MAKALAH KETATANEGARAAN AGAMA
KATA PENGANTAR
Puji
syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Karena atas limpahan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulisan makalah ini dapat terselesaikan sesuai dengan
waktu yang telah ditentukan. Sholawat serta salam tak lupa kita curahkan kepada
junjungan kita Nabi Muhammad saw, karena berkat jasa beliaulah kita dapat
mengenal Islam. Dan semoga kita mendapat syafaatnya di Yaumil Kiyamah nanti.
Makalah
ini berjudul “Ketatanegaraan Dalam Islam”.
Tujuan penulisan makalah ini adalah selain untuk melengkapi tugas mata kuliah
Agama Islam Kemuhammadiyahan juga sebagai informasi serta untuk menambah
wawasan khususnya mengenai ketatanegaraan dalam islam dan adapun metode yang
kami ambil dalam penyusunan makalah ini adalah berdasarkan pengumpulan sumber
informasi.
Semoga
makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca. Kami sadar bahwa makalah ini
masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kami
mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun, khususnya dari dosen
mata pelajaran guna menjadi acuan bagi kami untuk lebih baik dimasa yang akan
datang.
Semarang, 30 Juni 2018
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Di dalam
Alquran terdapat sejumlah ayat yang mengandung petunjuk dan pedo-man bagi
manusia dalam hidup ber-masyarakat dan bernegara. Di antaranya ayat-ayat
tersebut mengajarkan tentang kedudukan manusia di bumi dan tentang
prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam kehidupan kemasyarakatan.
Alquran
merupakan sumber ajaran Islam yang isinya mencakup segala aspek kehidupan
manusia. Ia tidak hanya meng-atur hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga
mengatur hubungan manusia dengan sesamanya dan dengan alam ling-kungannya.
Alquran juga memerintahkan agar umat Islam melaksanakan ajaran-ajaran Islam
seutuhnya dan melarang mereka mengikuti kehendak dan ajakan setan.1 Di antara
ajaran Islam terdapat pula ajaran yang berkenaan dengan kehidupan politik atau
ketatanegaraan. Oleh karena itu, sebagai konsekuensi logis perintah di atas,
maka umat Islam menuntut dan berjuang menegakkan negara.
Negara yang
dikehendaki umat Islam adalah negara yang bersistem ketata-negaraan berdasarkan
syariat Islam, dan tidak perlu atau bahkan jangan meniru sistem ketatanegaraan
Barat. Dengan demikian sistem ketatanegaraan yang harus diteladani adalah
sistem yang telah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad saw. dan para Khulafa
al-Rasyidin.2 Pelaksanaan prinsip-prinsip ketatanegaraan pada masa
Rasulullah dan al-Khulafa al-Rasyidin dapat disebut sebagai sistem
ketatanegaraan yang ideal dalam Islam.
Oleh sebab
itu, maka tulisan ini akan mengungkapkan bagaimana konsep ketata-negaraan dalam
Islam? Dalam menjawab permasalah pokok tersebut, penulis akan lebih banyak
mengungkapkan apa yang telah Rasulullah saw. dan al-Khulafa al-Rasyidin
telah contohkan.
1.2 Rumusan Masalah
Dalam makalah ini
penulis mengidentifikasi masalah sebagai berikut :
1.
Apa definisi dari ketatanegaraan?
2.
Bagaimana sifat dan bentuk pemerintahan?
3.
Bagaimana sistem
pemerintahan negara Islam?
4.
Bagaimana syarat-syarat kepemimpinan negara Islam?
1.3 Tujuan Penulisan
Makalah ini bertujuan untuk mengetahui:
1.
Mengetahui definisi dari
ketatanegaraan.
2.
Mengidentifikasi bagaimana
sifat dan bentuk pemerintahan.
3.
Mengidentifikasi bagaimana
sistem pemerintahan negara Islam.
4.
Mengetahui bagaimana syarat-syarat kepemimpinan negara
Islam.
BAB II PEMBAHASAN
1.1 Pengertian Tatanegara
Tata negara adalah suatu kekuasaan sentral yang mengatur kehidupan
bernegara yang menyangkut sifat, bentuk, tugas negara dan pemerintahan, atau
sebaliknya. Sedang untuk pengertian hukum tata negara, tampaknya belum ada
kesepakatan di kalangan para pakar.
