BUDAYA AKADEMIK
1.
BUDAYA AKADEMIK
a.
Pengertian Budaya Akademik
Budaya akademik (Academic culture), Budaya Akademik dapat
dipahami sebagai suatu totalitas dari kehidupan dan kegiatan akademik yang
dihayati, dimaknai dan diamalkan oleh warga masyarakat akademik, di lembaga pendidikan
tinggi dan lembaga penelitian.
Kehidupan dan kegiatan akademik diharapkan selalu
berkembang, bergerak maju bersama dinamika perubahan dan pembaharuan sesuai
tuntutan zaman. Perubahan dan pembaharuan dalam kehidupan dan kegiatan akademik
menuju kondisi yang ideal senantiasa menjadi harapan dan dambaan setiap insan
yang mengabdikan dan mengaktualisasikan diri melalui dunia pendidikan tinggi
dan penelitian, terutama mereka yang menggenggam idealisme dan gagasan tentang
kemajuan. Perubahan dan pembaharuan ini hanya dapat terjadi apabila digerakkan
dan didukung oleh pihak-pihak yang saling terkait, memiliki komitmen dan rasa
tanggungjawab yang tinggi terhadap perkembangan dan kemajuan budaya akademik.
Budaya akademik sebenarnya adalah budaya universal. Artinya,
dimiliki oleh setiap orang yang melibatkan dirinya dalam aktivitas akademik.
Membanggun budaya akademik bukan perkara yang mudah. Diperlukan upaya
sosialisasi terhadap kegiatan akademik, sehingga terjadi kebiasaan di kalangan
akademisi untuk melakukan norma-norma kegiatan akademik tersebut.
Pemilikan budaya akademik ini seharusnya menjadi idola semua
insan akademisi perguruaan tinggi, yakni dosen dan mahasiswa. Derajat akademik
tertinggi bagi seorang dosen adalah dicapainya kemampuan akademik pada tingkat
guru besar (profesor). Sedangkan bagi mahasiswa adalah apabila ia mampu
mencapai prestasi akademik yang setinggi-tingginya.
Khusus bagi mahasiswa, faktor-faktor yang dapat menghasilkan
prestasi akademik tersebut ialah terprogramnya kegiatan belajar, kiat untuk
berburu referensi actual dan mutakhir, diskusi substansial akademik, dsb.
Dengan melakukan aktivitas seperti itu diharapkan dapat dikembangkan budaya
mutu (quality culture) yang secara bertahap dapat menjadi kebiasaan dalam
perilaku tenaga akademik dan mahasiswa dalam proses pendidikan di perguruaan
tinggi.
Oleh karena itu, tanpa melakukan kegiatan-kegiatan akademik,
mustahil seorang akademisi akan memperoleh nilai-nilai normative akademik. Bisa
saja ia mampu berbicara tentang norma dan nilai-nilai akademik tersebut didepan
forum namun tanpa proses belajar dan latihan, norma-norma tersebut tidak akan
pernah terwujud dalam praktik kehidupan sehari-hari. Bahkan sebaliknya, ia
tidak segan-segan melakukan pelanggaran dalam wilayah tertentu - baik disadari
ataupun tidak.
Kiranya, dengan mudah disadari bahwa perguruan tinggi
berperan dalam mewujudkan upaya dan pencapaian budaya akademik tersebut.
Perguruan tinggi merupakan wadah pembinaan intelektualitas dan moralitas yang
mendasari kemampuan penguasaan IPTEK dan budaya dalam pengertian luas disamping
dirinya sendirilah yang berperan untuk perubahan tersebut.
b.
Pembahasan Tentang Budaya Akademik
1). Konsep dan Ciri-Ciri Perkembangan Budaya Akademik
Dalam situasi yang sarat idealisme, rumusan konsep dan
pengertian tentang Budaya Akademik yang disepakati oleh sebagian besar
(167/76,2%) responden adalah “Budaya atau sikap hidup yang selalu mencari
kebenaran ilmiah melalui kegiatan akademik dalam masyarakat akademik, yang
mengembangkan kebebasan berpikir, keterbukaan, pikiran kritis-analitis, rasional dan obyektif oleh warga masyarakat
akademik” Konsep dan pengertian tentang Budaya Akademik tersebut didukung
perumusan karakteristik perkembangannya yang disebut “Ciri-Ciri Perkembangan
Budaya Akademik” yang meliputi berkembangnya :
(1) penghargaan terhadap pendapat orang
lain secara obyektif;
(2) pemikiran rasional dan
kritis-analitis dengan tanggungjawab moral;
(3) kebiasaan membaca;
(4) penambahan ilmu dan wawasan;
(5) kebiasaan meneliti dan mengabdi
kepada masyarakat;
(6) penulisan artikel, makalah, buku;
(7) diskusi ilmiah;
(8) proses belajar-mengajar, dan
(9) manajemen perguruan tinggi yang baik
2). Tradisi Akademik
Pemahaman mayoritas
responden (163/74,4%) mengenai
Tradisi Akademik adalah, “Tradisi yang
menjadi ciri khas kehidupan masyarakat akademik dengan menjalankan proses
belajar-mengajar antara dosen dan mahasiswa; menyelenggarakan penelitian dan
pengabdian kepada masyarakat, serta mengembangkan cara-cara berpikir
kritis-analitis, rasional dan inovatif di lingkungan akademik”
Tradisi menyelenggarakan proses
belajar-mengajar antara guru dan murid, antara pandito dan cantrik, antara kiai
dan santri sudah mengakar sejak ratusan tahun yang lalu, melalui
lembaga-lembaga pendidikan seperti padepokan dan pesantren. Akan tetapi tradisi-tradisi
lain seperti menyelenggarakan penelitian adalah tradisi baru. Demikian pula,
tradisi berpikir kritis-analitis, rasional dan inovatif adalah kemewahan yang
tidak terjangkau tanpa terjadinya perubahan dan pembaharuan sikap mental dan
tingkah laku yang harus terus-menerus diinternalisasikan dan disosialisasikan
dengan menggerus sikap mental paternalistik dan ewuh-pakewuh yang
berlebih-lebihan pada sebagian masyarakat akademik yang mengidap tradisi lapuk,
terutama dalam paradigma patron-client relationship yang mendarah-daging.
