LAPORAN PENDAHULUAN kejang demam dimas poltekkes


LAPORAN PENDAHULUAN
A.    Definisi
Kejang demam atau febrile convulsion ialah kejang yang terjadi karena kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38oC) yang disebabkan oleh proses ekstrakranium (National Institute of Neurological Disorder and Stroke/NIDS, 2013) dalam (Yuliastati, Arnis, 2016). Kejang demam merupakan kelainaan neurologis yang paling sering dijumpai pada anak, terutama pada golongan anak umur 6 bulan sampai 4 tahun. Hampir 3 % dari anak berumur dibawah 5 tahun pernah menderita kejang demam (Ngastiyah, 2005).
Kejang demam kompleks (complex febrile seizure) biasanya menunjukkan gambaran kejang fokal atau parsial. Durasinya >15 menit dan berulang lebih dari 1 kali kejang selama 24 jam (Arief, 2015). Kejang demam dengan salah satu ciri berikut ini: 1.  Kejang lama > 15 menit 2.  Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial 3.  Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam Penjelasan Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang berulang lebih dari 2 kali dan di antara bangkitan kejang anak tidak sadar. Kejang lama terjadi pada 8% kejang demam. Kejang fokal adalah kejang parsial satu sisi, atau kejang umum yang didahului kejang parsial. Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari, di antara 2 bangkitan kejang anak sadar. Kejang berulang terjadi pada 16% di antara anak yang mengalami kejang demam. ( hardiono, 2006)
B.     Etiologi
Menurut Lumbantobing,2001 Faktor yang berperan dalam menyebabkan kejang demam:
  1. Demam
  2. Efek produk toksik dari pada mikroorganisme (kuman dan virus terhadap otak).
  3. Respon alergik atau keadaan imun yang abnormal oleh infeksi.
  4.  Perubahan keseimbangan cairan atau elektrolit
  5. Ensefalitis viral (radang otak akibat virus) yang ringan yang tidak diketahui atau ensekalopati toksik sepintas.
  6. Gabungan semua faktor tersebut di atas.
Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengan kenaikan suhu tubuh yang tinggi dan cepat yang disebabkan infeksi diluar susunan saraf pusat, misalnya tonsilitis, otitis media akut (OMA), bronkhitis, dan lain – lain.