AV. Decey, sebagaimana yang dikutip A. Mustari Pide, menyatakan bahwa Hukum
Tata Negara adalah segala peraturan yang berisi, baik secara langsung atau
tidak langsung tentang pembagian kekuasaan dan pelaksana yang tertinggi dalam
suatu negara.4
Ibnu Kencana Syafi’i berkesimpulan bahwa Hukum Tata Negara adalah aturan
susunan serta tata cara yang berlaku dalam suatu kelompok keluarga, organisasi
ke-wilayahan dan kedaerahan yang memiliki kekuasaan, kewenangan yang abash serta kepemimpinan pemerintahan yang ber-daulat, guna mewujudkan kesejahteraan,
keamanan, ketertiban, dan kelangsungan hidup orang banyak (bangsa) dalam
mencapai tujuan serta cita-cita bersama.5
Dari beberapa pengertian yang dikemukakan di atas, maka dapat ditarik suatu
kesimpulan bahwa tata negara adalah segala sesuatu yang mengenai peraturan-peraturan,sifat,
dan bentuk pemerintahan suatu negara.
2.2 Sistem Pemerintahan Negara Islam
2.2.1 Sistem
Pemerintahan Khilafah
Khilafah adalah pemerintahan
islam yang tidak dibatasi oleh wilayah teritorial,sehingga kekhalifahan islam
meliputi berbagai suku dan bangsa. Ikatan yang mmempersatukan kekhalifahan
adalah islam sebagai agama. Pada intinya, kekhalifahan adalah kepeminpinan umum
yang mengurusi agama dan kenegaraan sebagai wakil dari Nabi SAW.Dalam bahasa Ibnu Khaldun, kekhalifahan
adalah kepeminpinan umum bagi kaum muslimin diseluruh penjuru dunia untuk
menegakkan hukum-hukum syari’at Islam dan memikul da’wah Islam keseluruh
dunia.Menegakkan khalifah adalah kewajiban bagi seluruh kaum muslimin diseluruh
penjuru dunia dan menjalankan kewajiban yang demikian, itu sama dengan
menjalankan kewajiban yang diwajibkan Allah bagi setiap kaum muslimin.
2.2.2 Khilafah
Berdasarakan Syura
Sistem pemerintahan islam
berdasarkan syura pernah dipraktekkan pada masa al-Khulafa al-Rasyidun ketika
mereka memerintah islam dibeberapa kawasan yang didasarkan pada sistem
musyawarah sebagai paradigma dasar kekuasaan. Abu Bakar Al-Shiddiq, Umar bin al-Khattab,
Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib telah menjalankan system pemerintahan yang
dilandasi oleh semangat musyawarah.
Ciri yang menonjol dari sistem
pemerintahan yang mereka jalankan terletak pada mekanisme musyawarah, bukan
dengan system keturunan.Tidak ada satupun
dari empat khalifah tersebut yang menurunkan kekuasaanya kepada sanak
kerabatnya. Musyawarah menjadi jalan yang ditempuh dalam menjalankan kekuasaan
sesuai dengan apa yang dijalankan Rasulullah SAW.
2.2.3 Khilafah Monarki
Sistem khilafah monarki disebut
oleh Antony Black dengan Khilafah Patrimonial. Patrimonialisme yang dimaksud
disini adalah sistem pemerintahan yang memberikan hak kepada pemimpin untuk
menganggap Negara sebagai miliknya dan biasanya diwariskan kepada keluarganya
(turun-temurun) sementara rakyat dipandang sebagai bawahan yang berada dibawah
perlindungan dan dukungannya.
Sistem monarki adalah sistem
warisan (putra mahkota) dimana singsana kerajaan akan diwarisi oleh seorang
putra mahkota dari orang tuanya. Sistem monarki juga merupakan sistem
pemerintahan yang menjadikan raja sebagai sentral kekuasan, seorang raja berhak
menetapkan aturan bagi rakyatnya.Perkataan raja adalah undang-undang tertinggi
yang harus ditaati.Raja memiliki hak
khusus yang tidak dimiliki oleh rakyat,raja memiliki kekebalan terhadap hukum,
dan kekuasaan kenegaraanya tak terbatas.