3). Kebebasan Akademik
Pengertian tentang “Kebebasan
Akademik” adalah Kebebasan yang dimiliki oleh pribadi-pribadi anggota sivitas
akademika (mahasiswa dan dosen) untuk bertanggungjawab dan mandiri yang
berkaitan dengan upaya penguasaan dan pengembangan Iptek dan seni yang
mendukung pembangunan nasional. Kebebasan akademik meliputi kebebasan menulis,
meneliti, menghasilkan karya keilmuan, menyampaikan pendapat, pikiran, gagasan
sesuai dengan bidang ilmu yang ditekuni, dalam kerangka akademis (Kistanto, et.
al., 2000: 86).
“Kebebasan Akademik” berurat-berakar
mengiringi tradisi intelektual masyarakat akademik – tetapi kehidupan dan
kebijakan politik acapkali mempengaruhi dinamika dan perkembangannya. Dalam
rezim pemerintahan yang otoriter, kiranya kebebasan akademik akan sulit
berkembang. Dalam kepustakaan internasional kebebasan akademik dipandang
sebagai inti dari budaya akademik dan berkaitan dengan kebebasan berpendapat
(lihat CODESRIA 1996, Forum 1994, Daedalus Winter 1997, Poch 1993, Watch 1998,
Worgul 1992).
Dalam masyarakat akademik di
Indonesia, kebebasan akademik yang berkaitan dengan kebebasan berpendapat telah
mengalami penderitaan yang panjang, selama puluhan tahun diwarnai oleh
pelarangan dan pembatasan kegiatan akademik di era pemerintahan Suharto (lihat
Watch 1998). Kini kebebasan akademik telah berkembang seiring terjadinya
pergeseran pemerintahan dari Suharto kepada Habibie, dan makin berkembang
begitu bebas pada pemerintahan Abdurrahman Wahid, bahkan hampir tak terbatas
dan “tak bertanggungjawab,” sampai pada pemerintahan Megawati, yang makin sulit
mengendalikan perkembangan kebebasan berpendapat.
Selain itu, kebebasan akademik
kadangkala juga berkaitan dengan sikap-sikap dalam kehidupan beragama yang pada
era dan pandangan keagamaan tertentu menimbulkan hambatan dalam perkembangan
kebebasan akademik, khususnya kebebasan berpendapat.
Dapat dikatakan bahwa kebebasan
akademik suatu masyarakat-bangsa sangat tergantung dan berkaitan dengan situasi
politik dan pemerintahan yang dikembangkan oleh para penguasa. Pelarangan dan
pembatasan kehidupan dan kegiatan akademik yang menghambat perkembangan
kebebasan akademik pada lazimnya meliputi
(1). penerbitan buku tertentu;
(2). pengembangan studi tentang
ideologi tertentu; dan
(3).pengembangan kegiatan kampus,
terutama demonstrasi dan diskusi yang bertentangan dengan ideologi dan
kebijakan pemerintah atau negara.
4). Kesadaran Kritis dan Budaya Akademik
Merujuk pada redaksi UU RI No. 20
Tahun 2003 tentang Sisdiknas Bab VI
bagian ke empat pasal 19 bahwasanya
mahasiswa itu sebenarnya hanya sebutan akademis untuk siswa/ murid yang telah
sampai pada jenjang pendidikan tertentu dalam masa pembelajarannya. Sedangkan
secara harfiah, mahasiswa” terdiri dari dua kata, yaitu Maha yang berarti
tinggi dan Siswa yang berarti subyek pembelajar sebagaimana pendapat Bobbi de
porter, jadi kaidah etimologis menjelaskan pengertian mahasiswa sebagai pelajar
yang tinggi atau seseorang yang belajar di perguruan tinggi/ universitas.
Namun jika kita memaknai mahasiswa
sebagai subyek pembelajar saja, amatlah sempit sebab meski diikat oleh suatu
definisi study, akan tetapi mengalami
perluasan makna mengenai eksistensi dan peran yang dimainkan dirinya. Kemudian
pada perkembangan selanjutnya, mahasiswa tidak lagi diartikan hanya sebatas
subyek pembelajar (study), akan tetapi ikut mengisi definisi learning. Mahasiswa adalah seorang pembelajar yang tidak
hanya duduk di bangku kuliah kemudian mendengarkan tausiyah dosen, lalu setelah
itu pulang dan menghapal di rumah untuk menghadapi ujian tengah semester atau
Ujian Akhir semester. Mahasiswa dituntut untuk menjadi seorang simbol pembaharu
dan inisiator perjuangan yang respect
dan tanggap terhadap isu-isu sosial serta permasalahan umat manusia.
Apabila kita melakukan kilas balik,
melihat sejarah, peran mahasiswa acapkali mewarnai perjalanan bangsa Indonesia,
mulai dari penjajahan hingga kini masa reformasi. mahasiswa bukan hanya
menggendong tas yang berisi buku, tapi mahasiswa turut angkat senjata demi kedaulatan
bangsa Indonesia. Dan telah menjadi rahasia umum, bahwasanya mahasiswa lah yang
menjadi pelopor restrukturisasi tampuk kepemimpinan NKRI pada saat reformasi
1998. Peran yang diberikan mahasiswa begitu dahsyat, sehingga sendi-sendi
bangsa yang telah rapuh, tidak lagi bisa ditutup-tutupi oleh rezim dengan
status quonya, tetapi bisa dibongkar dan dihancurkan oleh Mahasiswa.
