MAKALAH KETATANEGARAAN AGAMA


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Karena atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulisan makalah ini dapat terselesaikan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Sholawat serta salam tak lupa kita curahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw, karena berkat jasa beliaulah kita dapat mengenal Islam. Dan semoga kita mendapat syafaatnya di Yaumil Kiyamah nanti.
Makalah ini berjudul “Ketatanegaraan Dalam Islam”. Tujuan penulisan makalah ini adalah selain untuk melengkapi tugas mata kuliah Agama Islam Kemuhammadiyahan juga sebagai informasi serta untuk menambah wawasan khususnya mengenai ketatanegaraan dalam islam dan adapun metode yang kami ambil dalam penyusunan makalah ini adalah berdasarkan pengumpulan sumber informasi.
Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca. Kami sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun, khususnya dari dosen mata pelajaran guna menjadi acuan bagi kami untuk lebih baik dimasa yang akan datang.

Semarang, 30 Juni 2018


BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Di dalam Alquran terdapat sejumlah ayat yang mengandung petunjuk dan pedo-man bagi manusia dalam hidup ber-masyarakat dan bernegara. Di antaranya ayat-ayat tersebut mengajarkan tentang kedudukan manusia di bumi dan tentang prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam kehidupan kemasyarakatan.
Alquran merupakan sumber ajaran Islam yang isinya mencakup segala aspek kehidupan manusia. Ia tidak hanya meng-atur hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan sesamanya dan dengan alam ling-kungannya. Alquran juga memerintahkan agar umat Islam melaksanakan ajaran-ajaran Islam seutuhnya dan melarang mereka mengikuti kehendak dan ajakan setan.1 Di antara ajaran Islam terdapat pula ajaran yang berkenaan dengan kehidupan politik atau ketatanegaraan. Oleh karena itu, sebagai konsekuensi logis perintah di atas, maka umat Islam menuntut dan berjuang menegakkan negara.
Negara yang dikehendaki umat Islam adalah negara yang bersistem ketata-negaraan berdasarkan syariat Islam, dan tidak perlu atau bahkan jangan meniru sistem ketatanegaraan Barat. Dengan demikian sistem ketatanegaraan yang harus diteladani adalah sistem yang telah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad saw. dan para Khulafa al-Rasyidin.2 Pelaksanaan prinsip-prinsip ketatanegaraan pada masa Rasulullah dan al-Khulafa al-Rasyidin dapat disebut sebagai sistem ketatanegaraan yang ideal dalam Islam.
Oleh sebab itu, maka tulisan ini akan mengungkapkan bagaimana konsep ketata-negaraan dalam Islam? Dalam menjawab permasalah pokok tersebut, penulis akan lebih banyak mengungkapkan apa yang telah Rasulullah saw. dan al-Khulafa al-Rasyidin telah contohkan.

1.2 Rumusan Masalah

Dalam makalah ini penulis mengidentifikasi masalah sebagai berikut :
1.      Apa definisi dari ketatanegaraan?
2.      Bagaimana sifat dan bentuk pemerintahan?
3.      Bagaimana sistem pemerintahan negara Islam?
4.      Bagaimana syarat-syarat kepemimpinan negara Islam?

1.3 Tujuan Penulisan

Makalah ini bertujuan untuk mengetahui:
1.      Mengetahui definisi dari ketatanegaraan.
2.      Mengidentifikasi bagaimana sifat dan bentuk pemerintahan.
3.      Mengidentifikasi bagaimana sistem pemerintahan negara Islam.
4.      Mengetahui bagaimana syarat-syarat kepemimpinan negara Islam. 