2.2.4 Imamah
Imamah adalah Institusi yang
dilantik secara ilahiyah,hanya Allah yang paling tahu kualitas-kualitas yang
diperlukan untuk memenuhi tugas ini,oleh karena itu hanya Dia-lah yang mampu
menunjukan mereka. Syiah menganggap bahwa Imamah seperti kenabian, menjadi
keperccayaan yang pundamental, dan ketaatan kepada otoritas imam adalah sebuah
kewajiban agama. Meski para Imam tidak menerima wahyu ilahi, namun para imam mempunyai
kulitas,tugas, dan otoritas dari Nabi. Bimbingan politik dan agama dari mereka
dan mereka adalah wali bagi pengikut mereka. Para Imam dianggap sebagai penerus
nabi dan pewaris yang sah dari otoritasnya.Hal
ini bukan dikarenakan mereka dari keluarganya,tetapi karena mereka merupakan
orang-orang yang shaleh taat kepada Allah dan mempunyai karakteristik yang
menjadi prasyarat untuk mengemban tingkat kepemimpinan politik agama.
2.2.5 Demokrasi
Kata Demokrasi memiliki berbagai
makna, tetapi pada dunia modern ini penggunaanya mengandung arti kekuasaan
tertinggi dalam urusan politik adalah hak rakyat. Demokrasi adalah suatu bentuk
pemerintahan dimana keputusan-keputusan penting pemerintah, atau garis
kebijakanaan dibelakang keputusan-keputusan tersebut secara langsung atau tidak
langsung, hanya dapat berlangsung jika disetujui secara bebas oleh mayoritas
masyarakat dewasa yang berada dalam posisi pemerintahan.
2.3 Sifat dan Bentuk Pemerintahan
Belum ada suatu definisi yang di-sepakati tentang negara. Namun, secara
umum mungkin dapat dijadikan sekedar pegangan sebagaimana lazim dikenal dalam
hukum internasional bahwa suatu negara biasanya memiliki tiga unsur pokok
yaitu; 1) rakyat atau sejumlah orang, 2) wilayah tertentu, dan 3) pemerintahan
yang ber-wibawa dan berdaulat.6
Kita cenderung memahami suatu negara sebagai suatu kehidupan kelompok
manusia yang didirikan atas dasar sebagai makhluk sosial, makhluk yang
mempunyai kecenderungan alami untuk bermasyarakat7, karena tidak mampu memenuhi
segala kebutuhannya sendiri tanpa bantuan atau kerjasama dengan pihak lain,
padahal negara itu juga didirikan atas dasar fungsi manusia sebagai khalifah
Allah (pengatur dan pengelola) di bumi8 yang mengemban kekuasaan sebagai
amanah-Nya. Oleh karena itu, manusia dalam menjalani hidup ini harus selalu
sesuai dengan perintah-perintah-Nya dalam rangka mencapai kesejahteraan baik di
dunia maupun di akhirat. Dengan demikian, secara umum dapat dikatakan, bahwa
manusia harus selalu memperhatikan dan melaksanakan amar ma’ruf dan nahi
munkar yang mengandung makna perintah untuk senan-tiasa melakukan kebaikan
dan mencegah kerusakan, sebagaimana yang diajarkan dalam Islam.
Adapun bentuknya tidak ditentukan dalam Alquran dan Sunah Rasul. Apakah
kerajaan atau republik? Karena esensinya tidak terletak pada bentuknya, akan
tetapi ada pada prinsip-prinsip umum yang sudah digariskan dalam Alquran dan
Sunah Rasul. Namun ada suatu isyarat yang diberikan Alquran agar umat Islam
membentuk negara kesatuan.9 Meskipun demikian, manusia diberi kewenangan dan
kebebasan untuk memilih dan menentukan sendiri bentuk negara yang paling baik
bagi mereka. Boleh saja bentuk pemerintahan suatu negara itu kerajaan, namun
secara faktual prinsip-prinsip syari’ah berjalan dan diterapkan secara konsekuen.
Sebaliknya, suatu bentuk pemerintahan republik, namun mengabaikan
prinsip-prinsip umum hukum Islam, jelas itu bukan merupakan suatu tipe negara
ideal menurut Alquran dan sunah, bahkan menjadi kontradiktif dengan jiwa
syari’ah.
Pada masa al-Khulafa al-Rasyidin umat Islam memilih dan menggunakan
sistem khalifah, dengan pertimbangan bahwa sistem inilah yang paling cocok bagi
mereka saat itu.10 Sistem khalifah dapat disebut sebagai salah satu
bentuk ijma’ (konsensus) para sahabat nabi ketika itu. Namun konsensus
itu bukan merupakan suatu konsep yang kaku yang secara mutlak harus diterapkan
pada setiap saat dan tempat. Pada masa kontemporer dimung-kinkan untuk diganti
dengan sistem yang lain yang memiliki karakteristik yang hampir sama atau
berdekatan, misalnya bentuk republik.
