menurut Manuaba (2001) indikasi ibu dilakukan sectio caesarea adalah ruptur uteri iminen, perdarahan antepartum, ketuban pecah dini. Sedangkan indikasi dari janin adalah fetal distres dan janin besar melebihi 4.000 gram. Dari beberapa faktor sectio caesarea diatas dapat diuraikan beberapa penyebab sectio caesarea sebagai berikut :

1.      CPD (Chepalo Pelvik Disproportion)
2.      KPD (Ketuban Pecah Dini)
3.      Janin Besar (Makrosomia)
4.      Kelainan Letak Janin
5.      Bayi kembar
6.      Faktor hambatan jalan lahir
7.      PEB (Pre-Eklamsi Berat)
Pre-eklamsi dan eklamsi merupakan kesatuan penyakit yang langsung disebabkan oleh kehamilan, sebab terjadinya masih belum jelas. Setelah perdarahan dan infeksi, pre-eklamsi dan eklamsi merupakan penyebab kematian maternal dan perinatal paling penting dalam ilmu kebidanan. Karena itu diagnosa dini amatlah penting, yaitu mampu mengenali dan mengobati agar tidak berlanjut menjadi eklamsi (Mochtar, 1998).
Pre-eklamsi ialah penyakit dengan tanda-tanda hipertensi, edema, dan proteinuria yang timbul karena kehamilan. Penyakit ini umumnya terjadi pada trimester III kehamilan, tetapi dapat terjadi sebelumnya, misalnya pada mola hidatidosa. Hipertensi biasanya timbul lebih dahulu dari pada tanda-tanda lain. Untuk menegakkan diagnosis pre-eklamsi, kenaikan tekanan sistolik harus 30 mmHg atau lebih diatas tekanan yang biasanya ditemukan, atau mencapai 140 mmHg atau lebih. Kenaikan tekanan diastolik sebenarnya lebih dapat dipercaya. Apabila tekanan diastolik naik dengan 15 mmHg atau lebih, atau menjadi 100 mmHg atau lebih, maka diagnosis hipertensi dapat dibuat. Penentuan tekanan darah dilakukan minimal 2 kali dengan jarak waktu 6 jam pada kedaan istirahat (Wiknjosastro, 2002).
Edema ialah penimbunan cairan secara umum dan berlebihan dalam jaringan tubuh, dan biasanya dapat diketahui dari kenaikan berat badan serta pembengkakan kaki, jari tangan, dan muka. Edema pretibial yang ringan sering ditemukan pada kehamilan biasa, sehingga tidak seberapa berarti untuk penentuan diagnosis pre-eklamsi. Kenaikan berat badan setengah kilo setiap minggu dalam kehamilan masih dapat dianggap normal, tetapi bila kenaikan satu kilo seminggu beberapa kali,hal ini perlu menimbulkan kewaspadaan terhadap timbulnya pre-eklamsia. Proteinuria berarti konsentrasi protein dalam air kencing yang melebihi 0,3 gram/liter dalam air 24 jam atau pemeriksaan kualitatif menunjukkan satu atau dua + atau satu gram per liter atau lebih dalam air kencing yang dikeluarkan dengan kateter yang diambil minimal 2 kali dengan jarak waktu 6 jam. Biasanya proteinuria timbul lebih lambat dari pada hipertensi dan kenaikan berat badan karena itu harus dianggap sebagai tanda yang cukup serius (Wiknjosastro, 2002).
Pada penatalaksanaan pre-eklamsia untuk pencegahan awal ialah pemeriksaan antenatal yag teratur dan bermutu serta teliti, mengenali tanda-tanda sedini mungkin, lalu diberikan pengobatan yang cukup supaya penyakit tidak menjadi lebih berat. Tujuan utama penanganan adalah untuk mencegah terjadinya pre-eklamsi dan eklamsi, hendaknya janin lahir hidup dan trauma pada janin seminimal mungkin (Mochtar, 1998).
Menurut (Manuaba, 1998) gejala pre-eklamsi berat dapat diketahui dengan pemeriksaan pada tekanan darah mencapai 160/110 mmHg, oliguria urin kurang 400 cc/24 jam, proteinuria lebih dari 3 gr/liter. Pada keluhan subjektif pasien mengeluh nyeri epigastrium, gangguan penglihatan dan nyeri kepala. Pada pemeriksaan di dapat kadar enzim hati meningkat disertai ikterus, perdarahan pada retina dan trombosit kurang dari 100.000/mm.
Pada ibu penderita pre-eklamsi berat, timbul konvulsi yang dapat diikuti oleh koma. Mencegah timbulnya eklamsi jauh lebih penting dari mengobatinya, karena sekali ibu mendapat serangan, maka prognosa akan jauh lebih buruk. Penatalaksanaan eklamsi bertujuan untuk menghentikan berulangnya serangan konvulsi dan mengakhiri kehamilan secepatnya dengan melakukan sectio caesarea yang aman agar mengurangi trauma pada janin seminimal mungkin (Mochtar, 1998).