BAB II PEMBAHASAN


1.1 Pengertian Tatanegara

   Tata negara adalah suatu kekuasaan sentral yang mengatur kehidupan bernegara yang menyangkut sifat, bentuk, tugas negara dan pemerintahan, atau sebaliknya. Sedang untuk pengertian hukum tata negara, tampaknya belum ada kesepakatan di kalangan para pakar.
   AV. Decey, sebagaimana yang dikutip A. Mustari Pide, menyatakan bahwa Hukum Tata Negara adalah segala peraturan yang berisi, baik secara langsung atau tidak langsung tentang pembagian kekuasaan dan pelaksana yang tertinggi dalam suatu negara.4
   Ibnu Kencana Syafi’i berkesimpulan bahwa Hukum Tata Negara adalah aturan susunan serta tata cara yang berlaku dalam suatu kelompok keluarga, organisasi ke-wilayahan dan kedaerahan yang memiliki kekuasaan, kewenangan yang abash serta kepemimpinan pemerintahan yang ber-daulat, guna mewujudkan kesejahteraan, keamanan, ketertiban, dan kelangsungan hidup orang banyak (bangsa) dalam mencapai tujuan serta cita-cita bersama.5
   Dari beberapa pengertian yang dikemukakan di atas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa tata negara adalah segala sesuatu yang mengenai peraturan-peraturan,sifat, dan bentuk pemerintahan suatu negara.

2.2 Sistem Pemerintahan Negara Islam

2.2.1 Sistem Pemerintahan Khilafah

Khilafah adalah pemerintahan islam yang tidak dibatasi oleh wilayah teritorial,sehingga kekhalifahan islam meliputi berbagai suku dan bangsa. Ikatan yang mmempersatukan kekhalifahan adalah islam sebagai agama. Pada intinya, kekhalifahan adalah kepeminpinan umum yang mengurusi agama dan kenegaraan sebagai wakil dari Nabi SAW.Dalam bahasa Ibnu Khaldun, kekhalifahan adalah kepeminpinan umum bagi kaum muslimin diseluruh penjuru dunia untuk menegakkan hukum-hukum syari’at Islam dan memikul da’wah Islam keseluruh dunia.Menegakkan khalifah adalah kewajiban bagi seluruh kaum muslimin diseluruh penjuru dunia dan menjalankan kewajiban yang demikian, itu sama dengan menjalankan kewajiban yang diwajibkan Allah bagi setiap kaum muslimin.

2.2.2 Khilafah Berdasarakan Syura

Sistem pemerintahan islam berdasarkan syura pernah dipraktekkan pada masa al-Khulafa al-Rasyidun ketika mereka memerintah islam dibeberapa kawasan yang didasarkan pada sistem musyawarah sebagai paradigma dasar kekuasaan. Abu Bakar Al-Shiddiq, Umar bin al-Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib telah menjalankan system pemerintahan yang dilandasi oleh semangat musyawarah.
Ciri yang menonjol dari sistem pemerintahan yang mereka jalankan terletak pada mekanisme musyawarah, bukan dengan system keturunan.Tidak ada satupun dari empat khalifah tersebut yang menurunkan kekuasaanya kepada sanak kerabatnya. Musyawarah menjadi jalan yang ditempuh dalam menjalankan kekuasaan sesuai dengan apa yang dijalankan Rasulullah SAW.

2.2.3 Khilafah Monarki

Sistem khilafah monarki disebut oleh Antony Black dengan Khilafah Patrimonial. Patrimonialisme yang dimaksud disini adalah sistem pemerintahan yang memberikan hak kepada pemimpin untuk menganggap Negara sebagai miliknya dan biasanya diwariskan kepada keluarganya (turun-temurun) sementara rakyat dipandang sebagai bawahan yang berada dibawah perlindungan dan dukungannya.
Sistem monarki adalah sistem warisan (putra mahkota) dimana singsana kerajaan akan diwarisi oleh seorang putra mahkota dari orang tuanya. Sistem monarki juga merupakan sistem pemerintahan yang menjadikan raja sebagai sentral kekuasan, seorang raja berhak menetapkan aturan bagi rakyatnya.Perkataan raja adalah undang-undang tertinggi yang harus ditaati.Raja memiliki hak khusus yang tidak dimiliki oleh rakyat,raja memiliki kekebalan terhadap hukum, dan kekuasaan kenegaraanya tak terbatas.