Ibnu Taimiyah, salah seorang pelopor pembaharuan dalam Islam dan seorang
penganjur ijtihad dalam rangka kembali kepada Alquran dan sunah, dalam teori
kenegaraannya lebih mefokuskan pada peran syari’ah dalam negara. Beliau memahami
apapun bentuk pemerintahan dalam Islam ia semata-mata alat syari’ah.12 Dengan
demikian, beliau lebih menekankan pada supermasi hukum Islam ketimbang bentuk
pemerintahan yang formal.
Begitu pula cara menentukan pemimpin umat atau kepala negara tidak terdapat
petunjuk dalam Alquran maupun hadis nabi, selain petunjuk yang sifatnya sangat
umum agar umat Islam mencari penyelesaian dalam masalah-masalah yang menyangkut
kepentingan bersama melalui musyawarah, tanpa adanya pola yang baku tentang
bagaimana musyawarah itu harus diselenggarakan. Itulah salah satu sebab utama
mengapa dalam masa empat al-Khulafa al-Rasyidin itu ditentukan melalui
musyawarah, tetapi pola musyawarah yang ditempuhnya beraneka ragam.
Abu Bakar menjadi khalifah yang pertama melalui pemilihan dalam satu
musyawarah terbuka, terutama oleh lima tokoh yang mewakili semua unsur utama
dari masyarakat Islam pada waktu itu. Umar bin Khattab diangkat sebagai
khalifah kedua melalui penunjukan Abu Bakar setelah mengadakan konsultasi
tertutup dengan beberapa sahabat senior dan tidak melalui pemilihan terbuka.
Usman bin Affan dingkat melalui pemilihan dalam satu pertemuan terbuka oleh
dewan formatur yang ditunjuk oleh Khalifah Usman berdasarkan pertimbangan
kualitas pribadi masing-masing. Ali bin Abi Thalib diangkat melalui pemilihan
dan pertemuan terbuka, tetapi dalam suasana kacau sehingga keabsahan
pengangkatan Ali13 Keempat khalifah itu senantiasa melestarikan
tradisi musyawarah dalam mengelola urusan negara dan menyelesai-kan
masalah-masalah kemasyarakatan.
Sebagaimana yang telah dikemuka-kan di atas bahwa manusia itu sebagai
makhluk sosial dan sekaligus sebagai khalifah Allah di bumi ini. Makna khalifah
dilihat dari segi hukum Allah adalah sebagai pengemban amanah Allah. Dalam hal
ini, Allah telah melimpahkan suatu tugas kepada manusia untuk mengatur dan
mengelola bumi ini dengan sebaik-baiknya menurut ketentuan-ketentuan yang ia
gariskan.
Apabila manusia berkuasa di muka bumi, maka kekuasaan itu diperolehnya
sebagai suatu pendelegasian kewenangan dari Allah swt., karena Allah swt.
adalah sumber dari segala kekuasaan. Alquran menegaskan bahwa Allah swt.
sebagai pemilik kekuasaan yang Dia dapat limpahkan kepada siapa saja yang Dia
kehendaki, demikian pula Dia mampu merenggut kekuasaan dari siapa saja yang Dia
kehendaki. Dengan demikian, ke-kuasaan yang dimiliki manusia hanyalah sekedar
amanah dari Allah swt Yang Maha Kuasa. Oleh karena itu manusia dalam menunaikan
amanah itu hendaklah berpegang pada prinsip-prinsip umum hukum Allah sebagai
berikut:
1.
Prinsip
Kekuasaan sebagai Amanah
Perkataan
amanah tercantum dalam Alquran surah al-Nisa’ (4): 58 yang berbunyi:
إِنَّ اللهَ
يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّواالأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَاحَكَمْتُمْ
بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ
بِهِ إِنَّ اللهَ كَانَ سَمِيْعًابَصِيْرًا
Terjemahnya:
Sesungguhnya Allah menyuruh
kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.15
Dari ayat di
atas dapat dipahami bahwa 1) manusia diwajibkan menyampai-kan amanah kepada
yang berhak me-nerimanya dan 2) manusia diwajibkan menetapkan hukum dengan
adil.
Perkataan
amanah yang secara leksi-kal berarti “tenang dan tidak takut”. Jika kata
tersebut dijadikan kata sifat, maka ia mengandung pengertian “segala sesuatu
yang dipercayakan seseorang kepada orang lain dengan rasa aman”.16
Dengan demikian jika perkataan amanah dibawa dalam konteks kekuasaan negara,
maka perkataan tersebut dapat dipaham sebagai suatu pen-delegasian atau
pelimpahan kewenangan dan karena itu kekuasaan dapat disebut sebagai mandate
yang bersumber atau berasal dari Allah swt.