C.    Tujuan Sectio Caesarea
Tujuan melakukan sectio caesarea (SC) adalah untuk mempersingkat lamanya perdarahan dan mencegah terjadinya robekan serviks dan segmen bawah rahim. Sectio caesarea dilakukan pada plasenta previa totalis dan plasenta previa lainnya jika perdarahan hebat. Selain dapat mengurangi kematian bayi pada plasenta previa, sectio caesarea juga dilakukan untuk kepentingan ibu, sehingga sectio caesarea dilakukan pada placenta previa walaupun anak sudah mati.





D.    Jenis - Jenis Operasi Sectio Caesarea (SC)
                  1.     Abdomen (SC Abdominalis)
A.      Sectio Caesarea Transperitonealis
Sectio caesarea klasik atau corporal: dengan insisi memanjang pada corpus uteri. Sectio caesarea profunda: dengan insisi pada segmen bawah uterus.
B.      Sectio caesarea ekstraperitonealis
Merupakan sectio caesarea tanpa membuka peritoneum parietalis dan dengan demikian tidak membuka kavum abdominalis.
                  2.     Vagina (sectio caesarea vaginalis)
Menurut arah sayatan pada rahim, sectio caesaria dapat dilakukan apabila:
a.       Sayatan memanjang (longitudinal)
b.      Sayatan melintang (tranversal)
c.       Sayatan huruf T (T Insisian)
                  3.     Sectio Caesarea Klasik (korporal)
Dilakukan dengan membuat sayatan memanjang pada korpus uteri kira-kira 10cm.
Kelebihan:
a.       Mengeluarkan janin lebih memanjang
b.      Tidak menyebabkan komplikasi kandung kemih tertarik
c.       Sayatan bisa diperpanjang proksimal atau distal
Kekurangan:
a.       Infeksi mudah menyebar secara intraabdominal karena tidak ada reperitonial yang baik.
b.      Untuk persalinan berikutnya lebih sering terjadi rupture uteri spontan.
c.       Ruptura uteri karena luka bekas SC klasik lebih sering terjadi dibandingkan dengan luka SC profunda. Ruptur uteri karena luka bekas SC klasik sudah dapat terjadi pada akhir kehamilan, sedangkan pada luka bekas SC profunda biasanya baru terjadi dalam persalinan.
d.      Untuk mengurangi kemungkinan ruptura uteri, dianjurkan supaya ibu yang telah mengalami SC jangan terlalu lekas hamil lagi. Sekurang -kurangnya dapat istirahat selama 2 tahun. Rasionalnya adalah memberikan kesempatan luka sembuh dengan baik. Untuk tujuan ini maka dipasang akor sebelum menutup luka rahim.
                  4.     Sectio Caesarea (Ismika Profunda)
Dilakukan dengan membuat sayatan melintang konkaf pada segmen bawah rahim kira-kira 10cm
Kelebihan:
a.       Penjahitan luka lebih mudah
b.      Penutupan luka dengan reperitonialisasi yang baik
c.       Tumpang tindih dari peritoneal flap baik sekali untuk menahan isi uterus ke rongga perineum
d.      Perdarahan kurang
e.       Dibandingkan dengan cara klasik kemungkinan ruptur uteri spontan lebih kecil
Kekurangan:
a.       Luka dapat melebar ke kiri, ke kanan dan bawah sehingga dapat menyebabkan arteri uteri putus yang akan menyebabkan perdarahan yang banyak.
b.      Keluhan utama pada kandung kemih post operatif tinggi.
                  5.     Komplikasi
a.       Infeksi Puerperalis
Komplikasi ini bersifat ringan, seperti kenaikan suhu selama beberapa hari dalam masa nifas atau dapat juga bersifat berat, misalnya peritonitis, sepsis dan lain-lain. Infeksi post operasi terjadi apabila sebelum pembedahan sudah ada gejala - gejala infeksi intrapartum atau ada faktor - faktor yang merupakan predisposisi terhadap kelainan itu (partus lama khususnya setelah ketuban pecah, tindakan vaginal sebelumnya). Bahaya infeksi dapat diperkecil dengan pemberian antibiotika, tetapi tidak dapat dihilangkan sama sekali, terutama SC klasik dalam hal ini lebih berbahaya daripada SC transperitonealis profunda.
b.      Perdarahan
Perdarahan banyak bisa timbul pada waktu pembedahan jika cabang arteria uterina ikut terbuka atau karena atonia uteri
c.       Luka kandung kemih
d.      Embolisme paru - paru
e.       Suatu komplikasi yang baru kemudian tampak ialah kurang kuatnya perut pada dinding uterus, sehingga pada kehamilan berikutnya bisa terjadi ruptura uteri. Kemungkinan hal ini lebih banyak ditemukan sesudah sectio caesarea klasik.
E.     Patofisiologi
Adanya beberapa kelainan/hambatan pada proses persalinan yang menyebabkan bayi tidak dapat lahir secara normal / spontan, misalnya plasenta previa sentralis dan lateralis, panggul sempit, disproporsi cephalo pelvic, rupture uteri mengancam, partus lama, partus tidak maju, pre-eklamsia, distosia serviks, dan malpresentasi janin. Kondisi tersebut menyebabkan perlu adanya suatu tindakan pembedahan yaitu Sectio Caesarea (SC).
Dalam proses operasinya dilakukan tindakan anestesi yang akan menyebabkan pasien mengalami imobilisasi sehingga akan menimbulkan masalah intoleransi aktivitas. Adanya kelumpuhan sementara dan kelemahan fisik akan menyebabkan pasien tidak mampu melakukan aktivitas perawatan diri pasien secara mandiri sehingga timbul masalah defisit perawatan diri.
Kurangnya informasi mengenai proses pembedahan, penyembuhan, dan perawatan post operasi akan menimbulkan masalah ansietas pada pasien. Selain itu, dalam proses pembedahan juga akan dilakukan tindakan insisi pada dinding abdomen sehingga menyebabkan terputusnya inkontinuitas jaringan, pembuluh darah, dan saraf - saraf di sekitar daerah insisi. Hal ini akan merangsang pengeluaran histamin dan prostaglandin yang akan menimbulkan rasa nyeri (nyeri akut). Setelah proses pembedahan berakhir, daerah insisi akan ditutup dan menimbulkan luka post op, yang bila tidak dirawat dengan baik akan menimbulkan masalah risiko infeksi.