2.2.4 Imamah

Imamah adalah Institusi yang dilantik secara ilahiyah,hanya Allah yang paling tahu kualitas-kualitas yang diperlukan untuk memenuhi tugas ini,oleh karena itu hanya Dia-lah yang mampu menunjukan mereka. Syiah menganggap bahwa Imamah seperti kenabian, menjadi keperccayaan yang pundamental, dan ketaatan kepada otoritas imam adalah sebuah kewajiban agama. Meski para Imam tidak menerima wahyu ilahi, namun para imam mempunyai kulitas,tugas, dan otoritas dari Nabi. Bimbingan politik dan agama dari mereka dan mereka adalah wali bagi pengikut mereka. Para Imam dianggap sebagai penerus nabi dan pewaris yang sah dari otoritasnya.Hal ini bukan dikarenakan mereka dari keluarganya,tetapi karena mereka merupakan orang-orang yang shaleh taat kepada Allah dan mempunyai karakteristik yang menjadi prasyarat untuk mengemban tingkat kepemimpinan politik agama.

2.2.5 Demokrasi

Kata Demokrasi memiliki berbagai makna, tetapi pada dunia modern ini penggunaanya mengandung arti kekuasaan tertinggi dalam urusan politik adalah hak rakyat. Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan dimana keputusan-keputusan penting pemerintah, atau garis kebijakanaan dibelakang keputusan-keputusan tersebut secara langsung atau tidak langsung, hanya dapat berlangsung jika disetujui secara bebas oleh mayoritas masyarakat dewasa yang berada dalam posisi pemerintahan.