2.
Prinsip
Musyawarah
Dalam
Alquran ada dua ayat yang menggariskan prinsip musyawarah sebagai salah satu
prinsip dasar dalam Islam. Ayat pertama terdapat dalam surah al-Syura
(42): 38 ... وامرهم شوري بينهم ...
(…sedang urusan mereka (diputuskan) dengan
musya-warah…)17, sedang ayat kedua terdapat dalam surah Ali Imran (3):
159 ... وشاورهم في الامر... (…dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam
urusan itu…).
Ayat pertama
menggambarkan bahwa dalam setiap persoalan yang menyangkut masyarakat atau
kepentingan umum Nabi selalu mengambil keputusan setelah me-lakukan mesyawarah
dengan para sahabat-nya. Ayat kedua menekankan perlunya diadakan musyawarah,
atau lebih tegasnya umat Islam wajib bermusyawarah dalam memecahkan setiap
masalah kenegaraan. Kewajiban ini terutama dibebankan kepada setiap
penyelenggara kekuasaan negara dalam melaksanakan kekuasaannya.
Musyawarah
dapat diartikan sebagai suatu forum tukar-menukar pikiran, gagasan ataupun ide,
termasuk saran-saran yang diajukan dalam memecahkan suatu masalah sebelum tiba
pada suatu peng-ambilan keputusan. Jika dilihat dari sudut kenegaraan, maka
musyawarah adalah suatu prinsip konstitusional dalam Islam yang wajib
dilaksanakan dalam suatu pemerintahan dengan tujuan untuk men-cegah lahirnya
keputusan yang merugikan kepentingan umum atau rakyat. Dengan demikian musyawarah berfungsi sebagai “rem” atau pencegah kekuasaan
yang absolut dari seorang penguasa atau kepala negara.
3.
Prinsip
Keadilan
Perkataan
keadilan sama hal dengan musyawarah yang bersumber dari Alquran. Cukup banyak
ayat-ayat Alquran yang menggambarkan tentang keadilan, di antaranya terdapat
dalam surah al-Nisa’ (4): 135
يَا أَيُّهَاالذِيْنَ أَمَنُوْا كُوْنُوا قَوَّامِيْنَ
بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ
وَالأَقْرِبِيْنِ إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيْرًا فَاللهُ أَوْلَى بِهِمَا
فَلاَ تَتَّبِعُوْا الهَوَى أَنْ تَعْدِلُوْا وَإِنْ تَلْوُا أَوْ تُعْرِضُوا
فَإِنَّ اللهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرًا
Terjemahnya:
Wahai orang-orang yang
beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi
karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu.
jika ia kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan
jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka
Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.
Dari ayat
tersebut di atas sekurang-kurangnya dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
a.
Orang-orang
yang beriman wajib me-negakkan keadilan.
b.
Setiap
mukmin apabila ia menjadi saksi ia diwajibkan menjadi saksi karena Allah dengan
sejujur-jujurnya dan adil.
c.
Manusia
dilarang mengikuti hawa nafsu.
d.
Manusia
dilarang menyelewengkan ke-benaran.
Keadilan merupakan salah satu prinsip yang sangat penting dalam Alquran.
Oleh karena Allah sendiri memiliki sifat Maha Adil. Keadilan-Nya penuh dengan
kasih sayang kepada makhluk-Nya (rahman dan rahim). Dalam Islam,
keadilan adalah kebenaran. Kebenaran adalah merupakan salah satu nama Allah.
Dia adalah sumber kebenaran yang di dalam Alquran disebut al-haq. Oleh
karena itu, Al-Syaukani, sebagaimana yang dikutip Abd. Muin Salim, menyatakan
bahwa keadilan adalah menyelesaikan perkara berdasarkan ajaran yang terdapat
dalam Alquran dan sunah, bukan menetapakn hukum dengan pikiran.
Apabila prinsip keadilan dibawa ke fungsi kekuasaan negara, maka ada tiga
kewajiban pokok bagi penyelenggara negara atau suatu pemerin-tahan sebagai
pemegang kekuasaan, yaitu: 1) Kewajiban menerapkan kekuasaan negara yang adil,
jujur, dan bijaksana; 2) Kewajiban menerapkan kekuasaan kehakiman yang
seadil-adilnya; dan 3) Kewajiban penyelenggara negara untuk mewujudkan suatu
tujuan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera di bawah keridhaan Allah.