F.     Pemeriksaan Penunjang
                    1.       Hemoglobin atau hematokrit (HB/Ht) untuk mengkaji perubahan dari kadar pra operasi dan mengevaluasi efek kehilangan darah pada pembedahan.
                    2.       Leukosit (WBC) mengidentifikasi adanya infeksi
                    3.       Tes golongan darah, lama perdarahan, waktu pembekuan darah
                    4.       Urinalisis / kultur urine
                    5.       Pemeriksaan elektrolit

G.    Penatalaksanaan Medis Post SC
                    1.       Pemberian cairan
Karena 24 jam pertama penderita puasa pasca operasi, maka pemberian cairan perintavena harus cukup banyak dan mengandung elektrolit agar tidak terjadi hipotermi, dehidrasi, atau komplikasi pada organ tubuh lainnya. Cairan yang biasa diberikan biasanya DS 10%, garam fisiologi dan RL secara bergantian dan jumlah tetesan tergantung kebutuhan. Bila kadar Hb rendah diberikan transfusi darah sesuai kebutuhan (Manuaba, 1999).
                    2.       Diet
Pemberian cairan perinfus biasanya dihentikan setelah penderita flatus lalu dimulailah pemberian minuman dan makanan peroral. Pemberian minuman dengan jumlah yang sedikit sudah boleh dilakukan pada 6 - 10 jam pasca operasi, berupa air putih dan air teh.
                    3.       Mobilisasi
Mobilisasi dilakukan secara bertahap meliputi:
a.       Miring kanan dan kiri dapat dimulai sejak 6 - 10 jam setelah operasi
b.      Latihan pernafasan dapat dilakukan penderita sambil tidur telentang sedini mungkin setelah sadar
c.       Hari kedua post operasi, penderita dapat didudukkan selama 5 menit dan diminta untuk bernafas dalam lalu menghembuskannya.
d.      Kemudian posisi tidur telentang dapat diubah menjadi posisi setengah duduk (semifowler)
e.       Selanjutnya selama berturut-turut, hari demi hari, pasien dianjurkan belajar duduk selama sehari, belajar berjalan, dan kemudian berjalan sendiri pada hari ke-3 sampai hari ke5 pasca operasi.
                    4.       Kateterisasi
Kandung kemih yang penuh menimbulkan rasa nyeri dan tidak enak pada penderita, menghalangi involusi uterus dan menyebabkan perdarahan. Kateter biasanya terpasang 24 - 48 jam / lebih lama lagi tergantung jenis operasi dan keadaan penderita.
                    5.       Pemberian obat-obatan
1)      Antibiotik
Cara pemilihan dan pemberian antibiotic sangat berbeda-beda setiap institusi
2)      Analgetik dan obat untuk memperlancar kerja saluran pencernaan
a)      Supositoria = ketopropen sup 2x/24 jam
b)      Oral = tramadol tiap 6 jam atau paracetamol
c)      Injeksi = penitidine 90-75 mg diberikan setiap 6 jam bila perlu
3)      Obat-obatan lain
Untuk meningkatkan vitalitas dan keadaan umum penderita dapat diberikan caboransia seperti neurobian I vit. C
4)      Perawatan luka
Kondisi balutan luka dilihat pada 1 hari post operasi, bila basah dan berdarah harus dibuka dan diganti
5)      Perawatan rutin
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan adalah suhu, tekanan darah, nadi,dan pernafasan.



KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS

A.    Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
A.      Pengkajian data umum
1)      Identitas klien dan penanggung
2)      Keluhan utama klien saat ini
3)      Riwayat kehamilan, persalinan, dan nifas sebelumnya bagi klien multipara
4)      Riwayat penyakit keluarga
5)      Keadaan klien meliputi:
6)      Sirkulasi
Hipertensi dan pendarahan vagina yang mungkin terjadi. Kemungkinan kehilangan darah selama prosedur pembedahan kira-kira 600-800 mL
7)      Integritas ego
Dapat menunjukkan prosedur yang diantisipasi sebagai tanda kegagalan dan atau refleksi negatif pada kemampuan sebagai wanita. Menunjukkan labilitas emosional dari kegembiraan, ketakutan, menarik diri, atau kecemasan.
8)      Makanan dan cairan
Abdomen lunak dengan tidak ada distensi (diet ditentukan).
9)      Neurosensori
Kerusakan gerakan dan sensasi di bawah tingkat anestesi spinal epidural.
10)  Nyeri / ketidaknyamanan
Mungkin mengeluh nyeri dari berbagai sumber karena trauma bedah, distensi kandung kemih , efek - efek anesthesia, nyeri tekan uterus mungkin ada.
11)  Pernapasan
Bunyi paru - paru vesikuler dan terdengar jelas.
12)  Keamanan
Balutan abdomen dapat tampak sedikit noda / kering dan utuh.
13)  Seksualitas
Fundus kontraksi kuat dan terletak di umbilikus. Aliran lokhea sedang.