Mencermati alunan sejarah bangsa
Indonesia, hingga kini tidak terlepas dari peran mahasiswa, oleh karena itu
mahasiswa dapat dikategorikan sebagai Agent of social change ( Istilah
August comte) yaitu perubah dan pelopor ke arah perbaikan suatu bangsa.
Kendatipun demikian, paradigma semacam ini belumlah menjadi kesepakatan bersama
antar mahasiswa (Plat form ), sebab
masih ada sebagian madzhab mahasiswa
yang apriori ( cuek ) terhadap eksistensi dirinya sebagai seorang mahasiswa,
bahkan ia tak mau tahu menahu tentang keadaan sekitar lingkungan masyarakat
ataupun sekitar lingkungan kampusnya sendiri. Yang terpenting buat mereka
adalah duduk dibangku kuliah menjadi kambing conge dosen, lantas pulang duluan
ke rumah.
Inikah mahasiswa ? Padahal, mahasiswa adalah sosok yang semestinya kritis,
logis, berkemauan tinggi, respect dan
tanggap terhadap permasalahan umat dan bangsa, mau bekerja keras, belajar terus
menerus, mempunyai nyali (keberanian yang tinggi) untuk menyatakan kebenaran,
aplikatif di lingkungan masyarakat serta spiritualis dan konsisten dalam
mengaktualisasikan nilai-nilai ketauhidan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dengan Konsep itulah, mahasiswa
semestinya bergerak dan menyadari dirinya akan eksistensi ke-mahahasiswaan nya
itu. Belajar tidaklah hanya sebatas mengejar gelar akademis atau nilai indeks
prestasi ( IP ) yang tinggi dan mendapat penghargaan cumlaude, lebih dari itu
mahasiswa harus bergerak bersama rakyat dan pemerintah untuk membangun bangsa,
atau paling tidak dalam lingkup yang paling mikro, ada suatu kemauan untuk
mengembangkan civitas/ perguruan tinggi dimana ia kuliah. Misalnya dengan ikut
serta/ aktif di Organisasi Mahasiswa, baik itu Organisasi intra kampus ( BEM
dan UKM ) ataupun Organisasi Ekstra kampus, serta aktif dalam kegiatan-kegiatan
lain yang mengarah pada pembangunan bangsa.
2.
ETOS KERJA DALAM ISLAM
a.
Pengertian Etos Kerja
Etos berasal dari bahasa Yunani (etos) yang memberikan arti
sikap, kepribadian, watak, karakter, serta keyakinan atas sesuatu. Sikap ini
tidak saja dimiliki oleh individu, tetapi juga oleh kelompok bahkan masyarakat
. Dalam kamus besar bahasa Indonesia etos kerja adalah semangat kerja yang
menjadi ciri khas dan keyakinan seseorang
atau sesesuatu kelompok. Secara
terminologis kata etos, yang mengalami perubahan makna yang meluas. Digunakan
dalam tiga pengertian yang berbeda yaitu:
1). Suatu aturan umum atau cara hidup
2). Suatu tatanan aturan perilaku
Penyelidikan tentang jalan hidup dan seperangkat aturan
tingkah laku . Dalam pengertian lain, etos dapat diartikan sebagai thumuhat
yang berkehendak atau berkemauan yang disertai semangat yang tinggi dalam
rangka mencapai cita-cita yang positif.
Akhlak atau etos dalam terminologi Prof. Dr. Ahmad Amin
adalah membiasakan kehendak. Kesimpulannya, etos adalah sikap yang tetap dan
mendasar yang melahirkan perbuatan-perbuatan dengan mudah dalam pola hubungan
antara manusia dengan dirinya dan diluar dirinya .
Dari keterangan diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa kata
etos berarti watak atau karakter seorang individu atau kelompok manusia yang
berupa kehendak atau kemauan yang disertai dengan semangat yang tinggi guna
mewujudkan sesuatu keinginan atau cita-cita.
Etos kerja adalah refleksi dari sikap hidup yang mendasar
maka etos kerja pada dasarnya juga merupakan cerminan dari pandangan hidup yang
berorientasi pada nilai-nilai yang berdimensi transenden.
Menurut K.H. Toto Tasmara etos kerja adalah totalitas
kepribadian dirinya serta caranya mengekspresikan, memandang, meyakini dan
memberikan makna ada sesuatu, yang mendorong dirinya untuk bertindak dan meraih
amal yang optimal (high Performance) .
Dengan demikian adanya etos kerja pada diri seseorang pedagang
akan lahir semangat untuk menjalankan sebuah usaha dengan sungguh-sungguh,
adanya keyakinan bahwa dengan berusaha secara maksimal hasil yang akan didapat
tentunya maksimal pula. Dengan etos kerja tersebut jaminan keberlangsungan
usaha berdagang akan terus berjalan mengikuti waktu.
b.
Konsep Kerja dalam Islam
Konsep Kerja dalam Islam
Kemuliaan seorang manusia itu
bergantung kepada apa yang dilakukannya. Dengan itu, sesuatu amalan atau
pekerjaan yang mendekatkan seseorang kepada Allah adalah sangat penting serta
patut untuk diberi perhatian. Amalan atau pekerjaan yang demikian selain
memperoleh keberkahan serta kesenangan dunia, juga ada yang lebih penting yaitu
merupakan jalan atau tiket dalam menentukan tahap kehidupan seseorang di
akhirat kelak, apakah masuk golongan ahli syurga atau sebaliknya.
