BUDAYA AKADEMIK


1.      BUDAYA AKADEMIK

a.      Pengertian Budaya Akademik
Budaya akademik (Academic culture), Budaya Akademik dapat dipahami sebagai suatu totalitas dari kehidupan dan kegiatan akademik yang dihayati, dimaknai dan diamalkan oleh warga masyarakat akademik, di lembaga pendidikan tinggi dan lembaga penelitian.
Kehidupan dan kegiatan akademik diharapkan selalu berkembang, bergerak maju bersama dinamika perubahan dan pembaharuan sesuai tuntutan zaman. Perubahan dan pembaharuan dalam kehidupan dan kegiatan akademik menuju kondisi yang ideal senantiasa menjadi harapan dan dambaan setiap insan yang mengabdikan dan mengaktualisasikan diri melalui dunia pendidikan tinggi dan penelitian, terutama mereka yang menggenggam idealisme dan gagasan tentang kemajuan. Perubahan dan pembaharuan ini hanya dapat terjadi apabila digerakkan dan didukung oleh pihak-pihak yang saling terkait, memiliki komitmen dan rasa tanggungjawab yang tinggi terhadap perkembangan dan kemajuan budaya akademik.
Budaya akademik sebenarnya adalah budaya universal. Artinya, dimiliki oleh setiap orang yang melibatkan dirinya dalam aktivitas akademik. Membanggun budaya akademik bukan perkara yang mudah. Diperlukan upaya sosialisasi terhadap kegiatan akademik, sehingga terjadi kebiasaan di kalangan akademisi untuk melakukan norma-norma kegiatan akademik tersebut.
Pemilikan budaya akademik ini seharusnya menjadi idola semua insan akademisi perguruaan tinggi, yakni dosen dan mahasiswa. Derajat akademik tertinggi bagi seorang dosen adalah dicapainya kemampuan akademik pada tingkat guru besar (profesor). Sedangkan bagi mahasiswa adalah apabila ia mampu mencapai prestasi akademik yang setinggi-tingginya.
Khusus bagi mahasiswa, faktor-faktor yang dapat menghasilkan prestasi akademik tersebut ialah terprogramnya kegiatan belajar, kiat untuk berburu referensi actual dan mutakhir, diskusi substansial akademik, dsb. Dengan melakukan aktivitas seperti itu diharapkan dapat dikembangkan budaya mutu (quality culture) yang secara bertahap dapat menjadi kebiasaan dalam perilaku tenaga akademik dan mahasiswa dalam proses pendidikan di perguruaan tinggi.
Oleh karena itu, tanpa melakukan kegiatan-kegiatan akademik, mustahil seorang akademisi akan memperoleh nilai-nilai normative akademik. Bisa saja ia mampu berbicara tentang norma dan nilai-nilai akademik tersebut didepan forum namun tanpa proses belajar dan latihan, norma-norma tersebut tidak akan pernah terwujud dalam praktik kehidupan sehari-hari. Bahkan sebaliknya, ia tidak segan-segan melakukan pelanggaran dalam wilayah tertentu - baik disadari ataupun tidak.
Kiranya, dengan mudah disadari bahwa perguruan tinggi berperan dalam mewujudkan upaya dan pencapaian budaya akademik tersebut. Perguruan tinggi merupakan wadah pembinaan intelektualitas dan moralitas yang mendasari kemampuan penguasaan IPTEK dan budaya dalam pengertian luas disamping dirinya sendirilah yang berperan untuk perubahan tersebut.

b.      Pembahasan Tentang Budaya Akademik

1). Konsep dan Ciri-Ciri Perkembangan Budaya Akademik

Dalam situasi yang sarat idealisme, rumusan konsep dan pengertian tentang Budaya Akademik yang disepakati oleh sebagian besar (167/76,2%) responden adalah “Budaya atau sikap hidup yang selalu mencari kebenaran ilmiah melalui kegiatan akademik dalam masyarakat akademik, yang mengembangkan kebebasan berpikir, keterbukaan, pikiran kritis-analitis,  rasional dan obyektif oleh warga masyarakat akademik” Konsep dan pengertian tentang Budaya Akademik tersebut didukung perumusan karakteristik perkembangannya yang disebut “Ciri-Ciri Perkembangan Budaya Akademik” yang meliputi berkembangnya :
(1)     penghargaan terhadap pendapat orang lain secara obyektif;
(2)     pemikiran rasional dan kritis-analitis dengan tanggungjawab moral;
(3)     kebiasaan membaca;
(4)     penambahan ilmu dan wawasan;
(5)     kebiasaan meneliti dan mengabdi kepada masyarakat;
(6)     penulisan artikel, makalah, buku;
(7)     diskusi ilmiah;
(8)     proses belajar-mengajar, dan
(9)     manajemen perguruan tinggi yang baik

2). Tradisi Akademik

Pemahaman  mayoritas  responden (163/74,4%)  mengenai Tradisi  Akademik adalah, “Tradisi yang menjadi ciri khas kehidupan masyarakat akademik dengan menjalankan proses belajar-mengajar antara dosen dan mahasiswa; menyelenggarakan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, serta mengembangkan cara-cara berpikir kritis-analitis, rasional dan inovatif di lingkungan akademik”
Tradisi menyelenggarakan proses belajar-mengajar antara guru dan murid, antara pandito dan cantrik, antara kiai dan santri sudah mengakar sejak ratusan tahun yang lalu, melalui lembaga-lembaga pendidikan seperti padepokan dan pesantren. Akan tetapi tradisi-tradisi lain seperti menyelenggarakan penelitian adalah tradisi baru. Demikian pula, tradisi berpikir kritis-analitis, rasional dan inovatif adalah kemewahan yang tidak terjangkau tanpa terjadinya perubahan dan pembaharuan sikap mental dan tingkah laku yang harus terus-menerus diinternalisasikan dan disosialisasikan dengan menggerus sikap mental paternalistik dan ewuh-pakewuh yang berlebih-lebihan pada sebagian masyarakat akademik yang mengidap tradisi lapuk, terutama dalam paradigma patron-client relationship yang mendarah-daging.