2.3 Sifat dan Bentuk Pemerintahan

   Belum ada suatu definisi yang di-sepakati tentang negara. Namun, secara umum mungkin dapat dijadikan sekedar pegangan sebagaimana lazim dikenal dalam hukum internasional bahwa suatu negara biasanya memiliki tiga unsur pokok yaitu; 1) rakyat atau sejumlah orang, 2) wilayah tertentu, dan 3) pemerintahan yang ber-wibawa dan berdaulat.6
   Kita cenderung memahami suatu negara sebagai suatu kehidupan kelompok manusia yang didirikan atas dasar sebagai makhluk sosial, makhluk yang mempunyai kecenderungan alami untuk bermasyarakat7, karena tidak mampu memenuhi segala kebutuhannya sendiri tanpa bantuan atau kerjasama dengan pihak lain, padahal negara itu juga didirikan atas dasar fungsi manusia sebagai khalifah Allah (pengatur dan pengelola) di bumi8 yang mengemban kekuasaan sebagai amanah-Nya. Oleh karena itu, manusia dalam menjalani hidup ini harus selalu sesuai dengan perintah-perintah-Nya dalam rangka mencapai kesejahteraan baik di dunia maupun di akhirat. Dengan demikian, secara umum dapat dikatakan, bahwa manusia harus selalu memperhatikan dan melaksanakan amar ma’ruf dan nahi munkar yang mengandung makna perintah untuk senan-tiasa melakukan kebaikan dan mencegah kerusakan, sebagaimana yang diajarkan dalam Islam.
   Adapun bentuknya tidak ditentukan dalam Alquran dan Sunah Rasul. Apakah kerajaan atau republik? Karena esensinya tidak terletak pada bentuknya, akan tetapi ada pada prinsip-prinsip umum yang sudah digariskan dalam Alquran dan Sunah Rasul. Namun ada suatu isyarat yang diberikan Alquran agar umat Islam membentuk negara kesatuan.9 Meskipun demikian, manusia diberi kewenangan dan kebebasan untuk memilih dan menentukan sendiri bentuk negara yang paling baik bagi mereka. Boleh saja bentuk pemerintahan suatu negara itu kerajaan, namun secara faktual prinsip-prinsip syari’ah berjalan dan diterapkan secara konsekuen. Sebaliknya, suatu bentuk pemerintahan republik, namun mengabaikan prinsip-prinsip umum hukum Islam, jelas itu bukan merupakan suatu tipe negara ideal menurut Alquran dan sunah, bahkan menjadi kontradiktif dengan jiwa syari’ah.
   Pada masa al-Khulafa al-Rasyidin umat Islam memilih dan menggunakan sistem khalifah, dengan pertimbangan bahwa sistem inilah yang paling cocok bagi mereka saat itu.10 Sistem khalifah dapat disebut sebagai salah satu bentuk ijma’ (konsensus) para sahabat nabi ketika itu. Namun konsensus itu bukan merupakan suatu konsep yang kaku yang secara mutlak harus diterapkan pada setiap saat dan tempat. Pada masa kontemporer dimung-kinkan untuk diganti dengan sistem yang lain yang memiliki karakteristik yang hampir sama atau berdekatan, misalnya bentuk republik.
   Ibnu Taimiyah, salah seorang pelopor pembaharuan dalam Islam dan seorang penganjur ijtihad dalam rangka kembali kepada Alquran dan sunah, dalam teori kenegaraannya lebih mefokuskan pada peran syari’ah dalam negara. Beliau memahami apapun bentuk pemerintahan dalam Islam ia semata-mata alat syari’ah.12 Dengan demikian, beliau lebih menekankan pada supermasi hukum Islam ketimbang bentuk pemerintahan yang formal.
   Begitu pula cara menentukan pemimpin umat atau kepala negara tidak terdapat petunjuk dalam Alquran maupun hadis nabi, selain petunjuk yang sifatnya sangat umum agar umat Islam mencari penyelesaian dalam masalah-masalah yang menyangkut kepentingan bersama melalui musyawarah, tanpa adanya pola yang baku tentang bagaimana musyawarah itu harus diselenggarakan. Itulah salah satu sebab utama mengapa dalam masa empat al-Khulafa al-Rasyidin itu ditentukan melalui musyawarah, tetapi pola musyawarah yang ditempuhnya beraneka ragam.
   Abu Bakar menjadi khalifah yang pertama melalui pemilihan dalam satu musyawarah terbuka, terutama oleh lima tokoh yang mewakili semua unsur utama dari masyarakat Islam pada waktu itu. Umar bin Khattab diangkat sebagai khalifah kedua melalui penunjukan Abu Bakar setelah mengadakan konsultasi tertutup dengan beberapa sahabat senior dan tidak melalui pemilihan terbuka. Usman bin Affan dingkat melalui pemilihan dalam satu pertemuan terbuka oleh dewan formatur yang ditunjuk oleh Khalifah Usman berdasarkan pertimbangan kualitas pribadi masing-masing. Ali bin Abi Thalib diangkat melalui pemilihan dan pertemuan terbuka, tetapi dalam suasana kacau sehingga keabsahan pengangkatan Ali13 Keempat khalifah itu senantiasa melestarikan tradisi musyawarah dalam mengelola urusan negara dan menyelesai-kan masalah-masalah kemasyarakatan.
   Sebagaimana yang telah dikemuka-kan di atas bahwa manusia itu sebagai makhluk sosial dan sekaligus sebagai khalifah Allah di bumi ini. Makna khalifah dilihat dari segi hukum Allah adalah sebagai pengemban amanah Allah. Dalam hal ini, Allah telah melimpahkan suatu tugas kepada manusia untuk mengatur dan mengelola bumi ini dengan sebaik-baiknya menurut ketentuan-ketentuan yang ia gariskan.
  Apabila manusia berkuasa di muka bumi, maka kekuasaan itu diperolehnya sebagai suatu pendelegasian kewenangan dari Allah swt., karena Allah swt. adalah sumber dari segala kekuasaan. Alquran menegaskan bahwa Allah swt. sebagai pemilik kekuasaan yang Dia dapat limpahkan kepada siapa saja yang Dia kehendaki, demikian pula Dia mampu merenggut kekuasaan dari siapa saja yang Dia kehendaki. Dengan demikian, ke-kuasaan yang dimiliki manusia hanyalah sekedar amanah dari Allah swt Yang Maha Kuasa. Oleh karena itu manusia dalam menunaikan amanah itu hendaklah berpegang pada prinsip-prinsip umum hukum Allah sebagai berikut:
1.      Prinsip Kekuasaan sebagai Amanah
Perkataan amanah tercantum dalam Alquran surah al-Nisa’ (4): 58 yang berbunyi:
إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّواالأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَاحَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللهَ كَانَ سَمِيْعًابَصِيْرًا
Terjemahnya:
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.15
Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa 1) manusia diwajibkan menyampai-kan amanah kepada yang berhak me-nerimanya dan 2) manusia diwajibkan menetapkan hukum dengan adil.
Perkataan amanah yang secara leksi-kal berarti “tenang dan tidak takut”. Jika kata tersebut dijadikan kata sifat, maka ia mengandung pengertian “segala sesuatu yang dipercayakan seseorang kepada orang lain dengan rasa aman”.16 Dengan demikian jika perkataan amanah dibawa dalam konteks kekuasaan negara, maka perkataan tersebut dapat dipaham sebagai suatu pen-delegasian atau pelimpahan kewenangan dan karena itu kekuasaan dapat disebut sebagai mandate yang bersumber atau berasal dari Allah swt.