Istilah ‘kerja’ dalam Islam
bukanlah semata-mata merujuk kepada mencari rezeki untuk menghidupi diri dan
keluarga dengan menghabiskan waktu siang maupun malam, dari pagi hingga sore,
terus menerus tak kenal lelah, tetapi kerja mencakup segala bentuk amalan atau
pekerjaan yang mempunyai unsur kebaikan dan keberkahan bagi diri, keluarga dan
masyarakat sekelilingnya serta negara. Dengan kata lain, orang yang berkerja
adalah mereka yang menyumbangkan jiwa dan enaganya untuk kebaikan diri,
keluarga, masyarakat dan negara tanpa menyusahkan orang lain. Oleh karena itu,
kategori ahli Syurga seperti yang digambarkan dalam Al-Qur’an bukanlah orang
yang mempunyai pekerjaan/jabatan yang tinggi dalam suatu perusahaan/instansi
sebagai manajer, direktur, teknisi dalam suatu bengkel dan sebagainya. Tetapi
sebaliknya Al-Quran menggariskan golongan yang baik lagi beruntung (al-falah)
itu adalah orang yang banyak taqwa kepada Allah, khusyu sholatnya, baik tutur
katanya, memelihara pandangan dan sikap malunya pada-Nya serta menunaikan
tanggung jawab sosialnya seperti mengeluarkan zakat dan lainnya (QS Al Mu’minun : 1 – 11).
Golongan ini mungkin terdiri dari
pegawai, supir, tukang sapu ataupun seorang yang tidak mempunyai pekerjaan
tetap. Sifat-sifat di ataslah sebenarnya yang menjamin kebaikan dan kedudukan
seseorang di dunia dan di akhirat kelak. Jika membaca hadits-hadits Rasulullah
SAW tentang ciri-ciri manusia yang baik di sisi Allah, maka tidak heran bahwa
diantara mereka itu ada golongan yang memberi minum anjing kelaparan, mereka
yang memelihara mata, telinga dan lidah dari perkara yang tidak berguna, tanpa
melakukan amalan sunnah yang banyak dan seumpamanya.
Dalam satu hadits yang diriwayatkan
oleh Umar r.a., berbunyi :
“Bahwa setiap amal itu bergantung pada niat, dan setiap
individu itu dihitung berdasarkan apa yang diniatkannya …”
Dalam riwayat lain, Rasulullah SAW
bersabda :
“Binasalah
orang-orang Islam kecuali mereka yang berilmu. Maka binasalah golongan berilmu,
kecuali mereka yang beramal dengan ilmu mereka.”
“
Dan binasalah golongan yang beramal dengan ilmu mereka kecuali mereka yang
ikhlas. Sesungguhnya golongan yang ikhlas ini juga masih dalam keadaan bahaya
yang amat besar …”
Sebab, sesungguhnya
Allah SWT telah menyediakan fasilitas segala sumber daya yang diperlukan,
tinggal peran manusia sendiri dalam memobilisasi serta mendaya gunakannya
secara optimal, dalam rangka melaksanakan apa yang Allah ridhai.
Anjuran tentang
ketekunan dan kerja keras telah tergambar dalam hadis Nabi Saw, seperti yang
tersirat dalam hadis di atas, bahwa Nabi Saw. sangat membenci sifat-sifat dan
perilaku yang mendorong kepada kemunduran, seperti malas, takut, bakhil dan
lain sebagainya.
Ketiga hadist diatas sudah cukup menjelaskan betapa niat
yang disertai dengan keikhlasan
itulah inti sebenarnya dalam kehidupan dan pekerjaan manusia. Alangkah baiknya
kalau umat Islam hari ini, dapat bergerak dan bekerja dengan tekun dan
mempunyai tujuan yang satu, yaitu ‘mardatillah’
(keridhaan Allah) itulah yang dicari dalam semua urusan. Dari situlah akan
lahir nilai keberkahan yang sebenarnya dalam kehidupan yang penuh dengan
curahan rahmat dan nikmat yang banyak dari Allah. Inilah golongan yang
diistilahkan sebagai golongan yang tenang dalam ibadah, ridha dengan kehidupan
yang ditempuh, serta optimis dengan janji-janji Allah.
c.
Meneladani Etos Kerja Rasulullah SAW
Rasulullah SAW menjadikan kerja
sebagai aktualisasi keimanan dan ketakwaan. Rasul bekerja bukan untuk menumpuk
kekayaan duniawi. Beliau bekerja untuk meraih keridaan Allah SWT.
Suatu hari Rasulullah SAW berjumpa
dengan Sa'ad bin Mu'adz Al-Anshari. Ketika itu Rasul melihat tangan Sa'ad
melepuh, kulitnya gosong kehitam-hitaman seperti terpanggang matahari.
"Kenapa tanganmu?," tanya Rasul kepada Sa'ad. "Wahai Rasulullah,"
jawab Sa'ad, "Tanganku seperti ini karena aku mengolah tanah dengan
cangkul itu untuk mencari nafkah keluarga yang menjadi tanggunganku".
Seketika itu beliau mengambil tangan Sa'ad dan menciumnya seraya berkata,
"Inilah tangan yang tidak akan pernah disentuh api neraka".
Dalam kisah lain disebutkan bahwa
ada seseorang yang berjalan melalui tempat Rasulullah SAW. Orang tersebut
sedang bekerja dengan sangat giat dan tangkas. Para sahabat kemudian bertanya,
"Wahai Rasulullah, andaikata bekerja semacam orang itu dapat digolongkan jihad fi sabilillah, maka alangkah
baiknya." Mendengar itu Rasul pun menjawab, "Kalau ia bekerja untuk
menghidupi anak-anaknya yang masih kecil, itu adalah fi sabilillah; kalau ia bekerja untuk menghidupi kedua orangtuanya
yang sudah lanjut usia, itu adalah fi
sabilillah; kalau ia bekerja untuk kepentingan dirinya sendiri agar tidak
meminta-minta, itu juga fi sabilillah."
(HR Ath-Thabrani).