4.
Prinsip
Persamaan
Prinsip
persamaan dalam Islam dapat dipahami antara lain dari alquran surah al-Hujurat (49): 13
يَاأَيًّهَا
النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوْبًا
وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوْا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ
اللهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
Terjemahnya:
Hai manusia, Sesungguhnya Kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang
yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal.23
Ayat itu
melukiskan bagaimana proses kejadian manusia. Allah telah menciptakannya dari
pasangan laki-laki dan wanita. Pasangan yang pertama adalah Adam dan Hawa,
kemudian dilanjutkan oleh pasangan-pasangan lainnya melalui suatu pernikahan
atau keluarga. Jadi semua manusia melalui proses penciptaan yang “seragam” yang
merupkan suatu kriterium bahwa dasarnya semua manusia adalah sama dan memiliki
kedudukan yang sama. Inilah yang disebut prinsip persamaan.
5.
Prinsip
Pengakuan dan Perlindungan terhadap Hak-Hak Asasi Manusia
Dalam Islam
hak-hak asasi manusia bukan hanya diakui tetapi juga dilindungi sepenuhnya.
Dalam hal ini ada dua prinsip yang sangat penting yaitu prinsip pengakuan
hak-hak asasi manusia dan prinsip perlindungan terhadap hak-hak tersebut.
Prinsip-prinsip itu secara tegas digariskan dalam alquran antara lain dalam surah al-Isra’
(17): 70
وَلَقَدْ
كَرَّمْنَا بَنِى آدَمَ وَحَمَلْنَهُمْ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ
مِنَ الطِّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيْرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا
تَفْضِيْلاً
Terjemahnya:
Dan Sesungguhnya telah Kami
muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri
mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang
sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.24
Ayat
tersebut di atas dengan jelas mengekspresikan kemuliaan manusia yang di dalam
teks Alquran disebut karamah (kemuliaan). Hal itu mengandung prinsip
pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia sebagai hak-hak dasar yang
dikaruniakan Allah kepadanya. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak
tersebut ditekankan pada tiga hal, yaitu: 1) persamaan manusia; 2) martabat
manusia; dan 3) kebebasan manusia.
6.
Prinsip
Peradilan Bebas
Prinsip ini
berkaitan dengan prinsip keadilan dan persamaan. Dalam Islam seorang hakim
memiliki kewenangan yang bebas dalam mengambil keputusan. Hakim wajib
menerapkan prinsip keadilan dan persamaan terhadap siapapun berdasarkan ayat
dalam surah al-Nisa’ (4): 58
...
وَإِذَاحَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ ...
Terjemahnya:
… dan (menyuruh kamu) apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil 25
Dengan
demikian putusan hakim harus mencerminkan rasa keadilan hukum terhadap
siapapun. Prinsip peradilan bebas dalam Islam bukan hanya sekedar cirri bagi
suatu negara hukum, akan tetapi juga ia merupakan suatu kewajiban yang harus
dilaksanakan bagi setiap hakim. Peradilan bebas merupakan persyaratan bagi tegaknya
prinsip keadilan dan persamaan hukum.
7.
Prinsip
Perdamaian
Islam adalah
agama perdamaian. Olehnya itu alquran sangat menjunjung tinggi dan mengutamakan
perdamaian sebagaimana yang termaktub dalam surah al-Baqarah (2): 208
يَاأَيُّهَاالذِيْنَ
أَمَنُوْا ادْخُلُوا فِى السِّلْمِ كَافَّةً
Terjemahnya:
Hai orang-orang yang beriman,
masuk-lah kamu ke dalam Islam keseluruhan 26
Pada
dasarnya sikap bermusuhan atau perang merupakan sesuatu yang terlarang
dalam alquran. Perang hanya merupakan
suatu tindakan darurat dan bersifat defensif atau membela diri.
8.
Prinsip
Kesejahteraan
Prinsip
kesejahteraan dalam Islam bertujuan untuk mewujudkan keadilan sosial dan
keadilan ekonomi bagi seluruh anggota masyarakat atau rakyat. Tugas itu dibebankan
kepada penyelenggara negara dan masyarakat.
alquran telah menetapkan sejumlah sumber-sumber dana untuk jaminan
sosial bagi anggota masyarakat yang memerlukannya dengan berpedoman pada
prinsip keadilan sosial dan keadilan ekonomi. Sumber-sumber dana tersebut
antara lain adalah : zakat, sadaqah, hibah, dan wakaf. Mungkin juga dari
pendapatan negara seperti pajak, bea, dan lain-lain.