3). Kebebasan Akademik

Pengertian tentang “Kebebasan Akademik” adalah Kebebasan yang dimiliki oleh pribadi-pribadi anggota sivitas akademika (mahasiswa dan dosen) untuk bertanggungjawab dan mandiri yang berkaitan dengan upaya penguasaan dan pengembangan Iptek dan seni yang mendukung pembangunan nasional. Kebebasan akademik meliputi kebebasan menulis, meneliti, menghasilkan karya keilmuan, menyampaikan pendapat, pikiran, gagasan sesuai dengan bidang ilmu yang ditekuni, dalam kerangka akademis (Kistanto, et. al., 2000: 86).
“Kebebasan Akademik” berurat-berakar mengiringi tradisi intelektual masyarakat akademik – tetapi kehidupan dan kebijakan politik acapkali mempengaruhi dinamika dan perkembangannya. Dalam rezim pemerintahan yang otoriter, kiranya kebebasan akademik akan sulit berkembang. Dalam kepustakaan internasional kebebasan akademik dipandang sebagai inti dari budaya akademik dan berkaitan dengan kebebasan berpendapat (lihat CODESRIA 1996, Forum 1994, Daedalus Winter 1997, Poch 1993, Watch 1998, Worgul 1992).
Dalam masyarakat akademik di Indonesia, kebebasan akademik yang berkaitan dengan kebebasan berpendapat telah mengalami penderitaan yang panjang, selama puluhan tahun diwarnai oleh pelarangan dan pembatasan kegiatan akademik di era pemerintahan Suharto (lihat Watch 1998). Kini kebebasan akademik telah berkembang seiring terjadinya pergeseran pemerintahan dari Suharto kepada Habibie, dan makin berkembang begitu bebas pada pemerintahan Abdurrahman Wahid, bahkan hampir tak terbatas dan “tak bertanggungjawab,” sampai pada pemerintahan Megawati, yang makin sulit mengendalikan perkembangan kebebasan berpendapat.
Selain itu, kebebasan akademik kadangkala juga berkaitan dengan sikap-sikap dalam kehidupan beragama yang pada era dan pandangan keagamaan tertentu menimbulkan hambatan dalam perkembangan kebebasan akademik, khususnya kebebasan berpendapat.
Dapat dikatakan bahwa kebebasan akademik suatu masyarakat-bangsa sangat tergantung dan berkaitan dengan situasi politik dan pemerintahan yang dikembangkan oleh para penguasa. Pelarangan dan pembatasan kehidupan dan kegiatan akademik yang menghambat perkembangan kebebasan akademik pada lazimnya meliputi
(1). penerbitan buku tertentu;
(2). pengembangan studi tentang ideologi tertentu; dan
(3).pengembangan kegiatan kampus, terutama demonstrasi dan diskusi yang bertentangan dengan ideologi dan kebijakan pemerintah atau negara.