2.      Prinsip Musyawarah
Dalam Alquran ada dua ayat yang menggariskan prinsip musyawarah sebagai salah satu prinsip dasar dalam Islam. Ayat pertama terdapat dalam surah al-Syura (42): 38 ... وامرهم شوري بينهم ... (…sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musya-warah…)17, sedang ayat kedua terdapat dalam surah Ali Imran (3): 159 ... وشاورهم في الامر... (…dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu…).
Ayat pertama menggambarkan bahwa dalam setiap persoalan yang menyangkut masyarakat atau kepentingan umum Nabi selalu mengambil keputusan setelah me-lakukan mesyawarah dengan para sahabat-nya. Ayat kedua menekankan perlunya diadakan musyawarah, atau lebih tegasnya umat Islam wajib bermusyawarah dalam memecahkan setiap masalah kenegaraan. Kewajiban ini terutama dibebankan kepada setiap penyelenggara kekuasaan negara dalam melaksanakan kekuasaannya.
Musyawarah dapat diartikan sebagai suatu forum tukar-menukar pikiran, gagasan ataupun ide, termasuk saran-saran yang diajukan dalam memecahkan suatu masalah sebelum tiba pada suatu peng-ambilan keputusan. Jika dilihat dari sudut kenegaraan, maka musyawarah adalah suatu prinsip konstitusional dalam Islam yang wajib dilaksanakan dalam suatu pemerintahan dengan tujuan untuk men-cegah lahirnya keputusan yang merugikan kepentingan umum atau rakyat. Dengan demikian musyawarah berfungsi sebagai “rem” atau pencegah kekuasaan yang absolut dari seorang penguasa atau kepala negara.

3.      Prinsip Keadilan
Perkataan keadilan sama hal dengan musyawarah yang bersumber dari Alquran. Cukup banyak ayat-ayat Alquran yang menggambarkan tentang keadilan, di antaranya terdapat dalam surah al-Nisa’ (4): 135
يَا أَيُّهَاالذِيْنَ أَمَنُوْا كُوْنُوا قَوَّامِيْنَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالأَقْرِبِيْنِ إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيْرًا فَاللهُ أَوْلَى بِهِمَا فَلاَ تَتَّبِعُوْا الهَوَى أَنْ تَعْدِلُوْا وَإِنْ تَلْوُا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرًا
Terjemahnya:
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.
Dari ayat tersebut di atas sekurang-kurangnya dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
a.       Orang-orang yang beriman wajib me-negakkan keadilan.
b.      Setiap mukmin apabila ia menjadi saksi ia diwajibkan menjadi saksi karena Allah dengan sejujur-jujurnya dan adil.
c.       Manusia dilarang mengikuti hawa nafsu.
d.      Manusia dilarang menyelewengkan ke-benaran.

    Keadilan merupakan salah satu prinsip yang sangat penting dalam Alquran. Oleh karena Allah sendiri memiliki sifat Maha Adil. Keadilan-Nya penuh dengan kasih sayang kepada makhluk-Nya (rahman dan rahim). Dalam Islam, keadilan adalah kebenaran. Kebenaran adalah merupakan salah satu nama Allah. Dia adalah sumber kebenaran yang di dalam Alquran disebut al-haq. Oleh karena itu, Al-Syaukani, sebagaimana yang dikutip Abd. Muin Salim, menyatakan bahwa keadilan adalah menyelesaikan perkara berdasarkan ajaran yang terdapat dalam Alquran dan sunah, bukan menetapakn hukum dengan pikiran.
   Apabila prinsip keadilan dibawa ke fungsi kekuasaan negara, maka ada tiga kewajiban pokok bagi penyelenggara negara atau suatu pemerin-tahan sebagai pemegang kekuasaan, yaitu: 1) Kewajiban menerapkan kekuasaan negara yang adil, jujur, dan bijaksana; 2) Kewajiban menerapkan kekuasaan kehakiman yang seadil-adilnya; dan 3) Kewajiban penyelenggara negara untuk mewujudkan suatu tujuan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera di bawah keridhaan Allah.