C.    Tanda dan Gejala

Djamaludin, 2010), tanda dan gejala anak yang mengalami kejang demam adalah sebagai berikut :
1.              Demam
2.              Saat kejang, anak kehilangan kesadaran, kadang – kadang nafas dapat berhenti beberapa saat.
3.              Tubuh,     termasuk tangan       dan        kaki   jadi    kaku, kepala  terkulai kebelakang, disusul gerakan kejut yang kuat.
4.              Warna kulit berubah pucat, bahkan dapat membiru, dan bola mata naik ke atas.
5.              Gigi terkatup dan kadang disertai muntah.
6.              Nafas dapat berhenti beberapa saat.
7.              Anak tidak dapat mengontrol buang air besar dan kecil.
  1. Patofisiologis
Sel dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam adalah lipoid dan permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion Natrium (Na+) dan elektrolit lainnya, kecuali ion Klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah, sedangkan diluar sel neuron terdapat keadaan sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan diluar sel, maka terdapat perbedaan potensial yang disebut potensial membran sel dari sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na-KATPase yang terdapat pada permukaan sel, Patofisiologi kejang demam diperkirakan bahwa dalam keadaan demam terjadi peningkatan reaksi kimia tubuh. Sehingga reaksi oksidasi terjadi lebih cepat dan akibatnya oksigen lebih cepat habis. Keadaan hipoksia ini mengganggu transport aktif sehingga Na intrasel dan K ekstrasel meningkat dan potensial membrane cenderung turun.
Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang telah terjadi pada suhu 38oC sedangkan pada anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 40oC atau lebih. Dari kenyataan ini dapatlah disimpulkan bahwa terulangnya kejang demam lebih sering terjadi pada ambang kejang yang rendah sehingga dalam penanggulangannya perlu diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita kejang. Kejang demam yang berlangsung singkat biasanya tidak berbahaya dan tidak menimbulkan gejala sisa. Tetapi pada kejang yang berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasanya disertai gejala apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnea, asidosis laktat disebabkan oleh metabolisme anaerobik, hipotensi arterial disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh makin meningkat disebkan oleh meningkatnya aktivitas otot dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otak meningkat. Rangkaian kejadian diatas adalah faktor penyebab hingga terjadinya kerusakan neuron otak selama berlangsungnya kejang lama.
Sel syaraf, seperti juga sel hidup umumnya, mempunyai potensial membran. Potensial membran yaitu selisih potensial antara intrasel dan ekstrasel. Potensial intrasel lebih negatif dibandingkan dengan ekstrasel. Dalam keadaan istirahat potensial membran berkisar antara 30-100 mV, selisih potensial membran ini akan tetap sama selama sel tidak mendapatkan rangsangan. Potensial membran ini terjadi akibat perbedaan letak dan jumlah ion-ion terutama ion Na+, K + dan Ca++. Bila sel syaraf mengalami stimulasi, misalnya stimulasi listrik akan mengakibatkan
Menurunnya    potensial          membran.        Penurunan       potensial membran ini akan menyebabkan permeabilitas membran terhadap ion Na+ akan meningkat, sehingga Na+ akan lebih banyak masuk ke dalam sel. Selama serangan ini lemah, perubahan potensial membran masih dapat dikompensasi oleh transport aktif ion Na+ dan ion K+, sehingga selisih potensial kembali ke keadaan istirahat. Perubahan potensial yang demikian sifatnya tidak menjalar, yang disebut respon lokal. Bila rangsangan cukup kuat perubahan potensial dapat mencapai ambang tetap (firing level), maka permiabilitas membran terhadap Na+ akan meningkat secara besar-besaran pula, sehingga timbul spike potensial atau potensial aksi. Potensial aksi ini akan dihantarkan ke sel syaraf berikutnya melalui sinap dengan perantara zat kimia yang dikenal dengan neurotransmiter. Bila perangsangan telah selesai, maka permiabilitas membran kembali ke keadaan istiahat, dengan cara Na+ akan kembali ke luar sel dan K+ masuk ke dalam sel melalui mekanisme pompa Na-K yang membutuhkan ATP dari sintesa glukosa dan oksigen. Mekanisme terjadinya kejang ada beberapa teori:
a.       Gangguan pembentukan ATP dengan akibat kegagalan pompa Na-K,  misalnya pada hipoksemia, iskemia, dan hipoglikemia. Sedangkan pada kejang sendiri dapat terjadi pengurangan ATP dan terjadi hipoksemia.
b.      Perubahan permeabilitas membran sel syaraf, misalnya hipokalsemia dan hipomagnesemia.
                   Pada saat kejang demam akan timbul kenaikan konsumsi energi di otak, jantung, otot, dan terjadi gangguan pusat pengatur suhu. Demam akan menyebabkan kejang bertambah lama, sehingga kerusakan otak makin bertambah. Pada kejang yang lama akan terjadi perubahan sistemik berupa hipotensi arterial, hiperpireksia sekunder akibat aktifitas motorik dan hiperglikemia. Semua hal ini akan mengakibatkan iskemi neuron karena kegagalan metabolisme di otak. Demam dapat menimbulkan kejang melalui mekanisme sebagai berikut:
a.         Demam dapat menurunkan nilai ambang kejang pada sel-sel yang belum matang/immatur.
b.        Timbul dehidrasi sehingga terjadi gangguan elektrolit yang menyebabkan gangguan permiabilitas membran sel.
c.        Metabolisme basal meningkat, sehingga terjadi timbunan asam laktat dCO2 yang akan merusak neuron.
d.        Demam meningkatkan Cerebral Blood Flow (CBF) serta meningkatkan kebutuhan oksigen dan glukosa, sehingga menyebabkan gangguan pengaliran ion-ion keluar masuk sel.
                   Perubahan relatif neurotransmiter yang bersifat eksitasi dibandingkan dengan neurotransmiter inhibisi dapat menyebabkan depolarisasi yang berlebihan. Misalnya ketidakseimbangan antara GABA atau glutamat akan menimbulkan kejang