4). Kesadaran Kritis dan Budaya Akademik

Merujuk pada redaksi UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Bab VI
bagian ke empat pasal 19 bahwasanya mahasiswa itu sebenarnya hanya sebutan akademis untuk siswa/ murid yang telah sampai pada jenjang pendidikan tertentu dalam masa pembelajarannya. Sedangkan secara harfiah, mahasiswa” terdiri dari dua kata, yaitu Maha yang berarti tinggi dan Siswa yang berarti subyek pembelajar sebagaimana pendapat Bobbi de porter, jadi kaidah etimologis menjelaskan pengertian mahasiswa sebagai pelajar yang tinggi atau seseorang yang belajar di perguruan tinggi/ universitas.
Namun jika kita memaknai mahasiswa sebagai subyek pembelajar saja, amatlah sempit sebab meski diikat oleh suatu definisi study, akan tetapi mengalami perluasan makna mengenai eksistensi dan peran yang dimainkan dirinya. Kemudian pada perkembangan selanjutnya, mahasiswa tidak lagi diartikan hanya sebatas subyek pembelajar (study), akan tetapi ikut mengisi definisi learning. Mahasiswa adalah seorang pembelajar yang tidak hanya duduk di bangku kuliah kemudian mendengarkan tausiyah dosen, lalu setelah itu pulang dan menghapal di rumah untuk menghadapi ujian tengah semester atau Ujian Akhir semester. Mahasiswa dituntut untuk menjadi seorang simbol pembaharu dan inisiator perjuangan yang respect dan tanggap terhadap isu-isu sosial serta permasalahan umat manusia.
Apabila kita melakukan kilas balik, melihat sejarah, peran mahasiswa acapkali mewarnai perjalanan bangsa Indonesia, mulai dari penjajahan hingga kini masa reformasi. mahasiswa bukan hanya menggendong tas yang berisi buku, tapi mahasiswa turut angkat senjata demi kedaulatan bangsa Indonesia. Dan telah menjadi rahasia umum, bahwasanya mahasiswa lah yang menjadi pelopor restrukturisasi tampuk kepemimpinan NKRI pada saat reformasi 1998. Peran yang diberikan mahasiswa begitu dahsyat, sehingga sendi-sendi bangsa yang telah rapuh, tidak lagi bisa ditutup-tutupi oleh rezim dengan status quonya, tetapi bisa dibongkar dan dihancurkan oleh Mahasiswa.
Mencermati alunan sejarah bangsa Indonesia, hingga kini tidak terlepas dari peran mahasiswa, oleh karena itu mahasiswa dapat dikategorikan sebagai Agent of social change ( Istilah August comte) yaitu perubah dan pelopor ke arah perbaikan suatu bangsa. Kendatipun demikian, paradigma semacam ini belumlah menjadi kesepakatan bersama antar mahasiswa (Plat form ), sebab masih ada sebagian madzhab mahasiswa yang apriori ( cuek ) terhadap eksistensi dirinya sebagai seorang mahasiswa, bahkan ia tak mau tahu menahu tentang keadaan sekitar lingkungan masyarakat ataupun sekitar lingkungan kampusnya sendiri. Yang terpenting buat mereka adalah duduk dibangku kuliah menjadi kambing conge dosen, lantas pulang duluan ke rumah.
Inikah mahasiswa ? Padahal, mahasiswa adalah sosok yang semestinya kritis, logis, berkemauan tinggi, respect dan tanggap terhadap permasalahan umat dan bangsa, mau bekerja keras, belajar terus menerus, mempunyai nyali (keberanian yang tinggi) untuk menyatakan kebenaran, aplikatif di lingkungan masyarakat serta spiritualis dan konsisten dalam mengaktualisasikan nilai-nilai ketauhidan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dengan Konsep itulah, mahasiswa semestinya bergerak dan menyadari dirinya akan eksistensi ke-mahahasiswaan nya itu. Belajar tidaklah hanya sebatas mengejar gelar akademis atau nilai indeks prestasi ( IP ) yang tinggi dan mendapat penghargaan cumlaude, lebih dari itu mahasiswa harus bergerak bersama rakyat dan pemerintah untuk membangun bangsa, atau paling tidak dalam lingkup yang paling mikro, ada suatu kemauan untuk mengembangkan civitas/ perguruan tinggi dimana ia kuliah. Misalnya dengan ikut serta/ aktif di Organisasi Mahasiswa, baik itu Organisasi intra kampus ( BEM dan UKM ) ataupun Organisasi Ekstra kampus, serta aktif dalam kegiatan-kegiatan lain yang mengarah pada pembangunan bangsa.





2.      ETOS KERJA DALAM ISLAM

a.      Pengertian Etos Kerja
Etos berasal dari bahasa Yunani (etos) yang memberikan arti sikap, kepribadian, watak, karakter, serta keyakinan atas sesuatu. Sikap ini tidak saja dimiliki oleh individu, tetapi juga oleh kelompok bahkan masyarakat . Dalam kamus besar bahasa Indonesia etos kerja adalah semangat kerja yang menjadi ciri khas dan keyakinan seseorang atau sesesuatu kelompok. Secara terminologis kata etos, yang mengalami perubahan makna yang meluas. Digunakan dalam tiga pengertian yang berbeda yaitu:
1). Suatu aturan umum atau cara hidup
2). Suatu tatanan aturan perilaku
Penyelidikan tentang jalan hidup dan seperangkat aturan tingkah laku . Dalam pengertian lain, etos dapat diartikan sebagai thumuhat yang berkehendak atau berkemauan yang disertai semangat yang tinggi dalam rangka mencapai cita-cita yang positif.
Akhlak atau etos dalam terminologi Prof. Dr. Ahmad Amin adalah membiasakan kehendak. Kesimpulannya, etos adalah sikap yang tetap dan mendasar yang melahirkan perbuatan-perbuatan dengan mudah dalam pola hubungan antara manusia dengan dirinya dan diluar dirinya .
Dari keterangan diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa kata etos berarti watak atau karakter seorang individu atau kelompok manusia yang berupa kehendak atau kemauan yang disertai dengan semangat yang tinggi guna mewujudkan sesuatu keinginan atau cita-cita.
Etos kerja adalah refleksi dari sikap hidup yang mendasar maka etos kerja pada dasarnya juga merupakan cerminan dari pandangan hidup yang berorientasi pada nilai-nilai yang berdimensi transenden.
Menurut K.H. Toto Tasmara etos kerja adalah totalitas kepribadian dirinya serta caranya mengekspresikan, memandang, meyakini dan memberikan makna ada sesuatu, yang mendorong dirinya untuk bertindak dan meraih amal yang optimal (high Performance) .
Dengan demikian adanya etos kerja pada diri seseorang pedagang akan lahir semangat untuk menjalankan sebuah usaha dengan sungguh-sungguh, adanya keyakinan bahwa dengan berusaha secara maksimal hasil yang akan didapat tentunya maksimal pula. Dengan etos kerja tersebut jaminan keberlangsungan usaha berdagang akan terus berjalan mengikuti waktu.






b.     