B.      Diagnosa Keperawatan
1)      Nyeri akut berhubungan dengan pelepasan mediator nyeri (histamin, prostaglandin) akibat trauma jaringan dalam pembedahan (section caesarea)
2)      Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan trauma jaringan / luka kering bekas operasi
3)      Ansietas berhubungan dengan kurangnya informasi tentang prosedur pembedahan, penyembuhan dan perawatan post operasi
4)      Defisit perawatan diri b/d kelemahan fisik akibat tindakan anestesi dan pembedahan



C.      Rencana Asuhan Keperawatan
No
Diagnosa Keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil
Intervensi
1
Nyeri akut berhubungan dengan pelepasan mediator nyeri (histamin, prostaglandin) akibat trauma jaringan dalam pembedahan (section caesarea)
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama … x 24 jam diharapkan nyeri klien berkurang / terkontrol dengan kriteria hasil :
Ø  Klien melaporkan nyeri berkurang / terkontrol
Ø  Wajah tidak tampak meringis
Ø  Klien tampak rileks, dapat berisitirahat, dan beraktivitas sesuai kemampuan

     1.     Lakukan pengkajian secara komprehensif tentang nyeri meliputi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri dan faktor presipitasi.
     2.     Observasi respon nonverbal dari ketidaknyamanan (misalnya wajah meringis) terutama ketidakmampuan untuk berkomunikasi secara efektif.
     3.     Kaji efek pengalaman nyeri terhadap kualitas hidup (ex: beraktivitas, tidur, istirahat, rileks, kognisi, perasaan, dan hubungan sosial)
     4.     Ajarkan menggunakan teknik nonanalgetik (relaksasi progresif, latihan napas dalam, imajinasi, sentuhan terapeutik.)
     5.     Kontrol faktor - faktor lingkungan yang yang dapat mempengaruhi respon pasien terhadap ketidaknyamanan (ruangan, suhu, cahaya, dan suara)
     6.     Kolaborasi untuk penggunaan kontrol analgetik, jika perlu. 
2
Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan trauma jaringan / luka bekas operasi (SC)
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama … x 24 jam diharapkan klien tidak mengalami infeksi dengan kriteria hasil :
Ø  Tidak terjadi tanda - tanda infeksi (kalor, rubor, dolor, tumor, fungsio laesea)
Ø  Suhu dan nadi dalam batas normal ( suhu = 36,5 -37,50 C, frekuensi nadi = 60 - 100x/ menit)
Ø  WBC dalam batas normal (4,10-10,9 10^3 / uL) 
     1.     Tinjau ulang kondisi dasar / faktor risiko yang ada sebelumnya. Catat waktu pecah ketuban.
     2.     Kaji adanya tanda infeksi (kalor, rubor, dolor, tumor, fungsio laesa)
     3.     Lakukan perawatan luka dengan teknik aseptik
     4.     Inspeksi balutan abdominal terhadap eksudat / rembesan. Lepaskan balutan sesuai indikasi
     5.     Anjurkan klien dan keluarga untuk mencuci tangan sebelum / sesudah menyentuh luka
     6.     Pantau peningkatan suhu, nadi, dan pemeriksaan laboratorium jumlah WBC / sel darah putih
     7.     Kolaborasi untuk pemeriksaan Hb dan Ht. Catat perkiraan kehilangan darah selama prosedur pembedahan
     8.     Anjurkan intake nutrisi yang cukup
     9.     Kolaborasi penggunaan antibiotik sesuai indikasi
3
Ansietas berhubungan dengan kurangnya informasi tentang prosedur pembedahan, penyembuhan, dan perawatan post operasi