Bekerja adalah manifestasi amal
saleh. Bila kerja itu amal saleh, maka kerja adalah ibadah. Dan bila kerja itu
ibadah, maka kehidupan manusia tidak bisa dilepaskan dari kerja. Bukankah Allah
SWT menciptakan manusia untuk beribadah kepada-Nya? Tidak berlebihan bila
keberadaan seorang manusia ditentukan oleh aktivitas kerjanya.
Allah SWT berfirman:
Kisah di awal menggambarkan betapa
besarnya penghargaan Rasulullah SAW terhadap kerja. Kerja apapun itu selama
tidak menyimpang dari aturan yang ditetapkan agama. Demikian besarnya
penghargaan beliau, sampaisampai dalam kisah pertama, manusia teragung ini
"rela" mencium tangan Sa'ad bin Mu'adz Al-Anshari yang melepuh lagi
gosong. Rasulullah SAW, dalam dua kisah tersebut, memberikan motivasi pada
umatnya bahwa bekerja adalah perbuatan mulia dan termasuk bagian dari jihad.
Rasulullah SAW adalah sosok yang
selalu berbuat sebelum beliau memerintahkan para sahabat untuk melakukannya.
Hal ini sesuai dengan tugas beliau sebagai ushwatun hasanah; teladan yang baik
bagi seluruh manusia. Maka saat kita berbicara tentang etos kerja islami, maka
beliaulah orang yang paling pantas menjadi rujukan. Dan berbicara tentang etos
kerja Rasulullah SAW sama artinya dengan berbicara bagaimana beliau menjalankan
peran-peran dalam hidupnya. Ada lima peran penting yang diemban Rasulullah SAW,
yaitu :
1).Sebagai rasul. Peran ini beliau
jalani selama 23 tahun. Dalam kurun waktu tersebut beliau harus berdakwah
menyebarkan islam; menerima, menghapal, menyampaikan, dan menjelaskan tak
kurang dari 6666 ayat alquran; menjadi guru (pembimbing) bagi para sahabat; dan
menjadi hakim yang memutuskan berbagai pelik permasalahan umat-dari mulai
pembunuhan sampai perceraian.
2).Sebagai kepala negara dan
pemimpin sebuah masyarakat heterogen. Tatkala memegang posisi ini rasulullah
saw harus menerima kunjungan diplomatik "negara-negara sahabat". Rasul
pun harus menata dan menciptakan sistem hukum yang mampu menyatukan kaum
muslimin, nasrani, dan yahudi, mengatur perekonomian, dan setumpuk masalah
lainnya.
3).Sebagai panglima perang. Selama
hidup tak kurang dari 28 kali rasul memimpin pertempuran melawan kafir quraisy.
Sebagai panglima perang beliau harus mengorganisasi lebih dari 53 pasukan
kaveleri bersenjata.
harus
memikirkan strategi perang, persedian logistik, keamanan, transportasi,
kesehatan, dan lainnya. Sebagai kepala rumahtangga. Dalam posisi ini rasul
harus mendidik, membahagiakan, dan memenuhi tanggung jawab-lahir batin-terhadap
para istri beliau, tujuh anak, dan beberapa orang cucu. Beliau dikenal sebagai
sosok yang sangat perhatian terhadap keluarganya. Di tengah kesibukannya rasul pun
masih sempat bercanda dan menjahit sendiri bajunya.
4).Sebagai seorang pebisnis. Sejak
usia 12 tahun pamannya abu thalib sudah mengajaknya melakukan perjalanan bisnis
ke syam, negeri yang saat ini meliputi syria, jordan, dan lebanon. Dari usia 17
hingga sekitar 20 tahun adalah masa tersulit dalam perjalanan bisnis rasul
karena beliau harus mandiri dan bersaing dengan pemain pemain senior dalam
perdagangan regional. Usia 20 hingga 25 tahun merupakan titik keemasan entrepreneurship rasulullah saw terbukti
dengan "terpikatnya" konglomerat mekah, khadijah binti khuwailid,
yang kemudian melamarnya menjadi suami. afzalurrahman
dalam bukunya, muhammad sebagai seorang
pedagang (2000:5-12), mencatat bahwa rasul pun sering terlibat dalam
perjalanan bisnis ke berbagai negeri seperti yaman, oman, dan bahrain. Dan
beliau mulai mengurangi kegiatan bisnisnya ketika mencapai usia 37 tahun.
Adalah kenyataan bila rasulullah saw mampu menjalankan kelima perannya tersebut
dengan sempurna, bahkan menjadi yang terbaik. Tak heran bila para ilmuwan, baik
itu yang muslim maupun non-muslim, menempatkan beliau sebagai orang yang paling
berpengaruh, paling pemberani, paling bijaksana, paling bermoral, dan sejumlah
paling lainnya.
d.
Rahasia Kesuksesan Karier dan
Pekerjaan Rasulullah SAW
1). Rasul selalu bekerja dengan cara terbaik, profesional, dan tidak
asal-asalan. Beliau bersabda, "Sesungguhnya Allah menginginkan jika salah
seorang darimu bekerja, maka hendaklah meningkatkan kualitasnya".
2). Dalam bekerja Rasul melakukannya
dengan manajemen yang baik, perencanaan yang jelas, pentahapan aksi, dan adanya
penetapan skala prioritas.
3). Rasul tidak pernah
menyia-nyiakan kesempatan sekecil apapun. "Barangsiapa yang dibukakan
pintu kebaikan, hendaknya dia mampu memanfaatkannya, karena ia tidak tahu kapan
ditutupkan kepadanya," demikian beliau bersabda.
4). Dalam bekerja Rasul selalu
memperhitungkan masa depan. Beliau adalah sosok yang visioner, sehingga segala
aktivitasnya benar-benar terarah dan terfokus.