  1. Manifestasi Klinis
Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengan kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat yang disebabkan oleh infeksi diluar susunan saraf pusat, misalnya tonsilitis, otitis media akut, bronkitis, furunkulosis dan lain-lain. Serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam, berlangsung singkat dengan sifat bangkitan dapat berbentuk tonik – klonik, tonik, klonik, fokal atau akinetik. Postur tonik (kontraksi dan kekakuan otot menyeluruh yang biasanya berlangsung selama 10-20 detik), gerakan klonik (kontraksi dan relaksasi otot yang kuat dan berirama, biasanya berlangsung selama 1-2 menit), lidah atau pipinya tergigit, gigi atau rahangnya terkatup rapat, inkontinensia (mengeluarkan air kemih atau tinja diluar kesadarannya), gangguan pernafasan, apneu (henti nafas), dan kulitnya kebiruan.
Kejang umumnya berhenti sendiri. Begitu kejang berhenti, anak tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi beberapa detik/menit kemudian anak akan terbangun dan sadar kembali tanpa kelainan saraf. Kejang demam yang berlangsung singkat umumnya tidak berbahaya dan tidak menimbulkan gejala sisa. Tetapi kejang yang berlangsung lama (> 15 menit) sangat berbahaya dan dapat menimbulkan kerusakan permanen dari otak.
F.     Pemeriksaan Penunjang Kejang Demam
1.      Elektro encephalograft (EEG)
  Untuk pemeriksaan ini dirasa kurang mempunyai nilai prognostik. EEG abnormal tidak dapat digunakan untuk menduga kemungkinan terjadinya epilepsi atau kejang demam yang berulang dikemudian hari. Saat ini pemeriksaan EEG tidak lagi dianjurkan untuk pasien kejang demam yang sederhana. Pemeriksaan laboratorium rutin tidak dianjurkan dan dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi.









2.      Pemeriksaan cairan cerebrospinal
      Hal ini dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan adanya meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama. Pada bayi yang masih kecil seringkali gejala meningitis tidak jelas sehingga harus dilakukan lumbal pungsi pada bayi yang berumur kurang dari 6 bulan dan dianjurkan untuk yang berumur kurang dari 18 bulan.
3.      Darah
a.        Glukosa Darah : Hipoglikemia merupakan predisposisi kejang  (N < 200 mq/dl)
b.      BUN: Peningkatan BUN mempunyai potensi kejang dan merupakan indikasi nepro toksik akibat dari pemberian obat.
c.        Elektrolit : K, Na
Ketidakseimbangan elektrolit merupakan predisposisi kejang
Kalium ( N 3,80 – 5,00 meq/dl )
Natrium ( N 135 – 144 meq/dl )
4.      Cairan Cerebo Spinal   : Mendeteksi tekanan abnormal dari CCS tanda infeksi, pendarahan penyebab kejang.
5.       Skull Ray :Untuk mengidentifikasi adanya proses desak ruang dan adanya lesi
6.      Tansiluminasi    : Suatu cara yang dikerjakan pada bayi dengan UUB masih terbuka (di bawah 2 tahun) di kamar gelap dengan lampu khusus untuk transiluminasi kepala.