Setelah diberikan asuhan keperawatan selama … x 6 jam diharapkan ansietas klien berkurang dengan kriteria hasil :
Ø  Klien terlihat lebih tenang dan tidak gelisah
Ø  Klien mengungkapkan bahwa ansietasnya berkurang 

1.      Kaji respon psikologis terhadap kejadian dan ketersediaan sistem pendukung
2.      Tetap bersama klien, bersikap tenang dan menunjukkan rasa empati
3.      Observasi respon nonverbal klien (misalnya: gelisah) berkaitan dengan ansietas yang dirasakan
4.      Dukung dan arahkan kembali mekanisme koping
5.      Berikan informasi yang benar mengenai prosedur pembedahan, penyembuhan, dan perawatan post operasi
6.      Diskusikan pengalaman / harapan kelahiran anak pada masa lalu
7.      Evaluasi perubahan ansietas yang dialami klien secara verbal 










4.
Defisit perawatan diri b.d. Kelelahan.
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam ADLs klien meningkat  dengan indicator:
Self care : Activity of Daily Living (ADLs)
1.      Klien terbebas dari bau badan
2.      Menyatakan kenyamanan terhadap kemampuan untuk melakukan ADLs
3.      Dapat melakukan ADLS dengan bantuan
Self Care assistane : ADLs
1.      Monitor kemempuan klien untuk perawatan diri yang mandiri.
2.      Monitor kebutuhan klien untuk alat-alat bantu untuk kebersihan diri, berpakaian, berhias, toileting dan makan.
3.      Sediakan bantuan sampai klien mampu secara utuh untuk melakukan self-care.
4.      Dorong klien untuk melakukan aktivitas sehari-hari yang normal sesuai kemampuan yang dimiliki.
5.      Dorong untuk melakukan secara mandiri, tapi beri bantuan ketika klien tidak mampu melakukannya.
6.      Ajarkan klien/ keluarga untuk mendorong kemandirian, untuk memberikan bantuan hanya jika pasien tidak mampu untuk melakukannya.
7.      Berikan aktivitas rutin sehari- hari sesuai kemampuan.
8.      Pertimbangkan usia klien jika mendorong pelaksanaan aktivitas sehari-hari. 





DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, I.J. 2001. Diagnosa Keperawatan, Edisi 8. Jakarta : EGC
Doengoes, Marylinn. 2001. Rencana Asuhan Keperawatan Maternal / Bayi. Jakarta : EGC
Manuaba, I.B. 2001. Kapita Selekta Penatalaksanaan Rutin Obstetri Ginekologi dan KB. Jakarta : EGC
Manuaba, I.B. 1999. Operasi Kebidanan Kandungan Dan Keluarga Berencana Untuk Dokter Umum. Jakarta : EGC
Mochtar, Rustam. 1998. Sinopsis Obstetri, Edisi 2, Jilid 2. Jakarta : EGC
Sarwono, Prawiroharjo,. 2005. Ilmu Kandungan, Cetakan ke-4. Jakarta : PT Gramedi
Wilkinson M. Judith. 2006. Buku Saku Diagnosa Keperawatan dengan Intervensi NIC dan Kriteria Hasil NOC, Edisi 7. Jakarta:EGC
Prawirohardjo, S. 2000. Buku acuan nasional pelayanan kesehatan maternal dan neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka.

DOWNLOAD FILE NIFAS

Comments

Popular posts from this blog

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN KEBUTUHAN OKSIGENASI

SINOPSIS PANTOMIM - JANGAN BUDAYAKAN SERING TELAT MASUK SEKOLAH