5). Rasul tidak pernah menangguhkan
pekerjaan. Beliau bekerja secara tuntas dan berkualitas.
6). Rasul bekerja secara berjamaah
dengan mempersiapkan (membentuk) tim yang solid yang percaya pada cita-cita
bersama.
7). Rasul adalah pribadi yang sangat
menghargai waktu. Tidak berlalu sedetik pun waktu, kecuali menjadi nilai tambah
bagi diri dan umatnya. Dan yang terakhir, Rasulullah SAW menjadikan kerja
sebagai aktualisasi keimanan dan ketakwaan. Rasul bekerja bukan untuk menumpuk
kekayaan duniawi. Beliau bekerja untuk meraih keridhaan Allah SWT. Inilah kunci
terpenting.
e.
Fungsi dan Tujuan Etos Kerja
Secara umum, etos kerja berfungsi sebagai alat penggerak
tetap perbuatan dan kegiatan individu. Menurut A. Tabrani Rusyan, fungsi etos
kerja adalah:
Pendorang timbulnya perbuatan,
penggairah dalam aktivitas, penggerak, seperti mesin bagi mobil besar kecilnya
motivasi akan menentukan cepat lambatnya suatu perbuatan.
Kerja
merupakan perbuatan melakukan pekerjaan atau menurut kamus W.J.S Purwadaminta,
kerja berarti melakukan sesuatu, sesuatu yang dilakukan . Kerja memiliki arti
luas dan sempit dalam arti luas kerja mencakup semua bentuk usaha yang
dilakukan manusia, baik dalam hal materi maupun non materi baik bersifat
intelektual maupun fisik, mengenai keduniaan maupun akhirat. Sedangkan dalam
arti sempit, kerja berkonotasi ekonomi yang persetujuan mendapatkan materi.
Jadi pengertian etos adalah karakter seseorang atau kelompok manusia yang
berupa kehendak atau kemauan dalam bekerja yang disertai semangat yang tinggi
untuk mewujudkan cita-cita.
Nilai
kerja dalam Islam dapat diketahui dari tujuan hidup manusia yang kebahagiaan
hidup di dunia untuk akhirat, kebahagian hidup di akhirat adalah kebahagiaan
sejati, kekal untuk lebih dari kehidupan dunia, sementara kehidupan di dunia
dinyatakan sebagai permainan, perhiasan lading yang dapat membuat lalai
terhadap kehidupan di akhirat. Manusia sebelum mencapai akhirat harus melewati
dunia sebagai tempat hidup manusia untuk sebagai tempat untuk mancari
kebahagiaan di akhirat. Ahli-ahli Tasawuf mengatakan:
Untuk
mencapai kebahagiaan di akhirat, manusia harus mempunyai bekal di dunia dan di
manapun manusia menginginkan kebahagiaan. Manusia berbeda-beda dalam mengukur
kebahagiaan, ada yang mengukur banyaknya harta, kedudukan, jabatan, wanita,
pengetahuan dan lain-lain. Yang kenyataannya keadaan-keadaan lahiriah tersebut
tidak pernah memuaskan jiwa manusia, bahkan justru dapat menyengsarakannya.
Jadi dianjurkan di dunia tapi tidak melupakan kehidupan akhirat.
Dalam
praktekny pada zaman nabi dulu, beliau menerapkan sikap sebagai berikut :
1. Disiplin
merupakan sikap mental yang tercermin dalam perbuatan tingkah laku perorangan,
kelompok atau masyarakat berupa kepatuhan atau ketaatan terhadap peraturan,
ketentuan, etika, norma dan kaidah yang berlaku. Sebagaimana firman Allah SWT
dalam QS. an-Nisa ayat 59 yang berbunyi:
2.
Tanggung jawab
Semua
masalah diperbuat dan dipikirkan, harus dihadapi dengan tanggung jawab, baik
kebahagiaan maupun kegagalan. Sebagaimana fiman Allah dalam QS. Al-Isra’ ayat 7
yang berbunyi:
Sudah menjadi
kewajiban bagi manusia sebagai mahluk yang mempunyai banyak kebutuhan dan
kepentingan dalam kehidupannya untuk bekerja guna memenuhi segala kebutuhannya
tersebut. Hal ini dapat dilihat dalam hadis Rasulullah bersabda:
3. Kerja keras
Kerja keras, dalam Islam diistilahkan dengan mujahadah
dalam maknanya yang luas seperti yang didefinisikan oleh Ulama adalah ”istifragh ma fil wus’i”, yakni
mengerahkan segenap daya dan kemampuan yang ada dalam merealisasikan setiap
pekerjaan yang baik.. Hal ini dapat dijelaskan dalam firman Allah QS: Al-Ashr
ayat 1-3 yang berbunyi:
4.
Rasional
Mengerjakan sesuatu secara teratur, sesuai target
dan sempurna merupakan sesuatu yang dicintai oleh Allah. Prinsip-prinsip ini
sejalan dengan prinsip-prinsip manajemen secara umum yaitu merencanakan,
mengorganisir, melaksanakan, mengontrol dan mengevaluasi dalam rangka untuk
mencapai suatu tujuan organisasi. Secara tidak langsung prinsip-prinsip
manajemen tersebut sangat dianjurkan dalam Islam dalam mengerjakan segala sesuatu.
Sebagaimana firman Allah SWT yang berbunyi:
5.
Jujur
Setiap
orang atau kelompok pasti ingin maju dan berkembang namun kemajuan itu harus di
capai secara wajar tanpa merugikan orang lain. Sebagaimana firman Allah yang
berbunyi :
Dalam
dunia kerja dan usaha kejujuran ditampilakan dalam bentuk kesungguhan dan
ketepatan, baik ketepatan waktu, janji, pelayanan, mengakui kekurangan, dan
kekurangan tersebut diperbaiki secara terus-menerus, serta menjauhi dari
berbuat bohong atau menipu.