Konsep Kerja dalam Islam

Kemuliaan seorang manusia itu bergantung kepada apa yang dilakukannya. Dengan itu, sesuatu amalan atau pekerjaan yang mendekatkan seseorang kepada Allah adalah sangat penting serta patut untuk diberi perhatian. Amalan atau pekerjaan yang demikian selain memperoleh keberkahan serta kesenangan dunia, juga ada yang lebih penting yaitu merupakan jalan atau tiket dalam menentukan tahap kehidupan seseorang di akhirat kelak, apakah masuk golongan ahli syurga atau sebaliknya.
Istilah ‘kerja’ dalam Islam bukanlah semata-mata merujuk kepada mencari rezeki untuk menghidupi diri dan keluarga dengan menghabiskan waktu siang maupun malam, dari pagi hingga sore, terus menerus tak kenal lelah, tetapi kerja mencakup segala bentuk amalan atau pekerjaan yang mempunyai unsur kebaikan dan keberkahan bagi diri, keluarga dan masyarakat sekelilingnya serta negara. Dengan kata lain, orang yang berkerja adalah mereka yang menyumbangkan jiwa dan enaganya untuk kebaikan diri, keluarga, masyarakat dan negara tanpa menyusahkan orang lain. Oleh karena itu, kategori ahli Syurga seperti yang digambarkan dalam Al-Qur’an bukanlah orang yang mempunyai pekerjaan/jabatan yang tinggi dalam suatu perusahaan/instansi sebagai manajer, direktur, teknisi dalam suatu bengkel dan sebagainya. Tetapi sebaliknya Al-Quran menggariskan golongan yang baik lagi beruntung (al-falah) itu adalah orang yang banyak taqwa kepada Allah, khusyu sholatnya, baik tutur katanya, memelihara pandangan dan sikap malunya pada-Nya serta menunaikan tanggung jawab sosialnya seperti mengeluarkan zakat dan lainnya (QS Al Mu’minun : 1 – 11).
Golongan ini mungkin terdiri dari pegawai, supir, tukang sapu ataupun seorang yang tidak mempunyai pekerjaan tetap. Sifat-sifat di ataslah sebenarnya yang menjamin kebaikan dan kedudukan seseorang di dunia dan di akhirat kelak. Jika membaca hadits-hadits Rasulullah SAW tentang ciri-ciri manusia yang baik di sisi Allah, maka tidak heran bahwa diantara mereka itu ada golongan yang memberi minum anjing kelaparan, mereka yang memelihara mata, telinga dan lidah dari perkara yang tidak berguna, tanpa melakukan amalan sunnah yang banyak dan seumpamanya.
Dalam satu hadits yang diriwayatkan oleh Umar r.a., berbunyi :
“Bahwa setiap amal itu bergantung pada niat, dan setiap individu itu dihitung berdasarkan apa yang diniatkannya …”
Dalam riwayat lain, Rasulullah SAW bersabda :

Binasalah orang-orang Islam kecuali mereka yang berilmu. Maka binasalah golongan berilmu, kecuali mereka yang beramal dengan ilmu mereka.”
Dan binasalah golongan yang beramal dengan ilmu mereka kecuali mereka yang ikhlas. Sesungguhnya golongan yang ikhlas ini juga masih dalam keadaan bahaya yang amat besar …”

Sebab, sesungguhnya Allah SWT telah menyediakan fasilitas segala sumber daya yang diperlukan, tinggal peran manusia sendiri dalam memobilisasi serta mendaya gunakannya secara optimal, dalam rangka melaksanakan apa yang Allah ridhai.
Anjuran tentang ketekunan dan kerja keras telah tergambar dalam hadis Nabi Saw, seperti yang tersirat dalam hadis di atas, bahwa Nabi Saw. sangat membenci sifat-sifat dan perilaku yang mendorong kepada kemunduran, seperti malas, takut, bakhil dan lain sebagainya.

Ketiga hadist diatas sudah cukup menjelaskan betapa niat yang disertai dengan keikhlasan itulah inti sebenarnya dalam kehidupan dan pekerjaan manusia. Alangkah baiknya kalau umat Islam hari ini, dapat bergerak dan bekerja dengan tekun dan mempunyai tujuan yang satu, yaitu ‘mardatillah’ (keridhaan Allah) itulah yang dicari dalam semua urusan. Dari situlah akan lahir nilai keberkahan yang sebenarnya dalam kehidupan yang penuh dengan curahan rahmat dan nikmat yang banyak dari Allah. Inilah golongan yang diistilahkan sebagai golongan yang tenang dalam ibadah, ridha dengan kehidupan yang ditempuh, serta optimis dengan janji-janji Allah.