G.    Komplikasi Kejang Demam

Komplikasi kejang demam menurut (Waskitho, 2013 dalam Wulandari & Erawati, 2016) yaitu :
1.  Kerusakan neurotransmitter
Lepasnya muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel ataupun membrane sel yang menyebabkan kerusakan pada neuron.
2.  Epilepsi
Kerusakan pada daerah medial lobus temporalis setelah mendapat serangan kejang yang berlangsung lama dapat menjadi matang di kemudian hari sehingga terjadi serangan epilepsi yang spontan.
3.  Kelainan anatomis di otak
Serangan kejang yang berlangsung lama yang dapat menyebabkan kelainan di otak yang lebih banyak terjadi pada anak baru berumur 4 bulan - 5 tahun.
4.   Mengalami kecacatan atau kelainan neurologis karena disertai demam.
5.  Kemungkinan mengalami kematian
H.    Penaktalaksanaan Medis
1.        Pemberian obat pada saat demam
a.      Antipiretik
Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi resiko terjadinya kejang demam, namun para ahli di Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap dapat diberikan. Dosis Paracetamol yang digunakan adalah 10-15 mg/kg/kali diberikan 4 kali sehari dan tidak lebih dari 5 kali. Dosis Ibuprofen 5-10 mg/kg/kali, 3-4 kali sehari. Meskipun jarang, asam asetilsalisilat dapat menyebabkan sindrom Reye terutama pada anak kurang dari 18 bulan, sehingga penggunaan asam asetilsalisilat tidak dianjurkan.2,3,5
b.     Antikonvulsan
Pemakaian diazepam oral dosis 0,3 mg/kg setiap 8 jam pada saat demam menurunkan resiko berulangnya kejang pada 30% -60% kasus, begitu pula dengan diazepam rektal dosis 0,5 mg/kg setiap 8 jam pada suhu > 38,5oC. Dosis tersebut cukup tinggi dan menyebabkan ataksia, iritabel dan sedasi yang cukup berat pada 25-39% kasus. Fenobarbital, karbamazepin dan fenitoin pada saat demam tidak berguna untuk mencegah kejang demam.
c.       Pemberian Obat Rumat
1)      Indikasi Pemberian obat Rumat
Pengobatan rumat diberikan bila kejang demam menunjukkan ciri sebagai berikut (salah satu) ;
-       Kejang lama > 15 menit
-       Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang, misalnya hemiparesis, paresis Todd, cerebral palsy, retardasi mental, hidrocephalus.
-       Kejang fokal
Pengobatan rumat dipertimbangkan bila ; kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam, kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan, kejang demam ≥ 4 kali per tahun.5
2)      Jenis Antikonvulsan untuk Pengobatan Rumat
Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif dalam menurunkan risiko berulangnya kejang. Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak berbahaya dan penggunaan obat dapat menyebabkan efek samping, maka pengobatan rumat hanya diberikan terhadap kasus selektif dan dalam jangka pendek. Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan perilaku dan kesulitan belajar pada 40-50% kasus. Obat pilihan saat ini adalah asam valproat. Pada sebagian kecil kasus, terutama yang berumur kurang dari 2 tahun asam valproat dapat menyebabkan gangguan fungsi hati. Dosis asam valproat 15-40 mg/kg/hari dalam 2-3 dosis, dan fenobarbital 3-4 mg/kg per hari dalam 1-2 dosis. Pengobatan rumat diberikan selama 1 tahun bebas kejang, kemudian dihentikan secara bertahap selama 1-2 bulan.
I.       Penatalaksanaan Keperawatan
1.      Pengawasan tanda – tanda vital secara kontinue tiap jam
2.      Observasi kejang
KIE keluarga mengenai dampak kejang lama dan penangananya
3.      Menjaga jalan napas
·         Obsevasi peningkatan suhu tubuh
4.      Peningkatan suhu tubuh
·         Observasi / Ukur suhu tubuh secara periodik
·         Beri minum banyak
·         Berikan kompres
J.       EDUKASI PADA ORANG TUA
Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua. Pada saat kejang sebagian besar orang tua beranggapan bahwa anaknya telah meninggal. Kecemasan ini harus dikurangi dengan cara yang diantaranya :
1.      Meyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis baik
2.      Memberitahukan cara penanganan kejang
3.      Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali
4.      Pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif tetapi harus diingat adanya efek samping obat.
Beberapa hal yang harus dikerjakan bila kembali kejang
1.      Tetap tenang dan tidak panik.
2.      Kendorkan pakaian yang ketat terutama disekitar leher.
3.      Bila tidak sadar, posisikan anak terlentang dengan kepala miring.   Bersihkan muntahan atau lendir di mulut atau hidung. Walaupun kemungkinan lidah tergigit, jangan memasukkan sesuatu ke dalam mulut.
4.      Ukur suhu, observasi dan catat lama dan bentuk kejang.
5.      Tetap bersama pasien selama kejang.
6.      Berikan diazepam rektal, dan jangan diberikan bila kejang telah berhenti.
7.      Bawa ke dokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau lebih .
Millichap, merekomendasikan beberapa hal dalam upaya mencegah dan menghadapi kejang demam.
• Orang tua atau pengasuh anak harus diberi cukup informasi mengenai penanganan demam dan kejang.
• Profilaksis intermittent dilakukan dengan memberikan diazepam dosis 0,5 mg/kg BB perhari, per oral pada saat anak menderita demam. Sebagai alternatif dapat diberikan profilaksis terus menerus dengan fenobarbital.
• Memberikan diazepam per rektal bila terjadi kejang.
• Pemberian fenobarbital profilaksis dilakukan atas indikasi,  pemberian sebaiknya dibatasi sampai 6 – 12 bulan kejang tidak berulang lagi dan kadar fenoborbital dalam darah dipantau tiap 6 minggu – 3 bulan, juga dipantau keadaan tingkah laku dan psikologis anak.