Pandangan Islam mengenai etos kerja,
di mulai dari usaha mengangkap sedalam-dalamnya sabda nabi yang mengatakan
bahwa niali setiap bentuk kerja itu tergantung pada niat-niat yang dipunyai
pelakunya, jika tujuannya tinggi (mencari keridhaan Allah) maka ia pun akan
mendapatkan nilai kerja yang tinggi, dan jika tujuannya rendah (seperti
misalnya hanya bertujuan memperoleh simpati sesama manusia belaka) maka
setingkat pula nilai kerjanya .
f.
Etos kerja Islami
Dalam kehidupan pada saat sekarang,
setiap manusia dituntut untuk bekerja guna memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari. Dengan bekerja seseorang akan menghasilkan uang, dengan uang
tersebut seseorang dapat membelanjakan segala kebutuhan sehari-hari hingga
akhirnya ia dapat bertahan hidup. Akan tetapi dengan bekerja saja tidak cukup,
perlu adanya peningkatan, motivasi dan niat. Setiap pekerja, terutama yang
beragama islam, harus dapat menumbuhkan etos kerja secara Islami, karena
pekerjaan yang ditekuni bernilai ibadah. Hasil yang diperoleh dari pekerjaannya
juga dapat digunakan untuk kepentingan ibadah, termasuk didalamnya menghidupi
ekonomi keluarga.
Oleh karena itu seleksi memililih
pekerjaan menumbuhkan etos kerja yang islami menjadi suatu keharusan bagi semua
pekerjaan. Adapun etos kerja yang islami tersebut adalah: niat ikhlas karena
Allah semata, kerja keras dan memiliki cita-cita yang tinggi.
Sedangkan
etos dalam perspektif Al-Qur’an adalah etos kerja yang mengedepankan
nilai-nilai Al-Qur’an. Yang bertujuan menolak anggapan bahwa bisnis hanya
merupakan aktivitas keduniaan yang terpisah dari persoalan etos dan pada sisi
lain akan mengembangkan prinsip-prinsip etos bisnis Al-Qur’an, sebagai upaya
konseptualisasi sekaligus mencari landasan persoalan-persoalan praktek
mal-bisnis. Dengan demikian, etos kerja merumuskan pengertian yaitu etos
digunakan dalam pengertian nilai-nilai dan norma-norma moral, atau ilmu baik
tentang baik dan buruk yang menjadi pegangan seseorang suatu kelompok dalam
mengatur tingkah lakunya.
Hal ini dapat
dijelaskan dalam QS. Ali Imran ayat 104 tersebut menyeru dalam kebajikan:
Artinya : “Dan hendaklah ada diantara kamu
segolongan umat yang ada kebajikan menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah
dari yang mungkar dan merekalah orang-orang yang beriman”
Sumber
daya manusia merupakan faktor yang terpenting dalam aktivitas kehidupan,
terutama aktivitas kegiatan ekonomi. Maju mundurnya suatu perusahaan biasanya
ditentukan oleh tingkat sumber daya manusianya
Menurut Al-Ghazali dalam bukunya “Ihya-u “ulumuddin” yang dikutip Ali Sumanto
Al-Khindi dalam bukunya Bekerja Sebagai Ibadah,
menjelaskan pengertian etos (khuluk) adalah suatu sifat yang tetap pada jiwa,
yang dari padanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah dengan tidak
membutuhkan pemikiran. Dengan demikian etos kerja Islami adalah akhlak dalam
bekerja sesuai dengan nilai-nilai islam sehingga dalam melaksanakannya tidak
perlu lagi dipikir-pikir karena jiwanya sudah meyakini sebagai sesuatu yang
baik dan benar.
Menurut Dr. Musa Asy’arie etos kerja
islami adalah rajutan nilai-nilai khalifah dan abd yang membentuk kepribadian
muslim dalam bekerja. Nilai-nilai khalifah adalah bermuatan kreatif, produktif,
inovatif, berdasarkan pengetahuan konseptual, sedangkan nilai-nilai ‘abd
bermatan moral, taat dan patuh pada hukum agama dan masyarakat Toto Tasmara
mengatakan bahwa semangat kerja dalam Islam kaitannya dengan niat semata-mata
bahwa bekerja merupakan kewajiban agama dalam rangka menggapai ridha Allah,
sebab itulah dinamakan jihad fisabilillah. Ciri-ciri orang yang memiliki
semangat kerja, atau etos yang tinggi, dapat dilihat dari sikap dan tingkah
lakunya, diantaranya:
Orientasi kemasa depan. Artinya
semua kegiatan harus di rencanakan dan di perhitungkan untuk menciptakan masa
depan yang maju, lebih sejahtera, dan lebih bahagia daripada keadaan sekarang,
lebih-lebih keadaan di masa lalu. Untuk itu hendaklah manusia selalu menghitung
dirinya untuk mempersiapkan hari esok.
Kerja keras dan teliti serta
menghargai waktu. Kerja santai, tanpa rencana, malas, pemborosan tenaga, dan
waktu adalah bertentangan dengan nilai Islam, Islam mengajarkan agar setiap
detik dari waktu harus di isi dengan 3 (tiga) hal yaitu, untuk meningkatkan
keimanan, beramal sholeh (membangun) dan membina komunikasi sosial, firman
Allah yang artinya :
Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam
kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan
nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya
menetapi kesabaran. (Q.S. Al-Ashr: 1-3)
KESIMPULAN
1. BUDAYA AKADEMIK
Tanpa
melakukan kegiatan-kegiatan akademik, mustahil seorang akademisi akan
memperoleh nilai-nilai normative akademik. Bias saja ia mampu berbicara tentang
norma dan nilai-nilai akademik tersebut didepan forum namun tanpa proses belajar
dan latihan, norma-norma tersebut tidak akan pernah terwujud dalam praktik
kehidupan sehari-hari. Bahkan sebaliknya, ia tidak segan-segan melakukan
pelanggaran dalam wilayah tertentu—baik disadari ataupun tidak.