c.       Meneladani Etos Kerja Rasulullah SAW

Rasulullah SAW menjadikan kerja sebagai aktualisasi keimanan dan ketakwaan. Rasul bekerja bukan untuk menumpuk kekayaan duniawi. Beliau bekerja untuk meraih keridaan Allah SWT.
Suatu hari Rasulullah SAW berjumpa dengan Sa'ad bin Mu'adz Al-Anshari. Ketika itu Rasul melihat tangan Sa'ad melepuh, kulitnya gosong kehitam-hitaman seperti terpanggang matahari. "Kenapa tanganmu?," tanya Rasul kepada Sa'ad. "Wahai Rasulullah," jawab Sa'ad, "Tanganku seperti ini karena aku mengolah tanah dengan cangkul itu untuk mencari nafkah keluarga yang menjadi tanggunganku". Seketika itu beliau mengambil tangan Sa'ad dan menciumnya seraya berkata, "Inilah tangan yang tidak akan pernah disentuh api neraka".
Dalam kisah lain disebutkan bahwa ada seseorang yang berjalan melalui tempat Rasulullah SAW. Orang tersebut sedang bekerja dengan sangat giat dan tangkas. Para sahabat kemudian bertanya, "Wahai Rasulullah, andaikata bekerja semacam orang itu dapat digolongkan jihad fi sabilillah, maka alangkah baiknya." Mendengar itu Rasul pun menjawab, "Kalau ia bekerja untuk menghidupi anak-anaknya yang masih kecil, itu adalah fi sabilillah; kalau ia bekerja untuk menghidupi kedua orangtuanya yang sudah lanjut usia, itu adalah fi sabilillah; kalau ia bekerja untuk kepentingan dirinya sendiri agar tidak meminta-minta, itu juga fi sabilillah." (HR Ath-Thabrani).
Bekerja adalah manifestasi amal saleh. Bila kerja itu amal saleh, maka kerja adalah ibadah. Dan bila kerja itu ibadah, maka kehidupan manusia tidak bisa dilepaskan dari kerja. Bukankah Allah SWT menciptakan manusia untuk beribadah kepada-Nya? Tidak berlebihan bila keberadaan seorang manusia ditentukan oleh aktivitas kerjanya.
Allah SWT berfirman:
Kisah di awal menggambarkan betapa besarnya penghargaan Rasulullah SAW terhadap kerja. Kerja apapun itu selama tidak menyimpang dari aturan yang ditetapkan agama. Demikian besarnya penghargaan beliau, sampaisampai dalam kisah pertama, manusia teragung ini "rela" mencium tangan Sa'ad bin Mu'adz Al-Anshari yang melepuh lagi gosong. Rasulullah SAW, dalam dua kisah tersebut, memberikan motivasi pada umatnya bahwa bekerja adalah perbuatan mulia dan termasuk bagian dari jihad.
Rasulullah SAW adalah sosok yang selalu berbuat sebelum beliau memerintahkan para sahabat untuk melakukannya. Hal ini sesuai dengan tugas beliau sebagai ushwatun hasanah; teladan yang baik bagi seluruh manusia. Maka saat kita berbicara tentang etos kerja islami, maka beliaulah orang yang paling pantas menjadi rujukan. Dan berbicara tentang etos kerja Rasulullah SAW sama artinya dengan berbicara bagaimana beliau menjalankan peran-peran dalam hidupnya. Ada lima peran penting yang diemban Rasulullah SAW, yaitu :
1).Sebagai rasul. Peran ini beliau jalani selama 23 tahun. Dalam kurun waktu tersebut beliau harus berdakwah menyebarkan islam; menerima, menghapal, menyampaikan, dan menjelaskan tak kurang dari 6666 ayat alquran; menjadi guru (pembimbing) bagi para sahabat; dan menjadi hakim yang memutuskan berbagai pelik permasalahan umat-dari mulai pembunuhan sampai perceraian.

2).Sebagai kepala negara dan pemimpin sebuah masyarakat heterogen. Tatkala memegang posisi ini rasulullah saw harus menerima kunjungan diplomatik "negara-negara sahabat". Rasul pun harus menata dan menciptakan sistem hukum yang mampu menyatukan kaum muslimin, nasrani, dan yahudi, mengatur perekonomian, dan setumpuk masalah lainnya.

3).Sebagai panglima perang. Selama hidup tak kurang dari 28 kali rasul memimpin pertempuran melawan kafir quraisy. Sebagai panglima perang beliau harus mengorganisasi lebih dari 53 pasukan kaveleri bersenjata.
     harus memikirkan strategi perang, persedian logistik, keamanan, transportasi, kesehatan, dan lainnya. Sebagai kepala rumahtangga. Dalam posisi ini rasul harus mendidik, membahagiakan, dan memenuhi tanggung jawab-lahir batin-terhadap para istri beliau, tujuh anak, dan beberapa orang cucu. Beliau dikenal sebagai sosok yang sangat perhatian terhadap keluarganya. Di tengah kesibukannya rasul pun masih sempat bercanda dan menjahit sendiri bajunya.

4).Sebagai seorang pebisnis. Sejak usia 12 tahun pamannya abu thalib sudah mengajaknya melakukan perjalanan bisnis ke syam, negeri yang saat ini meliputi syria, jordan, dan lebanon. Dari usia 17 hingga sekitar 20 tahun adalah masa tersulit dalam perjalanan bisnis rasul karena beliau harus mandiri dan bersaing dengan pemain pemain senior dalam perdagangan regional. Usia 20 hingga 25 tahun merupakan titik keemasan entrepreneurship rasulullah saw terbukti dengan "terpikatnya" konglomerat mekah, khadijah binti khuwailid, yang kemudian melamarnya menjadi suami.         afzalurrahman dalam bukunya, muhammad sebagai seorang pedagang (2000:5-12), mencatat bahwa rasul pun sering terlibat dalam perjalanan bisnis ke berbagai negeri seperti yaman, oman, dan bahrain. Dan beliau mulai mengurangi kegiatan bisnisnya ketika mencapai usia 37 tahun. Adalah kenyataan bila rasulullah saw mampu menjalankan kelima perannya tersebut dengan sempurna, bahkan menjadi yang terbaik. Tak heran bila para ilmuwan, baik itu yang muslim maupun non-muslim, menempatkan beliau sebagai orang yang paling berpengaruh, paling pemberani, paling bijaksana, paling bermoral, dan sejumlah paling lainnya.
d.      Rahasia Kesuksesan Karier dan Pekerjaan Rasulullah SAW

1). Rasul selalu bekerja dengan cara terbaik, profesional, dan tidak asal-asalan. Beliau bersabda, "Sesungguhnya Allah menginginkan jika salah seorang darimu bekerja, maka hendaklah meningkatkan kualitasnya".
2). Dalam bekerja Rasul melakukannya dengan manajemen yang baik, perencanaan yang jelas, pentahapan aksi, dan adanya penetapan skala prioritas.
3). Rasul tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan sekecil apapun. "Barangsiapa yang dibukakan pintu kebaikan, hendaknya dia mampu memanfaatkannya, karena ia tidak tahu kapan ditutupkan kepadanya," demikian beliau bersabda.
4). Dalam bekerja Rasul selalu memperhitungkan masa depan. Beliau adalah sosok yang visioner, sehingga segala aktivitasnya benar-benar terarah dan terfokus.
5). Rasul tidak pernah menangguhkan pekerjaan. Beliau bekerja secara tuntas dan berkualitas.
6). Rasul bekerja secara berjamaah dengan mempersiapkan (membentuk) tim yang solid yang percaya pada cita-cita bersama.
7). Rasul adalah pribadi yang sangat menghargai waktu. Tidak berlalu sedetik pun waktu, kecuali menjadi nilai tambah bagi diri dan umatnya. Dan yang terakhir, Rasulullah SAW menjadikan kerja sebagai aktualisasi keimanan dan ketakwaan. Rasul bekerja bukan untuk menumpuk kekayaan duniawi. Beliau bekerja untuk meraih keridhaan Allah SWT. Inilah kunci terpenting.