9.
Prinsip
Ketaatan Rakyat
Prinsip
ketaatan rakyat telah ditegaskan alquran
dalam surah al-Nisa’ (4): 59
يَاأَيُّهَاالذِيْنَ
أَمَنُوْا أَطِيْعُوا اللهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَأُوْلِى الأَمْرِ مِنْكُمْ
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِى شَيْئٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُوْلِ إِنْ
كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَومِ الأَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ
تَأْوِيْلاً
Terjemahnya:
Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian
jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah ( alquran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian, yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.27
Dari ayat di
atas dapat dipahami bahwa “menaati Allah” itu berarti tunduk kepada
ketetapan-ketetapan Allah, “menaati Rasul” ialah tunduk kepada
ketetapan-ketetapan Rasul yaitu Nabi Muhammad saw., dan “menaati ulil amri”
ialah tunduk kepada ketetapan-ketetapan petugas-petugas kekuasaan masing-masing
dalam lingkungan tugas kekuasaannya, selama ketetapan-ketetapan itu tidak
bertentangan dengan ketetapan Allah dan Rasul-Nya.
2.4 Syarat-Syarat
kepemimpinan Negara Islam
Secara umum, Alqur’an
mensyaratkan seorang pemimpin diangkat karena faktor keluasan pengetahuan (ilmi)
dan fisik (jism) seperti dijelaskan dalam:
“Nabi mereka mengatakan
kepada mereka: “Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu.”
mereka menjawab: “Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak
mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak diberi kekayaan
yang cukup banyak?” nabi (mereka) berkata: “Sesungguhnya Allah Telah memilih
rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa.” Allah
memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan Allah Maha luas
pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui. (QS. Al Baqarah:247)
Rasulullah SAW bersabda:
“Barang siapa mengangkat seseorang untuk mengurusi perkara kaum Muslimin,
lalu mengangkat orang tersebut, sementara dia mendapatkan orang yang lebih
layak dan sesuai daripada orang yang diangkatnya maka dia telah berkhianat
kepada Allah dan Rasulnya.” (HR Hakim)
“jika suatu urusan diserahkan
kepada bukan ahlinya, tunggulah saat kehancurannya.” (HR. Muslim)
Syarat kepemimpinan menurut Ibnu
Taimiyyah mencakup dua aspek, yakni qawiykekuatan (fisik dan intektual)
dan amin (dapat dipercaya). Sedangkan Al Mawardi menetapkan tujuh syarat
kepemimpinan yang mencakup adil, memiliki kemampuan berijtihaj, sehat jasmani,
tidak memiliki cacat fisik yang menghalangi menjalankan tugas, memiliki visi
yang kuat, pemberani dalam mengambil keputusan, memiliki nasab Quraisy. Ibnu
Khaldun sendiri mensyaratkan empat hal yang harus dimiliki pemimpin, yakni:
ilmu, keadilan, kemampuan serta keselamatan indera dan anggota tubuh lainnya.
Perihal syarat nasab Quraisy, Ibnu Khaldun memandang bukan syarat utama dan
tidak boleh menjadi ketetapan hukum yang mengikat.
Berpijak dari pemahaman umum nash dari Al qur’an dan Sunnah, serta pandangan
ulama, setidaknya ada tiga syarat utama kepemimpinan dalam Islam, yakni
integrasi aspek keluasan ilmu, integritas moral (kesalihan individual) dan
kemampuan professional, yang dimaksudkan keluasan ilmu, seorang pemimpin tidak
hanya mampu menegakkan keadilan berdasarkan prinsip-prinsip dan kaidah syariah,
namun juga mampu berijtihaj dalam merespon dinamika sosial politik yang terjadi
ditengah masyarakat. Sementara kesalihan adalah kepemilikan sifat amanah,
kesucian dan kerendahan hati dan istiqomah dengan kebenaran. Adapun
professional adalah kecakapan praktis yang dibutuhkan pemimpin dalam mengelola
urusan politik dan administrasi kenegaraan.