Kiranya, dengan mudah disadari bahwa
perguruan tinggi berperan dalam mewujudkan upaya dan pencapaian budaya akademik
tersebut. Perguruan tinggi merupakan wadah pembinaan intelektualitas dan
moralitas yang mendasari kemampuan penguasaan iptek dan budaya dalam pengertian
luas disamping dirinya sendirilah yang berperan untuk perubahan tersebut.
Merujuk
pada redaksi uu ri no. 20 tahun 2003 tentang sisdiknas bab vi bagian ke empat
pasal 19 bahwasanya mahasiswa itu sebenarnya hanya sebutan akademis untuk
siswa/ murid yang telah sampai pada jenjang pendidikan tertentu dalam masa
pembelajarannya. Sedangkan secara harfiah, mahasiswa” terdiri dari dua kata,
yaitu maha yang berarti tinggi dan siswa yang berarti subyek pembelajar
sebagaimana pendapat bobbi de porter, jadi kaidah etimologis menjelaskan pengertian
mahasiswa sebagai pelajar yang tinggi atau seseorang yang belajar di perguruan
tinggi/ universitas.
Banyak
sekali pembahasan yang mengarah dalam budaya akademik di antaranya:
a.
Konsep dan Ciri-Ciri Perkembangan
Budaya Akademik
b.
Tradisi Akademik
c.
Kebebasan Akademik
d.
Otonomi Keilmuan
2. ETOS
KERJA DALAM ISLAM
Etos
berasal dari bahasa Yunani (etos) yang memberikan arti sikap, kepribadian,
watak, karakter, serta keyakinan atas sesuatu. Sikap ini tidak saja dimiliki
oleh individu, tetapi juga oleh kelompok bahkan masyarakat .Dalam kamus besar
bahasa Indonesia etos kerja adalah semangat kerja yang menjadi ciri khas dan keyakinan seseorang
atau sesesuatu kelompok.
Secara terminologis kata etos, yang mengalami perubahan makna yang meluas. Digunakan dalam tiga pengertian yang
berbeda yaitu:
suatu aturan umum atau cara hidup
suatu tatanan aturan perilaku.Penyelidikan tentang jalan hidup dan seperangkat
aturan tingkah laku . Dalam pengertian lain, etos dapat diartikan sebagai
thumuhat yang berkehendak atau berkemauan yang disertai semangat yang tinggi
dalam rangka mencapai cita-cita yang positif. Secara umum, etos kerja berfungsi sebagai alat penggerak tetap
perbuatan dan kegiatan individu. Menurut A. Tabrani Rusyan, fungsi etos kerja
adalah: Pendorang timbulnya
perbuatan. Penggairah dalam aktivitas.Penggerak, seperti mesin bagi mobil besar
kecilnya motivasi akan menentukan cepat lambatnya suatu perbuatan .Kerja
merupakan perbuatan melakukan pekerjaan atau menurut kamus W.J.S Purwadaminta,
kerja berarti melakukan sesuatu, sesuatu yang dilakukan . Kerja memiliki arti
luas dan sempit dalam arti luas kerja mencakup semua bentuk usaha yang
dilakukan manusia, baik dalam hal materi maupun non materi baik bersifat
intelektual maupun fisik, mengenai keduniaan maupun akhirat. Sedangkan dalam
arti sempit, kerja berkonotasi ekonomi yang persetujuan mendapatkan materi.
Jadi pengertian etos adalah karakter seseorang atau kelompok manusia yang
berupa kehendak atau kemauan dalam bekerja yang disertai semangat yang tinggi untuk
mewujudkan cita-cita.Nilai kerja dalam Islam dapat diketahui dari tujuan hidup
manusia yang kebahagiaan hidup di dunia untuk akhirat, kebahagian hidup di
akhirat adalah kebahagiaan sejati, kekal untuk lebih dari kehidupan dunia,
sementara kehidupan di dunia dinyatakan sebagai permainan, perhiasan lading
yang dapat membuat lalai terhadap kehidupan di akhirat. Manusia sebelum
mencapai akhirat harus melewati dunia sebagai tempat hidup manusia untuk
sebagai tempat untuk mancari kebahagiaan di akhirat. Ahli-ahli Tasawuf
mengatakan: Untuk mencapai
kebahagiaan di akhirat, manusia harus mempunyai bekal di dunia dan di manapun
manusia menginginkan kebahagiaan. Manusia berbeda-beda dalam mengukur
kebahagiaan, ada yang mengukur banyaknya harta, kedudukan, jabatan, wanita,
pengetahuan dan lain-lain. Yang kenyataannya keadaan-keadaan lahiriah tersebut
tidak pernah memuaskan jiwa manusia, bahkan justru dapat menyengsarakannya.
Jadi dianjurkan di dunia tapi tidak melupakan kehidupan akhirat.
Beberapa Surat Yang Mengarah dalam
Etos Kerja dalam Islam di antaranya :
1.
(Q.S. Al-Baqarah: 148)
2.
(Q.S. Al-Isra’: 7)
3.
(Q.S. Al-Ashr: 1-3)
4.
(Q.S. Al-Qashash: 77)
5.
(Q.S. Al-Najm::{53}:39)
6.
(Q.S. Ar-Ra'd{13}: 11)
7.
(Q.S Al Mu’minun : 1 – 11)
8.
(Q.S. At-Tabah,9 : 105)
9.
(Q.S. Al An'am (6):135
DOWNLOAD FILE MS. WORD BUDAYA AKADEMIK
Comments
Post a Comment