e.       Fungsi dan Tujuan Etos Kerja
Secara umum, etos kerja berfungsi sebagai alat penggerak tetap perbuatan dan kegiatan individu. Menurut A. Tabrani Rusyan, fungsi etos kerja adalah:
Pendorang timbulnya perbuatan, penggairah dalam aktivitas, penggerak, seperti mesin bagi mobil besar kecilnya motivasi akan menentukan cepat lambatnya suatu perbuatan.
Kerja merupakan perbuatan melakukan pekerjaan atau menurut kamus W.J.S Purwadaminta, kerja berarti melakukan sesuatu, sesuatu yang dilakukan . Kerja memiliki arti luas dan sempit dalam arti luas kerja mencakup semua bentuk usaha yang dilakukan manusia, baik dalam hal materi maupun non materi baik bersifat intelektual maupun fisik, mengenai keduniaan maupun akhirat. Sedangkan dalam arti sempit, kerja berkonotasi ekonomi yang persetujuan mendapatkan materi. Jadi pengertian etos adalah karakter seseorang atau kelompok manusia yang berupa kehendak atau kemauan dalam bekerja yang disertai semangat yang tinggi untuk mewujudkan cita-cita.
Nilai kerja dalam Islam dapat diketahui dari tujuan hidup manusia yang kebahagiaan hidup di dunia untuk akhirat, kebahagian hidup di akhirat adalah kebahagiaan sejati, kekal untuk lebih dari kehidupan dunia, sementara kehidupan di dunia dinyatakan sebagai permainan, perhiasan lading yang dapat membuat lalai terhadap kehidupan di akhirat. Manusia sebelum mencapai akhirat harus melewati dunia sebagai tempat hidup manusia untuk sebagai tempat untuk mancari kebahagiaan di akhirat. Ahli-ahli Tasawuf mengatakan:
Untuk mencapai kebahagiaan di akhirat, manusia harus mempunyai bekal di dunia dan di manapun manusia menginginkan kebahagiaan. Manusia berbeda-beda dalam mengukur kebahagiaan, ada yang mengukur banyaknya harta, kedudukan, jabatan, wanita, pengetahuan dan lain-lain. Yang kenyataannya keadaan-keadaan lahiriah tersebut tidak pernah memuaskan jiwa manusia, bahkan justru dapat menyengsarakannya. Jadi dianjurkan di dunia tapi tidak melupakan kehidupan akhirat.
Dalam praktekny pada zaman nabi dulu, beliau menerapkan sikap sebagai berikut :
1.      Disiplin merupakan sikap mental yang tercermin dalam perbuatan tingkah laku perorangan, kelompok atau masyarakat berupa kepatuhan atau ketaatan terhadap peraturan, ketentuan, etika, norma dan kaidah yang berlaku. Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. an-Nisa ayat 59 yang berbunyi:
2.      Tanggung jawab
Semua masalah diperbuat dan dipikirkan, harus dihadapi dengan tanggung jawab, baik kebahagiaan maupun kegagalan. Sebagaimana fiman Allah dalam QS. Al-Isra’ ayat 7 yang berbunyi:


Sudah menjadi kewajiban bagi manusia sebagai mahluk yang mempunyai banyak kebutuhan dan kepentingan dalam kehidupannya untuk bekerja guna memenuhi segala kebutuhannya tersebut. Hal ini dapat dilihat dalam hadis Rasulullah bersabda:


3. Kerja keras
Kerja keras, dalam Islam diistilahkan dengan mujahadah dalam maknanya yang luas seperti yang didefinisikan oleh Ulama adalah ”istifragh ma fil wus’i”, yakni mengerahkan segenap daya dan kemampuan yang ada dalam merealisasikan setiap pekerjaan yang baik.. Hal ini dapat dijelaskan dalam firman Allah QS: Al-Ashr ayat 1-3 yang berbunyi:


4. Rasional
Mengerjakan sesuatu secara teratur, sesuai target dan sempurna merupakan sesuatu yang dicintai oleh Allah. Prinsip-prinsip ini sejalan dengan prinsip-prinsip manajemen secara umum yaitu merencanakan, mengorganisir, melaksanakan, mengontrol dan mengevaluasi dalam rangka untuk mencapai suatu tujuan organisasi. Secara tidak langsung prinsip-prinsip manajemen tersebut sangat dianjurkan dalam Islam dalam mengerjakan segala sesuatu. Sebagaimana firman Allah SWT yang berbunyi:

5. Jujur
Setiap orang atau kelompok pasti ingin maju dan berkembang namun kemajuan itu harus di capai secara wajar tanpa merugikan orang lain. Sebagaimana firman Allah yang berbunyi :


Dalam dunia kerja dan usaha kejujuran ditampilakan dalam bentuk kesungguhan dan ketepatan, baik ketepatan waktu, janji, pelayanan, mengakui kekurangan, dan kekurangan tersebut diperbaiki secara terus-menerus, serta menjauhi dari berbuat bohong atau menipu.