ASUHAN KEPERAWATAN TEORI
3.1  PENGKAJIAN
      Pengkajian yang sistematis  meliputi pengumpulan data, analisa data dan penentuan masalah. Pengumpulan data diperoleh dengan cara intervensi, observasi, psikal assesment.
1.      Identitas
Identitas pasien meliputi: nama, jenis kelamin, umur, pekerjaan, pendidikan, status perkawinan, agama, kebangsaan, suku, alamat, tanggal dan jam MRS, no register, serta identitas yang bertanggung jawab.
2.      Keluhan utama
Pada umumnya pasien panas yang meninggi disertai kejang
3.      Riwayat penyakit sekarang
Menanyakan tentang keluhan yang dialami sekarang mulai dari panas, kejang, kapan terjadi, berapa kali, dan keadaan sebelum, selama dan setelah kejang.
4.      Riwayat penyakit dahulu
Penyakit yang diderita saat kecil seperti batuk, pilek, panas. pernah dirawat dimana, tindakan apa yang dilakukan, penderita pernah mengalami kejang sebelumnya, umur berapa saat kejang.
5.      Riwayat penyakit keluarga
Tanyakan pada keluarga pasien tentang apakah didalam keluarga ada yang menderita penyakit yang diderita oleh pasien seperti kejang atau epilepsi.
6.      Pemeriksaan fisik
1)      B1 (Breath) : Keadaan umum tampak lemah, tampak peningkatan frekuensi nafas sampai terjadi gagal nafas.Dapat terjadi sumbatan jalan nafas akibat penumpukan sekret
2)      B2 (Blood) : TD normal, nadi, perfusi, crt<2" , suhu panas, kemungkinan terjadi gangguan hemodinamik
3)      B3 (Brain): Kesadaran komposmentis sampai koma
4)      B4 (Bladder): monitor produksi urine dan warnanya(jernih,pekat)
5)      B5 (Bowel): Inspeksi : tampak normal, auskultasi : terdengar suara bising usus normal, palpasi : turgor kulit normal, perkusi : tidak ada distensi abdomen
6)      B6 (Bone): pada kasus kejang demam tidak ditemukan kelainan tulang akan tetapi saat kejang berlangsung akan terdapat beberapa otot yang mengalami kejang.
7.      Pemeriksaan penunjang
a.         Pemeriksaan laboratorium
a)      Darah lengkap
b)      Urine lengkap
c)      Serum elektrolit
b.        EEG: didapatkan gelombang abnormal berupa gelombang-gelombang lambat fokal bervoltase tinggi, kenaikan aktivitas delta, relatif dengan gelombang tajam (Soetomenggolo, 1989)
c.         CT Scan: pada pemeriksaan ini dapat menunjukan adanya lesi pada daerah kepala.
A.    Diagnosa Keperawatan
1.      Hipertermi Berhubungan dengan proses penyakit
2.      Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan gangguan neurologis
3.      Resiko tinggi cedra ditandai dengan