4.      Prinsip Persamaan
Prinsip persamaan dalam Islam dapat dipahami antara lain dari  alquran surah al-Hujurat (49): 13
يَاأَيًّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوْبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوْا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
Terjemahnya:
Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.23
Ayat itu melukiskan bagaimana proses kejadian manusia. Allah telah menciptakannya dari pasangan laki-laki dan wanita. Pasangan yang pertama adalah Adam dan Hawa, kemudian dilanjutkan oleh pasangan-pasangan lainnya melalui suatu pernikahan atau keluarga. Jadi semua manusia melalui proses penciptaan yang “seragam” yang merupkan suatu kriterium bahwa dasarnya semua manusia adalah sama dan memiliki kedudukan yang sama. Inilah yang disebut prinsip persamaan.

5.      Prinsip Pengakuan dan Perlindungan terhadap Hak-Hak Asasi Manusia
Dalam Islam hak-hak asasi manusia bukan hanya diakui tetapi juga dilindungi sepenuhnya. Dalam hal ini ada dua prinsip yang sangat penting yaitu prinsip pengakuan hak-hak asasi manusia dan prinsip perlindungan terhadap hak-hak tersebut. Prinsip-prinsip itu secara tegas digariskan dalam  alquran antara lain dalam surah al-Isra’ (17): 70
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِى آدَمَ وَحَمَلْنَهُمْ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطِّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيْرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيْلاً
Terjemahnya:
Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.24
Ayat tersebut di atas dengan jelas mengekspresikan kemuliaan manusia yang di dalam teks Alquran disebut karamah (kemuliaan). Hal itu mengandung prinsip pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia sebagai hak-hak dasar yang dikaruniakan Allah kepadanya. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak tersebut ditekankan pada tiga hal, yaitu: 1) persamaan manusia; 2) martabat manusia; dan 3) kebebasan manusia.

6.      Prinsip Peradilan Bebas
Prinsip ini berkaitan dengan prinsip keadilan dan persamaan. Dalam Islam seorang hakim memiliki kewenangan yang bebas dalam mengambil keputusan. Hakim wajib menerapkan prinsip keadilan dan persamaan terhadap siapapun berdasarkan ayat dalam surah al-Nisa’ (4): 58
... وَإِذَاحَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ ...
Terjemahnya:
… dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil 25
Dengan demikian putusan hakim harus mencerminkan rasa keadilan hukum terhadap siapapun. Prinsip peradilan bebas dalam Islam bukan hanya sekedar cirri bagi suatu negara hukum, akan tetapi juga ia merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan bagi setiap hakim. Peradilan bebas merupakan persyaratan bagi tegaknya prinsip keadilan dan persamaan hukum.

7.      Prinsip Perdamaian
Islam adalah agama perdamaian. Olehnya itu alquran sangat menjunjung tinggi dan mengutamakan perdamaian sebagaimana yang termaktub dalam surah al-Baqarah (2): 208
يَاأَيُّهَاالذِيْنَ أَمَنُوْا ادْخُلُوا فِى السِّلْمِ كَافَّةً
Terjemahnya:
Hai orang-orang yang beriman, masuk-lah kamu ke dalam Islam keseluruhan 26
Pada dasarnya sikap bermusuhan atau perang merupakan sesuatu yang terlarang dalam  alquran. Perang hanya merupakan suatu tindakan darurat dan bersifat defensif atau membela diri.

8.      Prinsip Kesejahteraan
Prinsip kesejahteraan dalam Islam bertujuan untuk mewujudkan keadilan sosial dan keadilan ekonomi bagi seluruh anggota masyarakat atau rakyat. Tugas itu dibebankan kepada penyelenggara negara dan masyarakat.  alquran telah menetapkan sejumlah sumber-sumber dana untuk jaminan sosial bagi anggota masyarakat yang memerlukannya dengan berpedoman pada prinsip keadilan sosial dan keadilan ekonomi. Sumber-sumber dana tersebut antara lain adalah : zakat, sadaqah, hibah, dan wakaf. Mungkin juga dari pendapatan negara seperti pajak, bea, dan lain-lain.