Pandangan Islam mengenai etos kerja, di mulai dari usaha mengangkap sedalam-dalamnya sabda nabi yang mengatakan bahwa niali setiap bentuk kerja itu tergantung pada niat-niat yang dipunyai pelakunya, jika tujuannya tinggi (mencari keridhaan Allah) maka ia pun akan mendapatkan nilai kerja yang tinggi, dan jika tujuannya rendah (seperti misalnya hanya bertujuan memperoleh simpati sesama manusia belaka) maka setingkat pula nilai kerjanya .

f.             Etos kerja Islami

Dalam kehidupan pada saat sekarang, setiap manusia dituntut untuk bekerja guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dengan bekerja seseorang akan menghasilkan uang, dengan uang tersebut seseorang dapat membelanjakan segala kebutuhan sehari-hari hingga akhirnya ia dapat bertahan hidup. Akan tetapi dengan bekerja saja tidak cukup, perlu adanya peningkatan, motivasi dan niat. Setiap pekerja, terutama yang beragama islam, harus dapat menumbuhkan etos kerja secara Islami, karena pekerjaan yang ditekuni bernilai ibadah. Hasil yang diperoleh dari pekerjaannya juga dapat digunakan untuk kepentingan ibadah, termasuk didalamnya menghidupi ekonomi keluarga.
Oleh karena itu seleksi memililih pekerjaan menumbuhkan etos kerja yang islami menjadi suatu keharusan bagi semua pekerjaan. Adapun etos kerja yang islami tersebut adalah: niat ikhlas karena Allah semata, kerja keras dan memiliki cita-cita yang tinggi.
Sedangkan etos dalam perspektif Al-Qur’an adalah etos kerja yang mengedepankan nilai-nilai Al-Qur’an. Yang bertujuan menolak anggapan bahwa bisnis hanya merupakan aktivitas keduniaan yang terpisah dari persoalan etos dan pada sisi lain akan mengembangkan prinsip-prinsip etos bisnis Al-Qur’an, sebagai upaya konseptualisasi sekaligus mencari landasan persoalan-persoalan praktek mal-bisnis. Dengan demikian, etos kerja merumuskan pengertian yaitu etos digunakan dalam pengertian nilai-nilai dan norma-norma moral, atau ilmu baik tentang baik dan buruk yang menjadi pegangan seseorang suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
Hal ini dapat dijelaskan dalam QS. Ali Imran ayat 104 tersebut menyeru dalam kebajikan:
Artinya : “Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang ada kebajikan menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar dan merekalah orang-orang yang beriman
Sumber daya manusia merupakan faktor yang terpenting dalam aktivitas kehidupan, terutama aktivitas kegiatan ekonomi. Maju mundurnya suatu perusahaan biasanya ditentukan oleh tingkat sumber daya manusianya
 Menurut Al-Ghazali dalam bukunya “Ihya-u “ulumuddin” yang dikutip Ali Sumanto Al-Khindi dalam bukunya Bekerja Sebagai Ibadah, menjelaskan pengertian etos (khuluk) adalah suatu sifat yang tetap pada jiwa, yang dari padanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah dengan tidak membutuhkan pemikiran. Dengan demikian etos kerja Islami adalah akhlak dalam bekerja sesuai dengan nilai-nilai islam sehingga dalam melaksanakannya tidak perlu lagi dipikir-pikir karena jiwanya sudah meyakini sebagai sesuatu yang baik dan benar.
Menurut Dr. Musa Asy’arie etos kerja islami adalah rajutan nilai-nilai khalifah dan abd yang membentuk kepribadian muslim dalam bekerja. Nilai-nilai khalifah adalah bermuatan kreatif, produktif, inovatif, berdasarkan pengetahuan konseptual, sedangkan nilai-nilai ‘abd bermatan moral, taat dan patuh pada hukum agama dan masyarakat Toto Tasmara mengatakan bahwa semangat kerja dalam Islam kaitannya dengan niat semata-mata bahwa bekerja merupakan kewajiban agama dalam rangka menggapai ridha Allah, sebab itulah dinamakan jihad fisabilillah. Ciri-ciri orang yang memiliki semangat kerja, atau etos yang tinggi, dapat dilihat dari sikap dan tingkah lakunya, diantaranya:
Orientasi kemasa depan. Artinya semua kegiatan harus di rencanakan dan di perhitungkan untuk menciptakan masa depan yang maju, lebih sejahtera, dan lebih bahagia daripada keadaan sekarang, lebih-lebih keadaan di masa lalu. Untuk itu hendaklah manusia selalu menghitung dirinya untuk mempersiapkan hari esok.
Kerja keras dan teliti serta menghargai waktu. Kerja santai, tanpa rencana, malas, pemborosan tenaga, dan waktu adalah bertentangan dengan nilai Islam, Islam mengajarkan agar setiap detik dari waktu harus di isi dengan 3 (tiga) hal yaitu, untuk meningkatkan keimanan, beramal sholeh (membangun) dan membina komunikasi sosial, firman Allah yang artinya :

Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. (Q.S. Al-Ashr: 1-3)



















KESIMPULAN

1.  BUDAYA AKADEMIK

Tanpa melakukan kegiatan-kegiatan akademik, mustahil seorang akademisi akan memperoleh nilai-nilai normative akademik. Bias saja ia mampu berbicara tentang norma dan nilai-nilai akademik tersebut didepan forum namun tanpa proses belajar dan latihan, norma-norma tersebut tidak akan pernah terwujud dalam praktik kehidupan sehari-hari. Bahkan sebaliknya, ia tidak segan-segan melakukan pelanggaran dalam wilayah tertentu—baik disadari ataupun tidak.