1.      Intervensi
No
Dx Keperawatan
SLKI
SIKI
1
Hipertermi b/d proses penyakit


                          
Setselah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam termoregulasi membaik
Kriteria Hasil :
-          Mengigil cukup menurun
-          Takikardi menurun
-          Pucat cukup menurun
-          Suhu kulit membaik
-          Suhu tubuh cukup membaik (36,5-37,5)
-          Ventilasi membaik ( 14-22)
Observasi
1.    identifikasi penyebab hipertermia
2.       Monitor suhu tubuh
3.       Monitor kadar elektrolit
4.       Monitor tekhaluaran urine
5.      Monitor komplikasi akibat hipertermia
Terapeutik
6.       Sediakan lingkungan yang dingin
7.      Longgarkan atau lepaskan pakaian
8.      Basahi dan kipasi permukaan tubuh
9.      Berikan cairan oral
10.  Ganti linen setiap hari atau jika mengalami hiperhidrosis
11.  Lakukan pendinginan eksternal
12.  Berikan oksigen
edukasi
13.  Anjurkan tirah baring
Kolaborasi
14.  Kolaborasi pemberian cairan dan elektrolid intervena

No
Dx Keperawatan
SLKI
SIKI

2
Pola nafas tidak efektif b.d depresi pusat permapasan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 2x24 jam diharapkan pola napas dapat membaik dengan kriteria hasil :
            1.            Ventilasi semenit cukup meningkat
            2.            Tekanan inspirasi/espirasi cukup meningkat
            3.            Pernapasan cuping hidung menurun
            4.            Dispnea menurun
            5.            Frekuensi napas cukup membaik
            6.            Kedalaman napas membaik


  • Pemantauan Respirasi
 Observasi
-       Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya napas
-       Monitor pola napas ( seperti bradipnea, takipnea, hiperventilasi, kussmaul, cheyne-stokes, biot, ataksik)
-       Monitor batuk efektif
-        Monitor adanya produksi sputum
-       Monitor adanya sumbatan jalan napas
-       Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
-       Auskultasi bunyi napas
-       Monitor saturasi oksigen
-       Monitor nilai AGD
-       Monitor hasil Foto thoraks
Terapeutik
-       Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi pasien
-       Dokumentasikan hasil pemantauan
Edukasi
-     Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
-     Informasikan hasil pemantauan jika perlu
Kolaborasi
-     Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitik,, jika perlu. 


3
Resiko Cedera













Setelah dilakuan tindakan keperawatan selama 3x24 jam kontril kejang meningkat dengan kriteria hasil:
-          Kemampuan mengidentifikasi faktor resiko/ pemicu jejang sedang
-          Kemampuan mencegah faktor resiko/ pemicu jejang sedang cukup meningkat
-          Kemampuan melaporkan efek samping obat cukup meningkat
-          Kepatuhan minum obat meningkat
-          Mendapatkan obat yang dibutuhkan cukup menurun
-          Melaporkan frekuensi kejang cukup menuurun


·         Pencegahan kejang
Observasi
1.      Monitor status neorologis
2.      Monitor tanda-tanda vital
Terapeutik
3.      Baringkan pasien agar tidak terjatuh
4.      Rendahkan ketinggian tempat tidur
5.      Pasang side-rail tempat tidur
Edukasi
6.      Anjarkan keluarga tentang pertolongan pertama kejang
Kolaborasi
7. kolaborasi dengan tim medis pemberian obat







Daftar pustaka
Marwan, R. (2017). Faktor Yang Berhubungan Dengan Penanganan Pertama Kejadian Kejang Demam Pada Anak Usia 6 Bulan - 5 Tahun Di Puskesmas, 1(1), 32–40.

Ngastiyah, (2005) Perawatan Anak Sakit, Jakarta:EGC

Purba, Happy sri Rezeki. (2018). Pemerolehan Fonologi Anak Usia 6 Tahun Dengan Riwayat Kejang Demam (Studi Kualitatif Pemerolehan Fonologi Pada Nazwa)
PPNI. 2018. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator Diagnostik, edisi 1. DPP PPNI : Jakarta
PPNI. 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan kriteria Hasil Keperawatan edisi 1. DPP PPNI : Jakarta
PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan tindakan keperawatan, edisi 1. DPP PPNI : Jakarta



UNDUH

Comments

Popular posts from this blog

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN KEBUTUHAN OKSIGENASI

SINOPSIS PANTOMIM - JANGAN BUDAYAKAN SERING TELAT MASUK SEKOLAH