Jika tidak dipenuhi keseluruhan
syarat-syarat tersebut maka diperintahkan mengambil yang ashlah (lebih
utama). Misalnya, jika kaum Muslimin dihadapkan kepada situasi untuk memilih
salah satu dari dua pilihan yang buruk, yakni antara seorang pemimpin yang
shalih namun tidak cakap dengan seorang pemimpin yang cakap namun kurang shalih
maka menurut Ibnu Taimiyyah hendaknya didahulukan memilih pemimpin yang cakap
sekalipun kurang salih. Karena seorang pemimpin yang salih namun tidak
cakap maka kesalihan tersebut hanya bermanfaat bagi dirinya namun
ketidakcakapannya merugikan masyarakat sebaliknya pemimpin yang cakap namun
kurang shalih maka kecakapannya membawa kemaslahatan bagi masyarakat sementara
ketidaksalihannya merugikan dirinya sendiri.
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut:
a.
alquran
sebagai kitab suci umat Islam mengandung seperangkat prinsip dan tata nilai
etika bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. alquran mengajarkan antara lain
prinsip-prinsip kekuasaan sebagai amanah, permu-syawaratan dalam mencari
pemecahan masalah-masalah bersama, keadilan, persamaan, pengakuan, dan
perlin-dungan terhadap hak-hak asasi manusia, peradilan bebas, perdamaian,
kesejah-teraan, dan ketaatan rakyat.
b.
alquran
maupun hadis Nabi tidak meng-ajarkan sistem pemerintahan tertentu yang harus
dianut oleh umat Islam. Nabi saw. wafat tanpa meberikan petunjuk tentang
bagaimana seharusnya umat Islam menentukan siapa pemimpin atau kepala negara,
tentang bagaimana mengatur hubungan kekuasaan antara kepala negara dan rakyat,
tentang batas kekuasaan dan masa jabatan kepala negara, dan tentang dapat atau
tidaknya dibebaskan dari jabatannya.
c.
Nabi
Muhammad saw. sebagai Kepala Negara Madinah telah menerapkan prinsip-prinsip
itu (poin 1) dengan baik dan sukses, karena: 1) Beliau adalah tokoh panutan
atau uswatun hasanah yang tidak hanya sekedar berbicara tentang ajaran
Islam, tetapi ajaran itu beliau wujudkan secara konkret dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara; 2) karakter Nabi saw. sebagai kepala negara selalu
mencerminkan sikap dan watak sebagai pemimpin yang berjiwa demokrat dan
berwibawa sesuai dengan akhlak Islam; dan 3) kesadaran rakyat sangat tinggi
terhadap kewajiban-kewajiban dan hak-hak mereka.
d.
Sistem
Khilafah (suatu pemerintahan yang dipimpin oleh seorang Khalifah sebagai kepala
negara) yang pernah diterapkan pada masa Khulafa al-Rasyidin adalah suatu
sistem bernegara yang ideal yang pernah dalam hukum dan sejarah Islam. Artinya,
baik secara teoritis maupun secara empiris sistem itu pernah ada dalam Islam.
Oleh karena itu, asumsi yang menyatakan bahwa dalam Islam tidak ada sistem
negara dan pemerintahan adalah tidak benar.
3.2 Saran
Diharapkan dalam sistem pemerintahannya tidak
menggunakan system pemerintahan Monarki dimana hanya mereka yang berasal dari
keturunan suatu kelompok atau kerajaan saja yang bisa memimpin.
DAFTAR PUSTAKA
A. Mustari Pide, Pengantar Hukum Tata Negarai. Cet. III; Jakarta:
Gaya Media Pratama, 1999.
Abd. Muin Salim, Konsepsi Kekuasaan Politik Dalam Al-Qur’an. Cet.
II; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995.
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang
Pencaturan dalam Konstituante. Cet. I; Jakarta: LP3ES, 1985.
al-Maududi, Khalifah dan Kerajaan, diterjemahkan oleh Muhammad
al-Baqir. Bandung: Mizan, 1984.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya Semarang: Toha Putra,
1988.
Ibnu Kencana Syafi’i, Hukum Tata Negara. Cet. I; Jakarta: Dunia
Pustaka Raya, 1991.
Mohammad S. el-Awa, Sistem Politik dalam Pemerintahan Islam. Surabaya:
Bina Ilmu, 1983.
Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi Tentang
Prinsip-Prinsipnya Dilhat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode
Negara Masinah dan Masa Kini. Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: ajaran, sejarah dan pemikiran
Cet. V; Jakarta: UI-Press, 1993.
T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu Kenegaraan dalam Fiqih Islam. Cet.
II; Jakarta: Bulan Bintang, 1991.
Tim Penyusun, Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 16. Cet. I;
Jakarta: Cipta Adi Pustaka, 1991.
DOWNLOAD FILE WORD MAKALAH KETATANEGARAAN AGAMA DISINI
Comments
Post a Comment