Kiranya, dengan mudah disadari bahwa perguruan tinggi berperan dalam mewujudkan upaya dan pencapaian budaya akademik tersebut. Perguruan tinggi merupakan wadah pembinaan intelektualitas dan moralitas yang mendasari kemampuan penguasaan iptek dan budaya dalam pengertian luas disamping dirinya sendirilah yang berperan untuk perubahan tersebut.
Merujuk pada redaksi uu ri no. 20 tahun 2003 tentang sisdiknas bab vi bagian ke empat pasal 19 bahwasanya mahasiswa itu sebenarnya hanya sebutan akademis untuk siswa/ murid yang telah sampai pada jenjang pendidikan tertentu dalam masa pembelajarannya. Sedangkan secara harfiah, mahasiswa” terdiri dari dua kata, yaitu maha yang berarti tinggi dan siswa yang berarti subyek pembelajar sebagaimana pendapat bobbi de porter, jadi kaidah etimologis menjelaskan pengertian mahasiswa sebagai pelajar yang tinggi atau seseorang yang belajar di perguruan tinggi/ universitas.
Banyak sekali pembahasan yang mengarah dalam budaya akademik di antaranya:
a.            Konsep dan Ciri-Ciri Perkembangan Budaya Akademik

b.            Tradisi Akademik

c.             Kebebasan Akademik

d.            Otonomi Keilmuan

2.      ETOS KERJA DALAM ISLAM

Etos berasal dari bahasa Yunani (etos) yang memberikan arti sikap, kepribadian, watak, karakter, serta keyakinan atas sesuatu. Sikap ini tidak saja dimiliki oleh individu, tetapi juga oleh kelompok bahkan masyarakat .Dalam kamus besar bahasa Indonesia etos kerja adalah semangat kerja yang menjadi ciri khas            dan keyakinan seseorang atau sesesuatu  kelompok. Secara terminologis kata etos, yang mengalami perubahan makna yang meluas. Digunakan dalam tiga pengertian yang berbeda yaitu:
suatu aturan umum atau cara hidup suatu tatanan aturan perilaku.Penyelidikan tentang jalan hidup dan seperangkat aturan tingkah laku . Dalam pengertian lain, etos dapat diartikan sebagai thumuhat yang berkehendak atau berkemauan yang disertai semangat yang tinggi dalam rangka mencapai cita-cita yang positif. Secara umum, etos kerja berfungsi sebagai alat penggerak tetap perbuatan dan kegiatan individu. Menurut A. Tabrani Rusyan, fungsi etos kerja adalah: Pendorang timbulnya perbuatan. Penggairah dalam aktivitas.Penggerak, seperti mesin bagi mobil besar kecilnya motivasi akan menentukan cepat lambatnya suatu perbuatan .Kerja merupakan perbuatan melakukan pekerjaan atau menurut kamus W.J.S Purwadaminta, kerja berarti melakukan sesuatu, sesuatu yang dilakukan . Kerja memiliki arti luas dan sempit dalam arti luas kerja mencakup semua bentuk usaha yang dilakukan manusia, baik dalam hal materi maupun non materi baik bersifat intelektual maupun fisik, mengenai keduniaan maupun akhirat. Sedangkan dalam arti sempit, kerja berkonotasi ekonomi yang persetujuan mendapatkan materi. Jadi pengertian etos adalah karakter seseorang atau kelompok manusia yang berupa kehendak atau kemauan dalam bekerja yang disertai semangat yang tinggi untuk mewujudkan cita-cita.Nilai kerja dalam Islam dapat diketahui dari tujuan hidup manusia yang kebahagiaan hidup di dunia untuk akhirat, kebahagian hidup di akhirat adalah kebahagiaan sejati, kekal untuk lebih dari kehidupan dunia, sementara kehidupan di dunia dinyatakan sebagai permainan, perhiasan lading yang dapat membuat lalai terhadap kehidupan di akhirat. Manusia sebelum mencapai akhirat harus melewati dunia sebagai tempat hidup manusia untuk sebagai tempat untuk mancari kebahagiaan di akhirat. Ahli-ahli Tasawuf mengatakan: Untuk mencapai kebahagiaan di akhirat, manusia harus mempunyai bekal di dunia dan di manapun manusia menginginkan kebahagiaan. Manusia berbeda-beda dalam mengukur kebahagiaan, ada yang mengukur banyaknya harta, kedudukan, jabatan, wanita, pengetahuan dan lain-lain. Yang kenyataannya keadaan-keadaan lahiriah tersebut tidak pernah memuaskan jiwa manusia, bahkan justru dapat menyengsarakannya. Jadi dianjurkan di dunia tapi tidak melupakan kehidupan akhirat.
Beberapa Surat Yang Mengarah dalam Etos Kerja dalam Islam di antaranya :

1.      (Q.S. Al-Baqarah: 148)

2.      (Q.S. Al-Isra’: 7)

3.      (Q.S. Al-Ashr: 1-3)

4.      (Q.S. Al-Qashash: 77)

5.      (Q.S. Al-Najm::{53}:39)

6.      (Q.S. Ar-Ra'd{13}: 11)

7.      (Q.S Al Mu’minun : 1 – 11)

8.      (Q.S. At-Tabah,9 : 105)

9.      (Q.S. Al An'am (6):135




DOWNLOAD FILE MS. WORD BUDAYA AKADEMIK

Comments

Popular posts from this blog

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN KEBUTUHAN OKSIGENASI

Naskah Drama Bahasa Jawa Tema Pergaulan Bebas - "Lika-liku Perjalanane Erna"