9.      Prinsip Ketaatan Rakyat
Prinsip ketaatan rakyat telah ditegaskan  alquran dalam surah al-Nisa’ (4): 59
يَاأَيُّهَاالذِيْنَ أَمَنُوْا أَطِيْعُوا اللهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَأُوْلِى الأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِى شَيْئٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُوْلِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَومِ الأَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيْلاً
Terjemahnya:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah ( alquran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian, yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.27
Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa “menaati Allah” itu berarti tunduk kepada ketetapan-ketetapan Allah, “menaati Rasul” ialah tunduk kepada ketetapan-ketetapan Rasul yaitu Nabi Muhammad saw., dan “menaati ulil amri” ialah tunduk kepada ketetapan-ketetapan petugas-petugas kekuasaan masing-masing dalam lingkungan tugas kekuasaannya, selama ketetapan-ketetapan itu tidak bertentangan dengan ketetapan Allah dan Rasul-Nya.

2.4 Syarat-Syarat kepemimpinan Negara Islam

Secara umum, Alqur’an mensyaratkan seorang pemimpin diangkat karena faktor keluasan pengetahuan (ilmi) dan fisik (jism) seperti dijelaskan dalam:
Nabi mereka mengatakan kepada mereka: “Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu.” mereka menjawab: “Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?” nabi (mereka) berkata: “Sesungguhnya Allah Telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa.” Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan Allah Maha luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui. (QS. Al Baqarah:247)
Rasulullah SAW bersabda:
            “Barang siapa mengangkat seseorang untuk mengurusi perkara kaum Muslimin, lalu mengangkat orang tersebut, sementara dia mendapatkan orang yang lebih layak dan sesuai daripada orang yang diangkatnya maka dia telah berkhianat kepada Allah dan Rasulnya.” (HR Hakim)
jika suatu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, tunggulah saat kehancurannya.” (HR. Muslim)
Syarat kepemimpinan menurut Ibnu Taimiyyah mencakup dua aspek, yakni qawiykekuatan (fisik dan intektual) dan amin (dapat dipercaya). Sedangkan Al Mawardi menetapkan tujuh syarat kepemimpinan yang mencakup adil, memiliki kemampuan berijtihaj, sehat jasmani, tidak memiliki cacat fisik yang menghalangi menjalankan tugas, memiliki visi yang kuat, pemberani dalam mengambil keputusan, memiliki nasab Quraisy. Ibnu Khaldun sendiri mensyaratkan empat hal yang harus dimiliki pemimpin, yakni: ilmu, keadilan, kemampuan serta keselamatan indera dan anggota tubuh lainnya. Perihal syarat nasab Quraisy, Ibnu Khaldun memandang bukan syarat utama dan tidak boleh menjadi ketetapan hukum yang mengikat.
            Berpijak dari pemahaman umum nash dari Al qur’an dan Sunnah, serta pandangan ulama, setidaknya ada tiga syarat utama kepemimpinan dalam Islam, yakni integrasi aspek keluasan ilmu, integritas moral (kesalihan individual) dan kemampuan professional, yang dimaksudkan keluasan ilmu, seorang pemimpin tidak hanya mampu menegakkan keadilan berdasarkan prinsip-prinsip dan kaidah syariah, namun juga mampu berijtihaj dalam merespon dinamika sosial politik yang terjadi ditengah masyarakat. Sementara kesalihan adalah kepemilikan sifat amanah, kesucian dan kerendahan hati dan istiqomah dengan kebenaran. Adapun professional adalah kecakapan praktis yang dibutuhkan pemimpin dalam mengelola urusan politik dan administrasi kenegaraan.
Jika tidak dipenuhi keseluruhan syarat-syarat tersebut maka diperintahkan mengambil yang ashlah (lebih utama). Misalnya, jika kaum Muslimin dihadapkan kepada situasi untuk memilih salah satu dari dua pilihan yang buruk, yakni antara seorang pemimpin yang shalih namun tidak cakap dengan seorang pemimpin yang cakap namun kurang shalih maka menurut Ibnu Taimiyyah hendaknya didahulukan memilih pemimpin yang cakap sekalipun kurang salih.  Karena seorang pemimpin yang salih namun tidak cakap maka kesalihan tersebut hanya bermanfaat bagi dirinya namun ketidakcakapannya merugikan masyarakat sebaliknya pemimpin yang cakap namun kurang shalih maka kecakapannya membawa kemaslahatan bagi masyarakat sementara ketidaksalihannya merugikan dirinya sendiri.  









BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
a.       alquran sebagai kitab suci umat Islam mengandung seperangkat prinsip dan tata nilai etika bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara.  alquran mengajarkan antara lain prinsip-prinsip kekuasaan sebagai amanah, permu-syawaratan dalam mencari pemecahan masalah-masalah bersama, keadilan, persamaan, pengakuan, dan perlin-dungan terhadap hak-hak asasi manusia, peradilan bebas, perdamaian, kesejah-teraan, dan ketaatan rakyat.
b.      alquran maupun hadis Nabi tidak meng-ajarkan sistem pemerintahan tertentu yang harus dianut oleh umat Islam. Nabi saw. wafat tanpa meberikan petunjuk tentang bagaimana seharusnya umat Islam menentukan siapa pemimpin atau kepala negara, tentang bagaimana mengatur hubungan kekuasaan antara kepala negara dan rakyat, tentang batas kekuasaan dan masa jabatan kepala negara, dan tentang dapat atau tidaknya dibebaskan dari jabatannya.
c.       Nabi Muhammad saw. sebagai Kepala Negara Madinah telah menerapkan prinsip-prinsip itu (poin 1) dengan baik dan sukses, karena: 1) Beliau adalah tokoh panutan atau uswatun hasanah yang tidak hanya sekedar berbicara tentang ajaran Islam, tetapi ajaran itu beliau wujudkan secara konkret dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara; 2) karakter Nabi saw. sebagai kepala negara selalu mencerminkan sikap dan watak sebagai pemimpin yang berjiwa demokrat dan berwibawa sesuai dengan akhlak Islam; dan 3) kesadaran rakyat sangat tinggi terhadap kewajiban-kewajiban dan hak-hak mereka.
d.      Sistem Khilafah (suatu pemerintahan yang dipimpin oleh seorang Khalifah sebagai kepala negara) yang pernah diterapkan pada masa Khulafa al-Rasyidin adalah suatu sistem bernegara yang ideal yang pernah dalam hukum dan sejarah Islam. Artinya, baik secara teoritis maupun secara empiris sistem itu pernah ada dalam Islam. Oleh karena itu, asumsi yang menyatakan bahwa dalam Islam tidak ada sistem negara dan pemerintahan adalah tidak benar.

3.2 Saran

Diharapkan dalam sistem pemerintahannya tidak menggunakan system pemerintahan Monarki dimana hanya mereka yang berasal dari keturunan suatu kelompok atau kerajaan saja yang bisa memimpin.

DAFTAR PUSTAKA


A. Mustari Pide, Pengantar Hukum Tata Negarai. Cet. III; Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.
Abd. Muin Salim, Konsepsi Kekuasaan Politik Dalam Al-Qur’an. Cet. II; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995.
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Pencaturan dalam Konstituante. Cet. I; Jakarta: LP3ES, 1985.
al-Maududi, Khalifah dan Kerajaan, diterjemahkan oleh Muhammad al-Baqir. Bandung: Mizan, 1984.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya Semarang: Toha Putra, 1988.
Ibnu Kencana Syafi’i, Hukum Tata Negara. Cet. I; Jakarta: Dunia Pustaka Raya, 1991.
Mohammad S. el-Awa, Sistem Politik dalam Pemerintahan Islam. Surabaya: Bina Ilmu, 1983.
Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya Dilhat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Masinah dan Masa Kini. Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: ajaran, sejarah dan pemikiran Cet. V; Jakarta: UI-Press, 1993.
T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu Kenegaraan dalam Fiqih Islam. Cet. II; Jakarta: Bulan Bintang, 1991.
Tim Penyusun, Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 16. Cet. I; Jakarta: Cipta Adi Pustaka, 1991.
DOWNLOAD FILE WORD MAKALAH KETATANEGARAAN AGAMA DISINI

Comments

Popular posts from this blog

DOWNLOAD CONTOH SURAT LAMARAN DAPUR MBG

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN AN. M.A DENGAN DIAGNOSA MEDIS KEJANG DEMAM (HIPERTERMIA)

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN SYOK SEPSIS DI RUANG ICU